Buku ini bermaksud menggiring
"metafisika" konvensional yang selama ini bercokol lama dalam tasawuf ke
arah yang sebenarnya. Metafisika konvensional itu cenderung melihat tasawuf
hanya sebagai sistem perilaku dan perasaan saja, dan melupakan sisi lain yang
lebih substansial, yaitu sisi pengetahuan. Buku ini ingin mengembalikan
cita-cita awal para sufi dan mencoba membangun sebuah kerangka pikir yang
berpijak pada asumsi bahwa tasawuf tidak lain adalah paradigma tentang diri dan
Tuhan.
Terhentinya gerak tasawuf pada pusaran
praktis menunjukkan bahwa ilmu ini sedang berada pada jalur yang tidak semestinya.
Tasawuf sedang tersandera oleh praktik-praktik seremonial yang membuatnya tidak
mampu merangkak maju sebagai gerakan ilmu pengetahuan yang transformatif.
Karena itu buku ini bermaksud mengembalikan gerbong tasawuf ke dalam rel yang
sesungguhnya sebagai paradigma dan meletakkan perangkat praktisnya sebagai
penopang.
Pada sisi lain, buku ini juga bermaksud
mengimbangi -atau juga membantah paradigma positivistik yang sudah menggejala
dalam masyarakat modern; paradigma yang mau tidak mau berpengaruh pada cara
pandang kita tentang subjektivitas, objekti- vitas, agama, Tuhan dan kedirian.
Manusia tidak lagi leluasa dalam kerangka positivistik ini, menentukan
kediriannya sendiri karena – meminjam ungkapan Lewis Mumford manusia
dideinisikan bukan lagi oleh dirinya atau kekuatan supranatural seperti agama
dan Tuhan tetapi oleh investigasi saintifk. Dominasi wacana
Darwinian dalam ilmu biologi, wacana Marxian dalam ilmu sosiologi dan
kemanusiaan, atau wacana Claude Bernard, J.S. Haldane dan Walter Cannon dalam
ilmu psikologi sudah cukup menunjulkkan kecenderungan inl.
Dengan
demikian, ada dua kutub
ekstrem yang melalarbelakangi kehadiran buku ini, yaitu kemandegan
epistemologi tasawul dan progresivitas epistemologi Barat.
Secara
lebih konkret, gagasan
tentang tasawuf sebagai paradigma di dalam buku ini dibangun melalui kajian
tentang manusia yang dimaknai sebagai subjek spiritual yang mengetahui. Dalam
membangun argumentasinya, buku ini tidak hanya bersandar pada pengalaman
spiritual manusia sebagai individu yang bersifat subyektif, tetapi juga
mempertimbangkan asumsi-asumsi filosofis yang rasional seperti teori empirisme ala Suhrawardi
dan Mulla Sadra. Berbeda dengan kebanyakan ajaran sufi, buku ini mengusung
ide bahwa tasawuf tidak bisa
lepas dari empirisme. Empirisme yang dimaksud adalah yang meyakini bahwa
wujud-wujud empiris itu nyata karena dapat
hadir dalam kesadaran intuitif sang subjek.
Inilah alasan mengapa buku ini memilih istilah
"antropologi tasawuf sebagai judul. Kata "antropologi" ingin
mengesankan bahwa kajian ini menelusuri konsep-konsep mengenai manusia sebagai
wujud yang tidak bisa lepas dari realitas empiris. Sedang kata "tasawuf"
mengesankan bahwa buku ini
mengarah pada jenis antropologi yang mendalami manusia dari
sisi hakikatnya sebagai subjek
spiritual yang mengetahui.
Dikutip dari prakata Abdul Kadir Riyadi, Ph.D dalam
buku berjudul Antropologi Tasawuf : Wacana Manusia Spiritual dan Pengetahuan
Agar pembaca lebih mengulas lebih jauh, kami lampirkan
versi luring (offline) pada link pdf di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar