There will be no peace among the
people of this world without peace among the world religions. (Hans Kung)
Ketika pada tahun 2005 MUI mengeluarkan fatwa haram
atas pluralisme, sontak pluralisme menjadi topik perdebatan yang cukup panas.
Perdebatan ini tidak hanya bersifat akademik, tapi juga dimuati dengan semangat
teologis. Debat pluralisme menandai pertentangan antara kelompokkelompok
keagamaan dengan klaim-klaim kebenaran dan keselamatan yang bersifat absolut.
Bagi mereka yang mengharamkan pluralisme, paham ini
dianggap merusak keimanan umat Muslim. Pandangan kelompok ini tergambar jelas
bagaimana mereka mendefinisikan pluralisme. Sebagaimana yang tertuang dalam
fatwa MUI tentang “Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama”, pluralisme
agama didefinisikan sebagai “suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama
adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; Oleh sebab
itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang
benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa
semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Kelompok yang menyanggah pandangan negatif di atas
menuduh bahwa pluralisme agama yang didefinisikan MUI lebih menunjukkan
prasangka kelompok tertentu daripada sungguh-sungguh mendefinisikan makna
pluralisme agama secara tepat. Tuduhan ini setidaknya dibangun berdasarkan
kuatnya sentimen anti-SEPILIS (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme) yang
diusung kelompok tertentu sebelum Munas MUI, di mana cluster “SEPILIS” itu
sendiri pada akhirnya masuk ke dalam satu dokumen fatwa, sebuah dokumen fatwa
yang semakin menguatkan indikasi adanya kepentingan kelompok anti-pluralisme di
belakang produksi fatwa tersebut.
Bagi para pegiat pluralisme keagamaan yang merasa
menjadi tertuduh oleh fatwa tersebut, definisi pluralisme agama yang diusung
MUI sama sekali tidak menunjukkan apa yang selama ini terjadi di lapangan.
Tidak ada satu pun pegiat pluralisme agama yang mengajarkan bahwa semua agama
adalah sama. Bahkan pluralisme itu sendiri justru berangkat dari sebuah
pengakuan adanya keragaman agama. Menyamakan semua agama kemudian mencampurnya menjadi
satu bukanlah pluralisme, tapi sinkretisme. Sinkretisme, sejauh merujuk pada
Geetz, adalah sistem keyakinan yang berisi campuran dari berbagai elemen ajaran
agama yang berbeda-beda.
Jika yang diakui dengan definisi pluralisme agama
adalah relativisme, atau setidaknya jika begitulah konsekuensi dari definisi
tersebut, penjelasan Eck tentang pluralisme akan menjelaskan semua kebingungan
ini.
Pluralism is not simply relativism.
The new paradigm of pluralism does not require us to leave our identities and
our commitments behind, for pluralism is the encounter of commitments. It means
holding our deepest differences, even our religious differences, not in
isolation, but in relationship to one another. The language of pluralism is
that of dialogue and encounter, give and take, criticism and self-criticism.
Tidak mengherankan jika para pegiat pluralisme agama
di Indonesia menolak pluralisme agama sebagaimana yang dipahami MUI karena
definisi itu lebih menunjukkan sebagai prasangka negatif daripada sebuah
penjelasan akademik yang memadai.
Saat ini, tidak ada satu pun negara yang tidak
menghadapi fakta keragaman di dalamnya. Indonesia adalah salah satu negara yang
sejak awal mengakui keragaman masyarakatnya. Bahkan, keragaman itu sering kali
dibanggakan sebagai salah satu kekuatan bangsa ini. Namun, fenomena akhir-akhir
ini justru memperlihatkan hal yang berbeda. Konflik dan kekerasan etno-religius
merebak di mana-mana. Ujaran kebencian yang dibungkus dengan retorika agama
sangat mudah dijumpai seakan-akan agama menjadi alasan kuat untuk saling
membenci dan melukai.
Melihat ironi seperti ini, banyak pihak yang mulai
mempertanyakan makna agama dan keberagamaan dalam kehidupan manusia. Jika agama
sering mengkhotbahkan kebaikan, kasih sayang, perdamaian, dan segala kualitas
baik dalam kehidupan manusia ternyata juga menjadi faktor pendorong kuat dalam
konflik dan kekerasan, apa sesungguhnya yang salah. Apakah Tuhan memang
memerintahkan manusia menegakkan kebaikan dengan jalan kekerasan atau bahkan
peperangan? Jika memang seperti itu, mengapa kedua belah pihak yang bertikai
meyakini Tuhan ada di pihaknya dan mendukungnya? Atau, semua konflik dan
kekerasan sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan agama dan Tuhan, tapi
perwujudan keserakahan dan kesombongan manusia di mana agama dan Tuhan hanya
dalih belaka?
Banyak kemungkinan jawaban yang akan muncul. Terlepas
banyak kalangan yang memandang negatif terhadap agama, buku ini secara umum
berangkat dari posisi yang memandang iman sebagai sesuatu yang positif dan
menjadikannya sebagai kekuatan dalam menghadapi berbagai persoalan yang ada.
Sekalipun demikian, pandangan ini bukan berarti menjadikan agama sebagai
panacea, seperti sebutir pil yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit.
Agama tetap harus diletakkan secara proporsional dan menilainya secara
realistis, tidak hanya kebaikannya namun juga potensi destruktifnya akibat
penyalahgunaan oleh orang-orang tertentu.
Buku ini membincang kembali pentingnya semangat dalam
mengakui fakta keragaman agama dan bagaimana kita memperlakukannya. Tentu saja,
mengakui saja tidak cukup. Namun setidaknya, pengakuan akan adanya perbedaan
bisa membawa langkah-langkah berikutnya yang positif, misalnya, dialog
antariman. Dialog agama yang sehat tentu saja tidak hanya pamer kebaikan agama
masingmasing sambil, dinyatakan atau hanya disimpan dalam hati, meletakkan
agamanya sebagai superior atas yang lain. Perjumpaan antariman yang
sesungguhnya adalah sebuah perjumpaan antar orang-orang beriman yang di
dalamnya secara tulus dan jujur menerima kesetaraan hak spiritual sehingga
terbuka untuk saling memperkaya iman dan bekerja sama tanpa pamrih dalam
menghadapi masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik dunia.
Dalam konteks perdebatan pluralisme agama, buku ini
meletakkan dirinya dalam posisi di mana pluralisme dilihat sebagai fakta dan
sikap. Pluralisme agama bisa dipahami sebagai fakta keragaman agama-agama, tapi
lebih dari itu, yang terpenting adalah bagaimana sikap kita atas keragaman
tersebut. Pluralisme tidak mensyaratkan seseorang untuk tidak memiliki komitmen
terhadap ajaran agama yang dipeluknya, sekalipun memeluk agama bukanlah sebuah
persyaratan yang wajib mendahuluinya. Pluralisme tidak semata-mata mengakui
adanya keragaman agama, tapi komitmen atas keragaman: bahwa setiap upaya yang
menghancurkan keragaman agama sesungguhnya adalah menghancurkan sendi-sendi
kemanusiaan itu sendiri.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Eck, pluralisme bukan
semata-mata tentang keragaman itu sendiri, tapi keterlibatan dengan keragaman.
Mengakui adanya keragaman tanpa memiliki komitmen atasnya, tidak memiliki arti
apa-apa. Karena pluralisme adalah sebuah sikap positif terhadap keragaman,
termasuk di dalamnya adalah menjaga secara aktif hak-hak keyakinan orang lain,
saling memahami, kepedulian pada yang lain, maka “pluralism is not a given, but
an achievement.”
Kekerasan Atas Nama Agama
Banyak
yang mengira bahwa hanya kekerasan fisiklah yang dapat dikualifikasi sebagai
kekerasan. Tapi, sesungguhnya kekerasan lebih luas dari sekedar membunuh orang.
Kekerasan juga merujuk pada segala sesuatu yang secara psikologis destruktif,
yang merusak atau merendahkan martabat orang lain. Maka, kekerasan dapat
didefinisikansebagai tindakan apa pun, verbal ataunonverbal, lisan atau
tertulis, fisik ataupsikis, aktif atau pasif, publik atau privat, individu
atauinstitusi/masyarakat, bersifat manusiawi atau Ilahi, dalam apapun tingkat intensitasnya,
yang melakukan pelanggaran, kekejaman, pelukaan (psikis maupun fisik, sampai
pada pembunuhan orang lain. Dampak dari definisi kekerasan yang semata-mata
fisik itu adalah terabaikannya berbagai macam bentuk kekerasan non-fisik.
Diskriminasi yang terstruktur, penyingkiran, dan cacian sering kali tidak
dianggap sebagai kekerasan.
Kekerasan
agama atau religious-based violence adalah istilah yang mencakup semua
fenomena di mana agama, dalam tiap bentuknya, menjadi objek atau subjek
kekerasan Kekerasan agama secara spesifik adalah kekerasan yang dimotivasi oleh
atau reaksi terhadap aturan, teks, atau doktrin agama. Kekerasan ini mencakup
kekerasan terhadap institusi, individu, atau objek keagamaan, jika kekerasan
itu dimotivasi oleh aspek-aspek keagamaan dari target kekerasan atau ajaran
pelaku kekerasan. Kekerasan agama tidak merujuk secara eksklusif kepada
tindakan yang dilakukan oleh kelompok keagamaan tapi juga oleh kelompok
non-keagamaan, atau sebaliknya.
Kekerasan
agama sering kali berkecenderungan menekankan pada aspek simbolik dari
tindakan. Kekerasan agama, sebagaimana kekerasan pada umumnya, tidak hanya
masalah melukai dan menumpahkan darah orang lain, namun juga pemaksaan dan
perampasan kebebasan. Kekerasan agama juga tidak semata-mata masalah kekerasan
secara fisik yang dimotivasi oleh ajaran agama, tapi juga kekerasan verbal yang
biasanya muncul dalam bahasa-bahasa kebencian dan kekerasan terhadap kelompok
agama lain.
Sebagai
sebuah fenomena sosial, kekerasan agama akan muncul jika memiliki kesempatan
sosial-budaya-politik. Kekerasan agama bisa berkombinasi dengan faktor-faktor
non-agama. Ketika ia muncul, ia bisa berkombinasi dengan berbagai faktor lain
sesuai dengan konteks sosio-budaya politik yang ada. Dengan kata lain, klaim
kebenaran absolut oleh suatu kelompok keagamaan membutuhkan konteks
sosial-politik tertentu untuk meletus menjadi konflik terbuka. Dan, ketika
konflik itu sudah dibungkus dengan idiom-idiom agama, maka dia memiliki daya dorong
yang sangat dahsyat.
Salah
satu kesempatan yang memungkinkan terjadinya kekerasan agama, terutama dalam
skala masif, adalah kelumpuhan negara dalam menangani tindak-tindak kekerasan
warganya. Menurut catatan Treverton, negara sering kali mengatasi kelompok
agama yang menggunakan kekerasan secara taktis, bukan strategis. Penguasa
politik biasanya memberi konsesi politik sesuai dengan tuntutan kelompok
tersebut dalam isu-isu sosial-keagamaan untuk meredakan kekuatan oposisi
kelompok ini. Tapi, sejarah membuktikan bahwa cara seperti ini hanya akan
meredakan tuntutan sesaat yang kemudian akan melahirkan berbagai tuntutan baru
yang selalu disertai dengan ancaman kekerasan.
Kekerasan
yang dilakukan oleh kelompok-kelompok keagamaan sesungguhnya adalah perang posisi
(wars of position). Konsep Gramsci ini menunjukkan bahwa tuntutan dengan
kekerasan hanya langkah awal. Langkah berikutnya bukan lagi melakukan tuntutan
yang bersifat fragmentaris dan sporadis, tapi menggolkan agenda politiknya
untuk dapat mempengaruhi dan melakukan kontrol lebih besar terhadap masyarakat
dan institusi-institusi politik.
Penting
juga untuk disadari bahwa pemeluk agama tidak jarang menggunakan perang,
kekerasan, dan teror untuk mencapai tujuan-tujuan keagamaan sebagaimana yang
diyakininya. Para pemeluk ini tidak semata-mata digerakkan oleh “kemarahan
massa” tapi juga diabsahkan secara religius melalui lisan para pemimpin agama.
Ayat-ayat cinta memang mudah ditemukan dalam kitab suci untuk menebar benih
perdamaian, namun ayat-ayat dendam, kebencian, kekerasan, dan perang juga tidak
kalah banyaknya dalam kitab suci yang ini semua dikutip oleh para tokoh agama
untuk mengabsahkan tindakan kekerasan atas nama agama.
Banyak
pemeluk agama mengembangkan pandangan agama yang marah, bukan agama yang ramah.
Pemeluk agama akan marah terhadap sesuatu yang dianggap sebagai kebatilan dan
akan berjuang dalam rangka menegakkan kebenaran. Dalam balutan keyakinan agama
yang semuanya serba absolut, perjuangan menegakkan kebenaran ini bisa berarti
tindakan kekerasan jika diperlukan.
Dari
sini bisa dikatakan bahwa pelaku kekerasan agama bisa aktor negara dan aktor
non-negara. Aktor non-negara adalah para pemeluk agama, baik pemeluk awam
maupun para tokohnya. Dalam kekerasan agama, peran yang dimainkan oleh pemeluk
awam dan tokoh agama biasanya berbeda. Pemeluk awam cenderung bertindak sebagai
pelaku kekerasan di lapangan, sedang tokoh agama melegitimasi kekerasan dengan
fatwa-fatwanya, sekalipun benar juga bahwa dalam beberapa kasus baik pemeluk
awam maupun tokoh agama sama-sama melakukan kedua tindakan tersebut.
Sedangkan
aktor negara melakukan tindakan kekerasan dalam dua bentuk: by commission dan
by omission. By commission adalah tindakan aktif aktor negara dalam
melakukan kekerasan agama, baik dalam bentuk represi atau koersi maupun dalam
menyusun sebuah kebijakan politik yang diskriminatif. Sedangkan kekerasan by
omission adalah pembiaran aparat negara terhadap kekerasan yang dilakukan
oleh orang atau kelompok orang terhadap orang atau kelompok lain.
Saat
ini, salah satu pembiaran aparat negara terhadap tindakan kekerasan keagamaan
yang sering tidak dilihat dan diabaikan adalah pembiaran terhadap kekerasan
verbal atau apa yang dalam bahasa HAM disebut hate speech (khotbah
kebencian). Apa yang disebut dengan hate speech ini bisa dilihat dalam ICCPR (International
Covenant on Civil and Political Rights) pasal 20 ayat 2: “Segala tindakan
yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang
merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus
dilarang oleh hukum.
Kekerasan
agama ini perlu dicegat sejak dini. Fasli Jalal, mantan Wakil Menteri
Pendidikan Nasional mengatakan bahwa ada oknum-oknum guru tertentu yang
menyemai bibit radikalisme dalam proses pembelajaran atau kegiatan
ekstrakurikuler di sekolah.”11 Hal ini dikuatkan oleh Ketua Ikatan Guru Civic
Indonesia (IGCI), Retno Listiyarti: “Buku Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di
jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) tidak mengajarkan mulkulturalisme; Guru SMA
yang mengajar bidang studi PKn ternyata juga tidak melihat persoalan
mulkulturalisme sebagai sebuah persoalan kewarganegaraan dibandingkan dengan
persoalan akhlak mulia dan agama.
Dikutip
dari Ahmad Zainul Hamdi & Ahmad Muktafi dalam Buku Wacana & Praktik
Pluralisme Keagamaan di Indonesia.
Agar
pembaca dapat mengulas lebih jauh pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi
luring (offline) pdf Wacana & Praktik Pluralisme Keagamaan di Indonesia di
bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar