Pages

Sabtu, 09 Maret 2019

Menelisik Masa depan Islam Indonesia




Menelisik Masa depan Islam Indonesia

Sebenarnya dari segi jumlah, tidak ada yang harus dirisaukan tentang masa depan Islam di Indonesia. Sensus Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2010 mencatat bahwa jumlah umat Islam di negara ini berada pada angka 87,18% sebuah penurunan persentase dibanding tahun 2000 tercata 88,22 %. Ini fakta bukan sekadar manipulasi data. Tentu kondisi ini sungguh memprihatinkan setidaknya 0.94 Penduduk Muslim mengalami penurunan. Akan tetapi tidak perlu cemas membaca angka statistik ini, karena dua sayap besar umat Islam NU dan Muhammadiyah sudah sejak awal bekerja keras untuk mengembangkan sebuah Islam yang ramah terhadap siapa saja, bahkan terhadap kaum tidak beriman sekalipun, selama semua pihak saling menghormati perbedaan pandangan. Setidaknya angka statistik di atas cukup mewarning lampu kuning bagi kita untuk terus memacu dan mendiseminasi Islam Rahmah, Islam Moderat, Islam Nusantara (NU), Islam Berkemajuan (Muhammadiyah), Islam Wasathiy se antero Indonesia. Tetapi bencana bisa saja terjadi bila pemeluk agama kehilayangan daya nalar, kemudian menghakimi semua orang yang tidak sefaham dengan aliran mereka yang monolitik. Contoh dalam berbagai unit peradaban manusia tentang sikap memonopoli kebenaran ini tidak sulit dicari. Darah pun sudah banyak bertumpah akibat penghakiman segolongan orang terhadap pihak lain karena perbedaan interpretasi teks agama atau ideologi.

Dalam sejarah Islam pun, kelompok yang merasa paling tsiqah dalam keimanannya tidak sulit untuk dilacak. Jika sekadar merasa paling benar tanpa menghukum pihak lain, barangkali tidaklah terlalu berbahaya. Teringat sebuah ungkapan “Setan tidak pernah mengajarkanmu untuk berbuat benar, namun ia mengajarkan selalu merasa paling benar”. Bahaya akan muncul bilamana ada orang yang mengatasnamakan Tuhan, membingkai agama lalu menghukum dan bahkan membinasakan keyakinan yang berbeda. Dalam bacaan Buya Syafii Maarif dalam banyak kasus, Al Qur’an lebih toleran dibandingkan dengan sikap segelintir muslim yang intoleran terhadap perbedaan. Fenomena semacam ini dapat dijumpai di berbagai negara, baik di negara maju, mau pun di negara yang belum berkembang, tidak saja di dunia Islam. Apa yang biasa dikategorikan sebagai golongan fundamentalis berada dalam kategori ini. Di Amerika misalnya kita mengenal golongan fundamentalis Kristen era presiden George W.  Bush menjadi pendukung utama rezim imperialis ini. Di dunia Islam secara sporadis sejak beberapa tahun terakhir gejala fundamentalisme ini sangat dirasakan. Yang paling ekstrem di antara mereka mudah terjatuh ke dalam perangkap terorisme.

Khusus Indonesia, maraknya fundamentalisme lebih disebabkan oleh kegagalan negara dalam mewujudkan keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Korupsi yang menggurita adalah bukti dari kegagalan itu. Belum lagi praktik KKN, bagi-bagi jabatan/ kekuasaan menjadi kenyataan pahit ini. Implikasinya rakyak semakin dirugikan. Namun karena pengetahuan golongan fundamentalis ini sangat miskin tentang peta sosiologis Indonesia yang memang tidak sederhana sehingga mereka memilih jalan pintas demi teerwujudnya keadilan. Menggunakan simbol agama dalam politik pragmatis umpamanya, gerakan-gerakan yang berkedok keagamaan, dan sebagainya. Saya sangat menyayangkan cara-cara mereka bukannya tidak mendekatkan pada cita-cita mulia kemerdekaan negeri ini justru semakin menjauhkannya. Disadari atau tidak, sistem demokrasi Indonesia sama sekali belum sehat dan jika tidak segera dibenahi bisa menjadi sumber malapetaka buat sementara. Tetapi untuk jangka panjang, tidak ada pilihan lain kecuali menempuh sistem demokrasi yang sehat dan kuat, Islam moderat dan inklusif akan tetap membimbing Indonesia untuk mencapai tujuan kemerdekaan.

Silahkan simak selengkapnya penjelasan di atas dengan mendownload Buku Ilusi Negara Islam di samping ini: Ilusi Negara Islam

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer