Pages

Sabtu, 21 Desember 2019

Antropologi Tasawuf


 
Sumber gambar: useum.org
Buku ini bermaksud menggiring "metafisika" konvensional yang selama ini bercokol lama dalam tasawuf ke arah yang sebenarnya. Metafisika konvensional itu cenderung melihat tasawuf hanya sebagai sistem perilaku dan perasaan saja, dan melupakan sisi lain yang lebih substansial, yaitu sisi pengetahuan. Buku ini ingin mengembalikan cita-cita awal para sufi dan mencoba membangun sebuah kerangka pikir yang berpijak pada asumsi bahwa tasawuf tidak lain adalah paradigma tentang diri dan Tuhan.

Terhentinya gerak tasawuf pada pusaran praktis menunjukkan bahwa ilmu ini sedang berada pada jalur yang tidak semestinya. Tasawuf sedang tersandera oleh praktik-praktik seremonial yang membuatnya tidak mampu merangkak maju sebagai gerakan ilmu pengetahuan yang transformatif. Karena itu buku ini bermaksud mengembalikan gerbong tasawuf ke dalam rel yang sesungguhnya sebagai paradigma dan meletakkan perangkat praktisnya sebagai penopang.

Pada sisi lain, buku ini juga bermaksud mengimbangi -atau juga membantah paradigma positivistik yang sudah menggejala dalam masyarakat modern; paradigma yang mau tidak mau berpengaruh pada cara pandang kita tentang subjektivitas, objekti- vitas, agama, Tuhan dan kedirian. Manusia tidak lagi leluasa dalam kerangka positivistik ini, menentukan kediriannya sendiri karena – meminjam ungkapan Lewis Mumford manusia dideinisikan bukan lagi oleh dirinya atau kekuatan supranatural seperti agama dan Tuhan tetapi oleh investigasi saintifk. Dominasi wacana Darwinian dalam ilmu biologi, wacana Marxian dalam ilmu sosiologi dan kemanusiaan, atau wacana Claude Bernard, J.S. Haldane dan Walter Cannon dalam ilmu psikologi sudah cukup menunjulkkan kecenderungan inl.

Dengan demikian, ada dua kutub ekstrem yang melalarbelakangi kehadiran buku ini, yaitu kemandegan epistemologi tasawul dan progresivitas epistemologi Barat.

Secara lebih konkret, gagasan tentang tasawuf sebagai paradigma di dalam buku ini dibangun melalui kajian tentang manusia yang dimaknai sebagai subjek spiritual yang mengetahui. Dalam membangun argumentasinya, buku ini tidak hanya bersandar pada pengalaman spiritual manusia sebagai individu yang bersifat subyektif, tetapi juga mempertimbangkan asumsi-asumsi filosofis yang rasional seperti teori empirisme ala Suhrawardi dan Mulla Sadra. Berbeda dengan kebanyakan ajaran sufi, buku ini mengusung ide bahwa tasawuf tidak bisa lepas dari empirisme. Empirisme yang dimaksud adalah yang meyakini bahwa wujud-wujud empiris itu nyata karena dapat hadir dalam kesadaran intuitif sang subjek.

Inilah alasan mengapa buku ini memilih istilah "antropologi tasawuf sebagai judul. Kata "antropologi" ingin mengesankan bahwa kajian ini menelusuri konsep-konsep mengenai manusia sebagai wujud yang tidak bisa lepas dari realitas empiris. Sedang kata "tasawuf" mengesankan bahwa buku ini mengarah pada jenis antropologi yang mendalami manusia dari sisi hakikatnya sebagai subjek spiritual yang mengetahui.

Dikutip dari prakata Abdul Kadir Riyadi, Ph.D dalam buku berjudul Antropologi Tasawuf : Wacana Manusia Spiritual dan Pengetahuan

Agar pembaca lebih mengulas lebih jauh, kami lampirkan versi luring (offline) pada link pdf di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer