Hadlratusysyekh KH. Hasyim Asy’ari,
pendiri Pesantren Tebuireng, Jombang, pendiri Nahdlatul Ulama, adalah guru
paripurna. Ribuan santri beliau didik, dan ratusan dari mereka menjadi ulama
atau kiai, pendiri pondok pesantren, atau menjadi tokoh-tokoh umat Islam. Ini
belum termasuk santri-santrinya yang terbilang mustami’ (pendengar setia sang
guru), ngaji sekilas kepada beliau, jejer pandito dalam waktu singkat atau yang
hanya sekedar minta doa dan obat kepada beliau.
Bagaimana beliau mendidik
santri-santrinya? Rasa cinta, tanpa membeda-bedakan. Saking cintanya itu pada
santri-santrinya, di hari-hari menjelang wafatnya (pada 7 Ramadhan 1336 H/ 26
Juli 1947), yang diingat beliau hanya seorang santri mustami’ yang
disayanginya, Bung Tomo, tokoh pahlawan nasional 10 November 1945. Waktu itu
sedang terjadi agresi militer Belanda yang pertama ke daerah Jawa Timur, hingga
masuk ke kota Malang, tempat Bung Tomo membangun basis bersama para anggota TNI
dan laskar rakyat. Jatuhnya kota Malang dalam agresi tanggal 23 Juli itu
membuat Hadlratusysyekh shock, lalu jatuh sakit, hingga ajal menjemput.
Diceritakan pula: suatu hari seorang anak bos pabrik gula Cukir, Jombang,
keturunan Belanda, jatuh sakit. Berbagai cara dilakukan, dokter juga sudah gonta-ganti, tapi semuanya tidak
membantu. Akhirnya beliau mendatangi anak tersebut, membacakan doa-doa, dan
akhirnya sembuh. Sejak itu sang anak menjadi mustami-nya sang Hadlratusysyekh.
Itulah sebabnya mengapa beliau disapa “Hadlratusysyekh”, guru para ulama.
Itu karakter yang beliau tanamkan
kepada santri dan masyarakat kita. Dan karakter itu beliau pelajari sejak muda,
sebagai santri, di beberapa pesantren. Beliau pernah nyantri dan berguru pada
seorang ulama kharismatik kenamaan, Syaikhuna Cholil Bangkalan, Madura (wafat
1924). Di masamasa awal nyantri, kakek Gus Dur ini hanya disuruh angkat air dan
mengisi tempayan atau kolam pondok untuk wudhu dan cuci kaki para santri dan
jamaah. Akibatnya, banyak waktunya habis untuk mengambil air dan bukan ngaji kitab.
Tapi ternyata dengan cara ini sang guru mengajarkan santri kesayangannya itu
satu pendidikan karakter untuk belajar mandiri, tekun, ulet ikhlas, rajin
bekerja dan juga untuk menghargai sumber-sumber air sebagai kekayaan alam yang
diberikan Tuhan ini, serta memanfaatkannya untuk sebesar-besar kemaslahatan
orang banyak.
Ya, itu pelajaran pokok dalam
pesantren: pendidikan karakter kebangsaan. Apa inti pendidikan karakter itu
yang dilakoni KH. Hasyim Asy’ari, sekaligus yang diajarkan kepada santri-santri
dan mustami’nya?
Pertama, pendidikan karakter
pesantren berupaya mengajak bangsa ini untuk mandiri bukan hanya dalam soal
ekonomi dan politik. Tapi juga dalam kebudayaan dan kerjakerja pengetahuan,
dalam bidang cultuur seperti dibahasakan Adinegoro dalam Polemik Kebudayaan
(dalam debat ini pesantren dibela oleh Dokter Soetomo dan Ki Hajar Dewantoro).
Dalam pendidikan seperti ini, anak-anak kita diajarkan bahwa bangsa ini juga
punya pengetahuan sendiri, tahu, dan berilmu. Ada kebanggaan tersendiri untuk
tahu tentang dirinya sebagai bangsa, punya tradisinya sendiri, dan juga percaya
diri bahwa mereka bisa melakukan kerja pengetahuan yang bebas dan mandiri.
Acuan pendidikan pesantren adalah dasar-dasar kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat, yang diperoleh dari masa sejak abad-abad pertama masuknya Islam,
dan juga sebagian mengambil inspirasi dari masa Hindu-Budha (seperti
lakon-lakon pewayangan) untuk kemudian diolah sesuai dengan jiwa pendidikan
pesantren.
Kedua, pendidikan karakter pesantren
mengajarkan anak-anak didiknya untuk bergaul dan bersatu di antara sesama
anak-anak bangsa se-Nusantara, apapun suku, latar belakang dan agamanya. Mereka
diajarkan untuk saling berinteraksi secara harmonis di antara berbagai
komunitas bangsa tersebut. Kalau ada perselisihan, mereka diminta untuk
berdamai melalui mediasi para ulama pesantren atau yang ditunjuk oleh orang orang
pesantren untuk memerankan fungsi mediasi tersebut. Seperti peran para ulama
Mekah di abad 17 yang meminta Banten, Mataram dan Bugis-Makassar untuk bersatu,
juga peran Kiai Haji Oemar di Tidore, Maluku, paruh kedua abad 18 yang
menyatukan para pelaut Indonesia Timur dari berbagai agama dan suku untuk
bersatu menghadapi Inggris dan Belanda.
Ketiga, pengetahuan diabdikan bagi
kepentingan dan keselamatan nusa dan bangsa ini. Itu sebabnya pesantren
mengajarkan berbagai jenis kebudayaan Nusantara yang akan menjadi alat perekat,
pertahanan dan mobilisasi segenap kekuatan bangsa ini.
Keempat, karena pergaulannya yang
begitu rapat dengan bangsa-bangsa lain di jalur perdagangan dunia di Samudera
Hindia, orang-orang pesantren juga mengajarkan anak-anak bangsa ini cara-cara
menghadapi dan bersiasat dengan bangsabangsa lain, terutama dengan orang-orang
Eropa (kini Amerika) yang berniat menguasai wilayah di Asia Tenggara.
Kelima, orang-orang pesantren juga
mengajarkan kepada anak-anak bangsa ini untuk memaksimalkan serta memanfaatkan
segenap potensi ekonomi dan sumber daya negeri ini. Itu sebabnya pesantren
hadir di dekat sumber-sumber mata air dan sumber-sumber kekayaan alam.
Untuk mencapai tujuan-tujuan di atas,
pesantren hadir sebagai kiblat pendidikan keagamaan-kebangsaan bagi bangsa ini.
Model yang mereka adopsi adalah pendidikan model para Wali Songo, para
ulama-waliyullah penyebar agama Islam di Tanah Jawa hingga ke Nusantara.
Tradisi Wali Songo yang kini
terpelihara adalah penghargaan terhadap leluhur, para ulama, para pejuang yang
berjuang untuk bangsa ini serta para pendahulu yang berjasa. Itu dicontohkan
oleh Sunan Kalijaga ketika berziarah ke Pamantingan (tirakat dateng ing
Pamantingan) sebelum ikut bersama dengan para Wali lainnya membangun Mesjid
Demak. Sunan Kalijaga dikenal sebagai tipe santri kelana, “muballigh keliling”,
yang akrab dengan tradisi-tradisi pra-Islam, dan, seperti ditulis KH. Saifuddin
Zuhri, kerap “mengunjungi tempat-tempat bersejarah”.
Perjuangan Wali Songo ini dilanjutkan
oleh kalangan pesantren dalam membantu anak-anak bangsa ini memelihara segenap
memori kolektif bangsa ini dari masa lalu tentang kejayaannya, tentang segenap
pengalamannya berhadapan dengan bangsa-bangsa asing, hingga membantu mereka
mengingat kembali perjuangan orang-orang yang berkorban untuk bangsa dan tanah
air ini. Mekanisme untuk itu dilakukan dengan memelihara sejumlah tradisi,
ritual, upacara dan segenap praktik-praktik keagamaan, kesenian dan
berkebudayaan. Seperti tradisi ziarah makam, penghormatan terhadap petilasan
tokohtokoh penyebarIslam pertama atau nenek moyang pembuka desa pertama.
Praktik-praktik ini menghubungkan satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu
komunitas ke komunitas lainnya, sehingga solidaritas berbangsa, persatuan dan
kebersamaan di antara komponen bangsa ini, ikut terjaga.
Selain itu, tradisi-tradisi ini juga
dipelihara oleh pesantren melalui mekanisme penghormatan dan perlindungan
terhadap tanah, air, laut, hutan, gunung dan sumber-sumber daya alam yang
dimiliki Nusantara ini. Keberadaan makam-makam keramat di dekat mata air, di
hutan, di gunung, semuanya dirawat oleh orang-orang pesantren untuk kepentingan
menjaga kesinambungan sumber-sumber air bagi kehidupan umat manusia. Demikian
pula tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat (dalam bahasa awam, “angker”,
“ada penghuninya”), juga dipelihara oleh pesantren karena keterkaitan historis tempat-tempat
tersebut dengan sejumlah jejak para tokoh ulama atau wali. Tempat-tempat
keramat seperti makam atau petilasan sejumlah pendakwah Islam pertama, pembuka
desa pertama,atau jejak kehadiran pesantren awal, menjadi obyek ziarah kaum
santri dan komunitasnya yang selalu dijaga.
Mengapa pesantren mengajarkan
pendidikan semacam ini? Ya, karena segenap kekayaan alam yang berhimpun di
dekat tempat-tempat keramat tersebut menjadi bagian dari ketahanan
ekonomi-kultural masyarakat, tanpa dikavling-kavling, diliberalisasi, atau
diswastanisasi untuk kepentingan pemodal atau untuk investasi asing. Karena
proses swastanisasi itu akan berdampak merugikan hajat hidup sebagian besar
bangsa ini. Di sana akan terjadi proses pemiskinan masyarakat di sekitar
proyek-proyek liberalisasi-swastanisasi tersebut. Masyarakat desa turun pangkat
dari pemilik lahan atau tuan di atas tanahnya sendiri, menjadi buruh atau kuli.
Sementara orang-orang pesantren juga dipinggirkan melalui proses modernisasi
dan puritanisasi beragama orang-orang sekitar pesantren. Mereka kemudian tidak
lagi percaya kepada pesantren yang dianggapnya sebagai sarang takhayul dan
khurafat.
Untuk mengeksplor lebih jauh terkait
tulisan di atas, kami sertakan link pdf di bawah ini. Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar