“Membiarkan terjadinya korupsi
besarbesaran dengan menyibukkan diri pada ritus-ritus hanya akan membiarkan
berlangsungnya proses pemiskinan bangsa yang semakin melaju.” KH. Abdurrahman
Wahid (sumber: Tuhan Tidak Perlu Dibela hal. 87)
Kredo di atas tampaknya patut
direnungi sebagai bentuk refleksi dan introspeksi diri. Tak perlu menyalahkan
atau menuduh seseorang sehingga lupa akan gajah di pelupuk mata lebih kecil
daripada semut di seberang lautan tampak besar.
Setiap bicara tentang korupsi,
pertanyaan pertama yang muncul dalam benak saya adalah: apa yang salah dengan
bangsa ini sehingga korupsi terjadi di mana-mana, nyaris tak bisa dihentikan?
Bukankah semua politisi dan juga birokrat telah berikrar untuk tidak melakukan
korupsi? Bukankah sejumlah peraturan perundang-undangan telah dibuat untuk
menjerat para koruptor? Bukankah ikrar dan penandatanganan zona integritas
nyaris menjadi ritual di berbagai lembaga negara? Berita-berita penangkapan
para koruptor, baik yang dilakukan KPK maupun kepolisian hampir setiap hari
kita dengar dari pemberitaan media.
Gerakan masyarakat, baik LSM maupun
Ormas yang menyuarakan semangat anti korupsi dan pernyataan perang melawan
korupsi terus bergema di manamana. Fatwa-fatwa keagamaan terkait dengan
perlawanan terhadap korupsi sudah sering dikeluarkan oleh organisasi-organisasi
keagamaan. Singkatnya, semua ikhtiar sudah dilakukan, namun mengapa bangsa ini
belum bisa keluar dari “kutukan” sebagai negara yang tingkat korupsinya masih
cukup tinggi Kegelisahan saya itu kadang terobati jika menyaksikan
pemimpinpemimpin muda yang muncul di berbagai daerah dan berhasil menekan
tindakan korupsi di wilayahnya. Saya juga senang melihat anak-anak muda yang
tergabung dalam berbagai gerakan untuk melawan dan terus menelisik modus-modus baru
korupsi. Saya juga gembira mendengar tokoh-tokoh agama terlibat aktif dalam
upaya perang melawan korupsi. Namun, kegembiraan tersebut terkadang sirna jika
mendengar berita seorang gubernur, bupati/walikota, anggota DPR, pengusaha,
hakim, dan aparat penegak hukum lainnya, ditangkap KPK. Gelayut antara
kekhawatiran dan harapan (khawf wa raja’) ini yang terus bergumul dalam
benak saya. Tentu, yang harus kita lakukan adalah menekan dan menghilangkan
hal-hal yang menumbuhkan kekhawatiran di satu sisi, dan terus menerus
menghidupkan dan menumbuhkan harapan, di sisi lain.
Dalam fiqih Islam, ada beberapa
istilah yang biasa dikaitkan dengan persoalan korupsi, meskipun istilah-istilah
itu tidak sama persis dengan pengertian korupsi. Beberapa istilah yang dikenal
dalam fiqih, misalnya sariqah (pencurian), ghulul (penggelapan), risywah
(suap), ghashab (mengambil milik orang lain tanpa ijin pemiliknya), ikhtilas
(pencopetan/ pengutilan), qath’uth thariq (perampokan). Istilah-istilah
tersebut unsur-unsurnya hampir semua ada dalam tindak pidana korupsi. Oleh
karena itu, tindak pidana korupsi sudah sepantasnya mendapatkan hukuman yang
berat. Kalau para koruptor tidak mendapat hukuman yang berat, atau para
koruptor itu bisa menentukan kebenaran, maka akan muncul kehancuran. Hal
demikian diisyaratkan Allah SWT dalam QS. al-Mu’minun (23), ayat 71: “Dan
seandainya kebenaran itu menuruti keinginan mereka, pasti binasalah langit dan
bumi dan semua yang ada di dalamnya.”
Tindak pidana korupsi (tipikor) tidak
hanya merugikan negara, tetapi juga dapat menghancurkan negara. Dalam al-Quran,
tindakan mereka ini disebut “memerangi Allah dan Rasul-Nya serta berbuat
kerusakan di muka bumiyang disebut hirabah. Allah SWT menginsyaratkan memberi
hukuman yang berat bagi mereka yang melakukan tindakan demikian. Allah SWT
berfirman: “Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan
membuat kerusakan di muka bumi, yaitu dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya.
Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat
azab yang besar.” (QS. al-Maidah (5): 33).
Oleh karena itu, orang-orang yang
korupsi uang negara trilyunan rupiah yang benar-benar merusak negara bisa
dipertimbangkan hukuman mati, sebagaimana hukuman mati yang diterapkan untuk
tindak pidana narkoba dan terorisme.
Untuk mengulas lebih jauh tulisan di
atas kami sertakan link pdf di bawah ini. Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar