Selama ini saya selalu bertanya dalam
riset saya, mungkinkah Nusantara melahirkan Nabi-Nabi? Saya temui dari
kontemplasi berdasar investigasi bacaan literatur dan fieldwork, bahwa ratusan
nabi-nabi telah lahir di Nusantara ini. Saya kunjungi beberapa daerah,
mendapati buku, wawancara dan observasi, bahwa nabi-nabi Nusantara sungguh ada.
Paling tidak mereka benar-benar berani menyatakan di publik telah mendapatkan
wahyu dari Tuhan dan banyak yang mengimani: dari aliran kepercayaan, tradisi
etnis dan lokal, dan gerakan-gerakan keagamaan baru (NRM/New Religious
Movement).
Namun, kali ini pertanyaan lain
mengelitik dan tak kalah pentingnya:
·
Bisakah Indonesia melahirkan ilmuwan atau cendikiawan?
·
Akan sejajarkah ilmuwan Indonesia dengan ilmuwan
mancanegara?
·
Apakah kita sebagai bangsa bisa berfikir sistematis dan
menulis menjadi ilmu pengetahuan?
·
Mungkinkah kita melahirkan karya akademik yang serius?
· Bisakah tanah Nusantara ini ditempati tidak hanya para
nabi, wali, atau dukun tetapi juga para ilmuwan, pemikir, dan cendikiawan
berkelas dunia?
Kenyataan
yang didapati secara umum, bangsa kita sepertinya mengidap inferioritas
kompleks; tak mungkin ilmuwan lahir di Indonesia, apalagi sekelas peraih
penghargaan Nobel. Tidak, bangsa kita kurang serius dalam ilmu pengetahuan,
begitu tulis Heru Nugroho dalam pidato pengukuhannya. Sebagaimana dalam bidang
bola kaki, kita lebih suka menonton Liga Inggris, Italia, Spanyol, atau Jerman.
Kita hafal nama-nama pemain dan pelatih, tetapi kenapa tidak kita sekolahkan
anak-anak kita untuk bermain bola dari kecil? Ternyata kita tidak serius dalam
bola kaki. Seni dan ilmu juga bukan bidang yang kita seriusi; tidak banyak
seniman berkelas dunia dari bangsa kita (bisa diperdebatkan dengan seni lukis,
tari dan musik). Yang jelas, bangsa ini telah melahirkan banyak politisi,
birokrat, dan pedagang unggulan. Tetapi bisa dibilang belum menelorkan ilmuwan
berkelas. Jurnal-jurnal kita masih belum berkelas; temuan-temuan kita tak
terdengar; indeks-indeks kita masih rendah; dan rasa percaya kita pada ilmuwan
sendiri masih kecil, dibanding kepercayaan kita pada businesmen, birokrat,
politisi dan menejer. Bahkan di perguruan tinggi ilmuwan mendapatkan porsi
kecil, tertutupi administrasi dan birokrasi yang tebal, begitu pengamatan Masdar
Hilmy dan Azyumardi Azra. Yang jelas, laporan administratif lebih bisa diterima
daripada laporan ilmiah, bahkan dalam penelitian.
Kita
juga pengagum buku-buku dan artikel-artikel bermutu, tetapi ternyata kita lebih
suka menulis singkat, ringan, tanpa penelitian, dan menjadi terkenal secara
instan. Seperti dalam olahraga, seni, dan bidang-bidang lain, riset kita juga
kurang berkembang, bahkan jika dibandingkan dengan Malaysia dan Singapore.
Jangan bandingkan dengan Amerika, Australia atau negara-negara Eropa. Juga
jangan bandingkan dengan Jepang, Korea dan India, kita masih jauh. Semua juga
sadar dan tahu. Tetapi, bagaimana kita memulainya? Apa yang salah?
Untuk
mempertajam pertanyaan–pertanyaan itu, pidato ini akan saya susun secara
personal dengan susunan bagian seperti ini.
1.
Perjalanan menuntut ilmu secara pribadi;
2.
Penelitian saya akhir-akhir ini;
3.
Kondisi riset dan publikasi nasional, PTKI, dan UIN
Sunan Kalijaga.
Sumber:
Disadur dari pidato pengukuhan guru besar Prof. Dr. Phil. Al Makin, S.Ag., M.A
Berikut kami lampirkan link pdf
pidato lengkapnya di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar