Pages

Selasa, 02 April 2019

Living Qur’an dan Hadis: Sebuah Pencarian Asal


Sumber gambar: nulis.babe.news
Tulisan Hamam Faizin dalam International Seminar and Qur’anic Conference tahun 2012 di Yogyakarta yang berjudul ‘al-Qur’an sebagai Fenomena yang Hidup (Kajian Atas Pemikiran Para Sarjana al-Qur’an) memberikan informasi pada kita tentang cerita terkenalnya kajian living al-Qur’an di Indonesia. Informasi lain yang lebih penting dari tulisan beliau adalah penyebutan beberapa karya dari para pengkaji al-Qur’an yang tidak lain menjadi sumber ide dari adanya konsep living al-Qur’an itu sendiri. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa bahasan seputar living Qur’an itu sudah berlangsung sejak lama, hanya saja belum mempunyai ‘nama panggilan’ yang pas dalam kajian al-Qur’an.

Living Qur’an adalah ranah penelitian atau kajian tentang al-Qur’an yang bertujuan mengungkap fenomena (isi sebuah kejadian) yang bersinggungan dengan al-Qur’an dilihat dari respon masyarakat terhadap teks al-Qur’an. Pengertian ini juga berlaku pada istilah living hadis.

Beberapa karya dalam bentuk buku atau jurnal sebagaimana disinggung oleh Hamam Faizin seperti Discovering The Qur’an: A Contemporery Approaches to A vailed Text (1996) karya Neil Robinson, The Art of Reciting the Qur’an (2001) karya Kristena Nelson, The Qur’an: Man and God Communication (2000), Rethinking the Qur’an; Towards a Humanistics Hermeneutics karya Nasr Hamid Abu Zaid (w. 2010), The Introduction to the Qur’an (2006) karya Farid Esack, The Qur’an an Introduction (2007) karya Abdullah Saeed, Women, the Recited Qur’an and Islamic Music in Indonesia (2010) karya Anne K Rasmussen, The Qur’an: An Introduction (2010) karya Anna M. Gade, tidak ketinggalan pula tulisan ‘ulama’ Indonesia yang berjudul ‘Kitab Suci’ dalam bukunya Indonesia Bagian dari Desa Saya yang terbit tahun 1992 dan beberapa tulisan-tulisan lain adalah bukti dari ‘umur’ kajian tentang living Qur’an.

Di belahan dunia yang lain, juga ada karya yang berbahasa Arab seperti Asma’ Suwar al-Qur’an wa Fadhailiha (2014) karya Munirah Muhammad Nasir yang sayangnya tidak disinggung dalam tulisan Hamam, besar kemungkinan karena karya ini menggunakan bahasa yang berbeda dengan literatur-literatur sebelumnya. Terlihat pada judulnya, tulisan tersebut mencoba mengungkap alasan dan rahasia nama-nama surat dalam al-Qur’an berikut dengan keutamaannya. Di bagian ‘keutamaan’ ini tesis Munirah tadi bisa dikategorikan sebagai salah satu referensi tentang living al-Qur’an.

Berbicara tentang keutamaan al-Qur’an sebagai bagian yang menginspirasi lahirnya kajian living al-Qur’an, maka ada banyak karya pendahulu yang relevan dengan hal tersebut, seperti Mawsu’ah Fadhail Suwar wa Ayat al-Qur’an (1997) karya Muhammad bin Razaq bin Turhuny dan bahkan jauh sebelum itu, bahasan tentang Fadhail al-Qur’an juga sudah tercantum dalam kitab ‘babon’ ulum al-Qur’an, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an karya az-Zarkasyi. Di bab tentang keutamaan dan kekhususan al-Qur’an, ia bercerita bahwa Abdurrahman bin Auf pernah menulis ayat إنّا نحن نزّلنا الذّكر و إنّا له لحافظون untuk menjaga hartanya. Ada juga cerita dari Ibnu Qutaibah tentang curahan hati dari seseorang yang senang melakukan shalat malam, tapi dia kesulitan bangun dan mendapatkan nasihat untuk membaca قل لو كان البحر مدادا .......  (dua ayat terakhir surat al-kahf). Mengenai praktik pembacaan ayat al-Qur’an untuk tujuan tertentu ternyata juga pernah dicontohkan oleh Nabi sendiri. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad membaca ayat kursiy dan surat al-mu’awwidzatain ketika hendak tidur agar terhindar dari hal-hal yang tidak baik. Dengan demikian bahwa praktik living Qur’an ini sevebarnya sudah berlangsung sejak awal Islam. Begitu juga dengan living hadis. Dan asal muasal living qur’an dan living hadis menjadi jelas.

Di kemudian hari, bentuk dan model praksis dari living Qur’an ini menjadi sangat beragam. Hal ini karena dipengaruhi oleh tempat dan kehidupan sosial si pelaku. Lingkungan dan tradisi lokal pengkaji al-Qur’an turut andil dalam proses transformasi al-Qur’an dari teks ke bentuk yang lainnya, sehingga tidak jarang kesan lokalitas al-Qur’an dan hadis sangat tampak dalam performa kesehariannya. Untuk itu, sebagai gejala yang lahir dari proses dialog antara teks al-Qur’an dengan tradisi dan kehidupan sosial masyarakat, maka pendekatan ilmu-ilmu sosial wajib digunakan untuk mengenalinya, seperti sosiologi, antropologi, fenomenologi dan semacamnya.

Sumber: Limmatus Sauda, S.Th.I, M.Hum (Kaprodi IAT IKHAC Pacet Mojokerto)
Berikut kami sertakan link unduhan tulisan Living Quran dan Hadits di bawah ini

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer