Pages

Minggu, 10 Maret 2019

Islam Nusantara, Agama Baru kah?



Islam Nusantara, Agama Baru kah?


Pembahasan terminologi Islam Nusantara baru-baru ini kian naik daun dan menjadi semakin intensif semenjak Nahdlatul Ulama menjadikan isu ini sebagai tema muktamar ke-33, di Jombang, 1-5 Agustus 2015. Beragam reaksi dari pelbagai kelompok yang membahas term Islam Nusantara menjadi perdebatan di media cetak, televisi, hingga media sosial. Bahkan, diskusi-diskusi secara intensif-secara serius maupun obrolan hangat-atau mengaji (meneguhkan jati diri)-diselenggarakan oleh berbagai lembaga, institusi atau ormas keagamaan. Penyelenggara diskusi tentang kajian Islam Nusantara tidak hanya Nahdlatul Ulama, namun mengekspansi ke beberapa organisasi yang concern dengan kajian ke-Islaman, maupun dibeberapa kampus yang memiliki konsentrasi pada isu ini.

Yang menarik pada diskusi Islam Nusantara adalah platform untuk menegaskan kembali bahwa Islam di negeri ini mengadaptasi dan mengakomodir nilai-nilai lokal yang menjadi ciri khasnya. Warisan-warisan ulama, terutama Walisongo yang telah masuk ke Nusantara pada abad XV, menjadi bagian penting dari transformasi keilmuan Islam Nusantara.

Transisi budaya Nusantara dari Budha-Hindu ke Islam, dari Sriwijaya-Majapahit ke kerajaan Islam Jawa yang ditandai dengan hadirnya Demak, merupakan pola transisi sekaligus transformasi yang menandai hadirnya Islam Nusantara. Belum lagi, ragam dan varian praktek ke-Islaman dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas hingga Pulau Rote, yang secara geostrategis terbagi dalam teritori kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Kenyataan inilah yang menjadi bagian penting dari face Islam Nusantara, yang juga mengalami dinamika perkembangan pengetahuan; dari fikih, nahwu hingga tasawuf. Ragam pengetahuan yang luar biasa selama berabad-abad inilah yang hendak direnaissance dalam format yang lebih segar sebagai khazanah pengetahuan Nusantara.

Ekspresi Islam Nusantara dihadirkan terkait dengan kenyataan bahwa, berkat berbagai dinamika tersebut, budaya Nusantara mengembangkan ciri-ciri yang khas, yakni unsur-unsur yang menekankan pada kedamaian, harmoni, silaturahim (kerukunan dan welas asih), yang sebenarnya hanya merupakan manifestasi dari inti ajaran Islam itu sendiri. Memang, kenyataan ini disumbang baik oleh budaya khas Nusantara pra-Islam maupun  oleh kenyataan bahwa Islam dihayati oleh masyarakat Muslim di negeri ini didasarkan pada wasathiyah (moderat), tawazun (keseimbangan), dan tasamuh (toleransi).

Maka, sebaliknya dari berusaha menciutkan nilai-nilai universal Islam kepada budaya lokal Nusantara, Islam (dalam bingkai budaya) Nusantara diarahkan justru demi menjadikan budaya lokal sebagai penguat pelaksanaan ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Dengan kata lain, sebaliknya dari mengorbankan inti ajaran Islam untuk budaya, aspek budaya harus disaring dengan prisma syari’at. Kenyataannya, hal ini malah senada dengan kaidah ilmu fikih, yakni Al ‘Aadah Muhakkamah (tradisi yang baik dapat ditetapkan sebagai hukum).

Sebagai contoh praktis ekspresi kultural yang khas Islam Nusantara adalah berbagai tradisi ke-Islaman khas Nusantara yang terkait dengan peringatan Idul Fitri sebagai penanda berakhirnya bulan Ramadhan dan bentuk ekpresi kegembiraan kaum muslim menyambut kemenangannya, budaya mudik yang ditradisikan sebagai sarana merajut tali silaturahim dengan keluarga dan kerabat terdekat, halal bi halal setelah berharap maghfirah-Nya pasca Ramadhan, maka saling memaafkan adalah menjadi keniscayaan, lebaran ketupat menurut satu versi istilah ketupat dibrandingkan oleh Pakubuwana IV sebagai perlambang rasa syukur sekaligus merupakan akronim dari “ngaku lepat” (bahasa jawa, mengaku salah), dan masih banyak tradisi khas Nusantara.

Namun promosi Islam Nusantara sama sekali bukanlah gejala chauvinisme atau nativisme. Kita perlu merasa membranding dan mendiseminasi Islam Nusantara sebagaimana kita harus belajar dan mengambil aspek-aspek positif ekspresi Islam dalam bingkai budaya-budaya lokal muslim lain di berbagai belahan dunia: Islam Arab, Islam Turki, Islam India, Islam Persia, Islam Cina dan lain-lain yang kesemuanya sama pentingnya dengan Islam Nusantara. Sesungguhnya kesediaan untuk saling belajar inilah yang justru menjadikan Islam kita semakin Kaffah. Mengutip ungkapan Gus Mus, “Semangatmu belajar hendaknya lebih besar dari semangatmu mengajar”.

“Dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling memahami/ saling belajar....” (Q.S. Al Hujurat: 13)
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikann-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (Q.S. Al Maidah: 48)

Dari uraian di atas, nampak bahwa Islam Nusantara bukanlah hanya menjadi milik salah satu ormas Islam, akan tetapi juga dapat sekaligus menjadi rujukan konseptual dan role model bagi organisasi-organisasi Islam yang memiliki ruh ukhuwwah Islamiyyah, Wathaniyyah, dan Basyariyyah yang mensupport dan menyokong keutuhan NKRI maupun kedamaian dunia. Aspek cinta tanah air inilah yang menjadi salah satu ciri khas dari Islam Nusantara, yang mencintai Indonesia sebagai “tanah dan air”, sebagai pintu untuk membangun peradaban dunia.
Wallahu a’lam bisshawab.

Sumber: Islam Nusantara; Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan

Untuk menambah khazanah keilmuan pembaca kami sertakan link download di bawah ini buku Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita karangan Gus Dur

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer