Pages

Sabtu, 05 Oktober 2019

Serdadu Belanda di Indonesia


 
Sumber gambar: tirto.id
Berdamai dengan Masa Lalu yang ‘Kelam’

Sejarah pada dasarnya adalah ingatan atau memori. Meskipun definisi generik dari sejarah adalah semua hal yang terjadi di masa lampau, namun sejarah yang tersajikan pada saat sekarang dalam berbagai format rekonstruksi adalah sejarah yang diingat atau berusaha diingat untuk alasan tertentu. Sementara peristiwa atau hal-hal yang tidak ada dalam catatan sejarah bisa dikatakan merupakan masa lalu yang dilupakan atau terlupakan. Ada banyak alasan mengapa sebuah masa lalu diingat atau dilupakan; sebagian besar biasanya ditentukan oleh kebutuhan masa sekarang dan masa yang akan datang. Untuk itulah sejarah ditulis oleh para sejarawan. Namun realitas kehidupan manusia sangat kompleks, dan kemampuan serta kebutuhan untuk mengingat atau melupakan masa lampau seringkali dibatasi oleh persoalan teknis dan alamiah tetapi juga oleh kepentingan masing-masing individu. Kebutuhan individu untuk memelihara ingatan bisa sangat berbeda dengan kebutuhan kolektif masyarakat atau negara. Demikian sebaliknya, sekalipun negara berusaha mengontrol ingatan individu atau masyarakat, seberapapun kuatnya upaya tersebut, pasti hasilnya bersifat sementara dan relatif. Akan selalu ada memori individu yang tercecer, berbeda, dan berdiri sendiri. Terlebih jika itu menyangkut peristiwa atau periode tertentu yang dialami secara kolektif, yang upaya untuk mengingatnya berusaha dimonopoli dan dikendalikan oleh kekuasaan negara karena alasan politis.

Buku ini merupakan contoh dari ‘politik memori’ tersebut. Ia menampilkan ingatan dan pengakuan ‘jujur’ dari individu-individu di Belanda yang pernah terlibat perang di Indonesia pada tahun 1945-1949, yang secara umum menunjukkan nuansa berbeda dengan narasi sejarah yang dipromosikan oleh pemerintah Belanda selama setidaknya empat dekade terakhir. Meskipun Belanda ‘berbagi’ sejarah kolonial yang panjang dengan Indonesia, namun periode 1945-1949 menjadi episode sejarah yang paling ‘panas dan emosional’ di Belanda (juga di Indonesia) dan hingga saat ini masih menjadi perdebatan akademik maupun politis di sana. Pokok perdebatan terpusat pada pertanyaan apakah memang telah terjadi kekerasan yang berlebihan atau kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda terhadap penduduk Indonesia – utamanya penduduk sipil, selama berlangsungnya operasi militer pada periode tersebut. Selain itu, pertanyaan tersebut juga menjadi sangat politis karena terkait gugatan akan keabsahan perang tersebut yang secara langsung terkait posisi politik dan pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia, dan hubungan bilateral Belanda dan Indonesia kemudian hari. Pertanyaan tersebut, kiranya belakangan menjadi semakin kencang diajukan oleh publik Belanda setelah menguatnya kesadaran mereka akan Hak Asasi Manusia (HAM), dan keinginan Belanda untuk mencitrakan dirinya sebagai negara pelopor HAM di dunia. Pertama-tama harus ditekankan bahwa buku ini adalah sebuah karya ilmiah yang dihasilkan melalui proses kerja sistematis dengan metodologi yang jelas berlandaskan semangat akademis. Penulisnya, Prof. Gert Oostindie adalah direktur KITLV sekaligus profesor sejarah Belanda kolonial dan poskolonial di Universitas Leiden. Sebagai karya akademik buku ini memang terasa ‘berat’ meskipun menyajikan analisis yang cermat dan hati-hati, dengan bahasa tutur yang mengalir. Sumber utamanya adalah kesaksian para veteran perang yang berusaha merekam dan mewariskan ingatannya melalui apa yang disebut penulis buku ini sebagai dokumen ego (ego document), yaitu: buku catatan harian, surat menyurat dengan keluarga dan kolega, memoar, biografi, dan rekaman wawancara. Sebagaimana dijelaskan penulis, mereka umumnya adalah bekas tentara wajib militer – bukan militer profesional, yang ‘terpaksa’ harus ikut berperang karena keinginan sendiri, terbujuk propaganda, perintah, atau bahkan ancaman dari negaranya, sehingga memiliki ingatan dan penilaian yang berbeda dengan kelompok tentara lainnya. Tercatat ada 659 judul korpus dokumen yang ditulis oleh/tentang 1.362 orang digunakan sebagai sumber utama penulisan buku ini; sebuah jumlah yang relatif ‘kecil’ dibandingkan jumlah total veteran yang ikut perang di Indonesia. Meskipun penulis mengakui sumber tersebut tidak bisa mewakili pandangan para veteran Belanda secara keseluruhan, namun kesaksian dalam dokumen ego tersebut bisa membantu memberikan informasi alternatif tentang apa yang sebenarnya terjadi di lapangan selama periode yang kompleks tersebut.

Sudah barang tentu penerbitan buku ini dalam versi bahasa Indonesia patut disambut gembira. Pertama-tama, karena buku ini menceritakan secara tidak langsung tentang realitas historis yang terjadi di Indonesia melalui kaca mata para veteran perang Belanda yang bisa jadi belum banyak tersaji dalam historiografi Indonesia. Selain itu, buku ini juga memperkenalkan perkembangan dan perdebatan mutakhir tentang historiografi perang tahun 1945-1949 di Belanda. Memang harus diakui bahwa perkembangan historiografi dan perdebatan akademik di Belanda dan di Indonesia tentang periode ini, hampir bisa dikatakan berjalan sendiri-sendiri dan relatif jarang sekali ‘bertemu’ atau ‘dipertemukan’. Tidak seperti periode sejarah kolonial lainnya, yang mana perbincangan akademik di antara para peneliti Belanda dan Indonesia berjalan cukup intensif, dan karyakarya akademik dari kedua belah pihak relatif cukup saling dikenali, terutama karya-karya akademisi Belanda yang sudah banyak dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Informasi tentang perdebatan historiografis di Belanda tentang periode ini tidak banyak diikuti oleh banyak sejarawan dan masyarakat peminat sejarah di Indonesia, kecuali oleh segelintir orang melalui diskusi terbatas mereka di surat kabar, blog, atau media sosial.

Dalam bab Pendahuluan, misalnya, penulis menguraikan posisi buku ini dalam perdebatan historiografis mutakhir di Belanda, sebagai upaya lebih lanjut untuk merevisi Excessennota yang terbit pertama kali pada tahun 1969. Buku terakhir dianggap oleh banyak pihak merupakan ‘buku putih’ resmi Pemerintah Kerajaan Belanda tentang dampak dari operasi militer Belanda di Indonesia pada periode 1945-1950. Buku tersebut menyebutkan 110 kasus kekerasan yang dilakukan tentara Belanda terhadap para pejuang dan penduduk sipil Indonesia. Menurut buku ini, kekerasan tersebut merupakan ‘ekses’ semata, sebagai kejadian yang tidak disengaja, yang dilakukan oleh individu-individu tentara Belanda (bukan karena perintah atau strategi resmi atasan atau kesatuannya), dan terjadi secara insidental. Selama lebih dari seperempat abad lamanya, versi sejarah resmi ini relatif tidak mendapatkan ‘penentangan’ dari versi alternatif walaupun diskusi publik dan polemik tentang perang tersebut terus berlangsung di berbagai media, forum, dan dalam parlemen Belanda. Buku karya J.A.A. van Doorn dan W.J. Hendrix, Ontsporing van Geweld3  yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1970 menjadi satu-satunya pengecualian karena menawarkan penjelasan berbeda.

Baru pada kurun lima tahun terakhir, Excessennota mendapatkan bantahan serius oleh generasi baru sejarawan Belanda. Dua di antaranya yang terbaru adalah karya Louis Zweers dan Rémy Limpach. Louis Zweers dalam disertasinya ‘De Gecensureerde Oorlog’ yang dipertahankan pada akhir 2013 berpendapat bahwa Pemerintah Belanda telah menutup-nutupi banyak hal, terutama tentang aksi kekerasan dan ‘kejahatan perang’ yang dilakukan tentaranya terhadap pejuang dan penduduk Indonesia selama perang 1945-1949. Sementara itu, Rémy Limpach dalam disertasinya ‘De Brandende Kampongs van Generaal Spoor’ menegaskan bantahannya terhadap Excessennota bahwa kekerasan yang dilakukan tentara Belanda tersebut pada dasarnya bersifat ‘struktural’ dan bukan semata-mata ekses belaka. Entah kebetulan atau tidak karya-karya baru tersebut muncul setelah kasus Rawagede dan Westerling berhasil dibawa ke pengadilan Belanda pada tahun 2011 dan 2012, yang berhasil ‘memaksa’ Pemerintah Belanda untuk mengeluarkan permohonan maaf dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban kedua peristiwa kekerasan tersebut. Buku yang ada di hadapan pembaca ini merupakan langkah progresif berikutnya dari ‘historiografi revisionist’ tersebut, dengan menampilkan kesaksian dari para pelaku sejarah periode tersebut.

Selain menyajikan diskusi historiografis, buku ini juga menawarkan sejumlah fakta dan penjelasan menarik tentang kompleksitas latar belakang dan kondisi tentara Belanda sebelum, selama, dan sesudah dikirim ke Indonesia, yang mungkin belum banyak diketahui masyarakat Indonesia. Dari segi komposisi misalnya, ternyata dari total 220.000 tentara yang dikerahkan Pemerintah Belanda selama perang, 160.000 di antaranya adalah orang Belanda dan 60.000 sisanya adalah tentara KNIL rekrutan lokal dari berbagai etnis, utamanya Ambon, Minahasa, Jawa, dan sebagainya. Dari 160.000 tentara Belanda tersebut, sekitar 100.000 orang merupakan tentara wajib militer, 50.000 sukarelawan perang, dan hanya 1.000 orang tentara profesional. Dari sisi usia, para tentara wajib militer dan sukarelawan tersebut rata-rata adalah anak-anak muda berusia 20 tahunan, yang sebagian besar bahkan belum pernah memperoleh pelatihan militer dan pengalaman bepergian jauh dari tempat kelahirannya. Mereka memiliki pengetahuan yang sangat minim tentang Indonesia, tentang masyarakat dan budayanya, dan tentang kondisi sebenarnya di Indonesia saat itu; sementara pembekalan militer yang mereka peroleh sebelum berangkat sangat jauh dari mencukupi. Mereka sebagian besar memiliki motivasi dan misi yang ‘naif’ – sebagian karena propaganda pemerintahnya: bahwa tujuan utama mereka ke ‘Hindia Belanda’ adalah untuk membebaskannya dari Fasisme Jepang dan kemudian menegakkan keamanan dan ketertiban, melindungi penduduknya dari ‘para pengacau’. Mereka tidak memiliki bayangan bahwa mereka akan menghadapi resistensi sengit dari pemuda, pejuang, dan tentara Indonesia. Kondisi ini tentu berpengaruh besar terhadap apa yang terjadi dan apa yang mereka lakukan di medan pertempuran nantinya.

Bagian terpenting dari buku ini tentunya adalah diskusi tentang kekerasan eksesif atau kejahatan perang yang terjadi pada periode konflik tersebut. Sebagai karya ilmiah, buku ini tentu saja tidak lagi ingin terjebak pada pertanyaan lama yang memperdebatkan secara emosional ada dan tidaknya perbuatan tersebut. Penulis secara tegas, mengakui adanya berbagai kekerasan eksesif yang dilakukan tentara Belanda tersebut, namun ia ingin menjawab pertanyaan yang lebih lanjut ‘mengapa dan dalam kondisi apa perbuatan dan aksi tersebut bisa terjadi’. Tujuannya bukanlah untuk mencari apologi atau pembenaran, namun lebih pada upaya untuk memahami dan mencari penjelasan yang lebih baik tentang proses historis yang melatari terjadinya rangkaian kekerasan eksesif tersebut. Untuk tujuan itulah, maka buku ini menampilkan kutipan langsung dari korpus-korpus dokumen ego yang berisi kesaksian ‘para pelaku’ tersebut. Tentu saja, isinya sangat subyektif dan sepenuhnya menunjukkan sudut pandang mereka, dan barangkali bagi sebagian besar pembaca dan masyarakat Indonesia akan sedikit mengguncangkan. Tapi justru di situlah daya tarik buku ini, karena berusaha menunjukan secara ‘jujur’ perasaan, emosi, dan refleksi (sebagian) tentara Belanda, terhadap peristiwa-peristiwa buruk yang mereka alami. Bisa dikatakan sangat jarang sekali ditemukan, terlebih untuk konteks Indonesia sendiri, sumber-sumber sejarah yang mengungkapkan perspektif dari ‘pelaku peristiwa kekerasan’.

Tentang kekerasan eksesif atau kejahatan perang yang terjadi, melalui sumber tersebut, penulis menemukan adanya 779 laporan kekerasan – jauh di atas laporan Excessennota. Menurut penulis kekerasan tersebut bisa dikelompokkan menjadi enam kategori, yaitu 1. kejahatan individual di luar konteks militer, 2. kekerasan menggunakan senjata mesin, artileri, dan serangan udara, 3. kekerasan selama patroli dan pengawasan, 4. kekerasan yang terkait pekerjaan intelijen, 5. Kekerasan akibat operasi khusus, dan 6. kekerasan jenis lainnya, meliputi kelalaian, intimidasi, vandalisme, dan penggunaan amunisi ilegal. Menurut pengakuan penyusun dokumen ego tersebut, kekerasan tersebut seringkali terjadi karena mereka terjebak pada situasi mendesak, pada lingkaran kekerasan atau ‘perangkap kekerasan’ sehingga prinsip better safe than sorry, kill or to be killed, menjadi pilihan satu-satunya. Selain itu, seringkali juga aksi kekerasan eksesif dilakukan sebagian mereka, sebagai balas dendam atas apa yang dilakukan para pejuang, pemuda milisi atau tentara TNI (sebelumnya BKR, lalu TRI) kepada penduduk sipil Belanda selama periode Bersiap (akhir 1945 hingga akhir 1946) dan kepada teman-teman mereka sesama militer. Di sini, sebagaimana ditekankan penulis buku ini, kesaksian yang disampaikan para veteran tersebut ingin menunjukkan bahwa mereka berada dalam posisi defensif, bukan ofensif, sehingga apa yang dilakukan adalah keterpaksaan (yang tentu saja belum tentu benar adanya).

Dari sudut pandang militer, sejumlah sejarawan menilai bahwa konflik bersenjata antara Belanda dan Indonesia pada tahun 1945-1949 adalah perang asimetris (asymetric warfare), sebuah perang yang tidak berimbang, terutama dari sisi persenjataan. Belanda menggunakan persenjataan modern, sementara pihak Indonesia lebih banyak menggunakan senjata tradisional ditambah sedikit senjata modern hasil rampasan dari Jepang. Dalam keadaan timpang tersebut, bisa dipahami jika pejuang dan tentara Indonesia menggunakan strategi perang gerilya yang membingungkan dan menyulitkan tentara Belanda. Akibatnya, aksi kekerasan terhadap penduduk sipil seringkali tidak terhindarkan, karena pihak Belanda kebingungan untuk menentukan siapa ‘musuh’ sebenarnya. Pada sisi yang lain, di kubu Indonesia sendiri terdapat beragam kelompok milisi dan organisasi semi-militer yang tidak jarang saling berselisih satu dengan lainnya (karena faktor ideologis tapi juga pragmatis) dan seringkali melakukan inisiatif sendiri tanpa berkonsultasi dengan tentara profesional Indonesia, yang saat itu jumlahnya masih terbatas. Kondisi tersebut pada akhirnya menciptakan lingkaran kekerasan berlapis, tidak hanya kekerasan antara tentara Belanda (Inggris dan sekutu) dengan pejuang dan tentara Indonesia, tetapi juga kekerasan antar kelompok di Indonesia, seperti dalam kasus Peristiwa Madiun 1948 dan sejumlah ‘revolusi sosial’ lainnya.

Dalam konteks kekerasan eksesif tentara Belanda, penulis menggarisbawahi adanya kebencian rasial dan etnosentrisme yang ikut bermain dalam setiap peristiwa kekerasan. Kebencian rasial tergambar dalam ungkapan kemarahan, dendam, ketakutan, dan frustrasi mereka yang terbaca secara gamblang dan vulgar dalam kutipan-kutipan yang tersaji. Mereka menganggap pihak Indonesia sering menyalahi kesepakatan damai, dan mereka melakukan berbagai bentuk kekerasan yang tidak dikenal dalam budaya Barat mereka. Dalam kaitan itu, pandangan etnosentrisme terbaca dengan kuat dalam pandangan mereka bahwa pelaku kekerasan eksesif seringkali dilakukan oleh tentara KNIL rekrutan lokal, bukan oleh tentara wajib militer Belanda, karena mereka pada dasarnya sudah terbiasa dengan ‘kondisi dan cara lokal’. Meskipun tidak sepenuhnya bisa dipercaya, demikian menurut penulis, namun banyak dokumen ego menyebutkan bahwa tentara-tentara KNIL adalah pelaku utama kekerasan eksesif. Mereka selalu berada di front paling depan untuk menghadapi gerilya tentara Indonesia, dan mereka sering digunakan dalam interogasi, penyiksaan dan eksekusi, termasuk dalam kejahatan perang skala besar yang dilakukan pasukan khusus pimpinan Kapten Westerling di Sulawesi Selatan.

Selain memori kelam yang penuh emosi tentang ‘perang jahanam tersebut’, buku ini juga menampilkan aspek dan sisi lain dari ingatan perang para veteran tersebut yang lebih ‘manusiawi’. Selain perasaan dan pandangan negatif tentang lawannya, sebagian dari mereka juga menunjukkan kenangan yang positif tentang Indonesia: kekaguman akan keindahan alamnya, keramahan penduduknya, kelezatan makanannya, dan bahkan penghormatan akan kegigihan semangat juang tentara Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan negerinya. Bab 9 tentang kehidupan tentara, bahkan menunjukkan adanya hubungan pribadi sejumlah tentara dengan para perempuan Indonesia – meskipun banyak pula yang bernuansa negatif. Pertemanan tidak jarang ditunjukan oleh sebagian mereka dengan tentara Indonesia, terutama setelah gencatan senjata. Mereka sadar bahwa perang tidak dinginkan oleh kedua belah pihak, dan mereka menyalahkan para politisi di belakang meja, yang seringkali memutuskan sesuatu tanpa mempedulikan perasaan dan kondisi mereka di medan pertempuran. Kekecewaan tersebut semakin kuat terutama setelah kembali ke tanah airnya, setelah sedikit basa-basi penyambutan, mereka dihujani dengan kritik dan bahkan tuduhan bahwa mereka telah melakukan kejahatan kemanusiaan dalam perang yang seharusnya tidak terjadi, dan tidak akan pernah dimenangkannya. Kondisi itulah yang menyebabkan mereka merasa ‘berada di sisi sejarah yang salah’.

Lalu kira-kira apa makna kehadiran buku ini bagi masyarakat Indonesia? Tentu sebagamana disinggung di awal, pertama-tama buku ini merupakan pengantar yang baik untuk memperkenalkan perkembangan historiografis di Belanda dan perdebatan mereka tentang sejarah dekolonisasinya di Indonesia. Pada sisi yang lain, barangkali buku ini juga bisa menimbulkan kesan yang menegaskan kebenaran narasi nasionalistik historiografi Indonesia selama ini bahwa tentara Belanda memang telah melakukan kejahatan perang di Indonesia.
Namun menurut hemat kami, kesan seperti itu sebaiknya disimpan saja. Akan lebih produktif untuk memandang kehadiran buku ini, terutama bagi para sejarawan Indonesia, sebagai undangan – jika bukan tantangan – untuk meneliti kembali periode perang kemerdekaan tahun 1945-1949 yang belakangan minatnya cenderung menurun. Buku ini bisa menjadi contoh bagaimana realitasrealitas kekerasan di masa lampau coba difahami secara ‘dingin’ dan kritis. Buku ini hanya menampilkan satu sisi persepsi saja, hanya dari pihak tentara wajib militer Belanda, tentu akan sangat dibutuhkan perspektif tentara Indonesia untuk mengimbangi atau melengkapinya. Oleh karena itu, sejarawan Indonesia juga perlu segera melakukan pengumpulan dan kemudian penilaian dokumen ego dari para veteran Indonesia sebagaimana yang dilakukan penulis buku ini. Kita juga punya cukup banyak biografi, memoar, dan hasil wawancara sejarah lisan tentang periode tersebut dan tentunya arsip yang kaya di sejumlah lokasi dan lembaga kearsipan. Kiranya, usaha seperti itu harus segera dilakukan sehubungan dengan semakin berkurangnya jumlah pelaku sejarah dari periode ini yang masih bisa ditemui dalam masyarakat kita.

Selain itu, buku ini juga bisa menjadi cermin untuk melihat ‘celah’ dan ‘ruang kosong’ yang ada dalam historiografi perang kemerdekaan kita selama ini. Kami bayangkan, pembaca Indonesia dan khususnya sejarawan dan peminat sejarah, akan menemukan banyak poin yang mengejutkan atas ‘tuduhan’ yang disampaikan dalam dokumen ego tersebut, terutama menyangkut aksi-aksi kekerasan yang katanya juga dilakukan pejuang, pemuda, dan tentara Indonesia. Tentunya hal ini perlu diklarifikasi lebih lanjut, apakah memang itu cuma ekspresi emosional dan tuduhan ‘ngawur’ mereka semata ataukah memang historis adanya. Tak kalah penting adalah aspek-aspek humanis yang secara langsung maupun tidak langsung dimunculkan oleh buku ini, kiranya bisa diteliti lebih lanjut. Bagaimana, misalnya, masyarakat Indonesia pada waktu itu menjalani hidupnya sehari-hari, bekerja mencari sesuap nasi di tengah suasana perang, bagaimana relasi sebagian di antara mereka dengan para tentara Belanda termasuk di lokalisasi pelacuran, dan seterusnya. Pendek kata, buku ini bisa mengingatkan kita semua bahwa periode perang kemerdekaan masih menyisakan banyak agenda riset bagi penelitian lanjutan. Secara teoretik, buku ini juga menunjukkan bahwa sejarah bukanlah sebuah titik, ia adalah sebuah koma dalam kalimat panjang yang belum selesai, dan memang sebaiknya jangan pernah dianggap selesai. Pengkajian ulang, penelitian kembali, dan pemaknaan baru harus selalu dilakukan karena itu merupakan kebutuhan kita pada masa sekarang, sebagai salah satu cara untuk mempersiapkan masa depan kita semua yang lebih baik.

(Sumber: Kata Pengantar oleh Dr. Abdul Wahid, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu  Budaya, Universitas Gadjah Mada dalam buku “Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950; Kesaksian perang pada sisi sejarah yang salah”)

Agar pembaca dapat mengulas lebih jauh, kami sajikan versi luring (offline) pada link pdf di bawah ini



0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer