Para
santri dan sarjana yang mempelajari dan mengkaji mazhab Syafi’i (mazhab fikih
yang dominan di kawasan Asia Tenggara, terutama di Indonesia) pasti mengenal
kitab yang satu ini: al-Muhazzab,
karya seorang ulama penting bernama: Syekh Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476 AH/1083
AD).
Imam
Syirazi hidup satu generasi sebelum Imam Ghazali. Dua ulama ini, yaitu
al-Syirazi dan al-Ghazali, menulis dua kitab yang dianggap sebagai rujukan
utama dalam lingkungan mazhab Syafi’i. Jika al-Syirazi menulis al-Muhazzab (yang akan
menjadi bahasan dalam tulisan saya ini), al-Ghazali menulis trilogi kitab fiqh
yang terkenal: al-Basith,
al-Wasith, dan al-Wajiz. Di antara tiga seri kitab ini, kitab al-Wasith-lah yang paling
terkenal.
Hingga
sekarang, kitab Muhazzab masih diajarkan di seluruh pesantren NU di
Jawa, dan dibaca oleh para kiai sebagai “balah pasanan”, yaitu kitab yang
dibaca secara cepat selama bulan puasa.
Saking
populernya kitab Muhazzab ini, nama pengarangnya banyak dipakai sebagai
nama anak-anak keluarga santri. Kita berjumpa dengan ratusan, mungkin ribuan
orang-orang muslim di Indonesia yang menyandang nama “Syirazi”.
Kata
al-Syirazi berasal dari kata “syiraz”, nama sebuah kota di Iran. Disebut
sebagai “al-Syirazi”, karena sosok kita ini pernah tinggal dan belajar di sana
selama beberapa waktu, sehingga dikenal dengan sebutan “al-Syirazi” (secara
harafiah maknanya: berasal dari kota Syiraz). Nama aslinya sendiri adalah
Ibrahim bin Ali. Tetapi khalayak umum lebih mengenalnya sebagai Imam
al-Syirazi. Nama aslinya malahan jarang diketahui oleh umum, senasib dengan
Imam al-Ghazali, Imam al-Syafii, dan nama-nama besar lainnya.
Kenapa kitab
Muhazzab begitu terkenal?
Alasannya,
antara lain, karena dalam kitab ini termuat ringkasan (“muhazzab” secara
harafiah berarti: ringkasan) dari apa yang oleh Imam al-Syirazi, dalam
muqaddimah kitab ini, disebut sebagai “pendapat-pendapat Imam Syafi’i” (نصوص الشافعى).
Dalam kitab
ini, Imam al-Syirazi meringkaskan seluruh pendapat Imam Syafi’i yang termuat
dalam kitab-kitabnya yang utama, yaitu: al-Umm, al-Imla‘ dan al-Mukhtasar.
Membaca kitab Muhazzab sudah mencukupi untuk membantu kita mempelajari
pokok-pokok pendapat Imam Syafi’i dalam segala soal yang menjadi pembahasan
dalam ilmu fikih (tentu saja yang dimaksud di sini adalah “pendapat baru” yang
dikenal dengan “qaul jadid”, yaitu pendapat Imam Syafi’i saat tinggal di Mesir,
dan menjadi pegangan dalam mazhab).
Kitab Muhazzab
adalah semacam ringkasan dan sekaligus ensiklopedi yang memuat semua pendapat
Imam al-Syafi’i. Mempelajari kitab ini sudah cukup untuk memberikan kepada
seorang ulama atau sarjana “a solid footing”, landasan yang kokoh dalam
memahami kompleksitas mazhab Syafi’i.
Imam
al-Syirazi membutuhkan tak kurang dari empat belas tahun untuk menulis kitab
ini. Lamanya waktu untuk menyelesaikan kitab ini jelas menunjukkan betapa
seriusnya ulama kita di zaman dahulu dalam menjalani karir keulamaan dan
kesarjanaan. Konon, seperti dikisahkan dalam kitab “Thabaqat al-Syafi’iyyah
al-Kubra” karya Imam Abdul Wahhab al-Subki (w. 771 AH/1370 AD), setiap
menyesaikan satu fasal dalam kitab ini, Imam Syirazi melakukan salat sunah dua
rakaat.
Perihal
salat sunah dua rakaat sebagai ritual dalam penulisan kitab ini, kita membaca
banyak kisah yang serupa dengan kisah Imam al-Syirazi ini. Imam Bukhari(256
AH/870 AD), penulis kitab kumpulan hadis yang masyhur “Shahih al-Bukhari” itu,
misalnya, dikisahkan melakukan hal serupa: beliau selalu melakukan salat sunnah
dua rakaat sebelum menuliskan satu hadis (ingat: satu hadis!). Jika kitab Shahih
al-Bukhari memuat sekitar enam ribuan hadis, paling tidak Imam Bukhari
melaksanakan salat sunnah sebanyak dua belas ribu rakaat selama menyelesaikan
karya agungnya ini.
Konon,
filsuf besar Muslim Ibn Sina (w. 427 AH/1037 AD) juga melakukan hal yang sama.
Setiap menulis karya filsafat, dan “mandeg-jegrek” karena menghadapi soal yang
musykil dan rumit, Ibnu Sina konon istirahat sejenak, lalu melakukan salat
sunnah dua rakaat. Seringkali, setelah salat, Ibn Sina akan mendapatkan
“pencerahan” dan jawaban atas kemusykilan yang ia hadapi itu.
Jika kita
membaca tradisi “literasi” atau kepengarangan di era klasik, tampak bahwa
ritual atau kebiasaan salat sunnah dua rakaat ini adalah tradisi yang umum di
kalangan ulama. Salat sunnah, bagi ulama zaman dulu, adalah semacam alat
pemecah untuk mengatasi “writer’s block”, yaitu keadaan saat seorang penulis
mengalami kemacetan dan kehilangan ide sama sekali.
Kembali
kepada kitab Muhazzab. Pengaruh kitab ini begitu besarnya di kalangan
ulama mazhab Syafi’i, sehingga ia menjadi rujukan utama –bersama kitab al-Wasith
karya al-Ghazali– selama berabad-abad hingga lahirlah dua imam besar: yaitu
Imam Rafi’i (w. 623 AH/1226 AD) dan Imam Nawawi (w. 676 AH/1277 AD).
Setelah
munculnya dua sosok ini, pengaruh Imam al-Syirazi dan kitab Muhazzab
mulai merosot, digantikan oleh karya kedua imam tersebut. Setelah abad ke-13,
rujukan yang dominan di lingkungan mazhab Syafi’i bergeser dari al-Wasith
(karya al-Ghazali) dan al-Muhazzab (karya al-Syirazi) ke karya-karya
Imam Nawawi, terutama karya beliau yang berjudul “Minhaj al-Thalibin”, selain
kitab al-Muharrar karya Imam al-Rafi’i.
Meski kitab Muhazzab
masih dikaji di kalangan pesantren dan madrasah tradisional di seluruh dunia
Islam hingga sekarang, tetapi popularitasnya mulai “disalip” oleh karya-karya
Imam Nawawi seperti “Minhaj” itu. Kitab “Fath al-Wahhab” karya Imam Zakariyya
al-Ansari (w. 926 AH/1520 AD) yang amat populer di pesantren itu, misalnya,
adalah syarah (komentar) atas kitab lain yang berjudul “Manhaj al-Thullab”.
Kitab yang terakhir ini adalah merupakan ringkasan yang ditulis oleh Imam
Zakariyya al-Ansari atas kitab Minhaj al-Thalibin karya Imam Nawawi
tersebut.
Begitu juga
kitab Tuhfat al-Muhtaj karya Imam Ibn Hajar al-Haitami (w. 973 AH/1566
AD) yang banyak dipakai sebagai rujukan dalam forum “bahsul masa’il” (forum
untuk merumuskan fatwa) di lingkungan NU, adalah syarah atau komentar atas
kitab Minhaj karya al-Nawawi di atas.
Dalam
lingkungan mazhab Syafi’i, Imam Nawawi bisa dianggap sebagai “al-mu’tamad fi
al-madzhab”, rujukan yang paling valid. Jika terjadi persilisihan dalam mazhab,
maka pendapat yang dianggap paling valid dan bisa dipegang adalah pendapat Imam
Nawawi.
Meskipun
demikian, pengaruh Imam Syirazi dengan Muhazzab-nya tidaklah hilang dan
pudar sama sekali. Kitab ini masih tetap menjadi rujukan penting dalam mazhab
Syafi’i. Imam Nawawi sendiri menulis syarah atau komentar yang massif dan tebal
sekali (dalam edisi Maktabat al-Irshad, syarah ini terbit dalam dua puluh tiga
jilid) atas kitab Muhazzab ini. Syarah itu berjudul: al-Majmu’ Syarh
al-Muhazzab.
Pengaruh
Imam Syirazi tidak melulu melalui Muhazzab. Dia juga meninggalkan
“warisan intelektual” yang penting dalam ilmu ushul al-fiqh (teori hukum
Islam), melalui dua kitabnya yang penting: al-Tabshirah dan al-Luma‘.
Kitab yang pertama kurang populer di kalangan pesantren. Tetapi kitab yang
kedua, yaitu al-Luma’, banyak diajarkan di pesantren, hingga sekarang.
Guru saya, almarhum Kiai Sahal Mahfudz, bahkan sempat menulis syarah atau
komentar atas kitab ini.
Mari kita
hadiahkan Fatihah kepada semua orang-orang agung
yang meninggalkan warisan
intelektual yang agung ini. AlFatihah…
Dikutip dari alif.id
0 komentar:
Posting Komentar