Pages

Senin, 06 April 2020

Selayang Pandang Leiden University dan Etnografinya

Sumber gambar: kissfmmedan.com

Ketika mendengar Leiden, apa yang anda bayangkan tentang Leiden University, Belanda? Ya, Leiden memang dikenal sebagai icon kampus tertua di Belanda. Outputnya yang kita kenal adalah salah satunya Snouck Hurgronje yang dulu meneliti tentang Islam di Nusantara saat masa penjajahan, dan masih banyak lainnya. Sebagai kampus tertua dan kampus pencetak "peneliti" ulung, Leiden memang dikenal dengan etnografinya, sebuah metodologi penelitian unggulan mereka. 

Menjamurnya etnografi di hampir seluruh Belanda, membuat calon mahasiswanya wajib mengenyam pendidikan khusus/ workshop tentang metode satu ini. Buku yang ada di perpustakaan terlalu teoritis dan sulit dipahami. Tidak banyak peneliti Belanda yang menuliskan pengalaman empirisnya ketika di lapangan. Hal ini cukup memeras otak dan keringat pembacanya utamanya pembaca outsider. Nah, ada satu buku khusus karya mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan doktoral di Leiden, mereka menuliskannya dalam bentuk esai-esai empiris, renyah dibaca dan dipahami, bahkan diselingi joke-joke sehingga membuat pembacanya terhibur dan senyum-senyum sendiri.

Buku ini bermula dari sesuatu yang sangat sederhana, keinginan untuk merangkum catatan-catatan lapangan dari penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh program doktoral di Universitas Leiden. Ada semacam mitos yang telah sering didengar bahwa belajar di Belanda berarti siap bertransformasi menjadi seorang antropolog. Tak lain karena etnografi memiliki akar yang kuat di negeri kincir angin ini, yang menjadi ciri khas budaya akademik di sini. Maka seorang mahasiswa, apapun latar belakang disiplin ilmunya saat baru tiba di Belanda, mau tidak mau harus mempelajari metode ini. Terlebih jika dia datang ke Universitas Leiden, kampus tertua di Belanda, yang telah melahirkan tokoh-tokoh besar dalam antropologi, seperti ahli studi keislaman, Snouck Hurgronje, yang pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Leiden sampai dengan pakar studi hukum, Cornelis van Vollenhoven, yang kita kenal sebagai perintis kajian hukum adat.

Apa yang tampaknya hanya mitos itu menjelma menjadi kenyataan bagi kebanyakan mahasiswa. Pada tahun pertama masa training sebagai mahasiswa doktoral di Leiden, yang berisi penyempurnaan proposal disertasi, biasanya mahasiswa dan pembimbing menyepakati untuk menggunakan etnografi sebagai metode penelitian. Riset akan meliputi satu tahun studi lapangan, dari total empat tahun masa studi yang direncanakan. Namun di situlah masalahnya. Tidak semua mahasiswa—dengan latar belakang pendidikan yang beragam—tahu apa itu etnografi.

Pada situasi seperti ini, kami merasakan kebutuhan akan adanya semacam buku tentang metode ini tetapi dalam bentuk lebih praktis dan sederhana. Alasannya sederhana: buku-buku yang ditemukan di perpustakaan Universitas Leiden kebanyakan sangat teoretik, yang merupakan ciri khas buku metodologi riset pada umumnya. Kami membayangkan andai saja para mahasiswa Leiden terdahulu ada yang pernah menuliskan pengalaman penelitian lapangannya, tentu akan sangat mudah dan menarik untuk diikuti. Sayangnya harapan kami ini tidak terjawab. Kisah dari para mahasiswa yang lebih senior biasanya hanya dituturkan secara lisan dan tidak sistematis. Atau kami yang belum mendapatkan buku tersebut melalui pencarian di perpustakaan Universitas Leiden yang sangat banyak koleksinya itu. Siapa tahu.

Beberapa kelas keterampilan penelitian yang disediakan universitas juga rata-rata sudah berada dan dipersiapkan untuk kelas berpengalaman. Keadaan ini bisa dimengerti mengingat Universitas Leiden menganut sistem Ph.D by research, yang artinya mahasiswa doktoral memang tidak ada kewajiban mengikuti kuliah. Sebenarnya ada juga kelas lain berupa workshop proposal disertasi. Di sana kami belajar tentang bagaimana penelitian lapangan seharusnya dilakukan dan perspektif apa yang mesti dimiliki seorang antropolog.

Berangkat dari latar belakang itu, pembicaraan-pembicaraan dilakukan dengan satu dua mahasiswa di Leiden. Kegelisahan seperti di atas ternyata juga dihadapi oleh beberapa teman lainnya dengan tingkat kesulitan dan cara mengatasi persoalan yang berbeda, tentu saja. Namun untuk mewujudkan kebutuhan tersebut menjadi tulisan-tulisan seperti yang ada dalam buku ini ternyata memerlukan waktu dan tahapan yang tidak mudah. Kesibukan penulisan disertasi, urusan pribadi dan keluarga, hingga keharusan mengikuti format penulisan yang diharapkan oleh editor memberi tambahan beban kepada para penulis untuk dapat segera mewujudkan buku ini.

Sampai akhirnya pada sekitar musim gugur 2017, Margreet Van Till, koordinator program kami, meminta kami melakukan semacam kegiatan untuk menunjukkan keberadaan mahasiswa Indonesia di Leiden. Ide Margreet ini disampaikan kepada dua orang kawan, Julia dan Nurenzia, yang ditunjuk sebagai koordinator kegiatan. Usulan Margreet membuat Julia teringat kembali rencana penyusunan buku ini. Maka diajukanlah penyusunan buku ini sebagai salah satu usulan kegiatan. Bedanya, etnografi di sini tidak lagi hanya untuk kajian media, tetapi meliputi agama, bahasa, seni, sastra, buruh, hukum dll. Proyek ini juga akan melibatkan seluruh mahasiswa doktoral di Leiden yang melakukan riset di bidang sosial dan budaya. Margreet bukan hanya menyetujui tetapi juga sangat antusias dengan ide ini. Dia bahkan siap mengupayakan pendanaannya. Lebih dari itu, teman-teman mahasiswa di Leiden, baik yang menempuh studi di fakultas humaniora, fakultas ilmu sosial, fakultas hukum, atau pun yang berada di bawah naungan KITLV juga antusias.

Tetap saja bekal utama kami sebagai editor hanyalah semangat. Terutama bagi kawan-kawan yang sudah di masa penghujung studi mereka dengan ancaman habisnya beasiswa. Kami mesti pandai-pandai membagi waktu antara menulis proyek kami sendiri dan mengurus penyuntingan buku ini. Namun semangat saja tidak cukup, karena ia harus juga diiringi dengan kesabaran. Terutama untuk tugas “maha berat”: menagih tulisan kawan sendiri. Ini adalah sebuah proyek “keroyokan” yang melibatkan puluhan orang. Masing-masing kawan memiliki kecepatan menulis yang berbeda-beda. Tim editor tidak meragukan bahwa semua kawan memiliki kemampuan untuk menuliskan kembali pengalaman risetnya. Namun, tak semuanya memiliki waktu. Selain deadline dan hambatan-hambatan non-teknis lain seperti pada umumnya di jumpai pada kerja penulisan, sebagian kawan juga justru tengah berada di lapangan di Indonesia.

Sebagai pembaca pertama, rata-rata kami di tim editor merasa sangat beruntung. Kami mendapat kesempatan untuk membaca kisah-kisah menarik dan luar biasa yang diberikan oleh para kontributor buku ini. Pada setiap tulisan itu, kami mendapati penuturan yang jujur tentang pengalaman penelitiannya. Bukan hanya berisi hal-hal teknis penelitian seperti bagaimana wawancara atau observasi dilakukan, tetapi juga kendala-kendala yang mereka jumpai selama penelitian dari mulai persiapan penelitian hingga turun ke lapangan, hingga refleksi temuan penelitian. Dalam baris demi barisnya kami merasakan semangat, kegembiraan, kesedihan, dan juga ketabahan kawan-kawan sebagai peneliti, dan lebih dari itu, sebagai mahasiswa doktoral yang tengah berjuang menyelesaikan studinya. Kisah yang ternyata tak jauh berbeda satu dengan yang lain. Pengalaman itu dituturkan dengan cara yang begitu personal, seakan-akan seperti menuangkan unek-unek di buku harian dengan hanya disaksikan oleh diri sendiri dan Tuhan. Sehingga meskipun bertahun-tahun berteman dengan mereka, berbagi kantor, apartemen, dan sering makan minum bersama, tak pernah kami mendengarkan penuturan sedalam itu. Pengalaman itu hanya mungkin terungkap saat seseorang meneliti relung batinnya sendiri tentang perjalanan hidupnya sebagai seorang anak manusia, yang pada tahap ini sedang menjalani peran sebagai mahasiswa doktoral.

Renyah Dibaca dan Dipahami

Inilah keistimewaan buku ini. Ia tidak berisi teori yang melangit tentang apa itu etnografi. Tidak pula berisi daftar hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang antropolog saat hendak terjun ke lapangan. Ia tidak berkisah tentang “definisi” istilah dalam riset etnografi seperti apa itu “subjek penelitian”, “wawancara mendalam”, “pengamatan terlibat” dsb. Tidak pula berisi kutipan para pakar yang mengisahkan kepintaran dan kehebatan mereka. Buku ini jauh dari hal-hal yang sudah banyak kita jumpai dalam buku metode penelitian lainnya. Namun buku ini berisi tulisan yang berkeringat, berdarah, dan berair mata hasil endap an kerja selama bertahun-tahun. Ia berisi kisah yang dituturkan dengan kejujuran dan kerendahan hati, dan tak jarang agak terlalu jujur, tentang betapa dalam kerja riset ini kita akan banyak terbentur dengan hambatan dan kesulitan. Dan bahkan diha dapkan pada kegagalan bertubi-tubi.

Mereka yang belajar di Leiden dan melakukan riset etnografi mengerti bahwa perombakan proposal penelitian merupakan suatu keniscayaan. Perubahan itu tidak hanya karena pada tahun pertama setiap mahasiswa diharuskan mempertajam risetnya, tetapi bisa juga terjadi setelah seorang peneliti terjun ke lapangan.

Menghadirkan Makna Etnografi secara Luas

Lebih dari sekadar memoar tentang metode penelitian, buku ini adalah kisah perjuangan anak manusia yang sedang berjuang membentuk takdirnya. Selanjutnya, lebih dari sekadar memoar riset etnografi, buku ini adalah juga kisah persahabatan di antara mahasiswa yang tengah menempuh studi di Leiden. Jika kita percaya ungkapan Latin yang kurang lebih berbunyi: “Yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan abadi,” maka buku ini adalah artefak yang mengabadikan persahabatan itu. Dan adakah persahabatan yang lebih mendalam selain persahabatan di antara sekumpulan anak muda yang menulis bersama-sama dan mengisahkan perjalanan hidupnya?

Sasaran pertama buku ini adalah para calon mahasiswa yang hendak menempuh studi doktoral di Leiden, meskipun juga tidak menutup kemungkinan dibaca oleh mahasiswa master terutama yang menjadikan riset sebagai syarat kelulusannya. Dengan adanya buku ini, kami membayangkan di tahun-tahun mendatang, saat seorang mahasiswa baru tiba di sini dan bertanya-tanya tradisi riset seperti apa yang ada di kampus tertua di Belanda ini, dia akan menemukan buku ini. Telah ada ratusan atau mungkin ribuan mahasiswa doktoral dari Indonesia datang ke sini sejak masa Hoessein Djajadiningrat pada 1913. Dan kelak, masih akan ada ratusan atau ribuan mahasiswa lainnya yang akan tiba. Karena penulisnya adalah mahasiswa Leiden, maka dengan sendirinya budaya akademik di Leiden terpapar kuat di sini. Buku ini dengan sangat detail memaparkan tidak hanya pengalaman riset etnografi para penulisnya, namun juga pengalaman belajar dari para mahasiswa doktoral di Leiden. Dari mulai metode evaluasi mahasiswa hingga dinamika hubungan dengan supervisor.

Namun, meskipun Leiden adalah kampus tertua di Belanda, etnografi jelas bukan hanya monopoli Universitas Leiden. Metode ini akrab bagi hampir semua kampus di Belanda. Dari teman-teman yang belajar di Universitas Amsterdam kami tahu bahwa mereka juga menjadikan metode ini sebagai metode riset utamanya. Kisah serupa juga dapat dijumpai dari temanteman di Tillburg, Nijmegen, Utrecht, dan Wageningen. Bahkan ada cerita menarik seorang kawan yang belajar ekonomi di Maastricht dan menggunakan survei sebagai metode utama nya, dia tetap diharuskan memberikan sentuhan etnografi pada pemaparan hasil risetnya. Maka dapat dikatakan bahwa etnografi merupakan sebuah tradisi riset yang cukup kuat di Belanda dan telah identik dengan negeri sejuta tulip ini. Sayangnya, belum pernah ada mahasiswa dari kampus mana pun yang menulis memoar seperti yang ditulis dalam buku ini. Maka, sasaran buku ini tidak hanya para calon mahasiswa yang hendak belajar di Leiden tetapi juga kampus Belanda pada umumnya yang hingga kini telah puluhan ribu jumlahnya. Dan mungkin masih ada puluhan ribu lainnya yang akan tiba di sini kelak.

Namun demikian, buku ini tentu saja tidak hanya ditujukan bagi para mahasiswa atau calon mahasiswa di Belanda, tetapi juga mahasiswa pada umumnya serta siapa saja yang tertarik belajar tentang metode etnografi. Dikemas dengan gaya bercerita yang menarik, kami yakin buku ini dapat dibaca siapa saja. Mahasiswa S1 yang ingin mengenal metode etnografi atau pun metode riset kualitatif pada umumnya perlu membacanya. Kami sering berdiskusi dan membayangkan bahwa buku ini kelak akan menjadi salah satu buku wajib pada kelas-kelas metode penelitian, yang tidak hanya akan mengajari mahasiswa tentang teknik riset tetapi juga mengajari mereka untuk mencintai akitivitas penelitian itu sendiri. Para kontributor buku ini hampir semuanya adalah dosen. Mereka berasal dan mengabdi di pulau-pulau yang berbeda di Indonesia. Tempat mengajar mereka merentang dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, hingga Kupang. Ketika mereka pulang dengan membawa buku ini, diharapkan ia dapat menjadi rujukan yang berguna tentang bagaimana membumikan etnografi dalam kegiatan penelitian di seluruh penjuru Nusantara.

Bagi pembaca secara luas, buku ini juga dapat menjadi pintu masuk untuk mengikuti isu sosial-politik terbaru di Indo nesia. Selain berisi refleksi etnografis, ia juga berisi refleksi yang khas Leiden tentang bidang kajian yang menjadi minat masingmasing penulisnya. Kami juga berharap buku ini dapat menarik perhatian pembaca dari beragam latar belakang, bah kan yang awam sekalipun, yang meski mungkin asing akan tradisi etnografi, tetap berminat mengikuti perjuangan para pelajar di Leiden karena di dalamnya terkandung pelajaran bermanfaat bagi kehidupan secara luas. Dalam satu baris puisinya, penyair Chairil Anwar pernah menulis, “Nasib adalah kesunyian masing-masing.” Dan buku ini adalah gambaran—sekaligus upaya dari para mahasiswa Leiden itu—untuk membebaskan diri dari kesunyian (mereka) masing- masing

Dikutip dari Pengantar Tim Editor Buku Catatan Dari Lapangan: Esai-Esai Refleksi Etnografis Bidang Sosial Budaya Mahasiswa Indonesia di Leiden.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer