Tahafut
Al-Falasifah (Kerancuan
Para Filsuf) merupakan
karya terpopuler yang melambungkan sosok Abu Hamid al-Gazali sebagai salah satu
pemikir utama dalam lintasan
kesejarahan Islam. Dalam karya ini, sesuai dengan posisinya sebagai penjaga
dan pembela umat, al-Gazali menjelaskan secara rinci kerancuan-kerancuan yang
ada dan terus didengungkan oleh para filsuf
serta coba dilesakkan kepada umat, yang dipandang al-Ghazali sebagai
tidak sesuai dengan “keinginan” agama.
Dalam
karya ini, dengan berpijak pada basis keilmuan yang mengakar kuat dari tradisi teologis
(kalam), al-Gazali membedah dan
menelanjangi “kekeliruan” para filsuf.
Hal ini sebagaimana pengakuannya, “Dan kami tidak menetapkan dalam buku ini,
kecuali mendustakan mazhab para filsuf.
Sedangkan untuk mengairmasi mazhab yang benar, kami (akan) menyusun sebuah buku
yang kami beri judul Qawa’id ai-’Aqa’id.
Dengan buku tersebut, kami bermaksud melakukan airmasi, sebagaimana kami
bermaksud melakukan dekonstruksi dengan buku ini (Tahafut).”
Dengan
demikian, dari kandungan yang dapat ditarik pada nuansa positif-konstruktif, buku
Tahafut dapat digolongkan pada karya
al-Gazali dalam bidang kalam yang
meneropong kajian ftlsafat. Ia juga dapat dimasukkan pada apa yang ditetapkan dalam
kajian-kajian kalam agar bisa
membantu semua orang untuk menjawab: “Bagaimana
seorang skeptis bisa menyusun sebuah karya dan menyampaikan ajaran-ajaran yang positif-konstruktif?”
Selain itu, di dalamnya ditampilkan pendapat dari kalangan yang
berkeyakinan bahwa materi secara esensial adalah sesuatu yang mungkin (mumkin/ contingent), dalam arti memerlukan sesuatu yang bisa memberikan wujud
serta bisa merusaknya
Al-Gazali
sendiri membagi seluruh karyanya menjadi dua bagian. Pertama, kelompok karya yang diistilahkan dengan “yang terlarang bagi
selain yang berkompeten” (al-madnun biha ‘ala
gayr ahliha). Seluruh kandungan karya-karya yang tergolong dalam kelompok ini,
hanya diperuntukkan untuk al-Gazali sendiri dan orang lain yang telah memenuhi persyaratan
yang teramat sulit. Kedua, karya-karya
yang disajikan untuk konsumsi masyarakat umum (jumhur). Ia adalah kelompok karya yang diperuntukkan kepada mereka sesuai
dengan tingkat intelektualitasnya.
Buku ini juga memotret doktrin mazhab
para filsuf terdahulu sebagaimana adanya. Dengan ini, diharapkan agar
orang-orang yang menjadi ateis atas dasar taklid dapat melihat dengan jelas
bahwa semua cabang pengetahuan—baik klasik maupun kontemporer—sepakat meyakini Allah
dan Hari Akhir. Mereka juga diharapkan bisa menyadari bahwa perdebatan yang
muncul hanya terkait dengan rincian persoalan di luar dua kutub keyakinan
dasar tersebut. Di sinilah letak urgensi kehadiran para nabi yang telah
dibekali mukjizat.
Selain
itu, buku ini juga berkepentingan mengeluarkan mereka dari sikap yang
berlebihan, yaitu anggapan bahwa berpegang pada kekafiran secara
taklid adalah menunjukkan tingginya kualitas pemikiran dan kecerdasan mereka.
Sebab terbukti bahwa para ilsuf yang mereka anggap sebagai kelompok mereka,
ternyata steril dari tuduhan mereka sebagai para pengingkar syari’at. Karena,
para filsuf
memercayai adanya Allah dan para rasul, walaupun dalam berbagai persoalan rinci
tentang prinsip-prinsip tersebut, mereka memiliki pendapat yang berbeda dan
menyimpang sehingga menyebabkan orang lain tersesat dari jalan yang benar. Buku
ini bermaksud menyingkap aspek-aspek yang membuat mereka tersesat, berupa
anggapan-anggapan tidak berdasar serta kekeliruan-kekeliruan. Dalam hal ini,
karya ini juga coba menjelaskan bahwa semua penyimpangan tersebut merupakan warna
permukaan pemikiran para filsuf
yang mengandung capaian-capaian berharga yang harus tetap diapresiasi. Sebenarnya,
silang pendapat antara para filsuf
dengan aliran pemikiran lainnya terbagi atas tiga bagian. Pertama, perbedaan yang hanya berakar pada persoalan bahasa semata,
seperti menyebutkan Pencipta alam—Mahatinggi
Allah dari perkataan mereka—dengan substansi (jawhar) yang disertai penafsiran bahwa substansi yang dimaksud adalah
maujud yang tidak menempati suatu subyek,
dalam arti zat yang berdiri sendiri tanpa memerlukan unsur eksternal bagi eksistensinya.
Kedua, gagasan-gagasan para filsuf yang tidak
berseberangan dengan prinsip-prinsip agama. Perbedaan pendapat yang muncul
tidak terkait dengan keniscayaan membenarkan ajaran yang dibawa para
nabi dan rasul—semoga Allah melimpahkan
rahmat- Nya kepada mereka. Misalnya, teori para filsuf tentang
gerhana bulan sebagai hilangnya cahaya bulan sebab interposisi bumi di antara
bulan dan matahari, sementara bulan memantulkan cahaya dari sinar matahari dan bumi
berbentuk bulat dalam ruang langit yang melingkupi sekelilingnya. Jika posisi bulan
terhalang oleh bumi, maka sinar matahari akan terpotong dan tidak akan memantul pada bulan. Ketiga, pandangan atau teori yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, seperti persoalan keberawalan alam,
sifat-sifat Pencipta (Allah) dan kebinasaan jasad.
Detailnya,
dalam karya ini, al-Gazali membahas tuntas dua puluh masalah yang berkaitan
dengan metafisika dan fisika yang
menjadi pegangan para filsuf,
yang dianggap keliru oleh al-Gazali. Di antaranya masalah eternitas (azaliyyah) alam, ketakberakhiran (abadiyah) alam, dan pengingkaran para filsuf terhadap
kebangkitan jasad, serta kenikmatan Surga dan kesengsaraan Neraka secara jasmani.
Ironis
adalah kata yang paling tepat untuk mewakili persepsi masyarakat sekarang
terhadap sosok al-Gazali. Ia adalah Argumentator Islam (Hujjah al-Islam, the Proof of
Islam) yang kontribusinya telah diakui dunia Barat dan Timur, namun masih
saja menyisakan tanda tanya besar hingga sekarang, mengapa tak bisa mewariskan
sikap kritisisme yang menjadi landasan intelektualitasnya? Atau mengapa
masyarakat tidak bisa menangkap rangka epistimologi yang menjadi bangunan
pemikirannya? Sehingga mereka lebih asyik dengan hasil instanpemikiran
al-Gazali dalam menyelesaikan berbagai problematika sosial, ketimbang harus bersusah
payah mencermati, mengkaji, dan mengembangkan manhaj yang ditapaki sang Argumentator Islam tersebut.
Kontroversi
terhadap al-Gazali bermula dari kritikannya yang cukup menohok kepada para filsuf yang berimplikasi
secara signiicant terhadap bangunan
peradaban Islam. Akibatnya, kemajuan pemikiran umat Islam seolah menjadi mandeg—kalau
tidak bisa dikatakan mati sama sekali—sehingga memunculkan julukan kalau sang imam
adalah “si penyembelih ayam bertelur emas”.
Sebenarnya, jika dicermati secara jujur, kritikan al-Gazali terhadap para filsuf masih berada
dalam batas kewajaran. Artinya, sikap takfir yang diambilnya adalah sesuatu yang
bisa jadi tepat bila melihat konteks sosialnya, meskipun tidak cukup populer
dan relevan bagi situasi umat mutakhir.
Oleh
karena itu, untuk memberikan penilaian yang obyektif, tepat sekali bila mengacu
pada karya sang Hujjatul Islam secara
langsung. Untuk tujuan itulah karya ini dihadirkan. Harapan kami, semoga
penerbitan karya ini semakin memperkaya wawasan para pembaca, khususnya yang berkaitan
dengan sosok “kontroversial” al-Gazali.
(Dikutip dari buku “Tahafut Al-Falasifah”)
Agar
pembaca dapat mengulas lebih jauh
tulisan di atas, kami sajikan versi luring (offline) pada link
pdf di bawah ini
0 komentar:
Posting Komentar