Pages

Selasa, 02 April 2019

Ilmu, Kebenaran, dan Keraguan; Refleksi Filosofis-Historis



Epistemologi adalah bicara ilmu –sebuah istilah yang berasal dari dua kata bahasa Yunani Kuno, episteme (ilmu) dan logos (pembicaraan). Istilah ini terbilang baru, pertama kali diperkenalkan sarjana Amerika James F. Ferrier dalam bukunya yang terbit 1854. Sebelumnya istilah yang lebih sering digunakan adalah criteriologia dan gnesiologia. Seorang epistemolog berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan ini: Apakah yang disebut ilmu? Apakah ukuran, kriteria, syarat-syarat ilmu? Apakah sumber-sumber ilmu? Apakah tatanan dan batasan ilmu? Dan persoalan-persoalan terkait ilmu, seperti soal keyakinan dan keraguan, kepastian dan kemungkinan, kebenaran dan kepalsuan, ketidaktahuan dan kekeliruan, kemutlakan dan kenisbian, dan sebagainya.

Marilah kita mulai dengan pertanyaan yang barangkali terdengar remeh, tetapi sebenarnya sangat mendasar dalam epistemologi : Mungkinkah manusia mengetahui kebenaran? Tentu saja pertanyaan ini bertolak dari asumsi bahwa kebenaran itu ada, dan bisa diketahui. Tapi betulkah demikian? Pertama-tama mesti ditegaskan bahwa ilmu dan kebenaran itu setali tiga uang, karena ilmu adalah mengetahui yang benar, dan yang benar itu ilmu. Memiliki ilmu artinya menggenggam kebenaran. Menolak kebenaran sama halnya menolak ilmu. Alhasil, mengetahui itu tidak lain dan tidak bukan adalah mengetahui yang benar. Maka mengetahui yang salah itu bukan ilmu, dan karenanya bukan kebenaran. Dan kebenaran yang salah itu tidak ada dan mustahil ada (kecuali bagi orang gila –barangkali). Seperti diungkapkan John Austin, “If you know, you can’t be wrong”, yang artinya, “If you are wrong, then you don’t know.”

Ada banyak sekali kebenaran di sekeliling kita. Adalah kebenaran bahwa ikan pandai berenang, burung pandai terbang, Jakarta itu padat, cabe rawit itu pedas, air laut itu asin, Obama itu presiden Amerika ke-44, tempe dibuat dari kacang kedelai, keju dari susu, Belanda pernah menjajah Indonesia, kendaraan bermotor membutuhkan bahan bakar, Ka’bah itu di Mekkah, 3+9 = 12, dan 3X9 = 27. Semua ini hanyalah beberapa contoh kebenaran-kebenaran yang kita –manusia- ketahui itu adalah benar. Semua ini dapat diperiksa, dipastikan, dan dibuktikan kebenarannya. Maka teranglah bahwa kebenaran itu memang ada, banyak macamnya dan bisa diketahui. Dan yang lebih penting lagi, hal ini berarti bukan hanya Tuhan yangg mengetahui kebenaran, tetapi manusia pun dapat mengetahui kebenaran.

Namun jika demikian halnya, mengapa kita masih sering mendengar orang berkata bahwa kebenaran itu tidak ada? Kebenaran itu hanya Tuhan yang tahu dan mustahil diketahui oleh manusia? Mengapa banyak orang mengingkari kebenaran? Sikap negatif terhadap ilmu atau kebenaran sebenarnya setua umur manusia. Secara umum dapat kita bedakan menjadi tiga jenis, yaitu (1) skeptisisme (2) relativisme (3) agnostisisme. Masing-masing merupakan sikap khas terhadap kebenaran.

Mengulas lebih jauh tulisan di atas kami sertakan link lengkap teks orasi ilmiah oleh Dr. Syamsuddin Arif, M.A. di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer