Pages

Selasa, 02 April 2019

Dinamika Pendidikan Islam Pasca Orde Baru



Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin kini mulai dipertanyakan elan vital-nya ketika dihadapkan pada problematika hidup sebagaimana disebut di atas. Bila tidak mampu menjawab dan memberi kontribusi secara baik dan nyata maka Islam akan kehilangan fungsi vitalnya yang sangat dibutuhkan oleh umat manusia.

Karena itu, diperlukan usaha-usaha pembaruan pemikiran di semua lini kehidupan secara serius. Tujuannya tidak lain adalah untuk berpartisipasi dalam menjawab problematika kehidupan. Salah satu usaha yang bisa ditempuh dan sangat mendesak sifatnya adalah pembaruan pemikiran pendidikan Islam. Kenapa demikian?

Jawabannya adalah karena akar dari segala masalah hidup sesungguhnya terletak pada kemampuan manusia mengatasi masalah hidupnya menuju kehidupan yang sejahtera. Sayangnya, tidak semua manusia bisa hidup sejahtera, hingga akhirnya menggunakan segala cara untuk bisa hidup sejahtera, yang tidak jarang cara yang digunakan merugikan pihak lain.

Dengan lain bahasa, inti dari pembangunan manusia Indonesia sesungguhnya adalah pendidikan. Melalui pendidikan, akan lahir sumber daya manusia yang unggul, berkualitas dan mampu menjawab masalahnya. Lebih dari itu, semakin tinggi pendidikan dan kualitas manusia diyakini berpengaruh dan akan semakin tinggi tingkat produktivitasnya atau pendapatan hidupnya.

Dalam konteks ini, menarik membicarakan kembali arah dan tujuan pendidikan Islam Indonesia dalam mendorong umat menuju kehidupan yang demokratis dan sejahtera. Apakah usaha dan upaya para stakeholders pendidikan Islam di Indonesia sudah memikirkan dan menjawab problem sosial, budaya, dan politik-kebangsaan di tanah air dari masa ke masa?

Bila kita refleksikan, akhir-akhir ini kajian dan penelitian tentang pendidikan Islam kembali menyita perhatian banyak pihak. Bukan saja dari kalangan umat Islam sendiri tetapi juga para pemikir dan intelektual Barat. Tentu saja alasannya beragam, namun secara umum intinya sama bahwa persoalan pendidikan Islam memberi sumbangsih bagi pendewasaan dan dinamika umat Islam di manapun, khususnya di Indonesia. Karenanya, memotret lebih jauh dalam persoalan ini menjadi signifikan untuk melihat Islam dalam kaitannya dengan institusi pendidikannya.

Secara global, pasca tragedi 9/11 yang ditandai dengan peristiwa pengeboman gedung kembar World Trade Center (WTC), kajian tentang Islam menarik perhatian publik luas. Pasalnya, tragedi WTC tersebut dipersepsikan sebagai pihak yang tertuduh adalah umat Islam. Pertanyaannya, apa kaitan peristiwa itu dengan pendidikan Islam? Tentu saja, ada. Sebab ajaran Islam bisa menyebar luas salah satunya melalui institusi pendidikan. Dalam konteks inilah, banyak pihak melirik dan bahkan tidak sedikit yang mencurigai banyak institusi pendidikan Islam, khususnya pesantren4 di Indonesia.

Secara nasional, pasca tumbangnya rezim Orde Baru (Orba) pengkajian pemikiran Islam berkembang cukup pesat. Banyak lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sebelumnya sulit berkembang, kini berubah dan maju pesat5. Malahan, pendidikan Islam kini mulai siap bersaing mengikuti dinamika zaman dengan mengarah pada internasionalisasi lembaga pendidikan Islam, mulai dari TK, SD/ MI hingga Perguruan Tinggi.

Dalam konteks di atas, muncul banyak pertanyaan kenapa dan mengapa pasca tumbangnya rezim Orde Baru perkembangan dan perubahan institusi lembaga pendidikan Islam mengalami dinamika yang cukup signifikan? Pertanyaan seputar pendidikan Islam ternyata tidak hanya berhenti sampai di ranah itu. Buku ini ingin menelusuri dinamika pendidikan Islam yang kian hari kian menarik dan memikat banyak ilmuwan dan intelektual di negeri ini untuk ikut serta memecahkan persoalan yang terjadi.

Bila ditelusuri akar historisnya, pendidikan Islam mempunyai sejarah panjang. Bisa dikatakan seumur Islam itu sendiri dalam pengertian seluas-luasnya. Konsep Pendidikan Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Di Indonesia, Pendidikan Islam sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Indonesia. Terbukti, sebelum negeri ini merdeka, Islam dan lembaga pendidikannya dalam bentuk uniknya pada saat itu hadir dan memberi sumbangsih bagi pencerdasan anak bangsa dan kemerdekaan negeri ini.

Seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai oleh kemajuan di bidang teknologi, mau tidak mau Islam dan lembaga pendidikannya pun dituntut untuk mampu beradaptasi. Semisal fiqh dalam menyikapi masalah perbankan, maka tekhnologi menjadi suatu keharusan untuk dipelajari sebagai alternatif untuk memecahkan permasalahan tersebut.

Namun, mengapa ketika Pendidikan Islam disampaikan ke masyarakat umum, yang terjadi justru sebaliknya. Ketika peradaban zaman berkembang dengan begitu pesatnya, Pendidikan Islam justru lebih fokus pada pembelajaran klasik. Akibatnya Pendidikan Islam acapkali terkucilkan dan jauh dari semangat dan tantangan zamannya. Pendidikan Islam hingga saat ini nampak sering terlambat memosisikan diri dalam merespons perubahan dan kecenderungan perkembangan budaya masyarakat.

Ketika Pendidikan Islam mencoba menawarkan sistem pembelajaran secara integrated (penggabungan antara materi umum dan keagamaan) untuk memenuhi kekosongan salah satu di antara materi pendidikan umum dan materi Pendidikan Islam, justru kebijakan ini seakan menjadi beban bagi peserta didik. Pasalnya, sampai akhir 2006 ini, prosentase lulusan siswa madrasah lebih sedikit dibandingkan dengan siswa sekolah umum, lebih kurang 12 %. Sedangkan, jumlah siswa madrasah sampai saat ini kurang lebih 6 juta, atau sekitar 20% dari jumlah anak usia sekolah dari Tingkat SD sampai SLTA di seluruh Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa madrasah memiliki kontribusi yang signifikan dalam proses pencerdasan bangsa.

Di samping itu, berdasarkan laporan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) sebagaimana dimuat dalam The Jakarta Post (Vol. 19, No. 127: 2001), terungkap bahwa sistem pendidikan Indonesia adalah yang terburuk di Asia. Mutu pendidikan di Indonesia dengan skor 6,56 masih di bawah negara Vietnam dan negara-negara tetangga Asia lainnya. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia masih membutuhkan peningkatan, tidak terkecuali pendidikan Islam.

Lantas, sistem Pendidikan Islam itu sendiri masih mengalami berbagai kendala. Salah satu diantaranya adalah kerancuan antara materi umum dengan keagamaan. Inilah yang menjadi alasan klasik mengapa prestasi materi umum yang disampaikan di lembaga Pendidikan Islam kalah saing dengan prestasi yang dicapai oleh sekolah umum. Begitu sebaliknya, penyampaian ilmu agamanya pun tidak segemilang seperti yang terjadi di pondok pesantren. Kenyataan inilah yang setidaknya mendorong orang tua murid mengambil alternatif lain, yakni mempercayakan anaknya pada lembaga pendidikan yang lebih menjanjikan masa depan.

Dengan deskripsi masalah tersebut di atas, timbul pertanyaan, apakah ada yang salah dalam Pendidikan Islam? Lantas, akan dibawa ke mana Pendidikan Islam sekarang ini? Inilah pertanyaan yang perlu dijawab bersama. Kita tentu sepakat, bahwa pendidikan jelas merupakan suatu program strategis jangka panjang. Karena itu, kinerja dan pembenahan bidang pendidikan tidak bisa dilaksanakan secara reaktif, tetapi harus dengan cara proaktif, intensif, dan strategis.

Realitas ini berbalik fakta, malah justru pembenahan dalam pendidikan belum seutuhnya dianggap sebagai faktor utama hancurnya negeri ini. Terbukti jelas bahwa tuduhan-tuduhan para politisi justru mengarah pada ekonomi dan politik. Pendidikan seolah bukan bagian pokok nyaris ambruknya negeri ini.

Meskipun begitu, kini dunia pendidikan Islam masih terus menghadapi situasi yang dilematis. Banyak pengamat pendidikan menilai bahwa pendidikan di Indonesia masih salah urus, baik dalam tataran konsep dasar maupun konsep pengajaran. Konsep dasar pendidikan nasional yaitu membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Kata ‘seutuhnya’ kalau boleh sedikit ditafsirkan adalah manusia yang memiliki kecakapan eksistensi diri (kecakapan hidup), kata hati (naluri), moral (etika) dan budi pekerti yang luhur (akhlaqul karimah).

Namun, konsep pengajaran yang kini berjalan, lebih menekankan aspek kecakapan diri, keterampilan hidup atau kemampuan hitungmenghitung (matematika). Karena itu, yang tampil ke permukaan adalah berbondong-bondong siswa setingkat SLTP sampai SLTA memenuhi segala jenis lembaga bimbingan belajar hanya untuk satu tujuan, lulus pada pelaksanaan ujian nasional (UN) yakni dengan standar nilai minimal 4, 25.

Bahkan, sudah menjadi tradisi dan selalu menjadi headline di setiap media massa, dalam setiap pelaksanaan UN, terdapat kecurangan. Lebih dari itu, Pendidikan Islam juga terkesan kurang memberi peluang pengembangan daya kritis dan kreativitas sebagai sikap ilmiah. Pendidikan Islam dipandang hanya sebagai penataran, utamanya tentang teori, tetapi miskin praktik nyata. Akibatnya, citacita mewujudkan generasi Islam seutuhnya terhambat.

Untuk pembahasan lebih dalam, kami sertakan link pdf buku Dinamika Pendidikan Islam Pasca Orde Baru karya Prof. Dr. H. Moch. Tolchah, M.Ag.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer