Pages

Rabu, 02 Oktober 2019

Memahami Wanita itu Rumit



KETIKA hendak mulai membaca buku ini, saya menduga bahwa isinya akan membahas tentang masalah gender dipandang dari sudut ilmu kedokteran, bias gender perempuan, dan lebih pas untuk bacaan para dokter. Apalagi penulisnya, Louann Brizendine, M.D., adalah seorang dokter yang spesialisasinya neuro psikiatri (saraf jiwa) Namun dugaan saya salah. Ternyata dr. Brizendine menunjukkan bahwa bukunya ini diperuntukkan bagi kalangan awam, dengan bahasa yang tidak teknis sehingga mudah dipahami. Selain itu, contoh-contoh yang diambil pun dari pengalaman sehari-hari. Simak misalnya kasus ini: Salah seorang pasien saya memberikan banyak mainan kepada putrinya yang berusia 3,5 tahun, termasuk truk pemadam kebakaran berwarna merah dan bukan boneka. Suatu sore, dia masuk ke kamar putrinya dan mendapati anak perempuannya itu sedang menimang truk, yang terbalut selimut bayi. Putrinya mengayunkan truk itu ke belakang dan ke depan seraya berkata, “Jangan khawatir, Truckie kecil, semuanya akan baik-baik saja.”

Dengan contoh itu, dr. Brizendine ingin menjelaskan kepada pembacanya bahwa otaklah (bukan yang lain, seperti faktor budaya) yang mendikte perangai manusia dan pembeda antara perempuan dan laki-laki. Namun sebagai ilmuwan, dia tidak gegabah melontarkan pendapatnya begitu saja. Pendapatnya itu selalu dilengkapi dengan bukti-bukti ilmiah yang diperoleh dari pengalaman sekian banyak pasien di kliniknya, maupun dengan kutipan dari berbagai jurnal dan buku teks ilmiah yang dicantumkan pada bagian Referensi. Singkatnya, buku yang diperuntukkan bagi awam ini, cukup bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Namun, pandangan ilmiah dr. Brizendine tidak otomatis bisa menggeser teori-teori tentang gender yang selama ini berlaku.

Para peneliti ilmu kedokteran dan biologi, terutama penganut teori Evolusi dari Charles Darwin, memang masih banyak yang sepakat dengan teori dr. Brizendine. Antara lain, dengan argumentasi bahwa banyak perangai lelaki-perempuan pada manusia yang mirip dengan perangai jantan-betina pada primata (hewan berjenis kera). Bagi mereka, perbedaan itu ditentukan oleh gen yang terdapat di dalam otak. Akan tetapi dokter-dokter yang sudah mengarah kepada ilmu jiwa sebagai ilmu yang nonmedis (psikologi), seperti Sigmund Freud, dan Carl Gustav Jung (tokoh aliran Psikoanalisis) berpendapat bahwa faktor penyebab perbedaan gender terdapat di dalam naluri (insting) yang berada di alam ketidaksadaran manusia. Freud menamakannya faktor edipoesa untuk sifat-sifat maskulin pada pria dan electra untuk sifat feminin pada perempuan. Jung menamakan perangai masing-masing gender itu dengan oanimusa dan oanima. Lain lagi halnya dengan para penganut teori Psikologi Belajar, seperti Alfred Bandura. Bagi Bandura, orang menjadi maskulin atau feminin, karena dia meniru (modelling) dari orang lain. Anak perempuan akan mengacu kepada ibunya sebagai model, sementara anak laki-laki kepada bapaknya.

Teori-teori Antropologi dan Sosiologi, mungkin akan mengacu kepada sistem kepercayaan dan kesepakatan pembagian peran antara pria dan wanita dalam suatu masyarakat. Bahkan seorang psikolog ahli gender, Sandra Bem, mengatakan bahwa karena pengaruh teknologi dan globalisasi, maka terjadilah pergeseran peran maskulin dan feminin pada pria dan wanita. Dia mengemukakan adanya jenis kelamin ke-3 yang dinamakannya oandrogena, yaitu campuran maskulin dan feminin yang makin banyak ditemukan pada sosok laki-laki maupun perempuan masa kini.

Semua itu memang mengandung banyak kontroversi, karena ilmu pengetahuan memang baru masuk ke sektor perempuan dalam satu-dua abad terakhir ini saja, sementara umur manusia itu sendiri sudah jutaan tahun. Terlepas dari itu semua, buku ini memang sangat patut disimaki, sebab penulis tidak berhenti hanya pada pernyataan bahwa perangai gender didikte oleh otak. Akan tetapi, dia bercerita lebih lanjut dan sangat terperinci tentang bagaimana pengaruh “otak perempuan” ini terhadap fungsi kecerdasannya, perkembangan emosinya, kariernya sebagai profesional maupun sebagai ibu yang melahirkan dan mengasuh anak-anak, bahkan sampai kepada kehidupan seksualnya. Dalam buku ini, Anda akan banyak mendapati kejutan-kejutan, karena banyak temuan dr. Brizendine yang berbeda dari apa yang kita ketahui, percaya, atau yakini selama ini. –Kata Pengantar Sarlito Wirawan Sarwono Psikolog/Guru Besar Psikologi,  Universitas Indonesia

OTAK perempuan memiliki berbagai kemampuan unik yang menakjubkan, seperti ketangkasan verbal yang luar biasa, kemampuan untuk menjalin persahabatan yang mendalam, kemampuan yang nyaris menyerupai cenayang dalam membaca wajah dan nada suara, kemampuan untuk mengenali emosi dan keadaan pikiran, serta kemampuan untuk meredakan konflik. Hal itu sudah tertata kuat dalam otak perempuan. Semuanya adalah bakat-bakat yang dimiliki perempuan sejak lahir yang—sejujurnya—tidak dimiliki oleh lakilaki. Laki-laki dilahirkan dengan bakat-bakat lain yang dibentuk oleh realitas hormonal mereka sendiri. Namun, buku ini tidak membahas tentang hal itu. Buku ini hadir untuk menguak temuan mutakhir tentang otak perempuan. Buku ini didasarkan pada pengalaman klinis saya selama lebih dari 20 tahun sebagai seorang neuropsikiater (ahli saraf-jiwa). Saya mengambil setiap kesempatan untuk mendidik para perempuan secara langsung tentang sistem otaktubuh-perilaku mereka yang unik itu. Selain itu, saya membantu mereka agar mencapai keadaan terbaik pada setiap usia. Harapan saya adalah bahwa buku ini  mampu membawa manfaat bagi lebih banyak lagi perempuan selain yang bisa saya temui secara pribadi di klinik. Saya juga berharap otak perempuan akan dipandang dan dipahami sebagai instrumen yang sangat terasah dan berbakat. Sebab, memang demikianlah adanya. –Prakata dari Louann Brizendine, M.D

(Cuplikan pengantar buku “Female Brain”)
Agar pembaca dapat mengulas lebih jauh, kami sajikan versi luring (offline) pada link pdf di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer