Islam sebagai agama rahmatan
lil’alamin kini mulai dipertanyakan elan vital-nya ketika dihadapkan pada
problematika hidup sebagaimana disebut di atas. Bila tidak mampu menjawab dan
memberi kontribusi secara baik dan nyata maka Islam akan kehilangan fungsi
vitalnya yang sangat dibutuhkan oleh umat manusia.
Karena itu, diperlukan
usaha-usaha pembaruan pemikiran di semua lini kehidupan secara serius.
Tujuannya tidak lain adalah untuk berpartisipasi dalam menjawab problematika
kehidupan. Salah satu usaha yang bisa ditempuh dan sangat mendesak sifatnya
adalah pembaruan pemikiran pendidikan Islam. Kenapa demikian?
Jawabannya adalah karena
akar dari segala masalah hidup sesungguhnya terletak pada kemampuan manusia
mengatasi masalah hidupnya menuju kehidupan yang sejahtera. Sayangnya, tidak
semua manusia bisa hidup sejahtera, hingga akhirnya menggunakan segala cara
untuk bisa hidup sejahtera, yang tidak jarang cara yang digunakan merugikan
pihak lain.
Dengan lain bahasa, inti
dari pembangunan manusia Indonesia sesungguhnya adalah pendidikan. Melalui
pendidikan, akan lahir sumber daya manusia yang unggul, berkualitas dan mampu
menjawab masalahnya. Lebih dari itu, semakin tinggi pendidikan dan kualitas
manusia diyakini berpengaruh dan akan semakin tinggi tingkat produktivitasnya atau
pendapatan hidupnya.
Dalam konteks ini,
menarik membicarakan kembali arah dan tujuan pendidikan Islam Indonesia dalam
mendorong umat menuju kehidupan yang demokratis dan sejahtera. Apakah usaha dan
upaya para stakeholders pendidikan Islam di Indonesia sudah memikirkan dan
menjawab problem sosial, budaya, dan politik-kebangsaan di tanah air dari masa
ke masa?
Bila kita refleksikan,
akhir-akhir ini kajian dan penelitian tentang pendidikan Islam kembali menyita
perhatian banyak pihak. Bukan saja dari kalangan umat Islam sendiri tetapi juga
para pemikir dan intelektual Barat. Tentu saja alasannya beragam, namun secara
umum intinya sama bahwa persoalan pendidikan Islam memberi sumbangsih bagi
pendewasaan dan dinamika umat Islam di manapun, khususnya di Indonesia.
Karenanya, memotret lebih jauh dalam persoalan ini menjadi signifikan untuk
melihat Islam dalam kaitannya dengan institusi pendidikannya.
Secara global, pasca
tragedi 9/11 yang ditandai dengan peristiwa pengeboman gedung kembar World
Trade Center (WTC), kajian tentang Islam menarik perhatian publik luas.
Pasalnya, tragedi WTC tersebut dipersepsikan sebagai pihak yang tertuduh adalah
umat Islam. Pertanyaannya, apa kaitan peristiwa itu dengan pendidikan Islam?
Tentu saja, ada. Sebab ajaran Islam bisa menyebar luas salah satunya melalui
institusi pendidikan. Dalam konteks inilah, banyak pihak melirik dan bahkan
tidak sedikit yang mencurigai banyak institusi pendidikan Islam, khususnya
pesantren4 di Indonesia.
Secara nasional, pasca
tumbangnya rezim Orde Baru (Orba) pengkajian pemikiran Islam berkembang cukup
pesat. Banyak lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sebelumnya sulit
berkembang, kini berubah dan maju pesat5. Malahan, pendidikan Islam kini mulai
siap bersaing mengikuti dinamika zaman dengan mengarah pada internasionalisasi
lembaga pendidikan Islam, mulai dari TK, SD/ MI hingga Perguruan Tinggi.
Dalam konteks di atas,
muncul banyak pertanyaan kenapa dan mengapa pasca tumbangnya rezim Orde Baru
perkembangan dan perubahan institusi lembaga pendidikan Islam mengalami
dinamika yang cukup signifikan? Pertanyaan seputar pendidikan Islam ternyata
tidak hanya berhenti sampai di ranah itu. Buku ini ingin menelusuri dinamika
pendidikan Islam yang kian hari kian menarik dan memikat banyak ilmuwan dan
intelektual di negeri ini untuk ikut serta memecahkan persoalan yang terjadi.
Bila ditelusuri akar
historisnya, pendidikan Islam mempunyai sejarah panjang. Bisa dikatakan seumur
Islam itu sendiri dalam pengertian seluas-luasnya. Konsep Pendidikan Islam
berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Di Indonesia,
Pendidikan Islam sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah
Indonesia. Terbukti, sebelum negeri ini merdeka, Islam dan lembaga
pendidikannya dalam bentuk uniknya pada saat itu hadir dan memberi sumbangsih
bagi pencerdasan anak bangsa dan kemerdekaan negeri ini.
Seiring dengan
perkembangan zaman yang ditandai oleh kemajuan di bidang teknologi, mau tidak
mau Islam dan lembaga pendidikannya pun dituntut untuk mampu beradaptasi.
Semisal fiqh dalam menyikapi masalah perbankan, maka tekhnologi menjadi suatu
keharusan untuk dipelajari sebagai alternatif untuk memecahkan permasalahan
tersebut.
Namun, mengapa ketika
Pendidikan Islam disampaikan ke masyarakat umum, yang terjadi justru
sebaliknya. Ketika peradaban zaman berkembang dengan begitu pesatnya,
Pendidikan Islam justru lebih fokus pada pembelajaran klasik. Akibatnya
Pendidikan Islam acapkali terkucilkan dan jauh dari semangat dan tantangan
zamannya. Pendidikan Islam hingga saat ini nampak sering terlambat memosisikan
diri dalam merespons perubahan dan kecenderungan perkembangan budaya
masyarakat.
Ketika Pendidikan Islam
mencoba menawarkan sistem pembelajaran secara integrated (penggabungan antara
materi umum dan keagamaan) untuk memenuhi kekosongan salah satu di antara
materi pendidikan umum dan materi Pendidikan Islam, justru kebijakan ini seakan
menjadi beban bagi peserta didik. Pasalnya, sampai akhir 2006 ini, prosentase
lulusan siswa madrasah lebih sedikit dibandingkan dengan siswa sekolah umum,
lebih kurang 12 %. Sedangkan, jumlah siswa madrasah sampai saat ini kurang
lebih 6 juta, atau sekitar 20% dari jumlah anak usia sekolah dari Tingkat SD
sampai SLTA di seluruh Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa madrasah memiliki
kontribusi yang signifikan dalam proses pencerdasan bangsa.
Di samping itu,
berdasarkan laporan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) sebagaimana
dimuat dalam The Jakarta Post (Vol. 19, No. 127: 2001), terungkap bahwa sistem
pendidikan Indonesia adalah yang terburuk di Asia. Mutu pendidikan di Indonesia
dengan skor 6,56 masih di bawah negara Vietnam dan negara-negara tetangga Asia
lainnya. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia masih membutuhkan
peningkatan, tidak terkecuali pendidikan Islam.
Lantas, sistem Pendidikan
Islam itu sendiri masih mengalami berbagai kendala. Salah satu diantaranya
adalah kerancuan antara materi umum dengan keagamaan. Inilah yang menjadi
alasan klasik mengapa prestasi materi umum yang disampaikan di lembaga
Pendidikan Islam kalah saing dengan prestasi yang dicapai oleh sekolah umum. Begitu
sebaliknya, penyampaian ilmu agamanya pun tidak segemilang seperti yang terjadi
di pondok pesantren. Kenyataan inilah yang setidaknya mendorong orang tua murid
mengambil alternatif lain, yakni mempercayakan anaknya pada lembaga pendidikan
yang lebih menjanjikan masa depan.
Dengan deskripsi masalah
tersebut di atas, timbul pertanyaan, apakah ada yang salah dalam Pendidikan
Islam? Lantas, akan dibawa ke mana Pendidikan Islam sekarang ini? Inilah
pertanyaan yang perlu dijawab bersama. Kita tentu sepakat, bahwa pendidikan
jelas merupakan suatu program strategis jangka panjang. Karena itu, kinerja dan
pembenahan bidang pendidikan tidak bisa dilaksanakan secara reaktif, tetapi
harus dengan cara proaktif, intensif, dan strategis.
Realitas ini berbalik
fakta, malah justru pembenahan dalam pendidikan belum seutuhnya dianggap
sebagai faktor utama hancurnya negeri ini. Terbukti jelas bahwa tuduhan-tuduhan
para politisi justru mengarah pada ekonomi dan politik. Pendidikan seolah bukan
bagian pokok nyaris ambruknya negeri ini.
Meskipun begitu, kini
dunia pendidikan Islam masih terus menghadapi situasi yang dilematis. Banyak
pengamat pendidikan menilai bahwa pendidikan di Indonesia masih salah urus,
baik dalam tataran konsep dasar maupun konsep pengajaran. Konsep dasar
pendidikan nasional yaitu membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Kata
‘seutuhnya’ kalau boleh sedikit ditafsirkan adalah manusia yang memiliki
kecakapan eksistensi diri (kecakapan hidup), kata hati (naluri), moral (etika)
dan budi pekerti yang luhur (akhlaqul karimah).
Namun, konsep pengajaran
yang kini berjalan, lebih menekankan aspek kecakapan diri, keterampilan hidup
atau kemampuan hitungmenghitung (matematika). Karena itu, yang tampil ke
permukaan adalah berbondong-bondong siswa setingkat SLTP sampai SLTA memenuhi
segala jenis lembaga bimbingan belajar hanya untuk satu tujuan, lulus pada
pelaksanaan ujian nasional (UN) yakni dengan standar nilai minimal 4, 25.
Bahkan, sudah menjadi
tradisi dan selalu menjadi headline di setiap media massa, dalam setiap
pelaksanaan UN, terdapat kecurangan. Lebih dari itu, Pendidikan Islam juga
terkesan kurang memberi peluang pengembangan daya kritis dan kreativitas
sebagai sikap ilmiah. Pendidikan Islam dipandang hanya sebagai penataran,
utamanya tentang teori, tetapi miskin praktik nyata. Akibatnya, citacita
mewujudkan generasi Islam seutuhnya terhambat.
Untuk pembahasan lebih
dalam, kami sertakan link pdf buku Dinamika Pendidikan Islam Pasca Orde Baru
karya Prof. Dr. H. Moch. Tolchah, M.Ag.
0 komentar:
Posting Komentar