Manusia merupakan ciptaan
Tuhan yang paling sempurna, baik secara rohani maupun jasmani, dengan segala
kelebihannya manusia dituntut untuk menciptakan kehidupan yang seimbang dan
serasi di dunia ini. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan membutuhkan hubungan
secara vertikal. Sedangkan manusia sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan
hubungan dengan yang lainnya. Kebahagiaan merupakan hal yang relatif,
tergantung pada tujuan dan orientasi kehidupan seseorang.
Apabila tujuan dan
orientasi dalam kehidupannya adalah mengkodifikasi harta, meraih kekuasaan dan
kenikmatan lainnya dalam kehidupan dunia, maka keberhasilannya meraih
tujuan-tujuannya itu merupakan kebahagiaannya. Tetapi apabila tujuan dalam
kehidupan ini untuk berpegang pada tali keimanan, takwa dan amal saleh agar
dapat memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan akhirat maka hal itu merupakan
sumber kebahagiannya.
Sayangnya, tidak setiap
manusia bisa menemukan jalan yang mudah dan benar untuk meraih tujuan hidupnya.
Sebagian orang harus menempuh jalan yang berliku, sebagian yang lain dengan
jalan bebas hambatan. Masalah kebahagiaan sendiri merupakan topik yang tidak
akan pernah habis diperbincangkan orang. Mulai dari bagaimana hakikatnya hingga
jalan-jalan yang ditempuh untuk mendapatkannya. Ada begitu banyak paradigma
mengenai kebahagiaan.
Phitagoras, Socrates, dan
Aristoteles berpendapat bahwa bahagia itu tersusun dari empat unsur utama yaitu
hikmat, keberanian, kehormatan, dan keadilan. Apabila keempatnya telah
berkumpul pada diri seseorang, maka orang itu bahagia.
Sebagaimana disebutkan di
atas, definisi bahagia tidak memiliki bentuk baku. Kadang-kadang sesuatu yang dipandang
bahagia oleh seseorang, tidak demikian bagi orang lain. Adagium Jawa mengatakan
urip niku mung sawang sinawang (hidup itu hanya saling memandang dan
dipandang, belum tentu yang dipandang itu merasakan bahagia, justru sebaliknya).
Kebahagiaan merupakan
tumpuan cita dan harapan dalam kehidupan, oleh sebab itu kebahagiaan menjadi
sangat berharga dan diburu, sehingga menjadi tumpuan dalam setiap langkahnya.
Dalam mewujudkan
kebahagiaan, Al Ghazali menekankan pentingnya arti cinta kepada Allah. Pengetahuan
tentang Tuhan merupakan kunci untuk mencintai Allah karena tidak mungkin lahir
cinta jika tidak mampu mengetahui dan merasakan indahnya berhubungan dengan
sesuatu yang menyenangkan.
Bahagia menurut Al
Ghazali akan dapat dicapai apabila manusia sudah bisa menundukkan nafsu
kebinatangan dan setan dalam dirinya serta menggantinya dengan sifat malaikat. Sedangkan
kebahagiaan tertinggi menurut Al Ghazali adalah ketika manusia telah terbuka
hijabnya dengan Allah, ia bisa melihat Allah dengan mata hatinya atau dalam
bahasa Al Ghazali telah sampai pada tahap ma’rifatullah.
Al Ghazali mempunyai konsep
kebahagiaan tersendiri yang kita kenal dengan Kimia Kebahagiaan (kimiatus sa’adah).
Kitab ini memuat 8 sub bab yakni mengenal diri, mengenal Allah, mengenal dunia,
mengenal akhirat, spiritualitas dalam musik dan tarian, muhasabah dan dzikir,
perkawinan: Pendorong ataukah perintang kehidupan beragama?, dan cinta kepada
Allah.
Berikut kami sajikan link buku kimia
as sa’adah di bawah ini
Kimia Kebahagiaan
0 komentar:
Posting Komentar