KETIKA hendak mulai membaca buku ini,
saya menduga bahwa isinya akan membahas tentang masalah gender dipandang dari
sudut ilmu kedokteran, bias gender perempuan, dan lebih pas untuk bacaan para
dokter. Apalagi penulisnya, Louann Brizendine, M.D., adalah seorang dokter yang
spesialisasinya neuro psikiatri (saraf jiwa) Namun dugaan saya salah. Ternyata
dr. Brizendine menunjukkan bahwa bukunya ini diperuntukkan bagi kalangan awam,
dengan bahasa yang tidak teknis sehingga mudah dipahami. Selain itu,
contoh-contoh yang diambil pun dari pengalaman sehari-hari. Simak misalnya
kasus ini: Salah seorang pasien saya memberikan banyak mainan kepada putrinya
yang berusia 3,5 tahun, termasuk truk pemadam kebakaran berwarna merah dan
bukan boneka. Suatu sore, dia masuk ke kamar putrinya dan mendapati anak
perempuannya itu sedang menimang truk, yang terbalut selimut bayi. Putrinya
mengayunkan truk itu ke belakang dan ke depan seraya berkata, “Jangan khawatir,
Truckie kecil, semuanya akan baik-baik saja.”
Dengan contoh itu, dr. Brizendine
ingin menjelaskan kepada pembacanya bahwa otaklah (bukan yang lain, seperti
faktor budaya) yang mendikte perangai manusia dan pembeda antara perempuan dan
laki-laki. Namun sebagai ilmuwan, dia tidak gegabah melontarkan pendapatnya
begitu saja. Pendapatnya itu selalu dilengkapi dengan bukti-bukti ilmiah yang
diperoleh dari pengalaman sekian banyak pasien di kliniknya, maupun dengan
kutipan dari berbagai jurnal dan buku teks ilmiah yang dicantumkan pada bagian
Referensi. Singkatnya, buku yang diperuntukkan bagi awam ini, cukup bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Namun, pandangan ilmiah dr. Brizendine
tidak otomatis bisa menggeser teori-teori tentang gender yang selama ini berlaku.
Para peneliti ilmu kedokteran dan
biologi, terutama penganut teori Evolusi dari Charles Darwin, memang masih
banyak yang sepakat dengan teori dr. Brizendine. Antara lain, dengan
argumentasi bahwa banyak perangai lelaki-perempuan pada manusia yang mirip dengan
perangai jantan-betina pada primata (hewan berjenis kera). Bagi mereka,
perbedaan itu ditentukan oleh gen yang terdapat di dalam otak. Akan tetapi
dokter-dokter yang sudah mengarah kepada ilmu jiwa sebagai ilmu yang nonmedis
(psikologi), seperti Sigmund Freud, dan Carl Gustav Jung (tokoh aliran
Psikoanalisis) berpendapat bahwa faktor penyebab perbedaan gender terdapat di
dalam naluri (insting) yang berada di alam ketidaksadaran manusia. Freud
menamakannya faktor edipoesa untuk sifat-sifat maskulin pada pria dan electra
untuk sifat feminin pada perempuan. Jung menamakan perangai masing-masing gender
itu dengan oanimusa dan oanima. Lain lagi halnya dengan para penganut teori
Psikologi Belajar, seperti Alfred Bandura. Bagi Bandura, orang menjadi maskulin
atau feminin, karena dia meniru (modelling) dari orang lain. Anak
perempuan akan mengacu kepada ibunya sebagai model, sementara anak laki-laki
kepada bapaknya.
Teori-teori Antropologi dan
Sosiologi, mungkin akan mengacu kepada sistem kepercayaan dan kesepakatan
pembagian peran antara pria dan wanita dalam suatu masyarakat. Bahkan seorang
psikolog ahli gender, Sandra Bem, mengatakan bahwa karena pengaruh teknologi
dan globalisasi, maka terjadilah pergeseran peran maskulin dan feminin pada
pria dan wanita. Dia mengemukakan adanya jenis kelamin ke-3 yang dinamakannya
oandrogena, yaitu campuran maskulin dan feminin yang makin banyak ditemukan
pada sosok laki-laki maupun perempuan masa kini.
Semua itu memang mengandung banyak
kontroversi, karena ilmu pengetahuan memang baru masuk ke sektor perempuan
dalam satu-dua abad terakhir ini saja, sementara umur manusia itu sendiri sudah
jutaan tahun. Terlepas dari itu semua, buku ini memang sangat patut disimaki,
sebab penulis tidak berhenti hanya pada pernyataan bahwa perangai gender
didikte oleh otak. Akan tetapi, dia bercerita lebih lanjut dan sangat
terperinci tentang bagaimana pengaruh “otak perempuan” ini terhadap fungsi
kecerdasannya, perkembangan emosinya, kariernya sebagai profesional maupun
sebagai ibu yang melahirkan dan mengasuh anak-anak, bahkan sampai kepada
kehidupan seksualnya. Dalam buku ini, Anda akan banyak mendapati
kejutan-kejutan, karena banyak temuan dr. Brizendine yang berbeda dari apa yang
kita ketahui, percaya, atau yakini selama ini. –Kata Pengantar Sarlito Wirawan
Sarwono Psikolog/Guru Besar Psikologi, Universitas
Indonesia
OTAK perempuan memiliki berbagai
kemampuan unik yang menakjubkan, seperti ketangkasan verbal yang luar biasa,
kemampuan untuk menjalin persahabatan yang mendalam, kemampuan yang nyaris
menyerupai cenayang dalam membaca wajah dan nada suara, kemampuan untuk
mengenali emosi dan keadaan pikiran, serta kemampuan untuk meredakan konflik.
Hal itu sudah tertata kuat dalam otak perempuan. Semuanya adalah bakat-bakat
yang dimiliki perempuan sejak lahir yang—sejujurnya—tidak dimiliki oleh
lakilaki. Laki-laki dilahirkan dengan bakat-bakat lain yang dibentuk oleh
realitas hormonal mereka sendiri. Namun, buku ini tidak membahas tentang hal
itu. Buku ini hadir untuk menguak temuan mutakhir tentang otak perempuan. Buku
ini didasarkan pada pengalaman klinis saya selama lebih dari 20 tahun sebagai
seorang neuropsikiater (ahli saraf-jiwa). Saya mengambil setiap kesempatan
untuk mendidik para perempuan secara langsung tentang sistem otaktubuh-perilaku
mereka yang unik itu. Selain itu, saya membantu mereka agar mencapai keadaan
terbaik pada setiap usia. Harapan saya adalah bahwa buku ini mampu membawa manfaat bagi lebih banyak lagi
perempuan selain yang bisa saya temui secara pribadi di klinik. Saya juga
berharap otak perempuan akan dipandang dan dipahami sebagai instrumen yang
sangat terasah dan berbakat. Sebab, memang demikianlah adanya. –Prakata dari Louann
Brizendine, M.D
(Cuplikan pengantar buku “Female Brain”)
Agar pembaca dapat mengulas lebih
jauh, kami sajikan versi luring (offline) pada link pdf di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar