Berdamai dengan Masa Lalu
yang ‘Kelam’
Sejarah
pada dasarnya adalah ingatan atau memori. Meskipun definisi generik dari sejarah
adalah semua hal yang terjadi di masa lampau, namun sejarah yang tersajikan
pada saat sekarang dalam berbagai format rekonstruksi adalah sejarah yang
diingat atau berusaha diingat untuk alasan tertentu. Sementara peristiwa atau
hal-hal yang tidak ada dalam catatan sejarah bisa dikatakan merupakan masa lalu
yang dilupakan atau terlupakan. Ada banyak alasan mengapa sebuah masa lalu
diingat atau dilupakan; sebagian besar biasanya ditentukan oleh kebutuhan masa
sekarang dan masa yang akan datang. Untuk itulah sejarah ditulis oleh para
sejarawan. Namun realitas kehidupan manusia sangat kompleks, dan kemampuan
serta kebutuhan untuk mengingat atau melupakan masa lampau seringkali dibatasi
oleh persoalan teknis dan alamiah tetapi juga oleh kepentingan masing-masing
individu. Kebutuhan individu untuk memelihara ingatan bisa sangat berbeda
dengan kebutuhan kolektif masyarakat atau negara. Demikian sebaliknya,
sekalipun negara berusaha mengontrol ingatan individu atau masyarakat,
seberapapun kuatnya upaya tersebut, pasti hasilnya bersifat sementara dan
relatif. Akan selalu ada memori individu yang tercecer, berbeda, dan berdiri
sendiri. Terlebih jika itu menyangkut peristiwa atau periode tertentu yang
dialami secara kolektif, yang upaya untuk mengingatnya berusaha dimonopoli dan
dikendalikan oleh kekuasaan negara karena alasan politis.
Buku
ini merupakan contoh dari ‘politik memori’ tersebut. Ia menampilkan ingatan dan
pengakuan ‘jujur’ dari individu-individu di Belanda yang pernah terlibat perang di
Indonesia pada tahun 1945-1949, yang secara umum menunjukkan nuansa berbeda
dengan narasi sejarah yang dipromosikan oleh pemerintah Belanda selama
setidaknya empat dekade terakhir. Meskipun Belanda ‘berbagi’ sejarah kolonial
yang panjang dengan Indonesia, namun periode 1945-1949 menjadi episode sejarah
yang paling ‘panas dan emosional’ di Belanda (juga di Indonesia) dan hingga
saat ini masih menjadi perdebatan akademik maupun politis di sana. Pokok
perdebatan terpusat pada pertanyaan apakah memang telah terjadi kekerasan yang
berlebihan atau kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda terhadap
penduduk Indonesia – utamanya penduduk sipil, selama berlangsungnya operasi
militer pada periode tersebut. Selain itu, pertanyaan tersebut juga menjadi
sangat politis karena terkait gugatan akan keabsahan perang tersebut yang
secara langsung terkait posisi politik dan pengakuan Belanda terhadap
kemerdekaan Indonesia, dan hubungan bilateral Belanda dan Indonesia kemudian
hari. Pertanyaan tersebut, kiranya belakangan menjadi semakin kencang diajukan
oleh publik Belanda setelah menguatnya kesadaran mereka akan Hak Asasi Manusia
(HAM), dan keinginan Belanda untuk mencitrakan dirinya sebagai negara pelopor
HAM di dunia. Pertama-tama harus ditekankan bahwa buku ini adalah sebuah karya
ilmiah yang dihasilkan melalui proses kerja sistematis dengan metodologi yang
jelas berlandaskan semangat akademis. Penulisnya, Prof. Gert Oostindie adalah
direktur KITLV sekaligus profesor sejarah Belanda kolonial dan poskolonial di
Universitas Leiden. Sebagai karya akademik buku ini memang terasa ‘berat’
meskipun menyajikan analisis yang cermat dan hati-hati, dengan bahasa tutur
yang mengalir. Sumber utamanya adalah kesaksian para veteran perang yang
berusaha merekam dan mewariskan ingatannya melalui apa yang disebut penulis
buku ini sebagai dokumen ego (ego
document), yaitu: buku catatan harian, surat menyurat dengan keluarga dan
kolega, memoar, biografi, dan rekaman wawancara. Sebagaimana dijelaskan penulis,
mereka umumnya adalah bekas tentara wajib militer – bukan militer profesional,
yang ‘terpaksa’ harus ikut berperang karena keinginan sendiri, terbujuk
propaganda, perintah, atau bahkan ancaman dari negaranya, sehingga memiliki
ingatan dan penilaian yang berbeda dengan kelompok tentara lainnya. Tercatat
ada 659 judul korpus dokumen yang ditulis oleh/tentang 1.362 orang digunakan
sebagai sumber utama penulisan buku ini; sebuah jumlah yang relatif ‘kecil’
dibandingkan jumlah total veteran yang ikut perang di Indonesia. Meskipun
penulis mengakui sumber tersebut tidak bisa mewakili pandangan para veteran
Belanda secara keseluruhan, namun kesaksian dalam dokumen ego tersebut bisa
membantu memberikan informasi alternatif tentang apa yang sebenarnya terjadi di
lapangan selama periode yang kompleks tersebut.
Sudah barang tentu penerbitan buku ini dalam versi
bahasa Indonesia patut disambut gembira. Pertama-tama, karena buku ini
menceritakan secara tidak langsung tentang realitas historis yang terjadi di
Indonesia melalui kaca mata para veteran perang Belanda yang bisa jadi belum
banyak tersaji dalam historiografi Indonesia. Selain itu, buku ini juga
memperkenalkan perkembangan dan perdebatan mutakhir tentang historiografi perang
tahun 1945-1949 di Belanda. Memang harus diakui bahwa perkembangan historiografi
dan perdebatan akademik di Belanda dan di Indonesia tentang periode ini, hampir
bisa dikatakan berjalan sendiri-sendiri dan relatif jarang sekali ‘bertemu’
atau ‘dipertemukan’. Tidak seperti periode sejarah kolonial lainnya, yang mana
perbincangan akademik di antara para peneliti Belanda dan Indonesia berjalan
cukup intensif, dan karyakarya akademik dari kedua belah pihak relatif cukup
saling dikenali, terutama karya-karya akademisi Belanda yang sudah banyak
dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Informasi tentang perdebatan
historiografis di Belanda tentang periode ini tidak banyak diikuti oleh banyak
sejarawan dan masyarakat peminat sejarah di Indonesia, kecuali oleh segelintir
orang melalui diskusi terbatas mereka di surat kabar, blog, atau media sosial.
Dalam bab Pendahuluan, misalnya, penulis menguraikan
posisi buku ini dalam perdebatan historiografis mutakhir di Belanda, sebagai
upaya lebih lanjut untuk merevisi Excessennota
yang terbit pertama kali pada tahun 1969. Buku terakhir dianggap oleh banyak
pihak merupakan ‘buku putih’ resmi Pemerintah Kerajaan Belanda tentang dampak
dari operasi militer Belanda di Indonesia pada periode 1945-1950. Buku tersebut
menyebutkan 110 kasus kekerasan yang dilakukan tentara Belanda terhadap para
pejuang dan penduduk sipil Indonesia. Menurut buku ini, kekerasan tersebut
merupakan ‘ekses’ semata, sebagai kejadian yang tidak disengaja, yang dilakukan
oleh individu-individu tentara Belanda (bukan karena perintah atau strategi
resmi atasan atau kesatuannya), dan terjadi secara insidental. Selama lebih
dari seperempat abad lamanya, versi sejarah resmi ini relatif tidak mendapatkan
‘penentangan’ dari versi alternatif walaupun diskusi publik dan polemik tentang
perang tersebut terus berlangsung di berbagai media, forum, dan dalam parlemen
Belanda. Buku karya J.A.A. van Doorn dan W.J. Hendrix, Ontsporing van
Geweld3 yang diterbitkan pertama kali
pada tahun 1970 menjadi satu-satunya pengecualian karena menawarkan penjelasan
berbeda.
Baru pada kurun lima tahun terakhir, Excessennota mendapatkan bantahan serius
oleh generasi baru sejarawan Belanda. Dua di antaranya yang terbaru adalah
karya Louis Zweers dan Rémy Limpach. Louis Zweers dalam disertasinya ‘De Gecensureerde
Oorlog’ yang dipertahankan pada akhir 2013 berpendapat bahwa Pemerintah Belanda
telah menutup-nutupi banyak hal, terutama tentang aksi kekerasan dan ‘kejahatan
perang’ yang dilakukan tentaranya terhadap pejuang dan penduduk Indonesia
selama perang 1945-1949. Sementara itu, Rémy Limpach dalam disertasinya ‘De Brandende Kampongs van Generaal Spoor’
menegaskan bantahannya terhadap Excessennota
bahwa kekerasan yang dilakukan tentara Belanda tersebut pada dasarnya
bersifat ‘struktural’ dan bukan semata-mata ekses belaka. Entah kebetulan atau
tidak karya-karya baru tersebut muncul setelah kasus Rawagede dan Westerling
berhasil dibawa ke pengadilan Belanda pada tahun 2011 dan 2012, yang berhasil
‘memaksa’ Pemerintah Belanda untuk mengeluarkan permohonan maaf dan memberikan
kompensasi kepada keluarga korban kedua peristiwa kekerasan tersebut. Buku yang
ada di hadapan pembaca ini merupakan langkah progresif berikutnya dari
‘historiografi revisionist’ tersebut, dengan menampilkan kesaksian dari para pelaku
sejarah periode tersebut.
Selain menyajikan diskusi historiografis, buku ini juga
menawarkan sejumlah fakta dan penjelasan menarik tentang kompleksitas latar
belakang dan kondisi tentara Belanda sebelum, selama, dan sesudah dikirim ke
Indonesia, yang mungkin belum banyak diketahui masyarakat Indonesia. Dari segi
komposisi misalnya, ternyata dari total 220.000 tentara yang dikerahkan
Pemerintah Belanda selama perang, 160.000 di antaranya adalah orang Belanda dan
60.000 sisanya adalah tentara KNIL rekrutan lokal dari berbagai etnis, utamanya
Ambon, Minahasa, Jawa, dan sebagainya. Dari 160.000 tentara Belanda tersebut,
sekitar 100.000 orang merupakan tentara wajib militer, 50.000 sukarelawan
perang, dan hanya 1.000 orang tentara profesional. Dari sisi usia, para tentara
wajib militer dan sukarelawan tersebut rata-rata adalah anak-anak muda berusia
20 tahunan, yang sebagian besar bahkan belum pernah memperoleh pelatihan
militer dan pengalaman bepergian jauh dari tempat kelahirannya. Mereka memiliki
pengetahuan yang sangat minim tentang Indonesia, tentang masyarakat dan
budayanya, dan tentang kondisi sebenarnya di Indonesia saat itu; sementara
pembekalan militer yang mereka peroleh sebelum berangkat sangat jauh dari
mencukupi. Mereka sebagian besar memiliki motivasi dan misi yang ‘naif’ –
sebagian karena propaganda pemerintahnya: bahwa tujuan utama mereka ke ‘Hindia
Belanda’ adalah untuk membebaskannya dari Fasisme Jepang dan kemudian
menegakkan keamanan dan ketertiban, melindungi penduduknya dari ‘para
pengacau’. Mereka tidak memiliki bayangan bahwa mereka akan menghadapi
resistensi sengit dari pemuda, pejuang, dan tentara Indonesia. Kondisi ini
tentu berpengaruh besar terhadap apa yang terjadi dan apa yang mereka lakukan
di medan pertempuran nantinya.
Bagian terpenting dari buku ini tentunya adalah
diskusi tentang kekerasan eksesif atau kejahatan perang yang terjadi pada
periode konflik tersebut. Sebagai karya ilmiah, buku ini tentu saja tidak lagi
ingin terjebak pada pertanyaan lama yang memperdebatkan secara emosional ada
dan tidaknya perbuatan tersebut. Penulis secara tegas, mengakui adanya berbagai
kekerasan eksesif yang dilakukan tentara Belanda tersebut, namun ia ingin
menjawab pertanyaan yang lebih lanjut ‘mengapa dan dalam kondisi apa perbuatan
dan aksi tersebut bisa terjadi’. Tujuannya bukanlah untuk mencari apologi atau
pembenaran, namun lebih pada upaya untuk memahami dan mencari penjelasan yang
lebih baik tentang proses historis yang melatari terjadinya rangkaian kekerasan
eksesif tersebut. Untuk tujuan itulah, maka buku ini menampilkan kutipan
langsung dari korpus-korpus dokumen ego yang berisi kesaksian ‘para pelaku’
tersebut. Tentu saja, isinya sangat subyektif dan sepenuhnya menunjukkan sudut
pandang mereka, dan barangkali bagi sebagian besar pembaca dan masyarakat
Indonesia akan sedikit mengguncangkan. Tapi justru di situlah daya tarik buku
ini, karena berusaha menunjukan secara ‘jujur’ perasaan, emosi, dan refleksi
(sebagian) tentara Belanda, terhadap peristiwa-peristiwa buruk yang mereka
alami. Bisa dikatakan sangat jarang sekali ditemukan, terlebih untuk konteks
Indonesia sendiri, sumber-sumber sejarah yang mengungkapkan perspektif dari
‘pelaku peristiwa kekerasan’.
Tentang kekerasan eksesif atau kejahatan perang yang
terjadi, melalui sumber tersebut, penulis menemukan adanya 779 laporan
kekerasan – jauh di atas laporan Excessennota.
Menurut penulis kekerasan tersebut bisa dikelompokkan menjadi enam kategori,
yaitu 1. kejahatan individual di luar konteks militer, 2. kekerasan menggunakan
senjata mesin, artileri, dan serangan udara, 3. kekerasan selama patroli dan
pengawasan, 4. kekerasan yang terkait pekerjaan intelijen, 5. Kekerasan akibat
operasi khusus, dan 6. kekerasan jenis lainnya, meliputi kelalaian, intimidasi,
vandalisme, dan penggunaan amunisi ilegal. Menurut pengakuan penyusun dokumen
ego tersebut, kekerasan tersebut seringkali terjadi karena mereka terjebak pada
situasi mendesak, pada lingkaran kekerasan atau ‘perangkap kekerasan’ sehingga
prinsip better safe than sorry, kill or
to be killed, menjadi pilihan satu-satunya. Selain itu, seringkali juga
aksi kekerasan eksesif dilakukan sebagian mereka, sebagai balas dendam atas apa
yang dilakukan para pejuang, pemuda milisi atau tentara TNI (sebelumnya BKR,
lalu TRI) kepada penduduk sipil Belanda selama periode Bersiap (akhir 1945 hingga akhir 1946) dan kepada teman-teman
mereka sesama militer. Di sini, sebagaimana ditekankan penulis buku ini,
kesaksian yang disampaikan para veteran tersebut ingin menunjukkan bahwa mereka
berada dalam posisi defensif, bukan ofensif, sehingga apa yang dilakukan adalah
keterpaksaan (yang tentu saja belum tentu benar adanya).
Dari sudut pandang militer, sejumlah sejarawan menilai
bahwa konflik bersenjata antara Belanda dan Indonesia pada tahun 1945-1949
adalah perang asimetris (asymetric
warfare), sebuah perang yang tidak berimbang, terutama dari sisi
persenjataan. Belanda menggunakan persenjataan modern, sementara pihak
Indonesia lebih banyak menggunakan senjata tradisional ditambah sedikit senjata
modern hasil rampasan dari Jepang. Dalam keadaan timpang tersebut, bisa
dipahami jika pejuang dan tentara Indonesia menggunakan strategi perang gerilya
yang membingungkan dan menyulitkan tentara Belanda. Akibatnya, aksi kekerasan
terhadap penduduk sipil seringkali tidak terhindarkan, karena pihak Belanda
kebingungan untuk menentukan siapa ‘musuh’ sebenarnya. Pada sisi yang lain, di
kubu Indonesia sendiri terdapat beragam kelompok milisi dan organisasi
semi-militer yang tidak jarang saling berselisih satu dengan lainnya (karena faktor
ideologis tapi juga pragmatis) dan seringkali melakukan inisiatif sendiri tanpa
berkonsultasi dengan tentara profesional Indonesia, yang saat itu jumlahnya
masih terbatas. Kondisi tersebut pada akhirnya menciptakan lingkaran kekerasan
berlapis, tidak hanya kekerasan antara tentara Belanda (Inggris dan sekutu)
dengan pejuang dan tentara Indonesia, tetapi juga kekerasan antar kelompok di
Indonesia, seperti dalam kasus Peristiwa Madiun 1948 dan sejumlah ‘revolusi
sosial’ lainnya.
Dalam konteks kekerasan eksesif tentara Belanda,
penulis menggarisbawahi adanya kebencian rasial dan etnosentrisme yang ikut
bermain dalam setiap peristiwa kekerasan. Kebencian rasial tergambar dalam
ungkapan kemarahan, dendam, ketakutan, dan frustrasi mereka yang terbaca secara
gamblang dan vulgar dalam kutipan-kutipan yang tersaji. Mereka menganggap pihak
Indonesia sering menyalahi kesepakatan damai, dan mereka melakukan berbagai
bentuk kekerasan yang tidak dikenal dalam budaya Barat mereka. Dalam kaitan
itu, pandangan etnosentrisme terbaca dengan kuat dalam pandangan mereka bahwa
pelaku kekerasan eksesif seringkali dilakukan oleh tentara KNIL rekrutan lokal,
bukan oleh tentara wajib militer Belanda, karena mereka pada dasarnya sudah
terbiasa dengan ‘kondisi dan cara lokal’. Meskipun tidak sepenuhnya bisa
dipercaya, demikian menurut penulis, namun banyak dokumen ego menyebutkan bahwa
tentara-tentara KNIL adalah pelaku utama kekerasan eksesif. Mereka selalu
berada di front paling depan untuk menghadapi gerilya tentara Indonesia, dan
mereka sering digunakan dalam interogasi, penyiksaan dan eksekusi, termasuk
dalam kejahatan perang skala besar yang dilakukan pasukan khusus pimpinan
Kapten Westerling di Sulawesi Selatan.
Selain memori kelam yang penuh emosi tentang ‘perang
jahanam tersebut’, buku ini juga menampilkan aspek dan sisi lain dari ingatan
perang para veteran tersebut yang lebih ‘manusiawi’. Selain perasaan dan
pandangan negatif tentang lawannya, sebagian dari mereka juga menunjukkan
kenangan yang positif tentang Indonesia: kekaguman akan keindahan alamnya,
keramahan penduduknya, kelezatan makanannya, dan bahkan penghormatan akan
kegigihan semangat juang tentara Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan
negerinya. Bab 9 tentang kehidupan tentara, bahkan menunjukkan adanya hubungan
pribadi sejumlah tentara dengan para perempuan Indonesia – meskipun banyak pula
yang bernuansa negatif. Pertemanan tidak jarang ditunjukan oleh sebagian mereka
dengan tentara Indonesia, terutama setelah gencatan senjata. Mereka sadar bahwa
perang tidak dinginkan oleh kedua belah pihak, dan mereka menyalahkan para
politisi di belakang meja, yang seringkali memutuskan sesuatu tanpa
mempedulikan perasaan dan kondisi mereka di medan pertempuran. Kekecewaan
tersebut semakin kuat terutama setelah kembali ke tanah airnya, setelah sedikit
basa-basi penyambutan, mereka dihujani dengan kritik dan bahkan tuduhan bahwa
mereka telah melakukan kejahatan kemanusiaan dalam perang yang seharusnya tidak
terjadi, dan tidak akan pernah dimenangkannya. Kondisi itulah yang menyebabkan
mereka merasa ‘berada di sisi sejarah yang salah’.
Lalu kira-kira apa makna kehadiran buku ini bagi
masyarakat Indonesia? Tentu sebagamana disinggung di awal, pertama-tama buku
ini merupakan pengantar yang baik untuk memperkenalkan perkembangan
historiografis di Belanda dan perdebatan mereka tentang sejarah dekolonisasinya
di Indonesia. Pada sisi yang lain, barangkali buku ini juga bisa menimbulkan
kesan yang menegaskan kebenaran narasi nasionalistik historiografi Indonesia
selama ini bahwa tentara Belanda memang telah melakukan kejahatan perang di
Indonesia.
Namun menurut hemat kami, kesan seperti itu sebaiknya
disimpan saja. Akan lebih produktif untuk memandang kehadiran buku ini,
terutama bagi para sejarawan Indonesia, sebagai undangan – jika bukan tantangan
– untuk meneliti kembali periode perang kemerdekaan tahun 1945-1949 yang
belakangan minatnya cenderung menurun. Buku ini bisa menjadi contoh bagaimana
realitasrealitas kekerasan di masa lampau coba difahami secara ‘dingin’ dan
kritis. Buku ini hanya menampilkan satu sisi persepsi saja, hanya dari pihak
tentara wajib militer Belanda, tentu akan sangat dibutuhkan perspektif tentara
Indonesia untuk mengimbangi atau melengkapinya. Oleh karena itu, sejarawan
Indonesia juga perlu segera melakukan pengumpulan dan kemudian penilaian
dokumen ego dari para veteran Indonesia sebagaimana yang dilakukan penulis buku
ini. Kita juga punya cukup banyak biografi, memoar, dan hasil wawancara sejarah
lisan tentang periode tersebut dan tentunya arsip yang kaya di sejumlah lokasi
dan lembaga kearsipan. Kiranya, usaha seperti itu harus segera dilakukan
sehubungan dengan semakin berkurangnya jumlah pelaku sejarah dari periode ini
yang masih bisa ditemui dalam masyarakat kita.
Selain itu, buku ini juga bisa menjadi cermin untuk
melihat ‘celah’ dan ‘ruang kosong’ yang ada dalam historiografi perang
kemerdekaan kita selama ini. Kami bayangkan, pembaca Indonesia dan khususnya
sejarawan dan peminat sejarah, akan menemukan banyak poin yang mengejutkan atas
‘tuduhan’ yang disampaikan dalam dokumen ego tersebut, terutama menyangkut
aksi-aksi kekerasan yang katanya juga dilakukan pejuang, pemuda, dan tentara
Indonesia. Tentunya hal ini perlu diklarifikasi lebih lanjut, apakah memang itu
cuma ekspresi emosional dan tuduhan ‘ngawur’ mereka semata ataukah memang
historis adanya. Tak kalah penting adalah aspek-aspek humanis yang secara
langsung maupun tidak langsung dimunculkan oleh buku ini, kiranya bisa diteliti
lebih lanjut. Bagaimana, misalnya, masyarakat Indonesia pada waktu itu menjalani
hidupnya sehari-hari, bekerja mencari sesuap nasi di tengah suasana perang,
bagaimana relasi sebagian di antara mereka dengan para tentara Belanda termasuk
di lokalisasi pelacuran, dan seterusnya. Pendek kata, buku ini bisa
mengingatkan kita semua bahwa periode perang kemerdekaan masih menyisakan
banyak agenda riset bagi penelitian lanjutan. Secara teoretik, buku ini juga
menunjukkan bahwa sejarah bukanlah sebuah titik, ia adalah sebuah koma dalam
kalimat panjang yang belum selesai, dan memang sebaiknya jangan pernah dianggap
selesai. Pengkajian ulang, penelitian kembali, dan pemaknaan baru harus selalu
dilakukan karena itu merupakan kebutuhan kita pada masa sekarang, sebagai salah
satu cara untuk mempersiapkan masa depan kita semua yang lebih baik.
(Sumber: Kata Pengantar oleh Dr. Abdul Wahid,
Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada dalam buku “Serdadu Belanda di Indonesia
1945-1950; Kesaksian perang pada sisi sejarah yang salah”)
Agar pembaca dapat mengulas lebih jauh, kami sajikan
versi luring (offline) pada link pdf di bawah ini
0 komentar:
Posting Komentar