Tulisan Hamam Faizin
dalam International Seminar and Qur’anic Conference tahun 2012 di Yogyakarta
yang berjudul ‘al-Qur’an sebagai Fenomena yang Hidup (Kajian Atas Pemikiran
Para Sarjana al-Qur’an) memberikan informasi pada kita tentang cerita
terkenalnya kajian living al-Qur’an di Indonesia. Informasi lain yang lebih
penting dari tulisan beliau adalah penyebutan beberapa karya dari para pengkaji
al-Qur’an yang tidak lain menjadi sumber ide dari adanya konsep living
al-Qur’an itu sendiri. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa bahasan seputar
living Qur’an itu sudah berlangsung sejak lama, hanya saja belum mempunyai
‘nama panggilan’ yang pas dalam kajian al-Qur’an.
Living Qur’an adalah
ranah penelitian atau kajian tentang al-Qur’an yang bertujuan mengungkap
fenomena (isi sebuah kejadian) yang bersinggungan dengan al-Qur’an dilihat dari
respon masyarakat terhadap teks al-Qur’an. Pengertian ini juga berlaku pada
istilah living hadis.
Beberapa karya dalam
bentuk buku atau jurnal sebagaimana disinggung oleh Hamam Faizin seperti
Discovering The Qur’an: A Contemporery Approaches to A vailed Text (1996) karya
Neil Robinson, The Art of Reciting the Qur’an (2001) karya Kristena Nelson, The
Qur’an: Man and God Communication (2000), Rethinking the Qur’an; Towards a
Humanistics Hermeneutics karya Nasr Hamid Abu Zaid (w. 2010), The Introduction
to the Qur’an (2006) karya Farid Esack, The Qur’an an Introduction (2007) karya
Abdullah Saeed, Women, the Recited Qur’an and Islamic Music in Indonesia (2010)
karya Anne K Rasmussen, The Qur’an: An Introduction (2010) karya Anna M. Gade,
tidak ketinggalan pula tulisan ‘ulama’ Indonesia yang berjudul ‘Kitab Suci’
dalam bukunya Indonesia Bagian dari Desa Saya yang terbit tahun 1992 dan
beberapa tulisan-tulisan lain adalah bukti dari ‘umur’ kajian tentang living
Qur’an.
Di belahan dunia yang
lain, juga ada karya yang berbahasa Arab seperti Asma’ Suwar al-Qur’an wa
Fadhailiha (2014) karya Munirah Muhammad Nasir yang sayangnya tidak disinggung
dalam tulisan Hamam, besar kemungkinan karena karya ini menggunakan bahasa yang
berbeda dengan literatur-literatur sebelumnya. Terlihat pada judulnya, tulisan
tersebut mencoba mengungkap alasan dan rahasia nama-nama surat dalam al-Qur’an
berikut dengan keutamaannya. Di bagian ‘keutamaan’ ini tesis Munirah tadi bisa
dikategorikan sebagai salah satu referensi tentang living al-Qur’an.
Berbicara tentang
keutamaan al-Qur’an sebagai bagian yang menginspirasi lahirnya kajian living
al-Qur’an, maka ada banyak karya pendahulu yang relevan dengan hal tersebut,
seperti Mawsu’ah Fadhail Suwar wa Ayat al-Qur’an (1997) karya Muhammad bin
Razaq bin Turhuny dan bahkan jauh sebelum itu, bahasan tentang Fadhail
al-Qur’an juga sudah tercantum dalam kitab ‘babon’ ulum al-Qur’an, al-Burhan fi
Ulum al-Qur’an karya az-Zarkasyi. Di bab tentang keutamaan dan kekhususan
al-Qur’an, ia bercerita bahwa Abdurrahman bin Auf pernah menulis ayat إنّا نحن نزّلنا الذّكر و إنّا له لحافظون
untuk menjaga hartanya. Ada juga cerita dari Ibnu Qutaibah tentang curahan hati
dari seseorang yang senang melakukan shalat malam, tapi dia kesulitan bangun
dan mendapatkan nasihat untuk membaca قل لو كان البحر
مدادا ....... (dua ayat
terakhir surat al-kahf). Mengenai praktik pembacaan ayat al-Qur’an untuk tujuan
tertentu ternyata juga pernah dicontohkan oleh Nabi sendiri. Diriwayatkan bahwa
Nabi Muhammad membaca ayat kursiy dan surat al-mu’awwidzatain ketika hendak
tidur agar terhindar dari hal-hal yang tidak baik. Dengan demikian bahwa
praktik living Qur’an ini sevebarnya sudah berlangsung sejak awal Islam. Begitu
juga dengan living hadis. Dan asal muasal living qur’an dan living hadis
menjadi jelas.
Di kemudian hari, bentuk
dan model praksis dari living Qur’an ini menjadi sangat beragam. Hal ini karena
dipengaruhi oleh tempat dan kehidupan sosial si pelaku. Lingkungan dan tradisi
lokal pengkaji al-Qur’an turut andil dalam proses transformasi al-Qur’an dari
teks ke bentuk yang lainnya, sehingga tidak jarang kesan lokalitas al-Qur’an
dan hadis sangat tampak dalam performa kesehariannya. Untuk itu, sebagai gejala
yang lahir dari proses dialog antara teks al-Qur’an dengan tradisi dan
kehidupan sosial masyarakat, maka pendekatan ilmu-ilmu sosial wajib digunakan
untuk mengenalinya, seperti sosiologi, antropologi, fenomenologi dan semacamnya.
Sumber: Limmatus Sauda,
S.Th.I, M.Hum (Kaprodi IAT IKHAC Pacet Mojokerto)
Berikut kami sertakan
link unduhan tulisan Living Quran dan Hadits di bawah ini
0 komentar:
Posting Komentar