Indonesia dalam kurun terakhir seakan
berada dalam darurat “radikal” dan “radikalisme”. Radikalisme dan khususnya
terorisme menjadi isu dan agenda penanggulangan utama. Narasi waspada kaum
“jihadis”, “khilafah”, “wahabi”, dan lain-lain disertai berbagai kebijakan
deradikasasi meluas di ruang publik. Isu tentang masjid, kampus, BUMN, majelis
taklim, dan bahkan lembaga Pendidikan Usia Dini (PAUD) terpapar radikalisme
demikian kuat dan terbuka di ruang publik yang menimbulkan kontroversi
nasional.
Jika konsep radikal dikaitkan dengan
apa yang oleh Taspinar (2015) disebut “violent movements” (gerakan kekerasan)
seperti dalam berbagai kasus bom teror, penyerangan fisik, dan segala aksi atau
tindakan kekerasan di Indonesia maka dapat dipahami sebagai pandangan dan kenyataan yang objektif. Radikalisme agama, termasuk di sebagian
kecil kelompok umat Islam pun tentu merupakan fakta sosial yang nyata. Dalam
posisi yang demikian baik pemerintah maupun banyak komponen bangsa berkomitmen
untuk bersama menolak segala bentuk paham dan tindakan radikal atau radikalisme
yang bermuara pada kekerasan, makar, dan merusak kehidupan manusia dan
lingkungannya yang Tuhan sendiri
melarang tegas karena masuk dalam
tindakan “fasad fil-ardl” atau merusak di muka bumi (QS. Al-Baqarah [2]: 11,
12, 60; QS. Al-’A`raf [7]: 56, 74, 85; QS. Al-’Anfal [8]: 73; QS. Hud [11]:
85,116; QS. Ash-Shu`ara’ [26]: 151, 152; QS. Al-Qasas [28]: 77, 83, QS.
Al-`Ankabut [29]: 36; QS. Ar-Rum [30]: 41; dll.).
Radikalisme
agama memang terjadi dalam kehidupan, sebagaimana radikalisme lainnya di
belahan bumi manapun. Stigma radikalisme Islam itu begitu kuat dan kadang
bersentuhan dengan Islamophobia, yang akarnya kompleks, sebagaimana dijelaskan
Esposito dan Deyra (2018): radicalism is used interchangeably when referring
to Islamist radicalism or generically to denote levels of extremity.
Islamophobia and Islamist Radicalism are exclusivist ideologies which survive
and thrive by blaming, defaming and despising the other and such exclusivist
ideologies do not occur in a vacuum. Fakta sosial pun tidak terbantahkan
adanya gerakan kaum radikalis-ekstirmis seperti Hizbut Tahrir, Al-Qaeda, Jamaah
Islamiyah, dan berbagai kelompok Jihadis baik di tingkat global maupun nasional
dan lokal yang menimbulkan banyak persoalan dan kekerasan dalam perikehidupan
umat manusia di era mutakhir.
Namun
konsep dan aspek tentang radikalisme baik dalam pemikiran maupun kenyataan itu
sesungguhnya bersifat universal atau berlaku umum, apakah di tingkat global
atau internasional maupun domestik di Indonesia. Peristiwa teror di Masjid
Christchurch Selandia Baru yang menewaskan 49 orang di dunia internasional,
tidak dilakukan orang Islam, bahkan sasarannya jamaah di masjid. Demikian pula
kejadian di tanah air seperti pembakaran masjid di Tolikara, penyerangan kelompok bersenjata di Wamena
yang menewaskan 33 korban jiwa dan ratusan luka-luka diiringi ribuan warga
eksodus dari bumi Papua, pembunuhan 31 pekerja pembangunan jalan di Distrik
Yigi-Nduga Papua, dan gerakan separatis yang mengancam keamanan rakyat dan
negara. Semuanya menunjukkan fakta sosial tentang radikalisme, lebih khusus
ekstremisme dan terorisme yang tidak sederhana dan bermuara pada satu golongan.
Menurut
Menteri Pertahanan dan Keamanan RI, Ryamizard Ryacudu, penyerangan yang tetjadi
di Nduga Papua pelakunya “bukan kelompok kriminal tapi pemberontak.”
(https://www.bbc.com/indonesia/ indonesia-46435847, 27/12/2018). Sedangkan
Menurut Andreas, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
merupakan “tindakan keji sebagai bentuk perlawanan terhadap NKRI,” ujar Andreas
kepada Kompas.com, Selasa (4/12/2018), serta bukan merupakan tindakan kriminal
biasa, tetapi “teror terhadap negara,” (https://nasional.kompas.com/read/2018/12/04/22052551/anggota-komisi-ipembunuhan-31-pekerja-di-nduga-papua-teror-terhadapnegara,
27/12/2018).
Demikian
halnya—dalam konteks paham radikal— dengan kondisi kehidupan Indonesia yang
semakin liberal dalam politik, ekonomi, dan budaya setelah dua dasawarsa era
reformasi. Jika merujuk pada konsep dan istilah awal “radikal” yang pertama
kali diperkenalkan oleh Charles James Fox
tahun 1797 yang mendeklarasikan “reformasi radikal” dalam
sistem pemilihan dan politik parlemen Inggris. Liberalisasi kehidupan
kebangsaan setelah reformasi itu sesungguhnya radikal yang berada di balik
Neoliberalisme dan Neokapitalisme yang mengancam Indonesia dan bertentangan
dengan eksistensi NKRI yang diproklamasikan dan merdeka tahun 1945.
Setelah
empat kali amandemen UUD 1945 banyak aspek mendasar mengalami perubahan yang
“esktrem” seperti keberadaan MPR yang tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi
Negara, pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang sangat liberal,
demokratisasi pasal 33 yang mengandung unsur masuknya kepentingan kapitalisme,
hilangnya kata “Indonesia aseli” dalam persyaratan menjadi Presiden, otonomi
daerah yang menyerupai federasi, dan hal-hal lain yang memunculkan reaksi balik
untuk kembali ke UUD 1945 yang aseli dan respons kontroversi lainnya. Demikian pula
dengan praktik hegemoni penguasaan negara dan kekayaan alam Indonesia oleh
segelintir pihak yang berselingkuh dengan politik oligarki yang sangat
merugikan hajat hidup rakyat serta masa depan Indonesia. Persoalan kebangsaan
yang demikian juga tidak terbebas dari tarikan radikalisme dan ekstremisme
dalam ranah keindonesiaan yang kompleks.
Karenanya
masalah radikalisme sebagaimana pada banyak masalah krusial di Indonesia
mutakhir meniscayakan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh agar tidak
terjebak pada kedangkalan cara pandang dan langkah yang diambil dalam mengatasinya,
karena suatu masalah pada umumnya tidaklah sederhana dan terlepas dari ruang
sosiologis yang mengitarinya. Pemahaman terhadap radikalisme dan
persoalan-persoalan keindonesiaan meniscayakan pendekatan dan pemikiran yang
komprehensif dan mendalam, antara lain melalui perspektif sosiologi. Dalam
memahami radikalisme dalam konteks Indonesia dan keindonesiaan perlu pembacaan
dan analisis yang multiperspektif serta sangat tidak memadai bila dicandra
hanya dengan pandangan yang linier dan positivistik.
Kajian-kajian
berdasar survey yang marak di Indonesia pasca reformasi seputar politik,
keragaman atau pluralisme, radikalisme, terorisme, dan persoalan atau isu
lainnya yang sering disebut sebagai masalah Indonesia tentu membantu memahami
keindonesiaan dan bermanfaat untuk banyak kepentingan membangun Indonesia.
Namun penting memberi catatan kritis atas kajian survey tersebut lebih-lebih
manakala dikonstruksi secara dangkal, linier, dan parsial karena tidak akan
memadai dalam membaca dan menjelaskan Indonesia dengan keindonesiaannya yang
kompleks. Bersamaan dengan itu hasil-hasil survey yang terbatas itu jika
dipahami secara mutlak dan tunggal maka akan melahirkan bias pemahaman tentang
Indonesia dan keindonesiaan di era mutakhir, yang kemudian dapat membangun cara
pandang yang melahirkan kebijakan yang tidak tepat seperti dalam menghadapi
masalah radikalisme akhir-akhir ini.
Karenanya
dapat dipahami adanya kontroversi tentang konsep radikalisme yang menjadi
wacana publik di Indonsia terakhir karena masih membawa muatan pandangan dan
pelekatan yang ambigu, dengan kecenderungam mengaitkan radikalisme pada sebatas
radikalisme agama atau lebih khusus lagi radikalisme Islam. Kontroversi itu
tentu bukan pada persoalan setuju dan tidak setuju dalam menghadapi radikalisme
tetapi lebih pada perdebatan tentang konsep, pemikiran, sasaran atau objek,
cakupan, strategi atau cara, serta
kebijakan tentang radikalisme di Indonesia. Tetapi lebih pada bagaimana masalah
radikalisme dikaji dan dikonstruksi secara menyeluruh dengan sudut pandang yang
mendalam dan multiperspektif, yang dapat didialogkan dalam kehidupan kebangsaan
yang menjujung tinggi tradisi musyawarah sebagaimana spirit sila keempat
Pancasila.
Dalam
konteks memahami Indonesia dan keindonesiaan—yakni berbagai kaitan yang menyangkut
keberadaan, keadaan, dinamika, dan aspek-aspek kebangsaan lainnya yang menyatu
dengan identitas kebangsaan— yang kompleks dan tidak sederhana itu penting
didalami dan diperbincangkan secara keilmuan terutama dalam perspektif
sosiologi interpretatif (the sociology of interpretation) sebagaimana
dikembangkan Max Weber. Dalam pandangan Weber seperti dikutip Ritzer (1992:
125), sosiologi ialah “...is a science concerning itself with the
interpretative understanding of social action and thereby with a causal
explanation of its course and consequence”. Sosiologi “interpretatif” (interpretative)
atau sering disebut juga sosiologi interpretif (interpretive) berbasis
pada ilmu pengetahuan “interpretive science”. Dalam perspektif sosiologi
interpretatif dibahas fenomena yang mengandung makna problematik dengan tujuan
mengungkap makna-makna yang memberikan dasar bagi tindakan manusia yang penuh
arti, yang dalam diksi Weber untuk menemukan “the subjective meaning” atau
arti-arti subjektif di balik fenomena atau perilaku verbal.
Dengan
sosiologi interpretatif dapat diketahui pula pemahaman-pemahaman intersubjektif
mengenai sistem-sistem simbol dalam kehidupan manusia dengan segala derivasinya
(Pressler, 1996). Perlu “tafsir sosial
atas kenyataan” tentang radikalisme di Indonesia sebagaimana alat analisis
interpretatif yang dikembangkan Berger dan Luckmann (1990), sehingga terbuka
banyak pemaknaan atas persoalan radikalisme dalam berbagai kaitannya yang
bersifat subjektif, objektif, dan intra-subjektif satu sama lain. Perlu
pemahaman yang mendalam (verstehen, emik, dan ideografis) seputar isu
radikalisme dan berbagai tautannya dalam kehidupan kebangsaan di Indonesia
akhir-akhir ini. Agar persoalan radikalisme tidak linier dan hanya ditujukan
pada satu objek dengan mengabaikan objek lainnya, serta menggunakan satu sudut
pandang berpijak survey atau kajian terbatas, tanpa mengkaji secara multiaspek
dan dengan pandangan multiperspektif.
Berangkat
dari permasalahan tersebut maka penting dikaji terutama dengan menggunakan
perspektif sosiologi bagaimana menjelaskan masalah radikalisme di Indonesia
secara mendalam serta mengembangkan moderasi keindonesiaan sebagai jalan baru
menuju Indonesia ke depan sebagaimana cita-cita para pejuang dan pendiri
bangsa. Berdasar latarbelakang permasalahan tersebut maka dalam pengukuhan Guru
Besar ini, penulis mengangkat bahasan tentang “Moderasi Indonesia dan
Keindonesiaan dalam Perspektif Sosiologi”.
Dikutip
dari pendahuluan pidato pengukuhan Guru Besar Haedar Nashir
Agar
pembaca bisa mengeksplor lebih jauh, kami lampirkan versi luring (offline) pdf
pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar