Pages

Sabtu, 21 Desember 2019

Menapaki Jalan Baru Tasawuf

Sumber gambar: tirto.id


Usaha Abu Nasr al-Sarraj (378 H/988 M) untuk memberi warna baru bagi tasawuf sangat layak diapresiasi. Apa yang ia lakukan adalah yang pertama dalam sejarah perkembangan ilmu ini. Ia telah melakukan apa yang tidak pernah terpikirkan oleh para pendahulunya. Karena jasanya, tasawuf memasuki era baru dan menjadi kekuatan yang layak diperhitungkan. Jasanya yang paling utama adalah menemukan istilah-istilah baru untuk membahasakan fenomena spiritual yang berkembang pada masanya.

Al-Luma’ karya al-Sarraj memang karya yang hebat dan fenomenal. Kitab ini mengusung gagasan-gagasan yang belum pernah dimunculkan sebelumnya. Salah satu kelebihannya adalah dalam memberikan sentuhan epistemologis terhadap fenomena spiritualitas yang mulai berkembang saat itu. Istilah-istilah yang ia gunakan dalam kitab ini sangat kuat dan berhasil menggambarkan perkembangan pemikiran yang terjadi pada masanya.

Para pakar dan sejarawan di bidang ilmu ini meyakini bahwa era al-Sarraj merupakan era awal menuju “kesempurnaan” ilmu tasawuf. Belum memasuki kesempurnaan yang sesungguhnya, karena kematangan ilmu ini baru terjadi sekitar seratus tahun kemudian di tangan al-Ghazali.

Pada sisi lain, kitab ini juga merupakan produk masa dan zamannya. Ia mencerminkan dengan tegas ketegangan pribadi yang dialami oleh penulisnya dan sekaligus menggambarkan adanya tarik ulur pemikiran dalam masyarakat. Membaca kitab ini akan tergambar bahwa al-Sarraj merasa sulit untuk melepaskan diri dari ketegangan itu dan tidak bisa mengelola emosinya agar lepas dari rasa sentimen terhadap “musuh-musuh” tasawuf. Ia juga kesulitan untuk tidak membela para sufi yang menurutnya sedang dihujat dan dipinggirkan. Kesufian al-Sarraj secara otomatis membuatnya membela para sufi yang sedang bermasalah, sekalipun mereka adalah orang-orang yang paling dihujat.

Beberapa nama yang ia bela adalah al-Hallaj dan al-Bisthami, dua nama yang dikenal sangat kontroversial. Uniknya, ketika menyebut nama mereka, al-Sarraj tidak pernah lupa membubuhkan kata rahimahullâh (semoga Tuhan memberi rahmat kepadanya), sebuah kata yang menandakan rasa hormat dan ketundukan.

Al-Sarraj membela al-Hallaj karena ia adalah seorang Muslim. Ia percaya bahwa akidah dan keyakinan al-Hallaj tidak dapat diragukan sama sekali sebagai seorang Muslim. Al-Sarraj menuturkan bahwa kata-kata terakhir yang al-Hallaj ucapkan sesaat sebelum dihukum mati adalah, “Dialah Tuhan satu-satunya”.

Sementara kepada al-Bisthami, al-Sarraj juga membelanya karena ia adalah seorang wali yang sangat patuh dan taat beragama. Ucapan, “maha suci aku” yang pernah ia katakan dimaknai oleh alSarraj sebagai ungkapan yang sarat dengan nilai ketakwaan dan ketundukan. Kata-kata itu ia tafsirkan seolah-olah al-Bisthami sedang membaca ayat al-Qur’an yang di dalamnya ada kalimat, “saya Tuhan”. Jadi, al-Bisthami sesungguhnya sedang mengagungkan nama Tuhan ketika berujar, “maha suci aku”. Kata “aku” di sini sama sekali tidak merujuk kepada dirinya tapi kepada Tuhan.

Di kalangan para ahli fikih dan hadis, al-Bisthami termasuk orang yang sangat dikecam dan dibenci. Ia dinilai tidak tahu diri karena tidak bisa membedakan antara dirinya dengan Tuhan. Dalam sebuah manuskrip dengan judul al-Nûr min Kalimât Ibn Taifûr, dikisahkan bahwa dalam sebuah kesempatan ada seseorang yang mengetuk pintu al-Bisthami. Ia bertanya, “Siapa yang engkau cari”? Orang itu menjawab “al-Bisthami”. Al-Bisthami pun berkata, “Pergilah!, Yang ada dalam rumah ini hanyalah Tuhan.”

Sementara dalam riwayat lain dikisahkan bahwa seorang pengikut Zun al-Nun al-Misri mencari al-Bisthami. Ia bertanya, “Siapa yang engkau cari”? Orang itu menjawab, “Al-Bisthami”. AlBisthami pun menjawab balik, “Bagaimana mungkin engkau mencari al-Bisthami sedang al-Bisthami sendiri sudah mencari dirinya sendiri selama 40 tahun dan tidak menemukannya”.

Al-Sarraj sendiri dalam al-Luma’ juga menukil sebuah kisah penolakan al-Bisthami oleh seseorang bernama Ibnu Salim yang diyakini sebagai ahli fikih. Ibnu Salim berpendapat bahwa yang disampaikan oleh al-Bisthami melebihi apa yang pernah diucapkan oleh Fir’aun. Fir’aun mengatakan “Saya adalah Rabb (Tuhan) kalian yang paling tinggi”. Sedang al-Bisthami mengatakan “Maha suci aku, maha suci aku”.4 Kata “Maha suci aku” hanya patut digunakan oleh Tuhan, karena Dialah satu-satunya Zat yang paling suci. Sedang kata “rabb” bisa berarti Tuhan bisa juga berarti tuan. Karena itu ucapan Fir’aun bisa saja diartikan, “saya adalah Rabb (tuanmu bukan Tuhanmu) yang paling tinggi”.

Al-Bisthami juga menyulut kemarahan kalangan ahli fikih karena pandangannya yang cenderung melecehkan ibadah dalam agama. Ia pernah berujar bahwa orang-orang yang hanya tekun beribadah telah dijauhkan dari makrifat. Mereka tidak pantas membawa bendera agama dan makrifat. Al-Bisthami menulis: “Tuhan telah memperhatikan hati para hamba-Nya. Di antara hamba-Nya itu ada yang tidak mampu membawa lentera makrifat, maka Ia membuat mereka hidup untuk ibadah saja.”

Beberapa catatan di atas adalah gambaran bahwa era al-Sarraj dan setelahnya, yaitu al-Kalabazi, masih diwarnai oleh kekisruhan epistemologis atau setidaknya oleh hambatan psikologis yang menghalangi ulama terutama dari kalangan fikih untuk menerima tasawuf. Inilah yang menjadi tantangan bagi al-Kalabazi untuk dipecahkan. Ia tahu bahwa tantangan utamanya adalah membawa tasawuf berdamai dengan bidang-bidang ilmu lain. Karena itu ia mencurahkan segala pikiran dan tenaganya untuk menjawab persoalan tersebut. Inilah yang menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini. Gagasan dan pemikiran al-Kalabazi dianalisis dalam konteks usaha tasawuf untuk menjadi paradigma yang mandiri vis-a-vis paradigma yang lain. Usaha itu bersifat berkelanjutan, dan tidak lepas dari proses falsifikasi yang selalu identik dengan perkembangan setiap ilmu

Dikutip dari pendahuluan Abdul Kadir Riyadi, Ph.D dalam jurnal berjudul Jalan Baru Tasawuf: Kajian Tentang Gagasan Abu Bakr al-Kalabazi

Agar pembaca lebih mengulas lebih jauh, kami lampirkan versi luring (offline) pada link pdf di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer