Pages

Jumat, 04 Oktober 2019

Buat Apa Kita Shalat

Sumber gamabr: islam.nu.or.id


Tuhan kita berkata: Sujud dan mendekatlah (QS Al-‘Alaq [96]: 19).
Sujudnya badan kita adalah mendekatnya jiwa kita. —Jalaluddin Rumi

SAYA tulis rangkaian tulisan sederhana ini untuk beberapa tujuan:

Pertama, untuk diri saya sendiri. Umur saya hampir setengah abad saat ini. Tapi, kenikmatan dan penghayatan shalat— saya memohon ampun kepada Allah—belum benar-benar saya rasakan. Terkadang, meski rasanya saya tak pernah meragukan kewajiban melakukan shalat dan kebijaksanaan Zat yang mewajibkan syariat ini, saya bahkan bertanya-tanya: mengapa shalat demikian ditekankan dalam ajaran Islam dibanding dengan penanaman dan praktik akhlak mulia, atau aktivitas-aktivitas konkret melakukan perbaikan dan membantu orang lain di berbagai bidang kehidupan?

Kedua, saya mendapati sekelompok Muslim, termasuk di negeri kita, yang mulai kehilangan keyakinan kepada shalat sebagai suatu unsur penting dari keislaman seseorang. Orang-orang yang menyebut diri mereka liberal ini, sampai-sampai sejauh mempromosikan semacam fideisme Islam. Yakni, beragama, dalam hal ini ber-Islam, sebatas keimanan personal— dan “rasional”—tanpa ritual-ritual.

Ketiga, saya juga mendapati, di tengah kegairahan orang kota untuk bertasawuf dan mengikuti berbagai paguyuban tarekat, ada kecenderungan untuk menekankan spiritualitas tanpa ritus. Mereka, sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian orang yang anti tasawuf, merasa telah lebih mementingkan hakikat (hubungan manusia dengan Allah) daripada syariat (kewajiban-kewajiban ritual)—seolah-olah hakikat sedemikian dapat dicapai tanpa syariat. (Dan seolah-olah para sufi besar yang menjadi panutan berbagai tarekat itu tak mementingkan syariat, khususnya shalat).

Nah, saya mendapati cara yang paling efektif untuk merespons ketiga hal di atas adalah dengan menyajikan suatu rangkaian tulisan yang dapat menjelaskan hakikat dan makna shalat yang sebenarnya, lebih dari sekadar memahaminya dengan pemahaman superfisial biasa. Yakni, pemahaman yang, meski sepenuhnya bersandar pada Al-Quran dan Sunnah, bersifat rasional, intelektual, dan spiritual. Karena, meski barangkali terkadang ada juga yang mengingkari shalat semata-mata sebagai wujud sikap khâlif tudzkar (berbeda agar diingat), atau cuma malas saja, sebagian lainnya mungkin memang belum dapat memahami dan merasakan nilai dan manfaat shalat.

Dari sini, terbayanglah dalam pikiran saya bahwa buku ini, selain mengungkapkan penafsiran yang lebih menukik terhadap ritus shalat, juga menyajikan pandangan para sufi atau ‘ârif (gnostik, ahli pengetahuan ruhani atau batin), yang tak bisa dibantah kedalaman perenungan mereka. Penyajian pandangan kaum sufi atau ‘ârif ini sekaligus dapat merespons sedikitnya dua masalah yang saya sebutkan di awal tulisan ini. Yakni, memuasi keperluan personal saya, mengingat saya adalah peminat dan pengagum pemikiran para sufi seperti ini, dan mengingat para pengikut tarekat tersebut di atas tak akan dapat mengelak dari menghormati pandangan para tokoh ini (kecuali kalau mereka merasa lebih bijak dari para sufi itu). Saya menyisipkan pula pandangan Ibn Sina yang, meski seorang filosof yang rasional, dikenal pula dengan kecenderungan sufistik atau ‘irfaninya.

Dengan mengungkapkan pemahaman seperti ini, diharapkan bukan saja kita akan dapat menangkap dengan lebih baik hakikat dan makna shalat, kita dapat juga menginternalisasikan perenungan kaum sufi dan ‘ârif tersebut di dalam diri kita agar kita benar-benar dapat mengalami pertemuan dengan Allah Swt. lewat ibadah yang satu ini. Karena, bukankah pertemuan dengan Allah inilah yang menjadi tujuan puncak pelaksanaan shalat, dan juga puncak dari upaya mujâhadah kaum sufi dan ‘ârif ini? Saya sendiri, ketika menuliskannya, merasa mendapatkan tambatan yang kuat, dalam pemikiran dan pandangan kaum sufi ini, bagi upaya untuk dapat melakukan shalat dengan khusyuk atau dengan kehadiran hati, mengingat—seperti akan dibahas di dalam salah satu tulisan dalam buku ini juga—kekhusyukan merupakan syarat bagi shalat yang sesungguhnya.

Namun, jika boleh, baiklah saya sampaikan di sini sedikit peringatan—saya enggan untuk menyebutnya nasihat—yang saya petik dari pengalaman saya sendiri. Betapapun secara mental dan spiritual kita telah mampu sedikit banyak memahami hakikat dan nilai shalat, tetap saja suatu disiplin yang kuat diperlukan untuk ini. Karena, di samping kemampuan pikiran dan ruhani kita untuk menyugesti tindakan, ada juga kekuatan lain—biasa disebut sebagai dorongan keburukan atau bisikan setan—yang akan menghalang-halangi sugesti itu untuk terwujud dalam kenyataan. Disiplin inilah yang perlu terus diasah dan dilatih agar pada akhirnya jiwa kita benar-benar dapat menaklukkan kecenderungan untuk tidak menjalankan ajaran dari Sang Mahabijak ini. Inilah yang dalam tasawuf disebut sebagai riyâdhah atau tarbiyah nafsiyyah (latihan atau pendidikan kejiwaan).

Mudah-mudahan, dengan pemahaman yang benar, niat yang kuat, dan disiplin yang merupakan buah dari latihan-latihan yang keras, Allah akan mengaruniakan kepada kita penghayatan dan kenikmatan shalat, dan berbagi manfaat yang dapat kita peroleh darinya.

Sumber: Kata pengantar buku “Buat Apa Shalat” karya Haidar Bagir

Pembaca dapat mengunduh versi luring (offline) pada link pdf di bawah ini

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer