Pages

Jumat, 04 Oktober 2019

Musnahnya Warisan Intelektualisme Islam

 
Sumber gambar: kumparan.com
Pemahaman akliah dalam arti sempit ditemukan pada puncak tertinggi diri manusia, apa yang oleh para filsuf disebut “akal aktual (actual intellect)”. Ketika pemahaman seperti itu meninggalkan ranah akal murni dan turun ke atas pikiran dan bahasa, maka kita akan berurusan dengan pengekspresiannya, yang akan selalu menjadi tidak memadai. Sejak semula, ekspresi hanyalah pengetahuan nukilan, bukan pemahaman sebenarnya. Meskipun begitu, kita masih bisa menghargai bahwa ada perbedaan yang selalu ditegaskan antara dua macam pengetahuan itu dalam Islam dan tradisi-tradisi lain. Perbedaan inilah yang perlu saya jelaskan sebagai langkah awal. Selanjutnya saya akan mengajukan pendapat bahwa ketidaktahuan akan arti penting mendasar dari pemahaman intelektual telah menyumbang munculnya krisis-krisis yan dihadapi bukan saja oleh kaum Muslim, melainkan juga masyarakat manusia secara umum.

Tradisi intelektual Islam membidik empat tema pokok: Tuhan, alam, jiwa, manusia, dan hubungan antarpribadi. Tiga tema pertama merupakan unsur pembentuk realitas sebagaimana yang kita persepsi, sedangkan tema keempat merupakan penerapan wawasan-wawasan yang diperoleh dari mempelajari tiga tema pertama pada ranah aktivitas manusia. Tentu saja orang bisa membaca tentang semua tema ini dalam sumber-sumber pengetahuan nukilan yang otoritatif, seperti Alquran dan hadits, tetapi mengetahui semua itu untuk diri sendiri sama sekali merupakan persoalan lain. Bagi tradisi intelektual, pengetahuan nukilan memainkan peran penunjuk terhadap suatu pemahaman yang harus diaktualisasikan dan direalisasikan oleh sang pencari.

Mungkin cara terbaik untuk memahami perbedaan antara pengetahuan nukilan dan pengetahuan akliah adalah dengan merenungkan perbedaan antara “meniru” atau “mengikuti otoritas” (taqlid) dan “realisasi “ atau “verifikasi” (tahqiq) istilah-istilah yang merujuk pada dua jalur mendasar dalam memperoleh pengetahuan. Untuk menjadi anggota dari salah satu agama, budaya, masyarakat, atau kelompok, orang perlu belajar dari mereka yang sudah menjadi anggota, dan proses belajar ini berlangsung dengan cara “meniru”. Proses ini adalah cara bagaimana kita mempelajari bahasa dan budaya, belum lagi kitab suci, ritual, dan hukum. Dalam konteks Islam, orang-orang yang telah mengambil tanggungjawab untuk melestarikan warisan nukilan ini disebut sebagai para ulama, yaitu “orang-orang yang mengetahui” tradisi.

Dalam pengetahuan nukilan, pertanyaan tentang “mengapa” didorong ke sisi belakang. Ketika seseorang bertanya kepada ulama mengapa kita harus menerima sebuah dogma tertentu atau mengapa kita harus shalat atau berpuasa, maka jawaban sederhananya adalah “karena Tuhan bilang begitu”, yang berarti bahwa kita memiliki pengetahuan yang menggunakan otoritas Alquran dan Sunnah. Persis seperti oranag tua yang mengoreksi ucapan anak-anak mereka dengan menggunakan otoritas pemakaian yang berlaku atau aturan tata bahasa.

Pengetahuan intelektual sama sekali berbeda. Jika orang menerimanya atas dasar kabar atau apa kata orang, artinya ia tidak memahaminya. Matematika adalah ilmu yang tidak bergantung pada pihak otoritas. Sebaliknya ia perlu, dibangunkan dalam kesadaran seseorang. Dalam mempelajarinya, siswa harus mengerti tentang mengapa, atau kalau tidak, mereka hanya akan meniru orang lain. Tidaklah masuk akal mengatakan dua tambah dua sama dengan empat karena, “guru saya bilang begitu”. Baik anda memahaminya ataupun tidak. Anda harus menemukan kebenaran itu dalam diri anda sendiri. Para cendekiawan muslim berpendapat bahwa meniru orang lain dalam masalah-masalah intelektual adalah status pemula atau pelajar, bukan seorang pakar, namun menerima Alquran dan Nabi dalam masalah-masalah nukilan adalah mengikuti jalan yang benar.

Singkatnya, ada dua jenis utama pengetahuan dan masing-masingnya memiliki metode yang tepat untuk itu. Taqlid atau meniru merupakan cara yang tepat untuk ilmu-ilmu nukilan, sedangkan tahqiq atau realisasi adalah cara tepat untuk ilmu-ilmu akliah/ intelektual.

Peran Tradisi Intelektual

Penting untuk menekankan bahwa tidak ada agama dapat bertahan hidup, apalagi berkembang, tanpa tradisi intelektual yang hidup. Ini menjadi jelas begitu kita bertanya pada diri sendiri pertanyaan-pertanyaan berikut: Untuk apakah tradisi intelektual itu? Apa fungsi yang dimainkan dalam masyarakat? Apakah tujuannya? Dengan kata lain: Mengapa orang harus berpikir? Mengapa mereka tidak begitu saja menerima apapun yang dikatakan kepada mereka? Jawaban dasar kaum Muslim adalah bahwa orang harus berpikir karena mereka pasti berpikir, karena mereka adalah makhluk berpikir. Mereka tidak punya pilihan lain kecuali berpikir, karena Allah telah memberi mereka akal dan pikiran. Bukan hanya itu, dalam banyak ayat Alquran, Allah telah memerintahkan mereka untuk berpikir dan menggunakan akal mereka. Untuk berpikir dengan benar, seseorang harus benar-benar berpikir, yakni bahwa kesimpulan-kesimpulan harus dicapai dengan perjuangan intelektualnya sendiri, bukan melalui orang lain. Setiap guru yang berpengalaman tahu betul akan hal ini.

Dikutip dari buku “Kosmologi Islam dan Dunia Modern; Relevansi Ilmu-Ilmu Intelektualisme Islam”.

Pembaca dapat mengeksplor lebih jauh tentang tema di atas dengan mendownload pada link pdf di bawah ini

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer