Pages

Jumat, 20 Desember 2019

Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan dalam Perspektif Sosiologi


 
Sumber gambar: menara62.com
Indonesia dalam kurun terakhir seakan berada dalam darurat “radikal” dan “radikalisme”. Radikalisme dan khususnya terorisme menjadi isu dan agenda penanggulangan utama. Narasi waspada kaum “jihadis”, “khilafah”, “wahabi”, dan lain-lain disertai berbagai kebijakan deradikasasi meluas di ruang publik. Isu tentang masjid, kampus, BUMN, majelis taklim, dan bahkan lembaga Pendidikan Usia Dini (PAUD) terpapar radikalisme demikian kuat dan terbuka di ruang publik yang menimbulkan kontroversi nasional.

Jika konsep radikal dikaitkan dengan apa yang oleh Taspinar (2015) disebut “violent movements” (gerakan kekerasan) seperti dalam berbagai kasus bom teror, penyerangan fisik, dan segala aksi atau tindakan kekerasan di Indonesia maka dapat dipahami sebagai pandangan dan kenyataan yang objektif. Radikalisme agama, termasuk di sebagian kecil kelompok umat Islam pun tentu merupakan fakta sosial yang nyata. Dalam posisi yang demikian baik pemerintah maupun banyak komponen bangsa berkomitmen untuk bersama menolak segala bentuk paham dan tindakan radikal atau radikalisme yang bermuara pada kekerasan, makar, dan merusak kehidupan manusia dan lingkungannya  yang Tuhan sendiri melarang tegas  karena masuk dalam tindakan “fasad fil-ardl” atau merusak di muka bumi (QS. Al-Baqarah [2]: 11, 12, 60; QS. Al-’A`raf [7]: 56, 74, 85; QS. Al-’Anfal [8]: 73; QS. Hud [11]: 85,116; QS. Ash-Shu`ara’ [26]: 151, 152; QS. Al-Qasas [28]: 77, 83, QS. Al-`Ankabut [29]: 36; QS. Ar-Rum [30]: 41; dll.).

Radikalisme agama memang terjadi dalam kehidupan, sebagaimana radikalisme lainnya di belahan bumi manapun. Stigma radikalisme Islam itu begitu kuat dan kadang bersentuhan dengan Islamophobia, yang akarnya kompleks, sebagaimana dijelaskan Esposito dan Deyra (2018): radicalism is used interchangeably when referring to Islamist radicalism or generically to denote levels of extremity. Islamophobia and Islamist Radicalism are exclusivist ideologies which survive and thrive by blaming, defaming and despising the other and such exclusivist ideologies do not occur in a vacuum. Fakta sosial pun tidak terbantahkan adanya gerakan kaum radikalis-ekstirmis seperti Hizbut Tahrir, Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, dan berbagai kelompok Jihadis baik di tingkat global maupun nasional dan lokal yang menimbulkan banyak persoalan dan kekerasan dalam perikehidupan umat manusia di era mutakhir.

Namun konsep dan aspek tentang radikalisme baik dalam pemikiran maupun kenyataan itu sesungguhnya bersifat universal atau berlaku umum, apakah di tingkat global atau internasional maupun domestik di Indonesia. Peristiwa teror di Masjid Christchurch Selandia Baru yang menewaskan 49 orang di dunia internasional, tidak dilakukan orang Islam, bahkan sasarannya jamaah di masjid. Demikian pula kejadian di tanah air seperti pembakaran masjid di Tolikara,  penyerangan kelompok bersenjata di Wamena yang menewaskan 33 korban jiwa dan ratusan luka-luka diiringi ribuan warga eksodus dari bumi Papua, pembunuhan 31 pekerja pembangunan jalan di Distrik Yigi-Nduga Papua, dan gerakan separatis yang mengancam keamanan rakyat dan negara. Semuanya menunjukkan fakta sosial tentang radikalisme, lebih khusus ekstremisme dan terorisme yang tidak sederhana dan bermuara pada satu golongan.

Menurut Menteri Pertahanan dan Keamanan RI, Ryamizard Ryacudu, penyerangan yang tetjadi di Nduga Papua pelakunya “bukan kelompok kriminal tapi pemberontak.” (https://www.bbc.com/indonesia/ indonesia-46435847, 27/12/2018). Sedangkan Menurut Andreas, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) merupakan “tindakan keji sebagai bentuk perlawanan terhadap NKRI,” ujar Andreas kepada Kompas.com, Selasa (4/12/2018), serta bukan merupakan tindakan kriminal biasa, tetapi “teror terhadap negara,” (https://nasional.kompas.com/read/2018/12/04/22052551/anggota-komisi-ipembunuhan-31-pekerja-di-nduga-papua-teror-terhadapnegara, 27/12/2018).

Demikian halnya—dalam konteks paham radikal— dengan kondisi kehidupan Indonesia yang semakin liberal dalam politik, ekonomi, dan budaya setelah dua dasawarsa era reformasi. Jika merujuk pada konsep dan istilah awal “radikal” yang pertama kali diperkenalkan oleh Charles James Fox  tahun 1797  yang  mendeklarasikan “reformasi radikal” dalam sistem pemilihan dan politik parlemen Inggris. Liberalisasi kehidupan kebangsaan setelah reformasi itu sesungguhnya radikal yang berada di balik Neoliberalisme dan Neokapitalisme yang mengancam Indonesia dan bertentangan dengan eksistensi NKRI yang diproklamasikan dan merdeka tahun 1945.

Setelah empat kali amandemen UUD 1945 banyak aspek mendasar mengalami perubahan yang “esktrem” seperti keberadaan MPR yang tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi Negara, pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang sangat liberal, demokratisasi pasal 33 yang mengandung unsur masuknya kepentingan kapitalisme, hilangnya kata “Indonesia aseli” dalam persyaratan menjadi Presiden, otonomi daerah yang menyerupai federasi, dan hal-hal lain yang memunculkan reaksi balik untuk kembali ke UUD 1945 yang aseli dan respons kontroversi lainnya. Demikian pula dengan praktik hegemoni penguasaan negara dan kekayaan alam Indonesia oleh segelintir pihak yang berselingkuh dengan politik oligarki yang sangat merugikan hajat hidup rakyat serta masa depan Indonesia. Persoalan kebangsaan yang demikian juga tidak terbebas dari tarikan radikalisme dan ekstremisme dalam ranah keindonesiaan yang kompleks.

Karenanya masalah radikalisme sebagaimana pada banyak masalah krusial di Indonesia mutakhir meniscayakan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh agar tidak terjebak pada kedangkalan cara pandang dan langkah yang diambil dalam mengatasinya, karena suatu masalah pada umumnya tidaklah sederhana dan terlepas dari ruang sosiologis yang mengitarinya. Pemahaman terhadap radikalisme dan persoalan-persoalan keindonesiaan meniscayakan pendekatan dan pemikiran yang komprehensif dan mendalam, antara lain melalui perspektif sosiologi. Dalam memahami radikalisme dalam konteks Indonesia dan keindonesiaan perlu pembacaan dan analisis yang multiperspektif serta sangat tidak memadai bila dicandra hanya dengan pandangan yang linier dan positivistik.

Kajian-kajian berdasar survey yang marak di Indonesia pasca reformasi seputar politik, keragaman atau pluralisme, radikalisme, terorisme, dan persoalan atau isu lainnya yang sering disebut sebagai masalah Indonesia tentu membantu memahami keindonesiaan dan bermanfaat untuk banyak kepentingan membangun Indonesia. Namun penting memberi catatan kritis atas kajian survey tersebut lebih-lebih manakala dikonstruksi secara dangkal, linier, dan parsial karena tidak akan memadai dalam membaca dan menjelaskan Indonesia dengan keindonesiaannya yang kompleks. Bersamaan dengan itu hasil-hasil survey yang terbatas itu jika dipahami secara mutlak dan tunggal maka akan melahirkan bias pemahaman tentang Indonesia dan keindonesiaan di era mutakhir, yang kemudian dapat membangun cara pandang yang melahirkan kebijakan yang tidak tepat seperti dalam menghadapi masalah radikalisme akhir-akhir ini.

Karenanya dapat dipahami adanya kontroversi tentang konsep radikalisme yang menjadi wacana publik di Indonsia terakhir karena masih membawa muatan pandangan dan pelekatan yang ambigu, dengan kecenderungam mengaitkan radikalisme pada sebatas radikalisme agama atau lebih khusus lagi radikalisme Islam. Kontroversi itu tentu bukan pada persoalan setuju dan tidak setuju dalam menghadapi radikalisme tetapi lebih pada perdebatan tentang konsep, pemikiran, sasaran atau objek, cakupan,  strategi atau cara, serta kebijakan tentang radikalisme di Indonesia. Tetapi lebih pada bagaimana masalah radikalisme dikaji dan dikonstruksi secara menyeluruh dengan sudut pandang yang mendalam dan multiperspektif, yang dapat didialogkan dalam kehidupan kebangsaan yang menjujung tinggi tradisi musyawarah sebagaimana spirit sila keempat Pancasila.

Dalam konteks memahami Indonesia dan keindonesiaan—yakni berbagai kaitan yang menyangkut keberadaan, keadaan, dinamika, dan aspek-aspek kebangsaan lainnya yang menyatu dengan identitas kebangsaan— yang kompleks dan tidak sederhana itu penting didalami dan diperbincangkan secara keilmuan terutama dalam perspektif sosiologi interpretatif (the sociology of interpretation) sebagaimana dikembangkan Max Weber. Dalam pandangan Weber seperti dikutip Ritzer (1992: 125), sosiologi ialah “...is a science concerning itself with the interpretative understanding of social action and thereby with a causal explanation of its course and consequence”. Sosiologi “interpretatif” (interpretative) atau sering disebut juga sosiologi interpretif (interpretive) berbasis pada ilmu pengetahuan “interpretive science”. Dalam perspektif sosiologi interpretatif dibahas fenomena yang mengandung makna problematik dengan tujuan mengungkap makna-makna yang memberikan dasar bagi tindakan manusia yang penuh arti, yang dalam diksi Weber untuk menemukan “the subjective meaning” atau arti-arti subjektif di balik fenomena atau perilaku verbal.

Dengan sosiologi interpretatif dapat diketahui pula pemahaman-pemahaman intersubjektif mengenai sistem-sistem simbol dalam kehidupan manusia dengan segala derivasinya (Pressler, 1996).  Perlu “tafsir sosial atas kenyataan” tentang radikalisme di Indonesia sebagaimana alat analisis interpretatif yang dikembangkan Berger dan Luckmann (1990), sehingga terbuka banyak pemaknaan atas persoalan radikalisme dalam berbagai kaitannya yang bersifat subjektif, objektif, dan intra-subjektif satu sama lain. Perlu pemahaman yang mendalam (verstehen, emik, dan ideografis) seputar isu radikalisme dan berbagai tautannya dalam kehidupan kebangsaan di Indonesia akhir-akhir ini. Agar persoalan radikalisme tidak linier dan hanya ditujukan pada satu objek dengan mengabaikan objek lainnya, serta menggunakan satu sudut pandang berpijak survey atau kajian terbatas, tanpa mengkaji secara multiaspek dan dengan pandangan multiperspektif.

Berangkat dari permasalahan tersebut maka penting dikaji terutama dengan menggunakan perspektif sosiologi bagaimana menjelaskan masalah radikalisme di Indonesia secara mendalam serta mengembangkan moderasi keindonesiaan sebagai jalan baru menuju Indonesia ke depan sebagaimana cita-cita para pejuang dan pendiri bangsa. Berdasar latarbelakang permasalahan tersebut maka dalam pengukuhan Guru Besar ini, penulis mengangkat bahasan tentang “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan dalam Perspektif Sosiologi”.

Dikutip dari pendahuluan pidato pengukuhan Guru Besar Haedar Nashir

Agar pembaca bisa mengeksplor lebih jauh, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer