Buku
yang ditulis oleh Abdul Kadir Riyadi memiliki judul lengkap Arkeologi tasawuf; Melacak Jejak Pemikiran Tasawuf dari Al
Muhasibi hingga Tasawuf Nusantara. Sebuah buku yang memaparkan
tentang fakta (sejarah?) perlintasan tasawuf dari gagasan, tokoh, laku serta
fakta-fakta yang melingkupinya. Tokoh yang dikaji secara spesifik dan serius
setidaknya ada 16 (enam belas) orang dimulai dari Al Muhasibi di Basrah, Iraq,
sampai dengan al Jawi di nusantara. Keenam belas tokoh yang dikaji tersebut
bukan hanya sebagai orang yang berkutat pada ranah tasawuf nadhari saja melainkan juga
orang melakukan suluk atau
pelaku tasawuf amali.
Abdul
Kadir Riyadi memperlakukan tasawuf berikut dengan fakta dan data yang menyertainya
sebagai benda ‘kramat’ yang bernilai tinggi, hingga pada akhirnya terkuak dalam
penelitian tersebut adanya fakta-fakta sejarah yang (sengaja) dikuburkan atau
diabaikan. Fakta yang dipaparkan dalam buku ini dimulai semenjak abad 9
(sembilan) atau dua abad setelah agama Islam datang, dengan menyajikan
kenyataan bahwa pada masanya fiqih pernah berada diatas awan, menghegemoni
ilmu-ilmu yang tak bersandar padanya, tapi realitasnya ada sesuatu yang tak
bisa lagi dibendung. Kebutuhan serta kegairahan inetelektual akhirnya
memunculkan beragam kajian seperti hadis, tafsir, kalam dan juga tasawuf. Fakta
bahwa tasawuf berteman mesra dengan filsafat melalui Mulla Sadra ataupun
Syihabuddin Yahya Suhrawardi, hingga pada abad 19 (sembilan belas) dimana
tasawuf berkembang di nusantara.
Kekhasan
yang dimiliki buku Arkeologi tasawuf; Melacak Jejak Pemikiran Tasawuf dari Al
Muhasibi hingga Tasawuf Nusantara adalah kemampuannya untuk
menarik benang merah antara tasawuf bermula (generasi pertama) hingga sampai di
nusantara. Buku ini tentu saja tak bisa dibandingkan dengan buku seorang
pemikir Barat, William C. Chittick, yang berjudul Tasawuf di Mata Kaum Sufi – sebuah buku yang
layak mendapatkan perhatian bukan saja karena Chittick memaparkan tentang
sejarah perkembangan dan pertumbuhan tasawuf, namun juga memaparkan tentang
keyakinan dan praktik tasawuf pada figur-figur sufi terkemuka dan fenomena
tasawuf di tengah kehidupan modern -, meski sama-sama mengulas historitas
tasawuf dan tokohnya namun arah yang dituju oleh kedua berbeda, juga metode
pendekatan yang berbeda pula.
Jalan Kasih
Pemaknaan
tasawuf tidaklah tunggal, ia mengalami banyak banyak tarik ulur beberapa
kalangan yang merasa berhak untuk memberinya makna dan definisi. Namun, salah
satu ciri mendasar dari jalan yang tempuh para sufi ini adalah kasih, mereka
lebih mengedepankan laku asih dalam berdakwah. Salah satu ulama yang menjalankan
dakwah dengan menggunakan pendekatan tasawuf adalah Malik Ibrahim — satu
dari Wali Sanga- seorang ulama dari Yaman yang berdakwah di nusantara,
khususnya Jawa. Malik Ibrahim tidak memilih pendekatan teologis, ideologis atau
politis dalam berdakwah, ia lebih memilih berdakyah dengan gaya tasawuf Yaman
(Negara dimana beliau berasal) yang lebih mengedepankan estetika melalui musik
dan lagu, metode seperti ini disebut dengan tasawuf-seni.
Penerus
Malik Ibrahim seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat dan Sunan Kalijaga juga
menggunkan metode tasawuf-seni untuk berdakwah, karena dinilai berhasil dan
cocok dengan masyarakat Jawa dengan budayanya pada saat itu. Berbeda halnya
dengan Syaikh Abu al-Khoir al-Hajar, Syaikh al Yamani dan Syaik Muhammad Jilani
Bin Hasan Bin Muhammad Hamid al-Raniri yang menuai “kegagalan” dakwah karena
menggunakan pendekatan dogmatik, yaitu pendekatan yang hanya mengenalkan ajaarn
Islam secara hitam dan putih. Padahal, ketiga ulama itu pernah berdakwah di
Aceh pada tahun 1582 jauh setelah Malik Ibrahim berdakwah di Jawa pada tahun
1404-1419.
Koreksi
Selain
memaparkan tentang biografi dan gagasasan para sufi, dalam buku ini Abdul Kadir
Riyadi melakukan beberapa koreksi pada orientalis seperti A.H Johns yang
mengatakan bahwa Wali Sanga adalah pendakwah paripatetik, juga koreksi pada
Clifford Geertz tentang pembagian komunitas beragama di Jawa menjadi santri,
priyayi, dan abangan. Koreksi yang diberikan oleh Abdul Kadir Riyadi tidak bisa
dianggap hanya sekelebat pandang saja, karena data-data yang diberikan terasa
sulit untuk dibantah. Dua orientalis beda Negara itu juga dikoreksi atas
pendapat mereka yang menilai bahwa keberhasilan islamisasi di Jawa oleh para
Wali tidak luput kekuatan sihir (magical
power), pandangan itu disayangkan oleh Abdul Kadir Riyadi bukan
hanya karena tidak jelas alasan-alasannya, sebab bisa jadi yang dianggap magical power oleh Johns
dan Geertz adalah karamah.
Dan jika memang karamah yang
dimaksudkan oleh Johns dan Geertz maka pemahaman mereka terlalu rendah untuk konsep
karamah.
Selain
koreksi, kritik juga diberikan pada peneliti yang (dianggap) ceroboh dengan
tidak menyebut secara utuh tokoh yang dikaji. Kritik salah satunya disampaikan
pada Muhammad Kamal –seorang peneliti dari Universitas of Melbourne – yang
tidak menjelaskan Suhrawardi yang manakah yang ia maksud dalam artikel yang
berjudul Rethinking Being:
From Suhravardi to Mulla Sadra, apakah Syihabuddin Yahya Suhrawardi
ataukah Syihabuddin Umar Suhrawardi. Koreksi ini menjadi penting, sehingga
tidak ada kesalahpahaman ataupun kekeliruan diantara kedua tokoh yang sama-sama
lahir di Suhraward itu.
Menyeruak Yang Tersembunyi
Fakta
yang tidak bisa dipungkiri dari lintasan tasawuf dan tokoh-tokohnya adalah
adanya proses pengaruh mempengrauhi atau keterpengaruhan satu sufi dengan yang
lainnya. Ada tali penghubung antar tokoh tasawuf tersebut, memang tidak bisa
disimplifikasi jika semua gagasan yang dilahirkan adalah hasil keterpengaruhan.
Namun kita bisa melihatnya lewat Umar Suhrawardi yang terpengaruh oleh Abdul Qadir
Jailani dalam gagasan tajrid
dan tafrid, Mulla
Sadra yang terpengaruh oleh Mir Damad, atau al Hujwiri yang terpengaruh oleh
Abu al-Qasim Ali al-Jurjani.
Bagian
akhir buku ini mengungkap fakta menarik yaitu adanya unsur kesengajaan menutupi
hubungan tasawuf di nusantara dengan gaagsan tasawuf wujudi ala Ibn Arabi; Penelusuran arkeologi tasawuf yang
berakhir di Nusantara menemukan bahwa ada unsur kesengajaan untuk mengubur Ibn
Arabi dan menelantarkan gagasannya agar tidak dapat berkembang
(hal. 376). Unsur kesengajaan itu tak lepas dari anggapan penerus Al Jawi
(seorang tokoh dibalik bangkitnya Islam nusantara, yang juga guru dari Hasyim
Asy’ari dan Ahmad dahlan), yang mengganggap Ibn Arabi berada dalam kesesatan
dan melakukan bid’ah.
penerus Al Jawi lebih menggaungkan nama al-Ghozali ketimbang Ibn Arabi,
Meskipun sudah sekuat tenaga al- Jawi menaruh hormat pada Ibn Arabi dengan
menyebutnya sayyidi
dalam bukunya yang berjudul al-Futuhat
al-Madaniyah.
Orang
pertama yang disinyalir membawa pemikiran Ibn Arabi ke Nusantara adalah Hamzah
Fansuri (1550-1605), pendapat itu diungkap dalam buku Semesta Cinta; Pengantar Kepada Pemikiran Ibn Arabi
yang ditulis oleh Haidar Bagir. Haidar Bagir mencatat ulama nusantara yang
terpengaruh dengan Ibn Arabi adalah Syaikh Muhyiddin al Jawi (1821),
Ronggowarsito (1800), Syaikh Abd. Shomad al-Palimbani (1700) Syaikh Yusuf al
Makassar (1626). Selian itu, masih dalam catatan Haidar Bagir, jalur lain
penyebaran tasawuf wujudi Ibn Arabi datang bersama dengan thariqah alawiyah
oleh Muhammad bin Ali (1176-1264). Pandangan yang kedua ini, juga diamini oleh
Azumardi Azra dalam buku Jaringan
Ulama Nusantara (dan juga peneliti lainnya), bahwa gagasan Ibn
Arabi di nusantara ini dibawa oleh pemikir Islam nusantara yang tidak lain
adalah murid dari kalangan alawiyyin,
seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin al Sumatrani (w. 1630), Abd.
Al-Rauf Sinkel (1024-1105), Syaikh Yusuf Makassari (1037-1111), Abdul Shamad
al-palimbani (1704-1785), Muhammad Arsyad al-banjari (1710-1815).
Al Jawi
yang dimaksudkan oleh Abdul Kadir Riyadi nampaknya berbeda dengan al Jawi yang
disebut oleh Haidar Bagir sebagai ulama yang terpengaruh oleh Ibn Arabi. al
Jawi yang dimaksud oleh Abdul Kadir Riyadi adalah Muhammad Umar Nawawi al Jawi,
sedangkan yang dicantumkan oleh Haidar Bagir sebagai orang yang terpengaruh
oleh Ibn Arabi adalah Syaikh Muhyiddin al Jawi. Kata al- Jawi sendiri adalah
penisbahan nama pada tanah Jawa sebagai asal-usul lahir atau datangnya seorang
ulama. Banyak sekali ulama nusantara waktu itu menggunakan al-Jawi dibelakang
nama mereka. Sayangnya, saat menulis penutup buku ini, Abdul Kadir Riyadi hanya
menulis nama al-Jawi saja tanpa menyebutkan nama depannya. Nama lengkap al-Jawi
yang dimaksudkan oleh Abdul Kadir Riyadi hanya menjadi catatan kaki saat
menyebut kitab yang dikarang. Hal semacam ini agaknya menjadi kerancuan bagi
pembaca pemula, karena akan mereka juga akan menerka-nerka al_Jawi manakah yang
dimaksud.
Melihat
tulisan penutup dalam buku ini seolah mendapatkan dua hal sekaligus. Pertama, kita akan
disuguhkan oleh fakta tentang adanya upaya mengubur gagasan salah satu tokoh
tasawuf yang dianggap kontroversial. Dan kedua,
sepertinya Abdul Kadir Riyadi mengulangi kecerobohan beberapa penulis atau
peneliti yang pernah ia kritik sendiri, ketika mereka tidak menulis secara
lengkap nama tokoh yang sedang diteliti. Karena nama akhir, nama yang
seringkali menggunakan penisbahan wilayah, tidaklah dimiliki oleh satu orang
saja. hanya menyebut nama akhir (yang merupakan nisbah wilayah), memungkinkan
untuk disalahpahami atau tertukar dengan yang lainnya
Dikutip dari mizan.com
Agar pembaca lebih mengulas lebih jauh, kami lampirkan
versi luring (offline) pada link pdf di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar