Ternyata buku saya yang pernah terbit
pada 1994 ini: Sedang TUHAN pun Cemburu akan menemui pembacanya kembali.
Tak ada lain kecuali bersyukur kepada Allah swt., satu-satunya Maha Dzat yang
menyodorkan kepada saya kemungkinan, bahan, dan energi untuk pernah menuliskan
semua ini. Kemudian, terima kasih kepada semua pihak yang berkat kerja keras
mereka, buku ini hadir dan menjadi media kemesraan hati dan dialog pikiran
antara Anda dengan saya.
Saya bergaul di tengah banyak
kawan-kawan yang setia. Maksud saya, suatu “nukleus” komunitas kecil tempat
kami percaya bahwa kesetiaan adalah anugerah Allah yang mengagumkan. Kesetiaan
kepada kawan, yang dimuarakan kesetiaannya kepada para pembaca bahwa buku ini
terbit tidak lain dari tradisi kesetiaan itu, plus kerajinan dan kerja keras.
Ada “gudang kliping” di rumah
kontrakan saya pada waktu itu. Kami selalu membayangkan entah berapa puluh buku
bisa disusun dari tulisan-tulisan yang bertumpuk-tumpuk itu. Namun, ternyata
tidak gampang bekerja sebagai editor, meneliti tulisan demi tulisan, mengamati
jaringan dan peta makna-makna yang dikandungnya, jeli terhadap bentuk dan
modus-modus ungkapnya, serta melacak latar belakang situasi sejarah kapan
tulisan itu lahir, kemudian menuliskan semua itu kembali, huruf per huruf. Betapa
beratnya. Namun, ternyata tidak bagi kawan kita itu karena semua yang dilakukannya
bukanlah pekerjaan untuk mendapatkan uang, melainkan memesrai komitmen-komitmen
hatinya pada nilai-nilai.
Dari proses pengamatan itu, lantas
coba disusun suatu frame, sehingga kumpulan tulisan dari berbagai media
massa ini diharapkan bisa hadir sebagai sebuah paket yang komprehensif
muatan-muatannya, serta dengan nada irama yang orkestratif.
Anda tahu, saya “bukan” seorang
penulis. Dalam arti saya sekadar menjalankan metabolisme jasmani-rohani saya
secara alamiah. Saya menulis karena memang harus menulis, sebagaimana sekuntum
bunga mekar karena pada suatu pagi ia memang dititahkan untuk mekar. Tiap hari
saya makan-minum pengalaman hidup: otak, hati, jiwa, roh saya mengenyamnya. Tinjanya
saya buang, hasil gizi, kesehatan, dan energinya saya silaturahmikan kepada
anda. Sekuntum hanya mekar, dan esok tinggal kelopaknya, jika Yang Punya telah
memanggilnya kembali.
Memang sekadar itulah yang mampu saya
lakukan: bekerja keras, menulis, tidak malas, sampai detik terakhir napas hidup
saya. Sepenuhnya saya kuakkan kemerdekaan bagi saudara Toto untuk memilih “jenis”
apa buku ini. Terserah mau memilih tulisan yang mana, menyisihkan yang mana,
dan dengan apa pola penggabungan itu.
Segera sesudah saya membaca-baca
kembali tulisan-tulisan yang ia himpun, saya menemukan bahwa yang hadir dalam
buku ini bukan hanya saya, melainkan terutama juga sahabat saya, Toto Rahardjo:
seorang pekerja sosial yang sangat mencintai orang kecil, menikmati kesederhanaan
hidup sehari-hari, dan senantiasa menggali kemesraan dan keindahan nilai di
balik peristiwa-peristiwa dan pengalaman-pengalaman bersahaja manusia yang
kebanyakan orang melupakannya. Dengan “hati” semacam itulah ia menyusun buku
ini.
Mudah-mudahan kenigninannya untuk
bermesraan dengan hati anda, melalui upaya penerbitan kembali buku ini, bisa
anda terima dengan senyuman dan kelapangan cinta.
(Dikutip dari buku “Sedang TUHAN pun Cemburu” karya Emha Ainun Nadjib)
Agar
pembaca dapat mengulas lebih jauh
tulisan di atas, kami sajikan versi luring (offline) pada link
pdf di bawah ini
0 komentar:
Posting Komentar