Pages

Senin, 03 Februari 2020

Wacana dan Praktik Pluralisme Keagamaan di Indonesia


 
Sumber gambar: csrkita.com
There will be no peace among the people of this world without peace among the world religions. (Hans Kung)

Ketika pada tahun 2005 MUI mengeluarkan fatwa haram atas pluralisme, sontak pluralisme menjadi topik perdebatan yang cukup panas. Perdebatan ini tidak hanya bersifat akademik, tapi juga dimuati dengan semangat teologis. Debat pluralisme menandai pertentangan antara kelompokkelompok keagamaan dengan klaim-klaim kebenaran dan keselamatan yang bersifat absolut.

Bagi mereka yang mengharamkan pluralisme, paham ini dianggap merusak keimanan umat Muslim. Pandangan kelompok ini tergambar jelas bagaimana mereka mendefinisikan pluralisme. Sebagaimana yang tertuang dalam fatwa MUI tentang “Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama”, pluralisme agama didefinisikan sebagai “suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.

Kelompok yang menyanggah pandangan negatif di atas menuduh bahwa pluralisme agama yang didefinisikan MUI lebih menunjukkan prasangka kelompok tertentu daripada sungguh-sungguh mendefinisikan makna pluralisme agama secara tepat. Tuduhan ini setidaknya dibangun berdasarkan kuatnya sentimen anti-SEPILIS (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme) yang diusung kelompok tertentu sebelum Munas MUI, di mana cluster “SEPILIS” itu sendiri pada akhirnya masuk ke dalam satu dokumen fatwa, sebuah dokumen fatwa yang semakin menguatkan indikasi adanya kepentingan kelompok anti-pluralisme di belakang produksi fatwa tersebut.

Bagi para pegiat pluralisme keagamaan yang merasa menjadi tertuduh oleh fatwa tersebut, definisi pluralisme agama yang diusung MUI sama sekali tidak menunjukkan apa yang selama ini terjadi di lapangan. Tidak ada satu pun pegiat pluralisme agama yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Bahkan pluralisme itu sendiri justru berangkat dari sebuah pengakuan adanya keragaman agama. Menyamakan semua agama kemudian mencampurnya menjadi satu bukanlah pluralisme, tapi sinkretisme. Sinkretisme, sejauh merujuk pada Geetz, adalah sistem keyakinan yang berisi campuran dari berbagai elemen ajaran agama yang berbeda-beda.

Jika yang diakui dengan definisi pluralisme agama adalah relativisme, atau setidaknya jika begitulah konsekuensi dari definisi tersebut, penjelasan Eck tentang pluralisme akan menjelaskan semua kebingungan ini.

Pluralism is not simply relativism. The new paradigm of pluralism does not require us to leave our identities and our commitments behind, for pluralism is the encounter of commitments. It means holding our deepest differences, even our religious differences, not in isolation, but in relationship to one another. The language of pluralism is that of dialogue and encounter, give and take, criticism and self-criticism.

Tidak mengherankan jika para pegiat pluralisme agama di Indonesia menolak pluralisme agama sebagaimana yang dipahami MUI karena definisi itu lebih menunjukkan sebagai prasangka negatif daripada sebuah penjelasan akademik yang memadai.

Saat ini, tidak ada satu pun negara yang tidak menghadapi fakta keragaman di dalamnya. Indonesia adalah salah satu negara yang sejak awal mengakui keragaman masyarakatnya. Bahkan, keragaman itu sering kali dibanggakan sebagai salah satu kekuatan bangsa ini. Namun, fenomena akhir-akhir ini justru memperlihatkan hal yang berbeda. Konflik dan kekerasan etno-religius merebak di mana-mana. Ujaran kebencian yang dibungkus dengan retorika agama sangat mudah dijumpai seakan-akan agama menjadi alasan kuat untuk saling membenci dan melukai.

Melihat ironi seperti ini, banyak pihak yang mulai mempertanyakan makna agama dan keberagamaan dalam kehidupan manusia. Jika agama sering mengkhotbahkan kebaikan, kasih sayang, perdamaian, dan segala kualitas baik dalam kehidupan manusia ternyata juga menjadi faktor pendorong kuat dalam konflik dan kekerasan, apa sesungguhnya yang salah. Apakah Tuhan memang memerintahkan manusia menegakkan kebaikan dengan jalan kekerasan atau bahkan peperangan? Jika memang seperti itu, mengapa kedua belah pihak yang bertikai meyakini Tuhan ada di pihaknya dan mendukungnya? Atau, semua konflik dan kekerasan sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan agama dan Tuhan, tapi perwujudan keserakahan dan kesombongan manusia di mana agama dan Tuhan hanya dalih belaka?

Banyak kemungkinan jawaban yang akan muncul. Terlepas banyak kalangan yang memandang negatif terhadap agama, buku ini secara umum berangkat dari posisi yang memandang iman sebagai sesuatu yang positif dan menjadikannya sebagai kekuatan dalam menghadapi berbagai persoalan yang ada. Sekalipun demikian, pandangan ini bukan berarti menjadikan agama sebagai panacea, seperti sebutir pil yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Agama tetap harus diletakkan secara proporsional dan menilainya secara realistis, tidak hanya kebaikannya namun juga potensi destruktifnya akibat penyalahgunaan oleh orang-orang tertentu.

Buku ini membincang kembali pentingnya semangat dalam mengakui fakta keragaman agama dan bagaimana kita memperlakukannya. Tentu saja, mengakui saja tidak cukup. Namun setidaknya, pengakuan akan adanya perbedaan bisa membawa langkah-langkah berikutnya yang positif, misalnya, dialog antariman. Dialog agama yang sehat tentu saja tidak hanya pamer kebaikan agama masingmasing sambil, dinyatakan atau hanya disimpan dalam hati, meletakkan agamanya sebagai superior atas yang lain. Perjumpaan antariman yang sesungguhnya adalah sebuah perjumpaan antar orang-orang beriman yang di dalamnya secara tulus dan jujur menerima kesetaraan hak spiritual sehingga terbuka untuk saling memperkaya iman dan bekerja sama tanpa pamrih dalam menghadapi masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik dunia.

Dalam konteks perdebatan pluralisme agama, buku ini meletakkan dirinya dalam posisi di mana pluralisme dilihat sebagai fakta dan sikap. Pluralisme agama bisa dipahami sebagai fakta keragaman agama-agama, tapi lebih dari itu, yang terpenting adalah bagaimana sikap kita atas keragaman tersebut. Pluralisme tidak mensyaratkan seseorang untuk tidak memiliki komitmen terhadap ajaran agama yang dipeluknya, sekalipun memeluk agama bukanlah sebuah persyaratan yang wajib mendahuluinya. Pluralisme tidak semata-mata mengakui adanya keragaman agama, tapi komitmen atas keragaman: bahwa setiap upaya yang menghancurkan keragaman agama sesungguhnya adalah menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan itu sendiri.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Eck, pluralisme bukan semata-mata tentang keragaman itu sendiri, tapi keterlibatan dengan keragaman. Mengakui adanya keragaman tanpa memiliki komitmen atasnya, tidak memiliki arti apa-apa. Karena pluralisme adalah sebuah sikap positif terhadap keragaman, termasuk di dalamnya adalah menjaga secara aktif hak-hak keyakinan orang lain, saling memahami, kepedulian pada yang lain, maka “pluralism is not a given, but an achievement.”

Kekerasan Atas Nama Agama

Banyak yang mengira bahwa hanya kekerasan fisiklah yang dapat dikualifikasi sebagai kekerasan. Tapi, sesungguhnya kekerasan lebih luas dari sekedar membunuh orang. Kekerasan juga merujuk pada segala sesuatu yang secara psikologis destruktif, yang merusak atau merendahkan martabat orang lain. Maka, kekerasan dapat didefinisikansebagai tindakan apa pun, verbal ataunonverbal, lisan atau tertulis, fisik ataupsikis, aktif atau pasif, publik atau privat, individu atauinstitusi/masyarakat, bersifat manusiawi atau Ilahi, dalam apapun tingkat intensitasnya, yang melakukan pelanggaran, kekejaman, pelukaan (psikis maupun fisik, sampai pada pembunuhan orang lain. Dampak dari definisi kekerasan yang semata-mata fisik itu adalah terabaikannya berbagai macam bentuk kekerasan non-fisik. Diskriminasi yang terstruktur, penyingkiran, dan cacian sering kali tidak dianggap sebagai kekerasan.

Kekerasan agama atau religious-based violence adalah istilah yang mencakup semua fenomena di mana agama, dalam tiap bentuknya, menjadi objek atau subjek kekerasan Kekerasan agama secara spesifik adalah kekerasan yang dimotivasi oleh atau reaksi terhadap aturan, teks, atau doktrin agama. Kekerasan ini mencakup kekerasan terhadap institusi, individu, atau objek keagamaan, jika kekerasan itu dimotivasi oleh aspek-aspek keagamaan dari target kekerasan atau ajaran pelaku kekerasan. Kekerasan agama tidak merujuk secara eksklusif kepada tindakan yang dilakukan oleh kelompok keagamaan tapi juga oleh kelompok non-keagamaan, atau sebaliknya.

Kekerasan agama sering kali berkecenderungan menekankan pada aspek simbolik dari tindakan. Kekerasan agama, sebagaimana kekerasan pada umumnya, tidak hanya masalah melukai dan menumpahkan darah orang lain, namun juga pemaksaan dan perampasan kebebasan. Kekerasan agama juga tidak semata-mata masalah kekerasan secara fisik yang dimotivasi oleh ajaran agama, tapi juga kekerasan verbal yang biasanya muncul dalam bahasa-bahasa kebencian dan kekerasan terhadap kelompok agama lain.

Sebagai sebuah fenomena sosial, kekerasan agama akan muncul jika memiliki kesempatan sosial-budaya-politik. Kekerasan agama bisa berkombinasi dengan faktor-faktor non-agama. Ketika ia muncul, ia bisa berkombinasi dengan berbagai faktor lain sesuai dengan konteks sosio-budaya politik yang ada. Dengan kata lain, klaim kebenaran absolut oleh suatu kelompok keagamaan membutuhkan konteks sosial-politik tertentu untuk meletus menjadi konflik terbuka. Dan, ketika konflik itu sudah dibungkus dengan idiom-idiom agama, maka dia memiliki daya dorong yang sangat dahsyat.

Salah satu kesempatan yang memungkinkan terjadinya kekerasan agama, terutama dalam skala masif, adalah kelumpuhan negara dalam menangani tindak-tindak kekerasan warganya. Menurut catatan Treverton, negara sering kali mengatasi kelompok agama yang menggunakan kekerasan secara taktis, bukan strategis. Penguasa politik biasanya memberi konsesi politik sesuai dengan tuntutan kelompok tersebut dalam isu-isu sosial-keagamaan untuk meredakan kekuatan oposisi kelompok ini. Tapi, sejarah membuktikan bahwa cara seperti ini hanya akan meredakan tuntutan sesaat yang kemudian akan melahirkan berbagai tuntutan baru yang selalu disertai dengan ancaman kekerasan.

Kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok keagamaan sesungguhnya adalah perang posisi (wars of position). Konsep Gramsci ini menunjukkan bahwa tuntutan dengan kekerasan hanya langkah awal. Langkah berikutnya bukan lagi melakukan tuntutan yang bersifat fragmentaris dan sporadis, tapi menggolkan agenda politiknya untuk dapat mempengaruhi dan melakukan kontrol lebih besar terhadap masyarakat dan institusi-institusi politik.

Penting juga untuk disadari bahwa pemeluk agama tidak jarang menggunakan perang, kekerasan, dan teror untuk mencapai tujuan-tujuan keagamaan sebagaimana yang diyakininya. Para pemeluk ini tidak semata-mata digerakkan oleh “kemarahan massa” tapi juga diabsahkan secara religius melalui lisan para pemimpin agama. Ayat-ayat cinta memang mudah ditemukan dalam kitab suci untuk menebar benih perdamaian, namun ayat-ayat dendam, kebencian, kekerasan, dan perang juga tidak kalah banyaknya dalam kitab suci yang ini semua dikutip oleh para tokoh agama untuk mengabsahkan tindakan kekerasan atas nama agama.

Banyak pemeluk agama mengembangkan pandangan agama yang marah, bukan agama yang ramah. Pemeluk agama akan marah terhadap sesuatu yang dianggap sebagai kebatilan dan akan berjuang dalam rangka menegakkan kebenaran. Dalam balutan keyakinan agama yang semuanya serba absolut, perjuangan menegakkan kebenaran ini bisa berarti tindakan kekerasan jika diperlukan.

Dari sini bisa dikatakan bahwa pelaku kekerasan agama bisa aktor negara dan aktor non-negara. Aktor non-negara adalah para pemeluk agama, baik pemeluk awam maupun para tokohnya. Dalam kekerasan agama, peran yang dimainkan oleh pemeluk awam dan tokoh agama biasanya berbeda. Pemeluk awam cenderung bertindak sebagai pelaku kekerasan di lapangan, sedang tokoh agama melegitimasi kekerasan dengan fatwa-fatwanya, sekalipun benar juga bahwa dalam beberapa kasus baik pemeluk awam maupun tokoh agama sama-sama melakukan kedua tindakan tersebut.

Sedangkan aktor negara melakukan tindakan kekerasan dalam dua bentuk: by commission dan by omission. By commission adalah tindakan aktif aktor negara dalam melakukan kekerasan agama, baik dalam bentuk represi atau koersi maupun dalam menyusun sebuah kebijakan politik yang diskriminatif. Sedangkan kekerasan by omission adalah pembiaran aparat negara terhadap kekerasan yang dilakukan oleh orang atau kelompok orang terhadap orang atau kelompok lain.

Saat ini, salah satu pembiaran aparat negara terhadap tindakan kekerasan keagamaan yang sering tidak dilihat dan diabaikan adalah pembiaran terhadap kekerasan verbal atau apa yang dalam bahasa HAM disebut hate speech (khotbah kebencian). Apa yang disebut dengan hate speech ini bisa dilihat dalam ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) pasal 20 ayat 2: “Segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.

Kekerasan agama ini perlu dicegat sejak dini. Fasli Jalal, mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional mengatakan bahwa ada oknum-oknum guru tertentu yang menyemai bibit radikalisme dalam proses pembelajaran atau kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.”11 Hal ini dikuatkan oleh Ketua Ikatan Guru Civic Indonesia (IGCI), Retno Listiyarti: “Buku Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) tidak mengajarkan mulkulturalisme; Guru SMA yang mengajar bidang studi PKn ternyata juga tidak melihat persoalan mulkulturalisme sebagai sebuah persoalan kewarganegaraan dibandingkan dengan persoalan akhlak mulia dan agama.

Dikutip dari Ahmad Zainul Hamdi & Ahmad Muktafi dalam Buku Wacana & Praktik Pluralisme Keagamaan di Indonesia.

Agar pembaca dapat mengulas lebih jauh pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi luring (offline) pdf Wacana & Praktik Pluralisme Keagamaan di Indonesia di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer