Pages

Senin, 01 April 2019

Farag Fouda; Kebenaran Yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim

Sumber Gambar: kiblat.net


Apakah kita harus mendengarkan Farag Fouda? Lahir pada 1945, ia adalah doktor di bidang ekonomi pertanian. Ia juga pernah berafiliasi dengan partai politik, seperti Partai Wafd dan Partai Istiqlal. Tetapi, ia lebih dikenal sebagai pemikir, penggiat hak asasi manusia, dan komentator sosial. Mestinya, ini semua bukan kegiatan yang berbahaya. Namun, pada 8 Juni 1992, Farag Fouda (juga sering ditulis Faraj Faudah/Fuda, termasuk dalam edisi terjemahan Indonesia ini) ditembak mati di Madinat al-Nasr, Kairo. Seorang anaknya dan beberapa orang lain terluka parah dalam insiden yang sama. Ia dibunuh dua penyerang bertopeng dari kelompok Jamaah Islamiyah (Gamaa Islamiyya). Mengapa?

Beberapa hari sebelum dibunuh, tanggal 3 Juni, sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar mengeluarkan pernyataan bahwa Fouda, berdasarkan pikiran dan tulisannya, telah menghujat agama dan karenanya keluar dari Islam. Ini berarti, ia adalah musuh Islam dan halal darahnya. Di sini, labelisasi halal berarti boleh dibunuh. Sebelumnya, kelompok ulama yang sama menerbitkan daftar nama-nama orang yang memusuhi Islam dan Fouda berada diurutan pertama. Para pembunuhnya bertolak dari dua dokumen ini.

Siapakah para pembunuh Fouda? Yaitu para pemuda yang dangkal pemahaman agamanya serta tingkat kesejahteraan yang minim. Tentu ada unsur politis yang dilancarkan oleh segelintir orang yang merasa terusik akan hadirnya Farag Fouda utamanya karyanya.

Maha Karya Fouda yang menggemparkan dunia itu berjudul Al Haqiqah Al Ghaibah. Karya itu kemudian diterjemahkan oleh Novri Antoni dengan judul Kebenaran Yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim. “Karya Fouda ini secara kritis dan berani mengungkapkan realitas sejarah pada masa Islam klasik. Sejarah pahit itu bukan hanya sering tak terkatakan dikalangan kaum muslim, tapi bahkan dipersepsikan secara sangat idealistik dan romantik. Karya ini dapat menggugah umat Islam untuk melihat fakta sejarah lebih obyektif, guna mengambil ibrah bagi hari ini dan masa depan”. Tutur Azyumardi Azra dalam mukaddimah karya Fouda tersebut.

Fouda ialah raja satir dan ironi. Dalam mengkritik pandangan dan tafsiran kaum Islamis, ia tidak sematamata mengungkapkan fakta sejarah yang menurutnya telah hilang dari memori mereka. Ia sering menggunakan fakta tersebut untuk menunjukkan keadaan yang bertolakbelakang dari yang dipahami lawan debatnya, dan melakukannya dengan selera humor yang tajam. Yang menarik, seperti tampak di buku ini, fakta-fakta tersebut dia ambil dari kitab-kitab klasik yang dihormati, yang sebenarnya tersimpan tak jauh dari jangkauan pihak-pihak yang ia kritik sehingga semakin menambah bobot ironi.

Tentang pandangan yang menganggap periode salaf, yakni zaman para sahabat Nabi dan al-Khulafa’ al-Rasyidun, sebagai zaman keemasan yang dirindukan, Fouda menulis bahwa itu adalah zaman biasa. Tidak banyak yang gemilang dari masa itu. Malah, ada banyak jejak memalukan. Tiga dari empat al-Khulafa’ yang katanya al-Rasyidun wafat karena pembunuhan politik yang terjadi di tengah polarisasi atau perang saudara di kalangan pengikut-pengikut Nabi yang, menurut riwayat, telah dijamin akan masuk surga.

Khalifah ketiga dari empat khalifah al-Rasyidun, Usman bin Affan, tewas dibunuh dan jenazahnya tidak diperlakukan dengan hormat. Jasadnya baru dapat dimakamkan di hari ketiga setelah ia wafat sangat tidak lazim bagi umat Islam yang selalu mengantar jenazah ke pemakaman selekas mungkin. Ketika prosesi pemakaman berlangsung, sebagian Muslim tidak mau menyembahyangkannya. Bahkan, ada yang melempari, meludahi, dan mematahkan salah satu persendian mayat Usman. Akhirnya, ia tidak diperkenankan dikuburkan di pemakaman Muslim, sehingga harus dimakamkan di kuburan Yahudi. Para pembunuh Usman, sementara itu, bebas berkeliaran. Penggantinya, Ali bin Abi Thalib, tak kuasa menahan apalagi menghukum mereka.

Pertanyaan kita, tulis Fouda, adalah, kemarahan apa yang berada di balik perilaku para Sahabat Nabi ini?

Mengapa mereka begitu dendam kesumat sekalipun hanya terhadap mayat yang tidak berdaya? Mereka seakanakan tidak mengindahkan kenyataan bahwa Usman termasuk jajaran orang-orang yang pertama masuk Islam. Mereka juga tidak memperhatikan umurnya yang sudah 83 tahun. Mereka melupakan bahwa ia adalah suami salah seorang putri Nabi. Mereka bahkan menolak menyalati dan menguburkannya di pekuburan umat Islam. Usman diposisikan sebagai orang paling hina dan paling sial di antara umat Islam.

Tentang anggapan mengenai keutamaan institusi khilafah sebagai unit politik umat Islam, yang melandasi keinginan menegakkan kembali kekhalifahan, Fouda mengedepankan fakta-fakta yang dilupakan perspektif romantis terhadap khilafah. Ada banyak khalifah, baik dari sejarah dinasti Umayah maupun Abbasiyah, yang brengsek, brutal, dan biadab. Pendiri Dinasti Abbasiyah, yang dijuluki “Si Penjagal,” mengundang 90 anggota keluarga Umayah makan malam dan menyiksa sebelum membunuh mereka. Kebiasaan para khalifah yang buruk dan hedonis seperti gemar minum minuman keras, main perempuan, dan berprilaku seksual menyimpang, adalah beberapa contoh yang dikemukakan Fouda dari sejarah panjang kekhalifahan.

Karena itu, kita mungkin bertanya-tanya, dan kita memang berhak bertanya: Mengapa orang-orang yang menuntut kembalinya khilafah begitu membenci bar, mencela biduan, dan mengkafir-kafirkan para penarinya? Bukankah itu kelanjutan dari masa lalu dan bahkan bagian darinya.

Bagi Fouda, khilafah dalam sejarahnya tak lebih dari sistem kekuasaan totaliter yang berselubung agama. Ia mempertanyakan label “Islam” khilafah dan berusaha menunjukkan bahwa yang sering tampak dari sejarah politik Islam justru hal-hal yang berlawanan dengan Islam. Karena ia memisahkan Islam dari praktik kekuasaan atas nama Islam, maka praktik khilafah dalam sejarah dapat dikritik, dicela, dan dibahas dengan menggunakan tolok ukur ilmu politik, demokrasi, dan hak asasi manusia. Fouda menulis buku yang, menurutnya, ingin dihindari banyak orang.” Soalnya, “kebanyakan orang hanya ingin mendengarkan apa yang mereka sukai,” katanya di dalam mukadimah buku.

Fragmen sejarah di atas patut kita renungkan sebagai generasi sekarang agar tidak mudah bersikap apriori terhadap fenomena yang berkembang saat ini utamanya isu bangkitnya khilafah, politisasi agama, dan kesemuan berpikir. Agaknya patut kami lampirkan kepada pembaca link buku Fouda di bawah ini agar bisa dikaji lebih dalam.
 
Kebenaran Yang Hilang pdf

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer