Nasionalisme
dalam konteks sejarah Indonesia, tampaknya dimaknai sebagai kepercayaan dan
tindakan politik untuk mengubah secara radikal status Indonesia sebagai bangsa
terjajah menjadi bangsa merdeka. Dalam kalimat lain, nasionalisme Indonesia
bertujuan untuk meruntuhkan sistem kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk
apapun dan dari manapun asalnya. Alinea pertama UUD (Undang-Undang Dasar) 1945
menegaskan rumusan kepercayaan dan tindakan itu sebagai berikut: “Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.”
Kemudian
Islam sebagai doktrin dan tindakan pembebasan yang dianut oleh mayoritas penduduk
Indonesia sudah sejak kedatangan kaum penjajah ke Nusantara, menunjukkan
wataknya yang sangat anti-penjajahan demi kemerdekaan. Adapun penganut
Islam Nusantara tidak berjaya menghalau penjajahan sampai dengan masa
proklamasi 17 Agustus 1945, semata-mata karena persoalan sejarah sebagaimana
akan saya uraikan dalam tulisan ini.
Menurut
Soekarno, nasionalisme atau perasaan nasionalistis itu “menimbulkan rasa
percaya akan diri sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali untuk
mempertahankan diri di dalam perjuangan menempuh keadaan-keadaan yang mau
mengalahkan kita.” Dikatakan juga bahwa “Nasionalisme itu ialah suatu iktikad;
suatu keinsafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu
‘bangsa’!”
Dalam perkembangannya,
nasionalisme Indonesia tidak saja ditujukan untuk melawan kolonialisme Barat,
tetapi untuk melawan semua tipe kolonialisme. Di sini Islam sebagai kekuatan
pembebas tidak saja bergandengan dengan nasionalisme itu, tetapi sekaligus
memberikan fondasi spiritual yang kukuh kepadanya. Watak ini selama Perang
Dunia II tidak difahami dengan baik oleh Jepang yang masih berfikir bahwa
nasionalisme Indonesia hanyalah anti-Barat, tidak anti-Jepang. Kesalahfahaman
ini telah menempatkan pasukan Jepang pada posisi ruwet dan rumit dalam
berhubungan dengan tokoh-tokoh nasionalis yang sebagian besar menganut Islam.
Islamlah selama berabad-abad yang mengobarkan semangat anti-penjajahan ini,
baik dalam teori maupun dalam praktik.
Sebelum
diurai lebih jauh ihwal hubungan nasionalisme dengan Islam, kita perlu terlebih
dahulu mempunyai pemafhuman yang memadai tentang Islam sebagai kekuatan
pembebas berhadapan dengan kebijakan kolonial Belanda terhadap gerakan-gerakan
Islam selama empat dekade pertama abad ke-20 M. Bahkan, sebenarnya apabila
ditelusuri lebih mendalam perihal akar sejarah perlawanan Islam terhadap sistem
penjajahan, kita dapat memulainya sejak munculnya VOC (Vereenigde
Oost-Indische Companie, ‘Kompani India Timur’) pada permulaan abad ke-17 M.
VOC sebagai usaha dagang yang telah mengeksploitasi sumber-sumber pribumi “melalui
cara perniagaan (a mercantile way)” bahkan telah sejak semula mendapat
permusuhan dari umat Islam di Indonesia. Permusuhan itu sudah bercorak laten
yang sewaktu-waktu akan muncul ke permukaan. Secara doktrin, Islam dan sistem
penjajahan adalah dua sisi yang sangat berlawanan.
VOC memulai
debut perdagangannya di Nusantara pada 1602 M dan berakhir pada 1799 M. Selama
hampir 200 tahun ini, aparatus kolonial Belanda tidak pernah merasa tenang
apabila berurusan dengan komunitas-komunitas Muslim di Nusantara. Pada pelbagai
kejadian, konsolidasi dari perluasan kekuasaan mereka terancam oleh
ledakan-ledakan perlawanan yang diilhami Islam, baik yang dipimpin oleh
penguasa-penguasa di Nusantara yang telah mengikuti iman Nabi Muhammad SAW
atau, pada tingkat lokal, oleh para ulama yang fanatik.
Fanatisme di
sini hendaklah ditafsirkan sebagai refleksi logis dari kecintaan mereka
terhadap kemerdekaan, serta kebencian mereka terhadap kekuasaan dan dominasi
asing. Asing dalam perspektif ini tidak saja asing dalam arti agama, tetapi
juga asing dalam arti bangsa. Terlihat di sini semangat agama telah menyatu
dengan semangat bangsa, sekalipun pengertian bangsa pada waktu itu sama
maknanya dengan suku bangsa, seperti bangsa Jawa, bangsa Aceh, bangsa Minang,
bangsa Banjar, bangsa Bugis, dan sebagainya.
Perlawanan
terhadap sistem kolonial dalam skala besar terjadi pada abad ke-19 M. Perang
Paderi (1821-1837 M), Perang Diponegoro (1825-1830 M), Perang Aceh (1872-1912
M), Perang Banjar (1859-1906 M), dan banyak yang lain adalah di antara bentuk
perlawanan yang berskala besar dengan korban yang sangat besar pula pada
fihak-fihak yang bertarung.
Melihat
tahun-tahun perlawanan di atas, dapatlah dimafhumi mengapa misalnya sejarawan
(alm.) T. Ibrahim Alfian menolak mitos yang sering kita dengar bahwa Indonesia
telah dijajah Belanda selama 350 tahun, karena tidak cukup alasan untuk
menerimanya. Tokoh bangsa Mohammad Natsir (1908-1993 M) juga menolak angka
siluman 350 tahun, sebab itu hanya berlaku bagi sebagian kecil wilayah
Nusantara, khususnya pada daerah-daerah tertentu di pulau Jawa. Aceh sendiri
seperti terlihat pada angka di atas, hanyalah sempat dijajah Belanda selama 30
tahun (1912-1942 M), daerah tersingkat yang pernah berada di bawah sistem
penjajahan. Orang Aceh pantas punya kebanggaan sejarah untuk kenangan heroik
yang luar biasa itu.
Pasca menyadari
panasnya bumi permusuhan Muslim terhadap kolonialisme Belanda, C. Snouck
Hurgronye sering mengungkapkan, “Sebuah pemerintahan Si kafir pada hakikatnya
adalah ilegal di mata Islam.” Oleh karena itu, bagi seorang Muslim, berjuang
melawan setiap tipe kolonialisme sama artinya dengan berjuang di jalan Allah,
sebagaimana al-Qur’an memang mewajibkan untuk itu.
Strategi
jangka panjang mereka adalah: kekuatan Belanda harus terusir dari Nusantara dan
kemerdekaan penuh harus direbut kembali! Gagasan inilah yang tertanam dalam
diri umat Islam, sekalipun mereka selalu gagal mewujudkannya hingga Agustus
1945. Kegagalan ini tidak sulit untuk dilacak sebab-sebabnya, yaitu terutama
keunggulan penguasaan musuh dalam teknik perang dan persenjataan modern,
sesuatu yang tak tertandingi oleh persenjataan yang dimiliki pejuang-pejuang
Muslim dalam pelbagai kontak senjata. Terlihat di sini bahwa doa panjang dengan
persenjataan ala kadarnya saja sering benar dilumpuhkan musuh.
Dus,
pecahnya perlawanan-perlawanan yang diilhami Islam itu hampir selalu bersifat
lokal dan sporadis. Tidak pernah dalam bentuk kesatuan yang menyeluruh karena
memang pada waktu itu kita belum lagi mengenal konsep kebangsaan, seperti yang
dicanangkan oleh Sumpah Pemuda 1928. Itulah di antara sisi-sisi lemah dari
perlawanan sporadis tersebut.
Belajar dari
kegagalan demi kegagalan untuk mendapat kemerdekaan dari kekuasaan asing pada
abad ke-19 M, dengan kedatangan abad ke-20 M, umat Muslim telah mengubah
strategi perjuangannya dari bentuk perang fisik kepada bentuk gerakan sosiogama
dan sosiopolitik. Dari fihak musuh, umat Islam banyak juga mengambil pelajaran,
seperti membentuk organisasi-organisasi modern dalam rangka menyiapkan umat
untuk mencapai tujuan jangka panjang. Asumsi dasarnya adalah bahwa tanpa sebuah
umat yang cerdas, akan sulit sekali mereka memahami arah perubahan zaman.
Melalui organisasi ini, umat dilatih untuk berjuang secara teratur, berencana,
dan menggunakan rasio sehat.
Di antara
gerakan Islam modern yang muncul selama tiga dekade awal abad 20 ini adalah SI
(Sarekat Islam), Muhammadiyah, NU (Nahdatul Ulama), dan Perti (Persatuan
Tarbiyah Islamiyah). Selain itu, muncul pula beberapa organisasi Islam lokal di
beberapa tempat dengan sifat khasnya masing-masing. Sekalipun berbeda,
tujuannya satu, yaitu menyiapkan dan mencerdaskan umat untuk menghadapi masa
depan yang bebas dari sistem penjajahan asing.
Dikutip dari
alif.id
0 komentar:
Posting Komentar