Menelisik Masa depan Islam
Indonesia
Sebenarnya dari segi
jumlah, tidak ada yang harus dirisaukan tentang masa depan Islam di Indonesia.
Sensus Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2010 mencatat bahwa jumlah umat
Islam di negara ini berada pada angka 87,18% sebuah penurunan persentase
dibanding tahun 2000 tercata 88,22 %. Ini fakta bukan sekadar manipulasi data.
Tentu kondisi ini sungguh memprihatinkan setidaknya 0.94 Penduduk Muslim
mengalami penurunan. Akan tetapi tidak perlu cemas membaca angka statistik ini,
karena dua sayap besar umat Islam NU dan Muhammadiyah sudah sejak awal bekerja
keras untuk mengembangkan sebuah Islam yang ramah terhadap siapa saja, bahkan
terhadap kaum tidak beriman sekalipun, selama semua pihak saling menghormati
perbedaan pandangan. Setidaknya angka statistik di atas cukup mewarning lampu
kuning bagi kita untuk terus memacu dan mendiseminasi Islam Rahmah, Islam
Moderat, Islam Nusantara (NU), Islam Berkemajuan (Muhammadiyah), Islam Wasathiy
se antero Indonesia. Tetapi bencana bisa saja terjadi bila pemeluk agama
kehilayangan daya nalar, kemudian menghakimi semua orang yang tidak sefaham
dengan aliran mereka yang monolitik. Contoh dalam berbagai unit peradaban
manusia tentang sikap memonopoli kebenaran ini tidak sulit dicari. Darah pun
sudah banyak bertumpah akibat penghakiman segolongan orang terhadap pihak lain
karena perbedaan interpretasi teks agama atau ideologi.
Dalam sejarah Islam pun,
kelompok yang merasa paling tsiqah dalam keimanannya tidak sulit untuk dilacak.
Jika sekadar merasa paling benar tanpa menghukum pihak lain, barangkali
tidaklah terlalu berbahaya. Teringat sebuah ungkapan “Setan tidak pernah
mengajarkanmu untuk berbuat benar, namun ia mengajarkan selalu merasa paling
benar”. Bahaya akan muncul bilamana ada orang yang mengatasnamakan Tuhan,
membingkai agama lalu menghukum dan bahkan membinasakan keyakinan yang berbeda.
Dalam bacaan Buya Syafii Maarif dalam banyak kasus, Al Qur’an lebih toleran
dibandingkan dengan sikap segelintir muslim yang intoleran terhadap perbedaan. Fenomena
semacam ini dapat dijumpai di berbagai negara, baik di negara maju, mau pun di
negara yang belum berkembang, tidak saja di dunia Islam. Apa yang biasa
dikategorikan sebagai golongan fundamentalis berada dalam kategori ini. Di Amerika
misalnya kita mengenal golongan fundamentalis Kristen era presiden George W. Bush menjadi pendukung utama rezim imperialis
ini. Di dunia Islam secara sporadis sejak beberapa tahun terakhir gejala
fundamentalisme ini sangat dirasakan. Yang paling ekstrem di antara mereka
mudah terjatuh ke dalam perangkap terorisme.
Khusus Indonesia,
maraknya fundamentalisme lebih disebabkan oleh kegagalan negara dalam mewujudkan
keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Korupsi
yang menggurita adalah bukti dari kegagalan itu. Belum lagi praktik KKN,
bagi-bagi jabatan/ kekuasaan menjadi kenyataan pahit ini. Implikasinya rakyak
semakin dirugikan. Namun karena pengetahuan golongan fundamentalis ini sangat
miskin tentang peta sosiologis Indonesia yang memang tidak sederhana sehingga
mereka memilih jalan pintas demi teerwujudnya keadilan. Menggunakan simbol
agama dalam politik pragmatis umpamanya, gerakan-gerakan yang berkedok
keagamaan, dan sebagainya. Saya sangat menyayangkan cara-cara mereka bukannya
tidak mendekatkan pada cita-cita mulia kemerdekaan negeri ini justru semakin
menjauhkannya. Disadari atau tidak, sistem demokrasi Indonesia sama sekali
belum sehat dan jika tidak segera dibenahi bisa menjadi sumber malapetaka buat
sementara. Tetapi untuk jangka panjang, tidak ada pilihan lain kecuali menempuh
sistem demokrasi yang sehat dan kuat, Islam moderat dan inklusif akan tetap
membimbing Indonesia untuk mencapai tujuan kemerdekaan.
Silahkan simak selengkapnya
penjelasan di atas dengan mendownload Buku Ilusi Negara Islam di samping ini: Ilusi Negara Islam
0 komentar:
Posting Komentar