Pages

Selasa, 02 April 2019

Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi

Sumber gambar: mediaindonesia.com
“Membiarkan terjadinya korupsi besarbesaran dengan menyibukkan diri pada ritus-ritus hanya akan membiarkan berlangsungnya proses pemiskinan bangsa yang semakin melaju.” KH. Abdurrahman Wahid (sumber: Tuhan Tidak Perlu Dibela hal. 87)

Kredo di atas tampaknya patut direnungi sebagai bentuk refleksi dan introspeksi diri. Tak perlu menyalahkan atau menuduh seseorang sehingga lupa akan gajah di pelupuk mata lebih kecil daripada semut di seberang lautan tampak besar.

Setiap bicara tentang korupsi, pertanyaan pertama yang muncul dalam benak saya adalah: apa yang salah dengan bangsa ini sehingga korupsi terjadi di mana-mana, nyaris tak bisa dihentikan? Bukankah semua politisi dan juga birokrat telah berikrar untuk tidak melakukan korupsi? Bukankah sejumlah peraturan perundang-undangan telah dibuat untuk menjerat para koruptor? Bukankah ikrar dan penandatanganan zona integritas nyaris menjadi ritual di berbagai lembaga negara? Berita-berita penangkapan para koruptor, baik yang dilakukan KPK maupun kepolisian hampir setiap hari kita dengar dari pemberitaan media.

Gerakan masyarakat, baik LSM maupun Ormas yang menyuarakan semangat anti korupsi dan pernyataan perang melawan korupsi terus bergema di manamana. Fatwa-fatwa keagamaan terkait dengan perlawanan terhadap korupsi sudah sering dikeluarkan oleh organisasi-organisasi keagamaan. Singkatnya, semua ikhtiar sudah dilakukan, namun mengapa bangsa ini belum bisa keluar dari “kutukan” sebagai negara yang tingkat korupsinya masih cukup tinggi Kegelisahan saya itu kadang terobati jika menyaksikan pemimpinpemimpin muda yang muncul di berbagai daerah dan berhasil menekan tindakan korupsi di wilayahnya. Saya juga senang melihat anak-anak muda yang tergabung dalam berbagai gerakan untuk melawan dan terus menelisik modus-modus baru korupsi. Saya juga gembira mendengar tokoh-tokoh agama terlibat aktif dalam upaya perang melawan korupsi. Namun, kegembiraan tersebut terkadang sirna jika mendengar berita seorang gubernur, bupati/walikota, anggota DPR, pengusaha, hakim, dan aparat penegak hukum lainnya, ditangkap KPK. Gelayut antara kekhawatiran dan harapan (khawf wa raja’) ini yang terus bergumul dalam benak saya. Tentu, yang harus kita lakukan adalah menekan dan menghilangkan hal-hal yang menumbuhkan kekhawatiran di satu sisi, dan terus menerus menghidupkan dan menumbuhkan harapan, di sisi lain.

Dalam fiqih Islam, ada beberapa istilah yang biasa dikaitkan dengan persoalan korupsi, meskipun istilah-istilah itu tidak sama persis dengan pengertian korupsi. Beberapa istilah yang dikenal dalam fiqih, misalnya sariqah (pencurian), ghulul (penggelapan), risywah (suap), ghashab (mengambil milik orang lain tanpa ijin pemiliknya), ikhtilas (pencopetan/ pengutilan), qath’uth thariq (perampokan). Istilah-istilah tersebut unsur-unsurnya hampir semua ada dalam tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi sudah sepantasnya mendapatkan hukuman yang berat. Kalau para koruptor tidak mendapat hukuman yang berat, atau para koruptor itu bisa menentukan kebenaran, maka akan muncul kehancuran. Hal demikian diisyaratkan Allah SWT dalam QS. al-Mu’minun (23), ayat 71: “Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan mereka, pasti binasalah langit dan bumi dan semua yang ada di dalamnya.”

Tindak pidana korupsi (tipikor) tidak hanya merugikan negara, tetapi juga dapat menghancurkan negara. Dalam al-Quran, tindakan mereka ini disebut “memerangi Allah dan Rasul-Nya serta berbuat kerusakan di muka bumiyang disebut hirabah. Allah SWT menginsyaratkan memberi hukuman yang berat bagi mereka yang melakukan tindakan demikian. Allah SWT berfirman: “Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan membuat kerusakan di muka bumi, yaitu dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.” (QS. al-Maidah (5): 33).

Oleh karena itu, orang-orang yang korupsi uang negara trilyunan rupiah yang benar-benar merusak negara bisa dipertimbangkan hukuman mati, sebagaimana hukuman mati yang diterapkan untuk tindak pidana narkoba dan terorisme.

Untuk mengulas lebih jauh tulisan di atas kami sertakan link pdf di bawah ini. Semoga bermanfaat.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer