Pages

Minggu, 06 Oktober 2019

Tahafut Al Falasifah




Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf) merupakan karya terpopuler yang melambungkan sosok Abu Hamid al-Gazali sebagai salah satu pemikir utama dalam lintasan kesejarahan Islam. Dalam karya ini, sesuai dengan posisinya sebagai penjaga dan pembela umat, al-Gazali menjelaskan secara rinci kerancuan-kerancuan yang ada dan terus didengungkan oleh para filsuf serta coba dilesakkan kepada umat, yang dipandang al-Ghazali sebagai tidak sesuai dengan “keinginan” agama.

Dalam karya ini, dengan berpijak pada basis keilmuan yang mengakar kuat dari tradisi teologis (kalam), al-Gazali membedah dan menelanjangi “kekeliruan” para filsuf. Hal ini sebagaimana pengakuannya, “Dan kami tidak menetapkan dalam buku ini, kecuali mendustakan mazhab para filsuf. Sedangkan untuk mengairmasi mazhab yang benar, kami (akan) menyusun sebuah buku yang kami beri judul Qawa’id ai-’Aqa’id. Dengan buku tersebut, kami bermaksud melakukan airmasi, sebagaimana kami bermaksud melakukan dekonstruksi dengan buku ini (Tahafut).”

Dengan demikian, dari kandungan yang dapat ditarik pada nuansa positif-konstruktif, buku Tahafut dapat digolongkan pada karya al-Gazali dalam bidang kalam yang meneropong kajian ftlsafat. Ia juga dapat dimasukkan pada apa yang ditetapkan dalam kajian-kajian kalam agar bisa membantu semua orang untuk menjawab: “Bagaimana seorang skeptis bisa menyusun sebuah karya dan menyampaikan ajaran-ajaran yang positif-konstruktif?” Selain itu, di dalamnya ditampilkan pendapat dari kalangan yang berkeyakinan bahwa materi secara esensial adalah sesuatu yang mungkin (mumkin/ contingent), dalam arti memerlukan sesuatu yang bisa memberikan wujud serta bisa merusaknya

Al-Gazali sendiri membagi seluruh karyanya menjadi dua bagian. Pertama, kelompok karya yang diistilahkan dengan “yang terlarang bagi selain yang berkompeten” (al-madnun biha ‘ala gayr ahliha). Seluruh kandungan karya-karya yang tergolong dalam kelompok ini, hanya diperuntukkan untuk al-Gazali sendiri dan orang lain yang telah memenuhi persyaratan yang teramat sulit. Kedua, karya-karya yang disajikan untuk konsumsi masyarakat umum (jumhur). Ia adalah kelompok karya yang diperuntukkan kepada mereka sesuai dengan tingkat intelektualitasnya.

Buku ini juga memotret doktrin mazhab para filsuf terdahulu sebagaimana adanya. Dengan ini, diharapkan agar orang-orang yang menjadi ateis atas dasar taklid dapat melihat dengan jelas bahwa semua cabang pengetahuan—baik klasik maupun kontemporer—sepakat meyakini Allah dan Hari Akhir. Mereka juga diharapkan bisa menyadari bahwa perdebatan yang muncul hanya terkait dengan rincian persoalan di luar dua kutub keyakinan dasar tersebut. Di sinilah letak urgensi kehadiran para nabi yang telah dibekali mukjizat.

Selain itu, buku ini juga berkepentingan mengeluarkan mereka dari sikap yang berlebihan, yaitu anggapan bahwa berpegang pada kekafiran secara taklid adalah menunjukkan tingginya kualitas pemikiran dan kecerdasan mereka. Sebab terbukti bahwa para ilsuf yang mereka anggap sebagai kelompok mereka, ternyata steril dari tuduhan mereka sebagai para pengingkar syari’at. Karena, para filsuf memercayai adanya Allah dan para rasul, walaupun dalam berbagai persoalan rinci tentang prinsip-prinsip tersebut, mereka memiliki pendapat yang berbeda dan menyimpang sehingga menyebabkan orang lain tersesat dari jalan yang benar. Buku ini bermaksud menyingkap aspek-aspek yang membuat mereka tersesat, berupa anggapan-anggapan tidak berdasar serta kekeliruan-kekeliruan. Dalam hal ini, karya ini juga coba menjelaskan bahwa semua penyimpangan tersebut merupakan warna permukaan pemikiran para filsuf yang mengandung capaian-capaian berharga yang harus tetap diapresiasi. Sebenarnya, silang pendapat antara para filsuf dengan aliran pemikiran lainnya terbagi atas tiga bagian. Pertama, perbedaan yang hanya berakar pada persoalan bahasa semata, seperti menyebutkan Pencipta alam—Mahatinggi Allah dari perkataan mereka—dengan substansi (jawhar) yang disertai penafsiran bahwa substansi yang dimaksud adalah maujud yang tidak menempati suatu subyek, dalam arti zat yang berdiri sendiri tanpa memerlukan unsur eksternal bagi eksistensinya.

Kedua, gagasan-gagasan para filsuf yang tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip agama. Perbedaan pendapat yang muncul tidak terkait dengan keniscayaan membenarkan ajaran yang dibawa para nabi dan rasul—semoga Allah melimpahkan rahmat- Nya kepada mereka. Misalnya, teori para filsuf tentang gerhana bulan sebagai hilangnya cahaya bulan sebab interposisi bumi di antara bulan dan matahari, sementara bulan memantulkan cahaya dari sinar matahari dan bumi berbentuk bulat dalam ruang langit yang melingkupi sekelilingnya. Jika posisi bulan terhalang oleh bumi, maka sinar matahari akan terpotong dan  tidak akan memantul pada bulan. Ketiga, pandangan atau teori yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, seperti persoalan keberawalan alam, sifat-sifat Pencipta (Allah) dan kebinasaan jasad.

Detailnya, dalam karya ini, al-Gazali membahas tuntas dua puluh masalah yang berkaitan dengan metafisika dan fisika yang menjadi pegangan para filsuf, yang dianggap keliru oleh al-Gazali. Di antaranya masalah eternitas (azaliyyah) alam, ketakberakhiran (abadiyah) alam, dan pengingkaran para filsuf terhadap kebangkitan jasad, serta kenikmatan Surga dan kesengsaraan Neraka secara jasmani.

Ironis adalah kata yang paling tepat untuk mewakili persepsi masyarakat sekarang terhadap sosok al-Gazali. Ia adalah Argumentator Islam (Hujjah al-Islam, the Proof of Islam) yang kontribusinya telah diakui dunia Barat dan Timur, namun masih saja menyisakan tanda tanya besar hingga sekarang, mengapa tak bisa mewariskan sikap kritisisme yang menjadi landasan intelektualitasnya? Atau mengapa masyarakat tidak bisa menangkap rangka epistimologi yang menjadi bangunan pemikirannya? Sehingga mereka lebih asyik dengan hasil instanpemikiran al-Gazali dalam menyelesaikan berbagai problematika sosial, ketimbang harus bersusah payah mencermati, mengkaji, dan mengembangkan manhaj yang ditapaki sang Argumentator Islam tersebut.

Kontroversi terhadap al-Gazali bermula dari kritikannya yang cukup menohok kepada para filsuf yang berimplikasi secara signiicant terhadap bangunan peradaban Islam. Akibatnya, kemajuan pemikiran umat Islam seolah menjadi mandeg—kalau tidak bisa dikatakan mati sama sekali—sehingga memunculkan julukan kalau sang imam adalah “si penyembelih ayam bertelur emas”. Sebenarnya, jika dicermati secara jujur, kritikan al-Gazali terhadap para filsuf masih berada dalam batas kewajaran. Artinya, sikap takfir yang diambilnya adalah sesuatu yang bisa jadi tepat bila melihat konteks sosialnya, meskipun tidak cukup populer dan relevan bagi situasi umat mutakhir.

Oleh karena itu, untuk memberikan penilaian yang obyektif, tepat sekali bila mengacu pada karya sang Hujjatul Islam secara langsung. Untuk tujuan itulah karya ini dihadirkan. Harapan kami, semoga penerbitan karya ini semakin memperkaya wawasan para pembaca, khususnya yang berkaitan dengan sosok “kontroversial” al-Gazali.

(Dikutip dari buku Tahafut Al-Falasifah”)

Agar pembaca dapat mengulas lebih jauh tulisan di atas, kami sajikan versi luring (offline) pada link pdf di bawah ini

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer