Pages

Senin, 06 April 2020

Muhammadiyah Dalam Insider

Sumber gambar: tirto.id


Membicarakan tentang Muhammadiyah tidak akan pernah ada habisnya, dari segi apapun bisa dilihat, diterjemahkan, diinterpretasikan dan dianalisis sesuai kacamata yang dipakai oleh pembahas. Dalam kata pengantar dari buku Mitsuo Nakamura yang berjudul Matahari Terbit dari balik Pohon Beringin, Prof. Dr. A. Mukti Ali menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan serba wajah (dzuwujuh). Sebutan ini dimaksudkan untuk mewujudkan aktifitas Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam pelestarian nilai-nilai tradisi dan budaya masyarakat. Di dalam buku Muhammadiyah Jawa yang diterjemahan dari Tesis Master Prof. Ahmad Najib Burhani berjudul The Muhammadiyah’s attitude to Javanese Culture in 1912-1930: Appreciation and Tension di Universitas Leiden Belanda tahun 2004. Menjadi penting dan strategis untuk diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia mengingat isi dan kandungan dalam buku ini merupakan hasil penelitian ilmiah, sehingga sedikit banyak akan sangat berharga dalam merubah persepsi dan pandangan orang tentang Muhammadiyah, khususnya yang berhubungan dengan budaya dan tradisi Jawa. Mudah-mudahan dengan membaca buku ini, akan semakin mencerahkan dan memperluas cakrawala berpikir kita tentang Muhammadiyah.

Muhammadiyah sebagai Representasi “Islam-Jawa” Sebuah Pengantar

“You cannot be a Brahmin in the English countryside” —Julian Pitt-Rivers (1963)

Najib Burhani mengambil nukilan kata-kata Pitt-Rivers di atas untuk menunjukkan betapa mustahilnya Muhammadiyah melepaskan diri dari kebudayaan Jawa. Meski sering disebut sebagai gerakan puritanisme Islam di Indonesia, Muhammadiyah tak akan bisa melepaskan fakta bahwa ia lahir di Kauman, satu tempat dalam lingkungan tembok Kesultanan Yogyakarta, oleh sejumlah abdi dalem Kraton tersebut. Ia dibangun dengan inspirasi dan kesadaran seorang Islam-Jawa tulen, Raden Ngabehi Muhamad Darwisy (KH Ahmad Dahlan), setelah banyak berdialog dengan rekan-rekannya di Boedi Oetomo, guna memodernisasi cara pikir, sistem sosial dan peradaban masyarakat.

Sampai sekarang pun, ketika organisasi ini mendekati umur 100 tahun, beberapa pimpinannya tetaplah para priyayi dari kerajaan Jawa kuno itu, lengkap dengan karakteristik kejawaannya. Karenanya, seperti dikutip Herman L. Beck (1995), tidak heran jika Muhammad Hatta, salah satu proklamator Republik Indonesia dan juga anggota Muhammadiyah mengatakan, “Muhammadiyah tak akan pernah bisa berhasil melaksanakan program purifikasinya selama ia tak bisa membebaskan diri dari akar-akarnya di Kauman Yogyakarta.”

Pada 2010 Muhammadiyah telah melangsungkan Muktamar Satu Abad di Yogyakarta. Ini barangkali menjadi momentum yang tepat untuk mengingat dan berkontemplasi diri entitas yang sudah lama melekat dibangun pada diri organisasi ini, yaitu sebagai model Islam varian Jawa atau dalam konteks yang lebih pas untuk saat ini, Islam varian Indonesia.

Muhammadiyah dan Identitas Kejawaan

Mungkin belakangan ini terjadi satu pergeseran pandangan di masyarakat. Seolah-olah NU (Nahdlatul Ulama) lebih pas dipandang sebagai representasi Islam-Jawa daripada Muhammadiyah. Anak-anak muda NU pun juga terkesan lebih aktif bergelut dengan tradisi Jawa daripada anak-anak muda Muhammadiyah. Kondisi kasar ini tentu sangat berbeda dengan catatan-catatan sejarah pada dua organisasi terbesar di Indonesia itu. Setidaknya ada beberapa bukti yang memperkuat asumsi ini.

Pertama, jika klasifikasi masyarakat Jawa ala Clifford Geertz (1960) dipakai untuk membaca penduduk Jawa di awal abad ke-20, maka NU yang didirikan pada 1926 adalah organisasi para santri dan Muhammadiyah adalah gerakan para priyayi Muslim. Sebagai perbandingan, para pendiri NU adalah para kyai dari berbagai pesantren di Jawa (seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah). Para pengurus NU awal juga dipenuhi oleh orang-orang dengan nama Arab. Sementara pendiri dan pengurus Muhammadiyah adalah para priyayi Kraton Yogyakarta (seperti Raden Ketib Tjandana Haji Ahmat dan Raden Sosrosugondo).

Kedua, jika kita buka kembali foto-foto dan gambargambar kedua organisasi tersebut di awal-awal pendiriannya, maka akan terlihat bahwa para pimpinan NU memakai pakaian yang lebih dekat pada tradisi Arab, sementara cara berpakaian pemimpin Muhammadiyah mendekati budaya Jawa. Pada Muktamar Muhammadiyah di Solo tahun 1929, misalnya, seruan untuk memakai pakaian tradisional masuk dalam salah satu aturan bagi peserta Muktamar.

Menjetoedjoei seroean Comite Penerimaan Congres di Solo, kami harap soepaia Oetoesan-oetoesan laki-laki memakai pakaian kebesaran tjara negerinja masing-masing, jang tidak melanggar Sjara’.
Pengoeroes Besar dan Comite poen akan menjamboet dengan gembira dan berpakaian kebesaran djoega, tjara Djogja dan Solo. Jang teroetama dipakai di waktoe Malam Penerimaan dan Hari Tamasj-sja. —Programma dan Agenda Congres Moehammadijah ke-XVIII jang Terbesar di Solo (1929)-

Ketiga, bahasa Jawa adalah bahasa resmi di Muhammadiyah sebelum digantikan oleh bahasa Indonesia. Muhammadiyah adalah organisasi pertama di Indonesia yang memperkenalkan khutbah Jum’at dalam vernacular language (bahasa masyarakat setempat). Pesan-pesan dalam khutbah Jum’at dianggap Muhammadiyah tidak akan bisa sampai kepada pendengarnya jika memakai bahasa Arab. Karena itu, sangat tidak masuk akal untuk memaksakan penggunaan bahasa asing itu sementara seluruh pendengarnya adalah orang Jawa. Bahkan, menurut kesaksian salah seorang murid Ahmad Dahlan di Kweekschool Jetis, Profesor Sugarda Purakawatja, pendiri Muhammadiyah itu pernah mengizinkan murid-muridnya untuk shalat dengan menggunakan bahasa Jawa jika mereka tidak mengerti bahasa Arab.

Keempat, secara organisasi, Muhammadiyah memiliki ikatan cukup erat dengan Boedi Oetomo, sebuah organisasi yang ingin membangun kembali budaya Jawa. Seluruh pendiri Muhammadiyah merupakan anggota Boedi Oetomo. Memang, Dahlan juga bergabung SI (Sarekat Islam) dan organisasi lain di Jawa. Namun, hanya Boedi Oetomo-lah satu-satunya organisasi yang secara langgeng diikuti oleh Dahlan, tentu saja selain organisasi yang didiriannya sendiri.

Kelima, Muhammadiyah tidak pernah menolak upacara grebeg yang diselenggarakan oleh Kraton Yogyakarta. Penghulu-penghulu yang berperan aktif dalam upacara tradisional di Kraton itu, sejak zaman Ahmad Dahlan, adalah para pimpinan Muhammadiyah. Dahlan sendiri hingga meninggalnya tak pernah melepaskan statusnya sebagai abdi dalem pamethakan.

Setidaknya inilah argumen Najib Burhani yang terekam dalam bukunya berjudul Muhammadiyah Jawa.

Beberapa Pergeseran Sikap

Meski masih menyisakan cukup banyak bukti tentang kedekatan Muhammadiyah dengan kebudayaan Jawa, namun identitas organisasi ini sebagai Islam varian Jawa memang sudah tidak se-kenthal pada masa-masa awal pendiriannya. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran ini. Beberapa diantaranya adalah masuk dan berkembangnya ideologi Wahabi di organisasi ini, terutama setelah Mekah dan Madinah dikuasai oleh Saud-Wahabi. Sebagai organisasi yang identik dengan gerakan Wahabi, Muhammadiyah lantas menjadi kurang toleran terhadap tradisi masyarakat setempat.

Keterlibatan orang-orang dari Padang dalam Muhammadiyah juga memberi pengaruh dalam pembentukan sikap organisasi ini terhadap budaya lokal. Di Padang, hubungan antara Kaum Tuo dan Kaum Mudo, juga orang Adat dan orang Padri, memang kurang harmonis. Kondisi ini lantas mempengaruhi warga Muhammadiyah di Jawa. Apalagi, ideologi Muhammadiyah banyak dipengaruhi oleh ulama besar dari Padang, Haji Rasul.

Selain kedua hal tersebut, faktor lain yang ikut berpengaruh dalam membentuk karaktek Muhammadiyah dalam kaitannya dengan kejawaan adalah pembentukan Majlis Tarjih yang terkesan sangat syari’ah-oriented. Pendirian lembaga ini dipelopori oleh Mas Mansur, seorang ulama dari daerah pesisir, Surabaya. Karakteristik keislaman antara daerah pesisir pantai dan pedalaman (hinterland) memang berbeda. Dulu, keislaman daerah pesisir dikenal lebih ketat dibandingkan daerah pedalaman, seperti Yogyakarta.

Namun demikian, seperti dikatakan oleh Hatta, karakter kejawaan Muhammadiyah itu tak akan pernah hilang. Dengan cerdik Mitsuo Nakamura (1993) menyimpulkan gerakan Muhammadiyah sebagai berikut: “Reformist Islam is not antithetical to Javanese culture but an integral part of it, and what reformists have been endeavouring is, so to speak, to distil a pure essence of Islam from Javanese cultural traditions. The final product of distillation does retain a Javanese flavour.” -Pengantar Najib Burnai dalam bukunya Muhammadiyah Jawa

Muhammadiyah Dalam Testimoni

Muhammadiyah lahir di Yogyakarta yang merupakan pusat kebudayaan Jawa. Pendirinya, Raden Ngabehi Muhammad Darwisy (KH Ahmad Dahlan), adalah abdi dalem pamethakan di Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Namun berbeda dari Martin Luther yang berkata, “Here I stand. I can do no other” sebagai pemberontakan terhadap otoritas gereja Katolik, Dahlan mampu mewarnai kraton dan masyarakat Jawa tanpa harus berpisah atau memusuhi. Justru dalam diri Dahlan, Islam dan kejawaan menjadi entitas tunggal, seperti konsep sastra gending dimana Islam menjadi sastra yang diiringi gending Jawa. Muhammadiyah adalah Islam varian Jawa yang paling otentik. Inilah satu gagasan yang diurai buku ini.

Gagasan lain adalah asal-muasal puritanisme dalam tubuh Muhammadiyah. Sebagai gerakan, Muhammadiyah memang bercorak Jawa pedalaman, namun dari sisi ideologi (yang disebut puritan) ia banyak dipengaruhi nilai-nilai Sumatra Barat terutama yang dibawa oleh Haji Rosul dan Islam pesisir melalui Haji Mas Mansur (Surabaya, Jawa Timur). Perbedaan watak gerakan dan ideologi itulah yang, saya yakin, justru mendorong Muhammadiyah selalu menjaga keseimbangan antara pemurnian (puritanisasi) dan pembaruan (modernisasi) secara proporsional dalam bingkai Islam berkemajuan (altawazun bayn al-tajrid wa al-tajdid). Prinsip inilah yang belakangan ini ditampilkan dalam konsep dakwah kultural. Tesis Najib Burhani tentang Muhammadiyah Jawa ini wajib dibaca oleh mereka yang ingin melihat dialektika Muhammadiyah dengan tradisi lokal Indonesia, satu aspek yang sering dilewatkan para pengkaji gerakan ini. Alih-alih melihat pengaruh budaya Indonesia, banyak peneliti yang terlalu terfokus melacak pengaruh Timur Tengah, terutama Wahhabi, terhadap Muhammadiyah. Terakhir, saya percaya bahwa gerakan Muhammadiyah memang memiliki akar kultural kuat pada nilai-nilai ke-Indonesiaan. Tapi Muhammadiyah memilih untuk mensenyawakan nilai-nilai Islam pada budaya Indonesia untuk adanya “Indonesia yang Islami” dari pada “Islam yang Indonesiawi. –M. Din Syamsuddin, Ketua Umum PP. Muhammadiyah 2005-2010 sekaligus Profesor Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dikutip dari Pengantar Buku Muhammadiyah Jawa karya Ahmad Najib Burhani.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer