Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang di
dalamnya memuat ajaran moral universal bagi umat manusia sepanjang masa. Dalam
posisinya sebagai kitab petunjuk, Al-Qur’an diyakini tidak akan pernah lekang
dan lapuk dimakan zaman. Akan tetapi dalam ke-nyataannya, teks Al-Qur’an sering
kali dipahami secara parsial dan ideologis sehingga menyebabkannya seolah
menjadi teks yang mati dan tak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Fenomena
inilah yang menggelisahkan para mufassir modern-kontemporer, seperti
Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, dan Nasr Hamid
Abu Zaid.
Menurut para mufassir
modern-kontemporer ini, yang di-butuhkan saat ini adalah model dan metodologi
baru dalam pem-bacaan dan pemahaman atas Al-Qur’an agar kitab suci umat Islam
ini benar-benar menjadi kitab petunjuk yang akan senantiasa rele-van untuk
setiap zaman dan tempat serta mampu merespons se-tiap problem sosial-keagamaan
yang dihadapi oleh umat manusia. Ini mengandung arti bahwa paradigma pemahaman
atas Al-Qur’an harus digeser dan diubah; dari paradigma literalis-ideologis
yang sudah berlangsung selama beberapa abad lamanya menjadi para-digma
kritis-kontekstual. Tanpa adanya perubahan paradigma dalam membaca dan memahami
kalam Tuhan tersebut maka yang muncul hanyalah pembacaan yang berulang-ulang (al-qira’ah
al-mutakarrirah) dan tidak produktif.
Buku yang ada di hadapan pembaca ini, yang
pada mulanya merupakan karya disertasi Abdul Mustaqim di UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, mengkaji pemikiran dan metodologi penafsiran dua tokoh
yang cukup representatif mewakili para pemikir muslim kon-temporer di bidang
kajian keislaman, khususnya di bidang tafsir, yakni Fazlur Rahman dan Muhammad
Syahrur. Kedua tokoh ter-sebut dinilai oleh penulis buku ini mewakili pemikiran
dari dua wilayah yang berbeda, yakni India (Indo-Pakistan) dan Timur Tengah
(Syiria). Dengan menggunakan analisis komparatif, penu-lis buku ini mengkaji
secara mendalam dan juga kritis terhadap metodologi penafsiran Al-Qur’an yang
ditawarkan oleh Rahman dan Syahrur beserta implikasi yang ditimbulkannya.
Penulis mengawali kajiannya dalam buku ini
dengan memot-ret sejarah perkembangan tafsir sejak era nabi hingga era modern-kontemporer
dengan menggunakan perspektif the history of idea-nya Ignaz Goldziher.
Dari hasil penelusurannya atas sejarah tafsir, ditemukanlah fakta bahwa telah
terjadi pergeseran paradigma dalam sejarah penafsiran Al-Qur’an, yang dapat
dipetakan menjadi tiga babakan atau periodisasi penafsiran Al-Qur’an dengan
basis penalarannya masing-masing. Pertama, periode formatif, yakni
penafsiran Al-Qur’an yang terjadi atau berlangsung di masa nabi dan para
sahabat hingga era pasca sahabat. Pada periode ini, nalar yang digunakan dalam
menafsirkan Al-Qur’an adalah nalar kuasi-kritis. Kedua, periode
afirmatif, yakni penafsiran Al-Qur’an yang terjadi pada Abad Pertengahan Islam,
yang mendasarkan penaf-sirannya pada nalar ideologis. Ketiga, periode
reformatif, yakni penafsiran Al-Qur’an yang terjadi pada abad
modern-kontem-porer. Pada periode ini, nalar yang digunakan dalam menafsirkan
Al-Qur’an adalah nalar kritis.
Melalui perspektif the history of idea
ini, Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur dikategorikan oleh penulis buku ini
sebagai mufassir era modern-kontemporer yang menggunakan nalar kritis
dalam menafsirkan Al-Qur’an. Kritisisme Rahman dan Syahrur terlihat jelas
dari kritik-kritiknya yang tajam terhadap produk-pro-duk penafsiran para ulama
terdahulu yang cenderung bersifat literalis dan dogmatis sehingga menjadikannya
tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Atas ketidakpuasannya terhadap
model dan produk penafsiran para ulama terdahulu, Rahman dan Syahrur pun
kemudian menawarkan metodologi baru dalam mem-baca dan menafsirkan Al-Qur’an.
Dalam hal ini, Rahman menawar-kan dua metode pembacaan atas Al-Qur’an, yakni
(1) metodo-logi hermeneutika double movement dan (2) metode tematik (maudhu’i).
Di sisi lain, Muhammad Syahrur juga menawarkan dua metode penafsiran Al-Qur’an,
yakni (1) metode ijtihad dengan pen-dekatan teori hudud yang digunakan
untuk membaca dan menafsir-kan ayat-ayat muhkamat dan (2) metode
hermeneutika takwil dengan pendekatan linguistik-saintifik yang digunakan untuk
mem-baca dan menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat. Langkah yang ditempuh Fazlur Rahman dan
Muhammad Syahrur ini boleh dikatakan cukup progresif dan prospektif.
Dengan metode pembacaan dan penafsiran
Al-Qur’an yang ditawarkan oleh Rahman dan Syahrur tersebut, diharapkan akan
melahirkan “pembacaan yang kreatif dan produktif” sehingga ajaran-ajaran
normatif-universal Al-Qur’an bisa dikontekstualisasikan dengan perkembangan
zaman.
Model dan metodologi pembacaan dan penafsiran
Al-Qur’an yang ditawarkan oleh Rahman dan Syahrur ini tentu saja sangat menarik
untuk dikaji dan didiskusikan. Dan, Abdul Mustaqim dalam buku ini telah
membahas dan mengelaborasinya secara baik, mendalam dan tentu saja juga kritis.
Selain itu, persoalan hakikat tafsir dan tolak ukur kebenaran tafsir juga
menjadi bagian pembahasan yang menarik dalam buku ini, di samping juga
me-ngenai implikasi yang ditimbulkan dari model penafsiran Al-Qur’an yang
ditawarkan oleh Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur. Oleh karena itu, buku ini
sangat menarik untuk dibaca dan didiskusikan lebih lanjut guna memperkaya
wacana dalam penafsiran Al-Qur’an dan diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi
pengembangan metodologi tafsir di negeri ini.
Hadirnya buku ini ke hadapan pembaca tentu
saja semakin melengkapi buku-buku tentang kajian Al-Qur’an yang telah kami
terbitkan sebelumnya, seperti Tekstualitas Al-Qur’an karya Nasr Hamid
Abu Zaid (1997); Kritik Nalar Al-Qur’an karya Ali Harb (2003),
Stilistika Al-Qur’an karya Syihabuddin Al-Qalyubi (2009), dan Antropologi
Al-Qur’an karya Baidhawi (2009).
Berikut kami sertakan link pdf buku
Epistemologi Tafsir Kontemporer
Epistemologi Tafsir Kontemporer pdf
0 komentar:
Posting Komentar