Keluar dari Ekstremisme: “Hijrah” dari Kekerasan
Menuju Binadamai
Sudah cukup banyak riset dilakukan mengenai bagaimana
orang menjadi ekstremis (radikal, bahkan teroris) di Indonesia, tapi masih
sangat jarang riset dibuat mengenai proses kebalikannya: mengapa dan bagaimana
orang berhenti dari menjadi ekstremis. Meminjam Garfinkel (2007), inilah proses
yang disebut “transformasi personal” dari seorang ekstremis menjadi pengecam
nya. Dalam buku ini, kami ingin menyebutnya proses “hijrah” dari kekerasan
(ekstremis) menuju binadamai.
Dalam soal kelangkaan ini, Indonesia tidak perlu
terlalu kecewa, karena kecenderungan umum di dunia juga demi kian: orang lebih
suka mempelajari proses radikalisasi daripada deradikali sasi, seperti juga
banyak lembaga studi perdamaian anehnya lebih suka mendalami tema-tema terkait
konflik kekerasan dan perang ketimbang kerjasama. Kita sering berlaku tidak
adil sejak dalam pikiran: kita ingin orang-orang berhenti dari menjadi radikal
atau ekstremis, tapi yang kita amati dan pelajari lebih banyak bagaimana orang
justru tumbuh menjadi radikal atau ekstremis.
Kelangkaan di atas sangat disayangkan sedikitnya
karena tiga alasan yang saling terkait. Pertama,
seperti ditunjukkan banyak literatur tentang deradikalisasi belakangan ini
(Horgan, 2009; Bjørgo 2009; Ashour, 2009), kita sebenarnya dapat mempelajari
secara ilmiah bagaimana orang tidak lagi atau berhenti menjadi radikal
(artinya: berhenti menggunakan cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan
kepentingan) atau teroris. Meskipun kompleks, dua faktor utama sering disebut
menyebabkan orang berhenti dari menjadi radikal/ teroris/ekstremis: (1)
dorongan dari dalam untuk keluar (push
factors) seperti kekecewaan kepada pemimpin, ideologi atau metode dan
taktik yang digunakan kelompok atau jaringan, perasaan sudah tidak cocok berada
di dalam kelompok/jaringan, makin kuatnya upaya-upaya pencegahan oleh pihak
keamanan, dan lainnya; dan (2) tarikan dari luar (pull factors) seperti persepsi yang makin positif mengenai pesaing
atau lawan, pertimbangan mengenai masa depan karier atau keluarga, dan lainnya
(lihat Bjørgo, 2009).
Literatur deradikalisasi dan binadamai juga
menunjukkan, dalam banyak kasus, faktor-faktor utama di atas saling mem-perkuat
satu sama lain, yang bekerja saling memperkuat dalam satu lingkaran yang saling
memperkokoh (enforcement loops)
(Hwang, 2016). Misalnya, kekecewaan atas penggunaan taktik-taktik teror oleh
organisasi atau pimpinan organisasi diperkokoh oleh pandangan yang makin kuat
tumbuh bahwa penggunaan aksi-aksi kekerasan bersifat kontraproduktif bagi
cita-cita organisasi. Atau, kekecewaan atas taktik atau pemimpin organisasi
makin mendorong seseorang untuk keluar dari organisasi tersebut karena
terbukanya hubungan-hubungan baru dengan pihak-pihak lain di luar organisasi.
Selain itu, semua biasanya berlangsung dalam proses “pencarian” yang panjang
dan sepi. Berkaca dari kasus-kasus ekstremisme agama, Garfinkel menyatakan,
“[p]erubahan dari ekstremis agama menjadi pejuang perdamaian bisa jadi
merupakan satu transformasi spiritual, semacam konversi agama” (2007: 11).
Kedua, mengetahui faktor-faktor di atas akan membantu kita
di dalam memfasilitasi lebih jauh atau mendorong lebih banyak orang yang sudah
masuk ke dalam kelompok/jaringan radikal/teroris untuk keluar dari situ. Hal
ini tentu tidak berlangsung dengan mudah, apalagi niscaya, dan sangat
tergantung pada sepenting apa posisi masing-masing orang radikal/teroris dalam
kelompok/ jaringannya dan alasan-alasan apa yang mendorongnya untuk pertama
kali bergabung. Tetapi umumnya disepakati bahwa mereka yang keterlibatannya
didorong oleh alasan-alasan yang non-ideologis (dendam, ikut-ikutan, solidaritas
kepada teman atau saudara, atau ekonomi) dan berada di dalam posisi yang kurang
ideologis atau sama sekali non-ideolo gis dalam gerakan/jaringan (hanya barisan
pendukung atau pengelola media sosial, misalnya) akan lebih mudah keluar dari
kelompok/jaringan (lihat Bjørgo dan Horgan, 2009; Karnavian, 2010).
Ketiga, advokasi atau kampanye anti-radikalisme, anti-ekstremisme
atau anti-terorisme, atau juga kontra ketiganya, akan berlangsung lebih efektif
jika hal itu dilakukan dengan memperlihatkan bagaimana mereka yang sudah
mengalami transformasi personal di atas menceritakan proses yang mereka alami
sendiri kepada publik (Garfinkel, 2007), apalagi jika hal ini dilakukan melalui
sarana audiovisual seperti yang dicontohkan duet Imam Ashafa dan Pastor James
Wuye dari Nigeria dalam The Imam and the Pastor (Ali-Fauzi dan Agustina, 2017).
Demikian, karena hal ini akan jauh lebih menyentuh dan membekas, serta jauh
lebih mudah dicerna publik luas dibanding deskripsi orang lain mengenainya.
Dengan mempertimbangkan berbagai latar belakang di
atas, buku ini dimaksudkan untuk mulai mengatasi kelangkaan kita dalam
dokumentasi mengenai transformasi personal atau hijrah seseorang dari kekerasan
ekstremis menuju upaya-upaya bina damai. Ada delapan orang yang biografinya
kami tampilkan di sini: (1) Ronald Regang (mantan tentara anak di Maluku,
laki-laki, Kristen); (2) Arifuddin Lako (mantan korban/pelaku konflik kekerasan
Poso, lakilaki, Muslim); (3) Pendeta Palti Hatoguan Panjaitan (korban/pegiat
kebebasan beragama di Bekasi, laki-laki, Kristen); (4) Khairunisak Rusli
(pelaku konflik kekerasan separatis di Aceh yang kini berprofesi sebagai
politisi, perempuan, Muslim); (5) Baihajar Tualeka (korban/ pelaku konflik kekerasan
komunal di Ambon, perempuan, Muslim); (6) Kyai Imam Aziz (Ketua Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama yang menganjurkan rekonsiliasi antara NU dengan para korban
peristiwa 1965, laki-laki, Muslim); (7) Mery Kolimon (pendeta dan akademisi
yang menganjurkan rekonsiliasi gereja dengan para korban terkait peristiwa
1965, perempuan, Kristen); dan (8) Jacky Manuputty (korban/pelaku konflik
kekerasan komunal di Maluku, laki-laki, Kristen). Dalam penilaian kami, mereka
semua kini bekerja dalam rangka upaya-upaya binadamai dalam maknanya yang luas.
Seperti tampak dari identitas ringkas kedelapan tokoh
di atas, mereka beragam dari segi jenis konflik kekerasan di mana mereka berada
di dalamnya atau terlibat sebagai korban atau pelaku atau korban dan sekaligus
pelaku (konflik kekerasan komunal, teroris, dan separatis); dari segi gender
(lima laki-laki dan tiga perempuan); dari segi lokasi di mana mereka berkiprah
(Aceh, Bekasi/Yogyakarta, Poso, Ambon, Kupang); dan dari segi “derajat”
ekstremisme dan transformasi mereka (jika tidak dalam kekerasan, maka dalam
upaya-upaya binadamainya). Akhirnya, mereka memang kurang mencerminkan
keragaman Indonesia dari segi agama (dari delapan orang, hanya ada empat Muslim
dan empat Kristen, tanpa wakil Buddha atau Kaharingan, atau agama dan
kepercayaan lainnya), tapi mereka mewakili komunitas yang memang paling sering
terlibat dalam konflik-konflik kekerasan di Tanah Air belakangan ini. Mengapa
pilihan-pilihan tokohnya begitu beragam, tapi pada saat yang sama juga
terbatas, dan mencakup orang-orang yang pasti bukan teroris atau bahkan
ekstremis seperti Imam Aziz atau Mery Kolimon? Mengapa tidak konsentrasi pada
tokoh-tokoh yang mewakili satu bentuk kekerasan ekstremis dan memperbanyak
kasusnya? Mengapa pula menggunakan biografi?
Sisa pengantar ini akan mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas. Namun, sebelum terlalu jauh, kami – kedua
penyunting dan para kontributor – perlu menyebutkan lebih dulu bahwa buku ini
kami maksudkan sebagai rintisan yang pengerjaannya tentu saja dibatasi oleh sumberdaya
dan sumberdana yang ada. Sebagai rintisan, kami ingin mengajukan satu gagasan
tentang pendekatan riset dan dokumentasi – dan agar tidak dituduh NATO (No
Action, Talk Only!), kami mencoba memberi contoh bagaimana gagasan itu
diujicobakan, di tengah segala keterbatasan yang ada.
Bukan
hanya Terorisme – “Hijrah” Menuju Binadamai
Terlepas dari masalah-masalah teknis di atas, kami
juga memiliki alasan-alasan lain yang lebih substantif yang mendorong kami
memilih kedelapan tokoh di atas dan memanfaatkan biografi untuk menyampaikan
kisah mereka. Pada bagian-bagian awal pendahuluan ini sudah disebutkan bahwa
riset dan dokumentasi mengenai orangorang yang mengalami transformasi personal
atau hijrah masih sangat langka di Indonesia. Sayangnya, sedikit yang sudah ada
itu pun kurang memuaskan hati kami, karena dua alasan pokok.
Pertama, riset-riset yang sudah ada lebih banyak
terkait dengan kekerasan teroris (misalnya IPAC, 2014; Karnavian, 2010; Hwang,
Panggabean dan Ali-Fauzi, 2013; dan Hwang, 2016). Meskipun jelas sangat
diperlukan (Ali-Fauzi dan Solahudin, 2017), jelas juga bahwa bentuk-bentuk
ekstremisme tidak terbatas hanya kepada kekerasan teroris (yang dilakukan organisasi
seperti Jemaah Islamiyah atau yang belakangan terjadi di Poso, Sulawesi Tengah,
misalnya). Melainkan, seperti kita tahu, ekstremisme di Indonesia juga
mengambil bentuk aksi-aksi kekerasan lain, misalnya kekerasan komunal (seperti
yang terjadi di antara kaum Muslim dan Kristen di Ambon pada 1989 atau
pembunuhan massal atas bekas anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia
atau PKI menyusul peristiwa 30 September 1965), dan kekerasan separatis
(seperti yang berlangsung di Aceh atau Papua). Bentuk-bentuk ekstremisme akan
menjadi lebih banyak lagi jika kita memasukkan bentuk-bentuk kekerasan lainnya
lagi, seperti kekerasan sektarian (Sunni versus Ahmadiyah atau Syiah, misalnya)
atau bahkan kekerasan sehari-hari (Jaffrey, 2017).
Dalam buku ini, dari delapan tokoh yang kisah hijrah
mereka kami tulis, hanya satu yang terlibat dalam kekerasan teroris (Arifuddin
Lako, atau Iin Brur, dalam Bab II dan ditulis Ihsan Ali-Fauzi). Selain untuk
mengakui bahwa kekerasan teroris memang bentuk ekstremisme yang penting di
Indonesia, kami memasukkan tokoh ini karena dia membawa cara baru dalam melawan
ekstremisme, yakni dengan membuat film semi-dokumenter yang diangkat dari
pengalamannya sendiri. Di luar itu, konteks keterlibatan tokoh-tokoh kami
lainnya bukan kekerasan teroris.
Dengan menuliskan biografi hijrah tokoh-tokoh ini,
kami berharap bisa menampilkan proses mengapa dan bagaimana mereka bisa hijrah,
yang nantinya bisa diperbandingkan dengan proses yang sama yang terjadi pada
mereka yang terlibat dalam kekerasan teroris. Kami merasa, dengan penekanan
melulu kepada riset tentang kekerasan teroris seperti yang selama ini berjalan,
kita bisa kehilangan kesempatan untuk memeriksa dan belajar dari alasan dan
proses yang sama yang mungkin juga mendorong atau menarik orang untuk keluar
dari bentuk-bentuk ekstremisme lainnya.
Selain itu, dengan menampilkan kisah para tokoh non-teroris
ini, kami juga ingin menarik perhatian kita semua kepada fakta bahwa
bentuk-bentuk kekerasan non-terorisme juga sama mengerikan dan menghancurkannya
dengan yang diakibatkan oleh kekerasan terorisme. Selama ini kami punya kesan
bahwa kita baru benar-benar tergerakkan jika yang menunggu di depan pintu rumah
kita adalah ancaman terorisme. Jika Indonesia mau tumbuh lebih sehat sebagai
negeri yang bhinneka tunggal ika, seperti dijanjikan mottonya ketika berdiri,
semua ini harus ber ubah.
Membaca paparan Jacky Manuputty tentang Ronald Regang
(Bab I), misalnya, kita menjadi tahu betapa merusaknya kekerasan komunal di
Ambon itu terhadap anak-anak, sementara kita masih terus mengabaikan nasib
mantan tentara anak yang pernah terlibat di dalamnya seperti Ronald. Sementara
itu, membaca kiprah Imam Aziz dan Syarikat di dalam membangun jembatan antara
NU dan para korban terkait peristiwa 1965 (dalam Bab VI, ditulis Ali Nur
Sahid), kita menjadi lebih mengerti betapa kekerasan pasca-1965 itu terus
memecahbelah anak bangsa ini dan rekonsiliasi di antara para pihak yang
terlibat jauh dari mudah, bahkan sesudah 50 tahun peristiwa itu berlalu.
Kedua, riset-riset yang sudah ada menggunakan teropong
yang memandang ekstremisme atau kekerasan secara terbatas hanya kepada yang
bersifat langsung, seraya mengabaikan apa yang misalnya oleh Galtung
didefinisikan sebagai “kekerasan kultural” dan “kekerasan struktural” (1969). Mungkin
ini juga alasan mengapa kita langsung tergerakkan ketika kita ber hadapan
dengan ancaman terorisme (dengan misalnya membentuk Detasemen Khusus 88 atau
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, BNPT), tapi kurang atau tidak peka
ketika kita berhadapan dengan jenis-jenis kekerasan lainnya, seperti
diskriminasi sistematik atas kelompok-kelompok ras, gender atau aga ma tertentu
(kekerasan struktural), dan kuatnya hegemoni pandang an kultural tertentu bahwa
perempuan adalah konco wingking, karena mereka setidaknya tidak sesempurna
laki-laki (kekerasan kultural).
Salah satu akibatnya, kita menilai ancaman kekerasan
secara pragmatis, mencoba mengatasinya dengan orientasi yang berjangka pendek,
dengan tujuan “asal kekerasan (langsung) berhenti” – yang Galtung sebut
“negative peace” (1964). Biasanya kita mengklaim bahwa hal itu kita lakukan
untuk sementara, meskipun kita sering lupa kepada situasi kesementaraan itu.
Dengan tujuan pragmatis dan berjangka pendek itu, penyelesaian atas masalah
kekerasan (yang langsung, sekali lagi) kita lakukan sambil mengabaikan
prinsipprinsip hubungan di antara manusia yang menunjang perdamaian dalam
jangka panjang dan yang berkeadilan.
Dalam konteks riset, sudut pandang di atas mendorong
kita untuk melihat (berhentinya) kekerasan ekstremis terutama dari sudut
pandang pelaku, yang menjadi biang keladi terjadinya kekerasan in the first
place, yang umumnya laki-laki, karena me rekalah makhluk Tuhan paling macho dan
ditakdirkan sejak awal untuk memimpin, dan kurang memerhatikan
hubungan-hubungan yang bisa memengaruhi dinamika konflik kekerasan.
Demikianlah, misalnya, kita sejauh ini masih terus mengandalkan hijrahnya Nasir
Abbas dan Ali Imron (Schulze, 2008; ICG, 2007), yang lagi-lagi diangkat dari
kasus kekerasan terorisme, untuk menopang upaya-upaya deradikalisasi.
Dengan kata lain, kita sebenarnya sedang mengabaikan
apa yang dalam literatur studi-studi perdamaian disebut binadamai (peacebuilding), yakni penciptaan dan
penumbuhan hubungan-hubungan di antara manusia yang konstruktif dan melampaui
batasbatas jenis kelamin, etnis, religius, ras, atau kelas-kelas sosial.
Terkait konflik kekerasan, seperti disebutkan Lisa Schirch (2004: 9),
Binadamai berupaya mencegah, mengurangi, mengubah, dan
membantu orang untuk sembuh dari kekerasan dalam semua bentuknya, bahkan
kekerasan struktural yang belum menyebabkan terjadinya keresahan sosial warga
negara yang massif. Pada saat yang sama, binadamai memperkuat orang untuk
memperkokoh hubungan-hubungan sosial pada semua tingkatan sehingga hidup dan
lingkungan mereka bisa terus dipertahankan.
Kata kunci dari binadamai ini adalah hubungan-hubungan
yang harus dijalin secara strategis, baik oleh mereka yang berada di dalam
konflik maupun oleh mereka yang berada di luarnya, di tingkat lokal, regional,
nasional, bahkan internasional. Bagi sarjana dan pegiat binadamai seperti
Schirch, hubungan-hu bungan ini adalah satu bentuk kuasa (power) atau modal
sosial: “Ketika orang-orang mulai mengulurkan tangan dan saling berhubungan,
mereka lebih mungkin untuk bekerja bersama-sama menyelesaikan konflik” (2004:
8-9).
Dengan mengambil inspirasi dari perspektif binadamai
di atas, dan untuk menghindar dari jebakan teropong terbatas mengenai kekerasan
langsung, dalam buku ini kami memilih tokoh-tokoh kami dengan mempertimbangkan
keterlibatan kaum perempuan (serta anak-anak) dan korban dalam transformasi
konflik ke arah binadamai. Kami juga dengan sadar meme riksa dan menuliskan
hubungan-hubungan sosial yang terbina dan memungkinkan tokoh-tokoh di atas
untuk keluar dari ekstremisme.
Dari membaca pengalaman Baihajar Tualeka dalam konflik
komunal di Ambon (Bab V, oleh Fini Rubianti), atau pengalaman Khairunisak Rusli
dalam konflik separatis di Aceh (Bab IV, ditulis Sri Lestari Wahyuningroem), misalnya,
kita menjadi lebih memahami mengapa konflik kekerasan menyebabkan penderitaan
lebih banyak kepada kaum perempuan (dan anak-anak) dibanding laki-laki, yang
mendorong mereka untuk mendesakkan berhentinya konflik kekerasan atau menerima
kesepakatan damai. Tapi, di luar itu, kita juga menjadi lebih mengerti tentang
pen tingnya peran organisasi-organisasi seperti Komnas Perempuan, baik di Aceh
maupun Ambon, dalam memberdayakan seseorang seperti Baihajar dan Nisah.
Berkat hubungan-hubungannya yang makin meluas, Baihajar akhirnya berani
mengambil keputusan untuk berhenti merakit bom dan sebagai gantinya, mulai
merakit perdamaian. Sementara itu, di Aceh, belakangan Nisah mulai menempuh
jalur baru sebagai politisi, yang memperjuangkan cita-cita lamanya lewat
pemilihan umum.
Pentingnya peran hubungan-hubungan strategis tampak
dalam seluruh pengalaman tokoh yang biografi hijrah mereka ditulis di sini,
tetapi mungkin yang paling menonjol adalah pada kasus tiga pemimpin agama:
Pendeta Mery Kolimon (Bab VII, ditulis Sri Lestari Wahyuningroem), Pendeta
Jacky Manuputty (Bab VIII, ditulis Irsyad Rafsadie), dan Kyai Imam Aziz, Ketua
PBNU yang sudah disinggung di atas. Mungkin karena terlalu lama dan dalam “terkungkung”
dalam kelompok mereka masing-masing, mereka memerlukan ekspose kepada dunia
internasional untuk mulai menyadari ekstremisme mereka dan mendorong mereka
keluar dari jebakan itu. Kasus Imam bahkan sangat menarik. Kesadaran lamanya
tentang peran NU dalam penguatan demokrasi di Indonesia mulai terganggu ketika
Ben Anderson, guru besar pada Universitas Cornell dan Indonesianis terkemuka,
dalam satu seminar di Yogya yang dihadiri Imam, menyatakan bahwa NU tidak akan
bisa memainkan peran itu kecuali kader-kadernya bisa berdamai dengan kasus
1965! Gangguan itulah yang mendorong Imam untuk menggali lebih jauh tentang
peristiwa itu, yang memengaruhi kiprahnya sekarang. Sementara itu, Jacky
Manuputty baru menyadari bahwa korban konflik Ambon bukan saja kelompoknya,
umat Kristen, tapi juga kaum Muslim, ketika dia berada di Amerika Serikat dan
diingatkan tentang hal itu oleh koleganya sesama pendeta.
Hubungan-hubungan strategis baru juga memainkan peran
penting dalam transformasi personal Pendeta Palti Hatoguan Panjaitan (Bab III,
ditulis Husni Mubarok). Hanya saja, berbeda dari yang lainnya, transformasinya
terjadi dari korban pembatasan hak kebebasan beragama menjadi pembela hak-hak
asasi manusia (yang lebih luas dari sekadar kebebasan beragama). Yang
mengagumkan darinya adalah dia tidak berhenti hanya membela jemaat yang
dipimpinnya sebagai pendeta Huriah Batak Kristen Protestan (HKBP), atau membela
para korban pembatasan hak kebebasan beragama yang dia menjadi korbannya, tapi
kini juga memperjuangkan pemenuhan hak-hak asasi manusia secara umum.
Demikianlah, kini dia lantang berbicara mengenai hak-hak kelompok lesbian, gay,
biseksual dan transgender (LGBT), dengan segala risikonya.
Biografi
Hijrah
Akhirnya, mengapa kami memilih biografi?
Menjadi ekstremis atau keluar dari ekstremisme
melibatkan proses yang kompleks karena hal itu mengubah hidup seseorang.
Terlepas dari apakah proses perubahan itu berlangsung cepat atau perlahan,
secara total atau sebagian, dan lainnya, proses itu sendiri selalu melibatkan
banyak segi. Kadang perubahan tempat tinggal memainkan peran penting:
melibatkan ke baruan, keamanan atau kebalikannya, ruang untuk terjadi nya perubahan.
Kadang proses itu diawali oleh kondisi tertentu yang dialami seseorang: trauma,
tekanan, krisis, dan lainnya. Proses itu juga sering diakibatkan oleh
berubahnya hubungan- hubungan personal, yang menyediakan lingkungan yang lebih
mendukung berlangsungnya perubahan.
Untuk bisa menangkap pengalaman hidup yang pasti kaya
itu, diperlukan ruang yang cukup untuk menyampaikan kisah yang secukupnya juga
(tidak kurang dan tidak lebih). Aspek ini pula yang kami rasakan sangat kurang
dari banyak publikasi mengenai mereka yang sudah hijrah dari ekstremisme di
Indonesia. Bahkan ketika mereka diberi penghargaan tertentu, kisah hidup mereka
umumnya disampaikan dengan sangat singkat dan lebih menekankan pada hasil
akhir, sangat kurang pada proses-proses perjalanannya. Dalam hal ini, salah
satu model publikasi yang mendasari upaya kami di sini adalah dua vlume
Peacemakers in Actions (Little, 2006; Dubensky, 2016).
Dengan latar belakang di atas, biografi dipilih karena
model penulisan ini memungkinkan penyajian empat hal penting yang dijanjikan
kumpulan tulisan ini: (1) kisah hidup orang yang menyentuh dan menginspirasi
orang lain (tokoh yang hijrah); (2) dengan kedalaman yang cukup (peduli dan
karenanya kaya akan detail, karena bicara tentang pengalaman hidup orang dan
hubungan-hubungan strategisnya dengan orang-orang lain); tetapi (3) tidak
menyangkut seluruh pengalaman hidup tokoh yang bersangkutan. Akhirnya, (4)
kisah tentang pengalaman hidup seorang tokoh ini tidak disampaikan oleh si
tokoh itu sendiri, seperti dalam otobiografi, tetapi oleh orang lain, se hingga
ada semacam kontrol atas tokoh bersangkutan untuk bicara me ngenai hal-hal
tertentu dan hanya mengenai itu. Itu sebabnya mengapa para kontributor yang
menulis bab-bab dalam buku ini mengenal cukup baik, bahkan sangat baik,
tokoh-tokoh yang mereka tulis. Karena alasan ini pula me ngapa Jacky Manuputty
tampil dalam buku ini baik sebagai penulis maupun tokoh yang tentangnya
ditulis.
Tidak mudah meyakinkan yang bersangkutan untuk
memainkan dua peran ini, tapi akhirnya kami bersyukur bahwa dia menerimanya.
Boleh dibilang, biografi ini semacam short intimate biography. Kami berusaha
mengenal tokoh yang kami tulis sedalam mung kin untuk memastikan kebenaran
fakta yang disampaikan. Tapi mungkin saja kami memiliki penafsiran berbeda
dengan tokoh yang kami tulis mengenai fakta-fakta tertentu. Dalam hal ini,
tanggung jawab ada pada kami semua. []
Dikutip dari buku “Keluar Dari Ekstremisme”.
Pembaca dapat mengeksplor lebih jauh tentang tema di
atas dengan mendownload pada link pdf di bawah ini
0 komentar:
Posting Komentar