Pages

Selasa, 02 April 2019

Bisakah Menjadi Ilmuwan di Indonesia? Keilmuan, Birokrasi dan Globalisasi

Sumber gambar: fiqh17.com
Selama ini saya selalu bertanya dalam riset saya, mungkinkah Nusantara melahirkan Nabi-Nabi? Saya temui dari kontemplasi berdasar investigasi bacaan literatur dan fieldwork, bahwa ratusan nabi-nabi telah lahir di Nusantara ini. Saya kunjungi beberapa daerah, mendapati buku, wawancara dan observasi, bahwa nabi-nabi Nusantara sungguh ada. Paling tidak mereka benar-benar berani menyatakan di publik telah mendapatkan wahyu dari Tuhan dan banyak yang mengimani: dari aliran kepercayaan, tradisi etnis dan lokal, dan gerakan-gerakan keagamaan baru (NRM/New Religious Movement).

Namun, kali ini pertanyaan lain mengelitik dan tak kalah pentingnya:
·         Bisakah Indonesia melahirkan ilmuwan atau cendikiawan?
·         Akan sejajarkah ilmuwan Indonesia dengan ilmuwan mancanegara?
·         Apakah kita sebagai bangsa bisa berfikir sistematis dan menulis menjadi ilmu pengetahuan?
·         Mungkinkah kita melahirkan karya akademik yang serius?
·       Bisakah tanah Nusantara ini ditempati tidak hanya para nabi, wali, atau dukun tetapi juga para ilmuwan, pemikir, dan cendikiawan berkelas dunia?

Kenyataan yang didapati secara umum, bangsa kita sepertinya mengidap inferioritas kompleks; tak mungkin ilmuwan lahir di Indonesia, apalagi sekelas peraih penghargaan Nobel. Tidak, bangsa kita kurang serius dalam ilmu pengetahuan, begitu tulis Heru Nugroho dalam pidato pengukuhannya. Sebagaimana dalam bidang bola kaki, kita lebih suka menonton Liga Inggris, Italia, Spanyol, atau Jerman. Kita hafal nama-nama pemain dan pelatih, tetapi kenapa tidak kita sekolahkan anak-anak kita untuk bermain bola dari kecil? Ternyata kita tidak serius dalam bola kaki. Seni dan ilmu juga bukan bidang yang kita seriusi; tidak banyak seniman berkelas dunia dari bangsa kita (bisa diperdebatkan dengan seni lukis, tari dan musik). Yang jelas, bangsa ini telah melahirkan banyak politisi, birokrat, dan pedagang unggulan. Tetapi bisa dibilang belum menelorkan ilmuwan berkelas. Jurnal-jurnal kita masih belum berkelas; temuan-temuan kita tak terdengar; indeks-indeks kita masih rendah; dan rasa percaya kita pada ilmuwan sendiri masih kecil, dibanding kepercayaan kita pada businesmen, birokrat, politisi dan menejer. Bahkan di perguruan tinggi ilmuwan mendapatkan porsi kecil, tertutupi administrasi dan birokrasi yang tebal, begitu pengamatan Masdar Hilmy dan Azyumardi Azra. Yang jelas, laporan administratif lebih bisa diterima daripada laporan ilmiah, bahkan dalam penelitian.

Kita juga pengagum buku-buku dan artikel-artikel bermutu, tetapi ternyata kita lebih suka menulis singkat, ringan, tanpa penelitian, dan menjadi terkenal secara instan. Seperti dalam olahraga, seni, dan bidang-bidang lain, riset kita juga kurang berkembang, bahkan jika dibandingkan dengan Malaysia dan Singapore. Jangan bandingkan dengan Amerika, Australia atau negara-negara Eropa. Juga jangan bandingkan dengan Jepang, Korea dan India, kita masih jauh. Semua juga sadar dan tahu. Tetapi, bagaimana kita memulainya? Apa yang salah?

Untuk mempertajam pertanyaan–pertanyaan itu, pidato ini akan saya susun secara personal dengan susunan bagian seperti ini.
1.    Perjalanan menuntut ilmu secara pribadi;
2.    Penelitian saya akhir-akhir ini;
3.    Kondisi riset dan publikasi nasional, PTKI, dan UIN Sunan Kalijaga.

Sumber: Disadur dari pidato pengukuhan guru besar Prof. Dr. Phil. Al Makin, S.Ag., M.A

Berikut kami lampirkan link pdf pidato lengkapnya di bawah ini.


0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer