Belakangan ini wacana agama banyak diwarnai dengan
kekhawatiran menguatnya ekslusivisme legal-tekstual bersama masuknya paham
Islam transnasional yang sayangnya cenderung kotradiktif dengan budaya dan
produk-produknya. Masih belum hilang ingatan kita kepada Talibanisme yang
menghancurkan patung Budha di Bamiyan, Afghanistan, ketika sekarang kita
dihadapkan pada gejala ISIS, NII, HTI dengan jargon khilafahnya yang jauh lebih
radikal, puritan, dan brutal. Bukan saja memusuhi namun juga membantai semua
kelompok yang berbeda dengannya walau se agama pun.
Di Indonesia negara yang notabene mayoritas penduduk
muslim terbesar di dunia, tengah kecolongan dengan masifnya gerakan-gerakan kekerasan
berkedok agama. Mereka anti nasionalisme. Anomali konstruk berfikir mereka
tengah dihadapkan pada realita ke Indonesiaan, sekaligus melupakan bahwa Tuhan
bermanifestasi bukan hanya ciptaan fisik yakni alam dan manusia, namun juga
segenap produk non fisiknya yakni hukum alam (sunnatullah), hukum kemanusiaan
(resultante) termasuk budaya dengan segala pernak perniknya. Beragam budaya
yang ada, dengan segala keunikannya adalah lokus-lokus unik dari
manifestasi-Nya. Maka, mempelajari diri manusia dan alam semesta dapat menyadarkan
kita akan kedekatan Tuhan dengan alam dan manusia.
Islam sangat menghargai tradisi/ budaya suatu
masyarakat. Islam justru tidak pernah menentang sebuah tradisi jika tradisi itu
memiliki makna dan pesan agama di dalamnya. Penghargaan Islam terhadap suatu
tradisi tidak bisa dipahami, kecuali dalam kerangka penghargaan terhadap apa
yang hidup (living) di dalam
masyarakat
Sebagai konsekuensinya, orang Indonesia Muslim
bukan hanya dapat memeluk, melainkan wajib memelihara budaya Indonesia. Pertanyaannya,
seperti apa budaya Indonesia? Sutan Takdir Alisjahbana pernah mengupas budaya
Nusantara, yang ia sebut memiliki tiga lapisan. Pertama, budaya asli
Indonesia yang kurang lebih mistis. Kedua, lapisan budaya Hindu (India)
yang telah diwarnai literasi. Ketiga, lapisan budaya Islam yang menurut
Alisjahbana telah membawa bersamanya rasionalisme keagamaan dan ilmu
pengetahuan.
Tradisi dalam masyarakat Indonesia, bisa jadi-
meski tidak semuanya- sesuai dengan spirit Al-quran dan Sunnah. Tradisi ini
dikenal juga dengan living quran atau
living sunnah. Dengan begitu, sikap
akomodatif Islam ini sejalan dengan kaidah fikih al-‘Addah Muhakkamah (suatu tradisi bisa dijadikan hukum syariat
Islam). Dari konsep ini, para ulama ushul fikih membagi adat dalam dua bentuk.
Pertama, adat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kedua, adat yang
bertentangan dengan nash-nash al-quran.
Tradisi yang memiliki proses Islamisasi di
dalamnya. Misalnya, adat atau kebiasaan yang baik dan hidup di kalangan
masyarakat. Misalnya, kebiasaan untuk membangun rumah menggunakan simbol cabe
digantung dan sebagainya. Tradisi ini,
tentu tidak akan ditemukan dalilnya secara nash (manshush). Akan tetapi, kebiasaan ini merupakan bentuk dari doa si
empunya rumah untuk memohon kepada Allah agar seisi rumah diberikan berkah dan
keselamatan selalu.
Doa-doa menggunakan symbol ini juga pernah
dilakukan oleh Rasulullah Saw. Doa dengan symbol dikenal dengan al-Du’a bi al-Rumuz. Doa ini
dipraktekkan oleh Rasulullah Saw ketika memindahkan sorban ketika saat sholat
istisqa’ (memohon minta hujan). Menurut KH. Ali Mustofa Yaqub hadis ini
merupakan cara rasulullah mengajarkan dibolehkannya menggunakan simbol untuk
berdoa.
Tulisan ini bertujuan mengulas beberapa tema tradisi masyarakat Indonesia dilihat dari aspek makna
dalam agama. Banyak tradisi beragama di Indonesia sarat akan makna dan
permohonan ampunan dan keselamatan
kepada Allah Swt. Tradisi yang dibahas dalam artikel ini, mencakup apa saja
yang lahir dan hidup di tengah masyarakat, tradisi menjunjung tinggi rantai
keilmuan para ulama dan seterusnya.
Lebih jelasnya kami sertakan link download
buku fiqih tradisi di bawah ini
0 komentar:
Posting Komentar