Pages

Jumat, 04 Oktober 2019

Keluar Dari Ekstremisme


 
Sumber gambar: nu.or.id
Keluar dari Ekstremisme: “Hijrah” dari Kekerasan Menuju Binadamai

Sudah cukup banyak riset dilakukan mengenai bagaimana orang menjadi ekstremis (radikal, bahkan teroris) di Indonesia, tapi masih sangat jarang riset dibuat mengenai proses kebalikannya: mengapa dan bagaimana orang berhenti dari menjadi ekstremis. Meminjam Garfinkel (2007), inilah proses yang disebut “transformasi personal” dari seorang ekstremis menjadi pengecam nya. Dalam buku ini, kami ingin menyebutnya proses “hijrah” dari kekerasan (ekstremis) menuju binadamai.

Dalam soal kelangkaan ini, Indonesia tidak perlu terlalu kecewa, karena kecenderungan umum di dunia juga demi kian: orang lebih suka mempelajari proses radikalisasi daripada deradikali sasi, seperti juga banyak lembaga studi perdamaian anehnya lebih suka mendalami tema-tema terkait konflik kekerasan dan perang ketimbang kerjasama. Kita sering berlaku tidak adil sejak dalam pikiran: kita ingin orang-orang berhenti dari menjadi radikal atau ekstremis, tapi yang kita amati dan pelajari lebih banyak bagaimana orang justru tumbuh menjadi radikal atau ekstremis.

Kelangkaan di atas sangat disayangkan sedikitnya karena tiga alasan yang saling terkait. Pertama, seperti ditunjukkan banyak literatur tentang deradikalisasi belakangan ini (Horgan, 2009; Bjørgo 2009; Ashour, 2009), kita sebenarnya dapat mempelajari secara ilmiah bagaimana orang tidak lagi atau berhenti menjadi radikal (artinya: berhenti menggunakan cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan kepentingan) atau teroris. Meskipun kompleks, dua faktor utama sering disebut menyebabkan orang berhenti dari menjadi radikal/ teroris/ekstremis: (1) dorongan dari dalam untuk keluar (push factors) seperti kekecewaan kepada pemimpin, ideologi atau metode dan taktik yang digunakan kelompok atau jaringan, perasaan sudah tidak cocok berada di dalam kelompok/jaringan, makin kuatnya upaya-upaya pencegahan oleh pihak keamanan, dan lainnya; dan (2) tarikan dari luar (pull factors) seperti persepsi yang makin positif mengenai pesaing atau lawan, pertimbangan mengenai masa depan karier atau keluarga, dan lainnya (lihat Bjørgo, 2009).
Literatur deradikalisasi dan binadamai juga menunjukkan, dalam banyak kasus, faktor-faktor utama di atas saling mem-perkuat satu sama lain, yang bekerja saling memperkuat dalam satu lingkaran yang saling memperkokoh (enforcement loops) (Hwang, 2016). Misalnya, kekecewaan atas penggunaan taktik-taktik teror oleh organisasi atau pimpinan organisasi diperkokoh oleh pandangan yang makin kuat tumbuh bahwa penggunaan aksi-aksi kekerasan bersifat kontraproduktif bagi cita-cita organisasi. Atau, kekecewaan atas taktik atau pemimpin organisasi makin mendorong seseorang untuk keluar dari organisasi tersebut karena terbukanya hubungan-hubungan baru dengan pihak-pihak lain di luar organisasi. Selain itu, semua biasanya berlangsung dalam proses “pencarian” yang panjang dan sepi. Berkaca dari kasus-kasus ekstremisme agama, Garfinkel menyatakan, “[p]erubahan dari ekstremis agama menjadi pejuang perdamaian bisa jadi merupakan satu transformasi spiritual, semacam konversi agama” (2007: 11).

Kedua, mengetahui faktor-faktor di atas akan membantu kita di dalam memfasilitasi lebih jauh atau mendorong lebih banyak orang yang sudah masuk ke dalam kelompok/jaringan radikal/teroris untuk keluar dari situ. Hal ini tentu tidak berlangsung dengan mudah, apalagi niscaya, dan sangat tergantung pada sepenting apa posisi masing-masing orang radikal/teroris dalam kelompok/ jaringannya dan alasan-alasan apa yang mendorongnya untuk pertama kali bergabung. Tetapi umumnya disepakati bahwa mereka yang keterlibatannya didorong oleh alasan-alasan yang non-ideologis (dendam, ikut-ikutan, solidaritas kepada teman atau saudara, atau ekonomi) dan berada di dalam posisi yang kurang ideologis atau sama sekali non-ideolo gis dalam gerakan/jaringan (hanya barisan pendukung atau pengelola media sosial, misalnya) akan lebih mudah keluar dari kelompok/jaringan (lihat Bjørgo dan Horgan, 2009; Karnavian, 2010).

Ketiga, advokasi atau kampanye anti-radikalisme, anti-ekstremisme atau anti-terorisme, atau juga kontra ketiganya, akan berlangsung lebih efektif jika hal itu dilakukan dengan memperlihatkan bagaimana mereka yang sudah mengalami transformasi personal di atas menceritakan proses yang mereka alami sendiri kepada publik (Garfinkel, 2007), apalagi jika hal ini dilakukan melalui sarana audiovisual seperti yang dicontohkan duet Imam Ashafa dan Pastor James Wuye dari Nigeria dalam The Imam and the Pastor (Ali-Fauzi dan Agustina, 2017). Demikian, karena hal ini akan jauh lebih menyentuh dan membekas, serta jauh lebih mudah dicerna publik luas dibanding deskripsi orang lain mengenainya.

Dengan mempertimbangkan berbagai latar belakang di atas, buku ini dimaksudkan untuk mulai mengatasi kelangkaan kita dalam dokumentasi mengenai transformasi personal atau hijrah seseorang dari kekerasan ekstremis menuju upaya-upaya bina damai. Ada delapan orang yang biografinya kami tampilkan di sini: (1) Ronald Regang (mantan tentara anak di Maluku, laki-laki, Kristen); (2) Arifuddin Lako (mantan korban/pelaku konflik kekerasan Poso, lakilaki, Muslim); (3) Pendeta Palti Hatoguan Panjaitan (korban/pegiat kebebasan beragama di Bekasi, laki-laki, Kristen); (4) Khairunisak Rusli (pelaku konflik kekerasan separatis di Aceh yang kini berprofesi sebagai politisi, perempuan, Muslim); (5) Baihajar Tualeka (korban/ pelaku konflik kekerasan komunal di Ambon, perempuan, Muslim); (6) Kyai Imam Aziz (Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang menganjurkan rekonsiliasi antara NU dengan para korban peristiwa 1965, laki-laki, Muslim); (7) Mery Kolimon (pendeta dan akademisi yang menganjurkan rekonsiliasi gereja dengan para korban terkait peristiwa 1965, perempuan, Kristen); dan (8) Jacky Manuputty (korban/pelaku konflik kekerasan komunal di Maluku, laki-laki, Kristen). Dalam penilaian kami, mereka semua kini bekerja dalam rangka upaya-upaya binadamai dalam maknanya yang luas.

Seperti tampak dari identitas ringkas kedelapan tokoh di atas, mereka beragam dari segi jenis konflik kekerasan di mana mereka berada di dalamnya atau terlibat sebagai korban atau pelaku atau korban dan sekaligus pelaku (konflik kekerasan komunal, teroris, dan separatis); dari segi gender (lima laki-laki dan tiga perempuan); dari segi lokasi di mana mereka berkiprah (Aceh, Bekasi/Yogyakarta, Poso, Ambon, Kupang); dan dari segi “derajat” ekstremisme dan transformasi mereka (jika tidak dalam kekerasan, maka dalam upaya-upaya binadamainya). Akhirnya, mereka memang kurang mencerminkan keragaman Indonesia dari segi agama (dari delapan orang, hanya ada empat Muslim dan empat Kristen, tanpa wakil Buddha atau Kaharingan, atau agama dan kepercayaan lainnya), tapi mereka mewakili komunitas yang memang paling sering terlibat dalam konflik-konflik kekerasan di Tanah Air belakangan ini. Mengapa pilihan-pilihan tokohnya begitu beragam, tapi pada saat yang sama juga terbatas, dan mencakup orang-orang yang pasti bukan teroris atau bahkan ekstremis seperti Imam Aziz atau Mery Kolimon? Mengapa tidak konsentrasi pada tokoh-tokoh yang mewakili satu bentuk kekerasan ekstremis dan memperbanyak kasusnya? Mengapa pula menggunakan biografi?

Sisa pengantar ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Namun, sebelum terlalu jauh, kami – kedua penyunting dan para kontributor – perlu menyebutkan lebih dulu bahwa buku ini kami maksudkan sebagai rintisan yang pengerjaannya tentu saja dibatasi oleh sumberdaya dan sumberdana yang ada. Sebagai rintisan, kami ingin mengajukan satu gagasan tentang pendekatan riset dan dokumentasi – dan agar tidak dituduh NATO (No Action, Talk Only!), kami mencoba memberi contoh bagaimana gagasan itu diujicobakan, di tengah segala keterbatasan yang ada.

Bukan hanya Terorisme – “Hijrah” Menuju Binadamai

Terlepas dari masalah-masalah teknis di atas, kami juga memiliki alasan-alasan lain yang lebih substantif yang mendorong kami memilih kedelapan tokoh di atas dan memanfaatkan biografi untuk menyampaikan kisah mereka. Pada bagian-bagian awal pendahuluan ini sudah disebutkan bahwa riset dan dokumentasi mengenai orangorang yang mengalami transformasi personal atau hijrah masih sangat langka di Indonesia. Sayangnya, sedikit yang sudah ada itu pun kurang memuaskan hati kami, karena dua alasan pokok.

Pertama, riset-riset yang sudah ada lebih banyak terkait dengan kekerasan teroris (misalnya IPAC, 2014; Karnavian, 2010; Hwang, Panggabean dan Ali-Fauzi, 2013; dan Hwang, 2016). Meskipun jelas sangat diperlukan (Ali-Fauzi dan Solahudin, 2017), jelas juga bahwa bentuk-bentuk ekstremisme tidak terbatas hanya kepada kekerasan teroris (yang dilakukan organisasi seperti Jemaah Islamiyah atau yang belakangan terjadi di Poso, Sulawesi Tengah, misalnya). Melainkan, seperti kita tahu, ekstremisme di Indonesia juga mengambil bentuk aksi-aksi kekerasan lain, misalnya kekerasan komunal (seperti yang terjadi di antara kaum Muslim dan Kristen di Ambon pada 1989 atau pembunuhan massal atas bekas anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia atau PKI menyusul peristiwa 30 September 1965), dan kekerasan separatis (seperti yang berlangsung di Aceh atau Papua). Bentuk-bentuk ekstremisme akan menjadi lebih banyak lagi jika kita memasukkan bentuk-bentuk kekerasan lainnya lagi, seperti kekerasan sektarian (Sunni versus Ahmadiyah atau Syiah, misalnya) atau bahkan kekerasan sehari-hari (Jaffrey, 2017).

Dalam buku ini, dari delapan tokoh yang kisah hijrah mereka kami tulis, hanya satu yang terlibat dalam kekerasan teroris (Arifuddin Lako, atau Iin Brur, dalam Bab II dan ditulis Ihsan Ali-Fauzi). Selain untuk mengakui bahwa kekerasan teroris memang bentuk ekstremisme yang penting di Indonesia, kami memasukkan tokoh ini karena dia membawa cara baru dalam melawan ekstremisme, yakni dengan membuat film semi-dokumenter yang diangkat dari pengalamannya sendiri. Di luar itu, konteks keterlibatan tokoh-tokoh kami lainnya bukan kekerasan teroris.

Dengan menuliskan biografi hijrah tokoh-tokoh ini, kami berharap bisa menampilkan proses mengapa dan bagaimana mereka bisa hijrah, yang nantinya bisa diperbandingkan dengan proses yang sama yang terjadi pada mereka yang terlibat dalam kekerasan teroris. Kami merasa, dengan penekanan melulu kepada riset tentang kekerasan teroris seperti yang selama ini berjalan, kita bisa kehilangan kesempatan untuk memeriksa dan belajar dari alasan dan proses yang sama yang mungkin juga mendorong atau menarik orang untuk keluar dari bentuk-bentuk ekstremisme lainnya.

Selain itu, dengan menampilkan kisah para tokoh non-teroris ini, kami juga ingin menarik perhatian kita semua kepada fakta bahwa bentuk-bentuk kekerasan non-terorisme juga sama mengerikan dan menghancurkannya dengan yang diakibatkan oleh kekerasan terorisme. Selama ini kami punya kesan bahwa kita baru benar-benar tergerakkan jika yang menunggu di depan pintu rumah kita adalah ancaman terorisme. Jika Indonesia mau tumbuh lebih sehat sebagai negeri yang bhinneka tunggal ika, seperti dijanjikan mottonya ketika berdiri, semua ini harus ber ubah.

Membaca paparan Jacky Manuputty tentang Ronald Regang (Bab I), misalnya, kita menjadi tahu betapa merusaknya kekerasan komunal di Ambon itu terhadap anak-anak, sementara kita masih terus mengabaikan nasib mantan tentara anak yang pernah terlibat di dalamnya seperti Ronald. Sementara itu, membaca kiprah Imam Aziz dan Syarikat di dalam membangun jembatan antara NU dan para korban terkait peristiwa 1965 (dalam Bab VI, ditulis Ali Nur Sahid), kita menjadi lebih mengerti betapa kekerasan pasca-1965 itu terus memecahbelah anak bangsa ini dan rekonsiliasi di antara para pihak yang terlibat jauh dari mudah, bahkan sesudah 50 tahun peristiwa itu berlalu.

Kedua, riset-riset yang sudah ada menggunakan teropong yang memandang ekstremisme atau kekerasan secara terbatas hanya kepada yang bersifat langsung, seraya mengabaikan apa yang misalnya oleh Galtung didefinisikan sebagai “kekerasan kultural” dan “kekerasan struktural” (1969). Mungkin ini juga alasan mengapa kita langsung tergerakkan ketika kita ber hadapan dengan ancaman terorisme (dengan misalnya membentuk Detasemen Khusus 88 atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, BNPT), tapi kurang atau tidak peka ketika kita berhadapan dengan jenis-jenis kekerasan lainnya, seperti diskriminasi sistematik atas kelompok-kelompok ras, gender atau aga ma tertentu (kekerasan struktural), dan kuatnya hegemoni pandang an kultural tertentu bahwa perempuan adalah konco wingking, karena mereka setidaknya tidak sesempurna laki-laki (kekerasan kultural).

Salah satu akibatnya, kita menilai ancaman kekerasan secara pragmatis, mencoba mengatasinya dengan orientasi yang berjangka pendek, dengan tujuan “asal kekerasan (langsung) berhenti” – yang Galtung sebut “negative peace” (1964). Biasanya kita mengklaim bahwa hal itu kita lakukan untuk sementara, meskipun kita sering lupa kepada situasi kesementaraan itu. Dengan tujuan pragmatis dan berjangka pendek itu, penyelesaian atas masalah kekerasan (yang langsung, sekali lagi) kita lakukan sambil mengabaikan prinsipprinsip hubungan di antara manusia yang menunjang perdamaian dalam jangka panjang dan yang berkeadilan.

Dalam konteks riset, sudut pandang di atas mendorong kita untuk melihat (berhentinya) kekerasan ekstremis terutama dari sudut pandang pelaku, yang menjadi biang keladi terjadinya kekerasan in the first place, yang umumnya laki-laki, karena me rekalah makhluk Tuhan paling macho dan ditakdirkan sejak awal untuk memimpin, dan kurang memerhatikan hubungan-hubungan yang bisa memengaruhi dinamika konflik kekerasan. Demikianlah, misalnya, kita sejauh ini masih terus mengandalkan hijrahnya Nasir Abbas dan Ali Imron (Schulze, 2008; ICG, 2007), yang lagi-lagi diangkat dari kasus kekerasan terorisme, untuk menopang upaya-upaya deradikalisasi.

Dengan kata lain, kita sebenarnya sedang mengabaikan apa yang dalam literatur studi-studi perdamaian disebut binadamai (peacebuilding), yakni penciptaan dan penumbuhan hubungan-hubungan di antara manusia yang konstruktif dan melampaui batasbatas jenis kelamin, etnis, religius, ras, atau kelas-kelas sosial. Terkait konflik kekerasan, seperti disebutkan Lisa Schirch (2004: 9),

Binadamai berupaya mencegah, mengurangi, mengubah, dan membantu orang untuk sembuh dari kekerasan dalam semua bentuknya, bahkan kekerasan struktural yang belum menyebabkan terjadinya keresahan sosial warga negara yang massif. Pada saat yang sama, binadamai memperkuat orang untuk memperkokoh hubungan-hubungan sosial pada semua tingkatan sehingga hidup dan lingkungan mereka bisa terus dipertahankan.
Kata kunci dari binadamai ini adalah hubungan-hubungan yang harus dijalin secara strategis, baik oleh mereka yang berada di dalam konflik maupun oleh mereka yang berada di luarnya, di tingkat lokal, regional, nasional, bahkan internasional. Bagi sarjana dan pegiat binadamai seperti Schirch, hubungan-hu bungan ini adalah satu bentuk kuasa (power) atau modal sosial: “Ketika orang-orang mulai mengulurkan tangan dan saling berhubungan, mereka lebih mungkin untuk bekerja bersama-sama menyelesaikan konflik” (2004: 8-9).

Dengan mengambil inspirasi dari perspektif binadamai di atas, dan untuk menghindar dari jebakan teropong terbatas mengenai kekerasan langsung, dalam buku ini kami memilih tokoh-tokoh kami dengan mempertimbangkan keterlibatan kaum perempuan (serta anak-anak) dan korban dalam transformasi konflik ke arah binadamai. Kami juga dengan sadar meme riksa dan menuliskan hubungan-hubungan sosial yang terbina dan memungkinkan tokoh-tokoh di atas untuk keluar dari ekstremisme.

Dari membaca pengalaman Baihajar Tualeka dalam konflik komunal di Ambon (Bab V, oleh Fini Rubianti), atau pengalaman Khairunisak Rusli dalam konflik separatis di Aceh (Bab IV, ditulis Sri Lestari Wahyuningroem), misalnya, kita menjadi lebih memahami mengapa konflik kekerasan menyebabkan penderitaan lebih banyak kepada kaum perempuan (dan anak-anak) dibanding laki-laki, yang mendorong mereka untuk mendesakkan berhentinya konflik kekerasan atau menerima kesepakatan damai. Tapi, di luar itu, kita juga menjadi lebih mengerti tentang pen tingnya peran organisasi-organisasi seperti Komnas Perempuan, baik di Aceh maupun Ambon, dalam memberdayakan seseorang seperti Baihajar dan Nisah. Berkat hubungan-hubungannya yang makin meluas, Baihajar akhirnya berani mengambil keputusan untuk berhenti merakit bom dan sebagai gantinya, mulai merakit perdamaian. Sementara itu, di Aceh, belakangan Nisah mulai menempuh jalur baru sebagai politisi, yang memperjuangkan cita-cita lamanya lewat pemilihan umum.

Pentingnya peran hubungan-hubungan strategis tampak dalam seluruh pengalaman tokoh yang biografi hijrah mereka ditulis di sini, tetapi mungkin yang paling menonjol adalah pada kasus tiga pemimpin agama: Pendeta Mery Kolimon (Bab VII, ditulis Sri Lestari Wahyuningroem), Pendeta Jacky Manuputty (Bab VIII, ditulis Irsyad Rafsadie), dan Kyai Imam Aziz, Ketua PBNU yang sudah disinggung di atas. Mungkin karena terlalu lama dan dalam “terkungkung” dalam kelompok mereka masing-masing, mereka memerlukan ekspose kepada dunia internasional untuk mulai menyadari ekstremisme mereka dan mendorong mereka keluar dari jebakan itu. Kasus Imam bahkan sangat menarik. Kesadaran lamanya tentang peran NU dalam penguatan demokrasi di Indonesia mulai terganggu ketika Ben Anderson, guru besar pada Universitas Cornell dan Indonesianis terkemuka, dalam satu seminar di Yogya yang dihadiri Imam, menyatakan bahwa NU tidak akan bisa memainkan peran itu kecuali kader-kadernya bisa berdamai dengan kasus 1965! Gangguan itulah yang mendorong Imam untuk menggali lebih jauh tentang peristiwa itu, yang memengaruhi kiprahnya sekarang. Sementara itu, Jacky Manuputty baru menyadari bahwa korban konflik Ambon bukan saja kelompoknya, umat Kristen, tapi juga kaum Muslim, ketika dia berada di Amerika Serikat dan diingatkan tentang hal itu oleh koleganya sesama pendeta.

Hubungan-hubungan strategis baru juga memainkan peran penting dalam transformasi personal Pendeta Palti Hatoguan Panjaitan (Bab III, ditulis Husni Mubarok). Hanya saja, berbeda dari yang lainnya, transformasinya terjadi dari korban pembatasan hak kebebasan beragama menjadi pembela hak-hak asasi manusia (yang lebih luas dari sekadar kebebasan beragama). Yang mengagumkan darinya adalah dia tidak berhenti hanya membela jemaat yang dipimpinnya sebagai pendeta Huriah Batak Kristen Protestan (HKBP), atau membela para korban pembatasan hak kebebasan beragama yang dia menjadi korbannya, tapi kini juga memperjuangkan pemenuhan hak-hak asasi manusia secara umum. Demikianlah, kini dia lantang berbicara mengenai hak-hak kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT), dengan segala risikonya.

Biografi Hijrah

Akhirnya, mengapa kami memilih biografi?

Menjadi ekstremis atau keluar dari ekstremisme melibatkan proses yang kompleks karena hal itu mengubah hidup seseorang. Terlepas dari apakah proses perubahan itu berlangsung cepat atau perlahan, secara total atau sebagian, dan lainnya, proses itu sendiri selalu melibatkan banyak segi. Kadang perubahan tempat tinggal memainkan peran penting: melibatkan ke baruan, keamanan atau kebalikannya, ruang untuk terjadi nya perubahan. Kadang proses itu diawali oleh kondisi tertentu yang dialami seseorang: trauma, tekanan, krisis, dan lainnya. Proses itu juga sering diakibatkan oleh berubahnya hubungan- hubungan personal, yang menyediakan lingkungan yang lebih mendukung berlangsungnya perubahan.

Untuk bisa menangkap pengalaman hidup yang pasti kaya itu, diperlukan ruang yang cukup untuk menyampaikan kisah yang secukupnya juga (tidak kurang dan tidak lebih). Aspek ini pula yang kami rasakan sangat kurang dari banyak publikasi mengenai mereka yang sudah hijrah dari ekstremisme di Indonesia. Bahkan ketika mereka diberi penghargaan tertentu, kisah hidup mereka umumnya disampaikan dengan sangat singkat dan lebih menekankan pada hasil akhir, sangat kurang pada proses-proses perjalanannya. Dalam hal ini, salah satu model publikasi yang mendasari upaya kami di sini adalah dua vlume Peacemakers in Actions (Little, 2006; Dubensky, 2016).

Dengan latar belakang di atas, biografi dipilih karena model penulisan ini memungkinkan penyajian empat hal penting yang dijanjikan kumpulan tulisan ini: (1) kisah hidup orang yang menyentuh dan menginspirasi orang lain (tokoh yang hijrah); (2) dengan kedalaman yang cukup (peduli dan karenanya kaya akan detail, karena bicara tentang pengalaman hidup orang dan hubungan-hubungan strategisnya dengan orang-orang lain); tetapi (3) tidak menyangkut seluruh pengalaman hidup tokoh yang bersangkutan. Akhirnya, (4) kisah tentang pengalaman hidup seorang tokoh ini tidak disampaikan oleh si tokoh itu sendiri, seperti dalam otobiografi, tetapi oleh orang lain, se hingga ada semacam kontrol atas tokoh bersangkutan untuk bicara me ngenai hal-hal tertentu dan hanya mengenai itu. Itu sebabnya mengapa para kontributor yang menulis bab-bab dalam buku ini mengenal cukup baik, bahkan sangat baik, tokoh-tokoh yang mereka tulis. Karena alasan ini pula me ngapa Jacky Manuputty tampil dalam buku ini baik sebagai penulis maupun tokoh yang tentangnya ditulis.

Tidak mudah meyakinkan yang bersangkutan untuk memainkan dua peran ini, tapi akhirnya kami bersyukur bahwa dia menerimanya. Boleh dibilang, biografi ini semacam short intimate biography. Kami berusaha mengenal tokoh yang kami tulis sedalam mung kin untuk memastikan kebenaran fakta yang disampaikan. Tapi mungkin saja kami memiliki penafsiran berbeda dengan tokoh yang kami tulis mengenai fakta-fakta tertentu. Dalam hal ini, tanggung jawab ada pada kami semua. []

Dikutip dari buku “Keluar Dari Ekstremisme”.

Pembaca dapat mengeksplor lebih jauh tentang tema di atas dengan mendownload pada link pdf di bawah ini

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer