Dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i
lil Baihaqi diceritakan Imam Syafii sedang mencari penginapan untuk
istirahat. Dalam pencarian itu, Imam Syafii bertemu dengan seorang
lelaki.
Menurut ilmu firasatnya (selain
menguasai ushul fikih dan fikih, Imam Syafii juga menguasai ilmu firasat),
lelaki tersebut berperangai buruk.
“Apakah di sini ada penginapan, Pak?
Saya dalam perjalanan dan butuh penginapan,” kata Imam Syafii.
“Ya. Ada. Ini tempatnya. Monggo
nginap di rumah saya,” jawab laki-laki itu.
Lelaki itu melayani dengan baik.
Menghidangkan makanan lezat dan tempat singgah yang nyaman seolah sedang dalam
hotel. Sikap yang ditunjukkan lelaki itu membuat Imam Syafii merasa ilmu
firasatnya keliru.
Keesokan harinya saat hendak
melanjutkan perjalanan, Imam Syafii berpamitan, “Pak, jika sedang pergi ke
Makkah, mampirlah di rumah saya,” kata Imam Syafii dengan harapan agar bisa
membalas kebaikan si lelaki.
Namun orang ini malah bertanya aneh,
“Apakah engkau seorang budak?”
“Bukan, Pak. Saya bukan budak.”
“Lalu apakah aku memiliki kewajiban
menanggung harta terhadapmu?”
“Tidak ada kewajiban, Pak. Memangnya
mengapa?” tanya Imam Syafii.
“Bagus. Kalau begitu, berikan
kepadaku bayaran atas apa yang aku berikan padamu tadi malam.” Jawab laki-laki
itu.
“Hah? Apa itu, Pak?” tanya Imam
Syafi’i.
“Kan aku sudah memberimu makanan dan
penginapan. Itu semua ndak gratis, Saudara. Harga makanan yang kuberikan
padamu itu dua dirham. Lauknya harganya sekian. Minyak wangi tiga dirham. Juga
makanan untuk tungganganmu dua dirham. Sedangkan sewa alas tidur dan bantal dua
dirham,” kata laki-laki itu memperinci.
Imam Syafii tersenyum sambil
menghampiri lelaki itu. “Ada lagi yang lain?”
“Ya. Ada. Biaya sewa rumah. Aku telah
menyediakan untukmu sedangkan aku sendiri merasa kesempitan. Sini bayar!”
Melihat perilaku orang itu. Imam
Syafii pun merasa dugaannya salah. Dan ilmu firasatnyalah yang benar. Lalu Imam
Syafii membayar uang sebesar permintaan lelaki tersebut.
[Dikutip dari alif.id]
0 komentar:
Posting Komentar