Epistemologi
adalah bicara ilmu –sebuah istilah yang berasal dari dua kata bahasa Yunani
Kuno, episteme (ilmu) dan logos (pembicaraan). Istilah ini terbilang baru,
pertama kali diperkenalkan sarjana Amerika James F. Ferrier dalam bukunya yang
terbit 1854. Sebelumnya istilah yang lebih sering digunakan adalah
criteriologia dan gnesiologia. Seorang epistemolog berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini: Apakah yang disebut ilmu? Apakah ukuran, kriteria,
syarat-syarat ilmu? Apakah sumber-sumber ilmu? Apakah tatanan dan batasan ilmu?
Dan persoalan-persoalan terkait ilmu, seperti soal keyakinan dan keraguan,
kepastian dan kemungkinan, kebenaran dan kepalsuan, ketidaktahuan dan
kekeliruan, kemutlakan dan kenisbian, dan sebagainya.
Marilah
kita mulai dengan pertanyaan yang barangkali terdengar remeh, tetapi sebenarnya
sangat mendasar dalam epistemologi : Mungkinkah manusia mengetahui kebenaran? Tentu
saja pertanyaan ini bertolak dari asumsi bahwa kebenaran itu ada, dan bisa
diketahui. Tapi betulkah demikian? Pertama-tama mesti ditegaskan bahwa ilmu dan
kebenaran itu setali tiga uang, karena ilmu adalah mengetahui yang benar, dan
yang benar itu ilmu. Memiliki ilmu artinya menggenggam kebenaran. Menolak kebenaran
sama halnya menolak ilmu. Alhasil, mengetahui itu tidak lain dan tidak bukan
adalah mengetahui yang benar. Maka mengetahui yang salah itu bukan ilmu, dan
karenanya bukan kebenaran. Dan kebenaran yang salah itu tidak ada dan mustahil
ada (kecuali bagi orang gila –barangkali). Seperti diungkapkan John Austin, “If
you know, you can’t be wrong”, yang artinya, “If you are wrong, then you don’t
know.”
Ada
banyak sekali kebenaran di sekeliling kita. Adalah kebenaran bahwa ikan pandai
berenang, burung pandai terbang, Jakarta itu padat, cabe rawit itu pedas, air
laut itu asin, Obama itu presiden Amerika ke-44, tempe dibuat dari kacang
kedelai, keju dari susu, Belanda pernah menjajah Indonesia, kendaraan bermotor
membutuhkan bahan bakar, Ka’bah itu di Mekkah, 3+9 = 12, dan 3X9 = 27. Semua
ini hanyalah beberapa contoh kebenaran-kebenaran yang kita –manusia- ketahui
itu adalah benar. Semua ini dapat diperiksa, dipastikan, dan dibuktikan
kebenarannya. Maka teranglah bahwa kebenaran itu memang ada, banyak macamnya
dan bisa diketahui. Dan yang lebih penting lagi, hal ini berarti bukan hanya
Tuhan yangg mengetahui kebenaran, tetapi manusia pun dapat mengetahui
kebenaran.
Namun
jika demikian halnya, mengapa kita masih sering mendengar orang berkata bahwa kebenaran
itu tidak ada? Kebenaran itu hanya Tuhan yang tahu dan mustahil diketahui oleh
manusia? Mengapa banyak orang mengingkari kebenaran? Sikap negatif terhadap ilmu
atau kebenaran sebenarnya setua umur manusia. Secara umum dapat kita bedakan
menjadi tiga jenis, yaitu (1) skeptisisme (2) relativisme (3) agnostisisme. Masing-masing
merupakan sikap khas terhadap kebenaran.
Mengulas
lebih jauh tulisan di atas kami sertakan link lengkap teks orasi ilmiah oleh
Dr. Syamsuddin Arif, M.A. di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar