Pages

Sabtu, 21 Desember 2019

Ekologi Al-Qur'an

 
Sumber gambar: dictio.id
Posisi penting yang ditempati oleh alam dalam keseluruhan struktur agama -terutama Islam- nampak jelas ketika kita tahu bahwa dalam agama kita, Kitab Suci, alam dan manusia membentuk suatu kesatuan yang bisa kita pandang sebagal piramida keberadaan. Kitab Suci mewakili kerajaan langit, alam mewakli kerajaan bumi, dan manusia mewakili dunia kecil atau apa yang oleh Ibn Arabi disebut sebagal al-alam al-shaghir.

Dalam tradisi pemikiran Islam, keterkaitan antara Kitab Suci (wahyu) dan alam amat erat. Yang pertama sering disebut sebagal al-Quran al-Tadwini (Quran yang tertulis) dan yang kedua dipandang sebagal al-Quran al-Takwini (Qur'an alam). Walau sebutannya beda, tapi keduanya memiliki fungsi yang sama, yaltu sama-sama sebagai Logos yang mencerminkan tanda tanda kekuasaan Tuhan dan kebesaran-Nya. Di sini manusia adalah Nomos yang berperan sebagai yang membaca, yang menafsirkan, dan memahami serta menemukan tanda-tanda kebesaran Tuhan itu. Perbedaan antara Kitab Suci dan alam yang keduanya merupakan media untuk mengetahui "Kerajaan Tuhan" amatlah tipis karena keduanya adalah ayat, yang berarti secara epistemologis wahana untuk mengetahui Yang Maha Suci.  Ayaı itu sendiri adalah kalimat Tuhan yang meliputl Kitab Suci, dunia makrokosmik alau alam dan dunia mikrokosmik atau manusia.  Terkait ayat tidak hanya ada pada al-Quran al-Tadwini tetapi juga pada al-Quran al Takwini dan manusia.  Itulah mengapa dalam al-Qur'an surat 41/53 Tuhan berfirman "akan Kami tunjukkan kepada mereka ayat-ayat Kami (yaitu tanda kebesaran Kami) di alam raya (afaq) dan dalam diri kamu sendiri (anfus)". 

Sedikit perlu dicatat bahwa dalam kajian filsafat Barat telah banyak dikemukakan oleh para ahli seperti Alberto Magnus dan John Ray mengatakan bahwa aspek theopanic alam raya dan manusia dapat membantu menemukan tanda-landa kebesaran Tuhan yang tidak lain adalah aspek internal manusia yang spiritualistik.  Semut ini adalah objek dengan fenomena bahwa media adalah untuk menuju noumena, dunia fisik adalah pintu gerbang menuju dunia metafisik dan dunia empirik adalah awal dari sebuah perjalanan panjang menuju spiritualitas.

Di dalam beberapa agama seperti Hindu, Buddha dan Zoroastrianisme, ada kecenderungan untuk tidak melihat alam atau bagian dari alam seperti binatang, tumbuhan dan api sebagai Logo, tetapi sebagai Tuhan itu sendiri tidak dapat dilakukan dengan tampilan teologis Isiam. Tapi permasahan yang patut kita angkat adalah bahwa alam ternyata memiliki tempat tersendiri dalam keseluruhan kehidupan beragama baik dalam Islam maupun agama-agama lain. Dengan tingkatan yang berbeda, hampir semua agama memandang alam sebagai bagian integral – bukan saja bagi kelangsungan hidup manusia – tapi juga kelanggengan sistem teologis dan filosofis agama-agama lain.

Ibn Sina menulis buku berjudul Kitab al-Tabi’iyyat (Buku Alam). Buku ini tidak hanya membahas tentang alam dan berbagai fenomena yang terkait dengannya tapi juga berupaya menunjukkan bahwa di balik fenomena alam yang ada Tuhan yang mengendalikan dan menciptakannya.  Misi utama Kitab al-Tabi’iyyat tidaklah semata-mata mempelajari dan memahami ciptaan Tuhan yang merupakan “the lower order”  tapi juga mempelajari dan kemudian mengetahui Sang Pencipta dan “the higher order”  yang ada di baliknya. Ini berarti bahwa sistem pemikiran Islam baik yang bersifat teologis maupun filosofis amat mempertimbangkan alam bukan saja sebagai garapan epistemologinya tapi juga sebagai pancaran makrokosmik yang mencerminkan keberadaann Tuhan dan kekuasaan-Nya.

Dari sudut pandang ini, ilmu-ilmu keislaman amat berbeda secara amat tajam dengan beberapa ilmu-ilmu yang muncul di Barat terutama filsafat Positivisme yang tidak hanya menolak adanya hubungan piramidal antara alam, manusia dan Tuhan tetapi juga menolak ghaibiyat sebagai yang ada. Saya kira kita sedikit banyak sudah memahami cara dan corak pandan filsafat Positivisme berikut implikasi yang muncul karenanya, dan dengan demikian nampaknya tidak perlu untuk terlalu mendalami masalah ini di sini. Sedikit saja kita singgung bahwa pemikiran filsafat positivistik ingin melepaskan diri dari ikatan sistem metafisika yang mereka anggap sebagai non-faktual dan dengan demikian tidak ada. Padahal pendasaran sebuah pandangan dunia (world view) terhadap metafisika adalah suatu kelaziman sebab hanya dengan cara begitu kita dapat tahu esensi daripada eksistensi manusia, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan hidup, ke mana manusia akan pergi dan selanjutnya. Pandangan dunia yang melepaskan diri dari metafisika justru akan membuang pengertian bahwa manusia memiliki suatu tujuan yang bersifat mendasar dan hakiki dan dengan demikian akan menjauhkan manusia dari norma-norma tertentu yang semestinya menjadi pedoman hidupnya yang harus ditaatinya.

Itulah kenapa filsafat positivistik yang mengusung proyek rasionalisme murni telah gagal karena telah membuang apa yan telah lama menjadi dasar esential bagi kehidupan manusia pada tataran normal, etika dan yang lebih penting metafisika.

Pandangan metafisik menuntun kita patuh pada sebuah imperatif religi yang pada gilirannya mengarahkan kita pada sebuah sistem yang mapan, stabil dan pasti. Ini berarti bahwa pada tingkat praktis teknis, metafisika merupakan menkanisme untuk mewujudkan sebuah lingkungan sosial yang aman dan nyaman.  Petualangan filsafat positivistik yang menolak metafisika tidak hanya gagai tetapi juga berujung pada penolakan terhadap Tuhan sebagai Yang Ada, dan -implikasinya- pada segala sesuatu yang nyata termasuk alam dan manusia.  Walau "sampul" filsafat ini menerima yang ada sebagai sesuatu yang nyata, namun secara maknawi tidak demikian. Secara maknawi, flsafat positivistik melupakan dan menolak pandangan teologis tentang alam dan manusia, bahwa hidup ini memiliki tujuan pada dirinya. Padahal tujuan merupakan esensi dari wujud yang karenanya keberadaan memiliki makna. Penolakan aspek teleologis adalah penafian langsung terhadap esensi dan langsung makna wujud itu.  Karena esensi dari wujud ini adalah tujuannya, maka penolakan terhadap aspek teleologis wujud merupakan penolakan secara langsung terhadap keberadaannya secara maknawi.

Selanjutnya, penolakan terhadap aspek teleologis ini telah melahirkan mentalitas dan belenggu-belenggu otoritarianisme yang pada gilirannya siap mengeksplorasi alam secara ganas.  Alam tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang bernilai dan bertujuan. Ini – sekali lagi – adalah penafian terhadap eksistensi wujud secara maknawi dan  berujung pada kerusakan ekologis pada alam dan mental pada manusia. 

Berbeda dengan pandangan Barat tentang dunia dan wujud, Islam terutama yang diwaklili oleh Tasawuf tidak saja menghargai dan menempatkan alam pada posisi penting pada ontologis maupun agama, namun juga melihatnya sebagai ciptaan Tuhan yang memancarkan dan mencerminkan sifat dan nama-Nya.  Untuk itu menghormati dan menghargal hak moral alam adalah -bagi Islam- imperatif religi yang harus ditegakkan.

Alam dengan berbagai keanekaragaman genetiknya membentuk sebuah nilai dalam dirinya sehingga pelestariannya pun mengandung unsur nilai apaiagi jika dibandingkan dengan pengrusakan dan pengerdilannya.  Seperti manusia, alam dengan kehidupan organisnya juga memiliki rasa yang jika dilukai akan sakit. Seperti manusia pula, alam adalah papan tempat Tuhan melukiskan karya seni-Nya, menyanyikan lagu dan syair-Nya melalui percikan dan aliran air sungai, dan melambaikan tangan melalui goyangan dedaunan palma dan korma. 

Dalam Tasawuf, alam adalah theoplany. Ibn Arabi dan Rumi adalah dua dari sekian banyak Sufi yang berbicara dan menyerukan pendapat yang mempercayai alam raya ini -termasuk di manusia-adalah "jelmaan" Tuhan.  Ibn Arabi terkenal dengan konsep al-Insan al-Kamil (manusia utama) yang tidak lain adalah sosok manusia yang memiliki sifat-sifat ketuhanan, walau memang tidak – dan tidak mungkin – persis seperti Tuhan. Rumi juga terkenal dengan konsepnya yang ia sebut al-Aql al-Kulli (akal universal)  yang intinya adalah bahwa jika akal telah mencapai tingkat aktualisasi, maka manusia sebagai pemilik akal tersebut akan menjadi “cermin yang cerah yang dapat memancarkan manifestasi Tuhan secara jelas dan nyata”.

Konsep kedua tokoh Tasawuf itu sebetulnya merupakan dua sisi dari satu koin. Akal universal merupakan akal milik manusia utama, dan sebaliknya manusia utama adalah dia yang telah terbukti akalnya menjadi akal universal.  Pertanyaannya yang muncul kemudian adalah siapa sebenarnya manusia utama itu dan apa ciri-ciri yang dimilikinya?.

Bagi kaum sufi, manusia utama sdalah Nabi Muhammad SAW yang tidak lain adalah kulminasi dari segala macam kesempurmaan yang pernah dimiliki oleh bani Adam dalam keselurulan sejarah eksistensinya.  Pandangan ini tentu benar adanya. Namun dalam konteks permasalahan yang sedang kita kaji ini, nampaknya kita dituntut untuk tidak berhenti pada jawaban itu dan bersedia menerima pandangan bahwa siapa saja bisa menjadi manusia utama. 

Jika kita menggunakan kerangka berpikir Rumi, maka penjelasan tentang manusia utama itu bisa kita mulal dengan berpijak pada pembagian akal manusia menjadi dua bagian, yaitu akal parsial (al aql al-juz’i) dan akal universal (al-aql al-kulli).  Pembagian ini berdasarkan fungsi dan kegunaannya. Jenis akal pertama bersifat faktual, maksudnya apa adanya, dan jenis kedua adalah akal aktual, artinya telah mencapai pada tertentu dan mewujudkan tujuan hakikinya.  Manusia dengan jenis akal pertama adalah manusia parsial, sedang manusia dengan jenis akal kedua adalah manusia universal, yaltu manusia utama. 

Manusia utama dengan akal universalitas dalam pandangan Rumi adalah yang telah mencapal pada suatu tingkatan di mana yang penting baginya adalah keutamaan. Manusia menjadi utama jika ia memiliki keutamaan.  Dan keutamaan itu ditentukan oleh kondisi akalnya, apakah parsial atau universal.

Bagi kaum sufi seperti Ibn Arabi dan Rumi, Tasawuf merupakan media dan mekanisme untuk menuju kepada keutamaan.  Seseorang harus secara terus menerus melakukan perjalanan spiritual melalu tasawuf guna meng-aktualkan akalnya dan men-transform dirinya menjadi manusia utama.

Ibn Arabi dan Rumi berkeyakinan, bahwa manusia utama adalah jelmaan sempurna dari Sang Pencipta yang dapat memerankan peran di atas panggung gembira kehidupanh sesuai dengan kehendak suci-Nya. Secara ekologis, patokan ini berarti bahwa manusia utama adalah dia yang mengerti dengan baik tata cara kehidupan sehingga alam di sekitarnya tidka terluka dan tetap terjaga.

Dikutip dari pengantar Abdul Kadir Riyadi, Ph,D dalam buku Ekologi al-Qur’an.

Agar pembaca dapat mengulas lebih dalam, kami sajikan versi luring (offline) pada link pdf di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer