Pages

Senin, 03 Februari 2020

Arus Bersilangan: Yang Mungkin dan Yang Mustahil dalam Puisi Esai

Sumber gambar: didaktikaunj.com


The poet is not the “author” in the traditional sense of the word; he is a moment of convergence of the different voices which flow into a text.
(Octavio Paz, dalam Children of the Mire)

Pada dasarnya para penulis puisi-esai mempunyai beban ganda: pada satu sisi dia harus mengasah dan mempertajam indra-indranya, persepsinya, emosiemosinya, kecamuk perasaan-perasaannya agar dapat menghamparkan dunia pedalaman tokoh yang dihadirkannya dengan hidup, meyakinkan dan —kalau mungkin— membetot dan menyihir. Pada sisi lain dia juga harus punya kepekaan sebagai seorang pengamat atau penelaah yang tajam atas masyarakatnya, sejarah dan seluk-beluknya, problem-problem kolektif yang dihadapinya, dilema-dilemanya, kecenderungan dan hasrathasrat manusianya. 

Lantaran semangat dan watak puisi esai bergerak dan merupakan persilangan antara dua arus pusaran: yang personal dan yang sosial. Yang personal bisa diwedar kalau si penulis puisi esai khusuk bermeditasi tentang pedalaman batin manusia dengan nafsu-nafsunya, ambisinya, duka caritanya, sementara yang sosial bisa dibentangkan kalau si penulis puisi esai terlibat dan menyisipkan diri dalam dilema-dilema masyarakat dan warkah zamannya.

Apabila si penulis puisi esai terlalu tergelincir ke dalam arus pusaran yang pertama maka yang akan muncul adalah potret seorang individu yang terapung, teralienasi, dan tercerabut dari konteksnya. Kita hanya akan menangkap warna-warni emosinya, kontur perasaan dan ilusi-ilusinya, namun itu hanya akan menjadi potret diri yang compang-camping bilamana konteks dan pigura sosialnya tak dihamparkan dengan meyakinkan. Sementara kalau terjerembab kedalam arus pusaran yang kedua maka yang akan muncul adalah penggam-baran bingkai yang tanpa potret, masyarakat yang ma-nusiamanusianya anonim, individu-individu tanpa nama dan riwayat. Menari lentur di antara dua arus pusaran yang bersilangan itulah agaknya yang menjadi tantangan sekaligus godaan bagi seorang penulis puisi esai.

Tapi tak hanya itu. Arus persilangan dalam puisi esai juga terjadi di pelbagai ranah lain, yang dalam genre lain biasanya dipertentangkan: ranah intelek dan ranah imaji, ranah fakta dan ranah fiksi, ranah sadar dan ranah bawah sadar, yang realistik dan yang fantastik, yang di sini dan yang di sana. Arus-arus yang bersilang-an itu, persahutan dan pergantian dan gema di pelbagai ranah itu, sebetulnya menjanjikan petualangan dan kanvas kreativitas yang lapang bagi para penulis puisi esai, untuk menjelajah dan mengerahkan segala daya dan kemampuan yang dimilikinya. Tak mengherankan, pada beberapa puisi esai terbaik yang pernah ditulis sejauh ini, seperti  misalnya Konspirasi Suci dan Mata Luka Sengkon Karta atau Manusia Gerobak, kita diga-mit bolak balik antara imaji-imaji yang terbentang indah dan penuh kejutan dengan hamparan batu karang fakta yang terbabar dalam sejarah yang nyaris terlupakan. Terkadang arus bersilangan itu sedemikian lembut dan halus hempasannya sehingga kita tidak tahu lagi adakah yang sedang kita hadapi itu fakta atau fiksi. Ada masanya kita dibawa sedemikian jauh berpetualang ke ranah imajinal yang mustahil akan tetapi dengan sekonyong-konyong arus fakta datang menghempang dan kaki-kaki kita pun diseret kembali ke pasir-pasir kenyataan. Atau adakalanya yang terjadi sebaliknya: manakala kita sedang mendaki kerikil-kerikil kenyataan yang tajam, lelah dan sedih, tiba-tiba arus imaji mengombak dan tanpa ampun kita terhanyut bersamanya, secara tak disangka-sangka, nun ke pantai-pantai tak dikenal. Di situlah justru godaannya, di situlah keindahannya!

Nah, sekarang, perkenankan saya menyorot sedikit tentang tipikal penyair seperti apakah idealnya seorang penulis puisi esai itu? Friedrich Schiller, dalam esainya yang sangat indah dan terkenal On Naïve and Sentimental Poetry, membedakan dua macam tipe penyair. Pertama, tipe penyair naïve, yakni para penyair yang menyatu bulat-utuh dengan alam, dan menjadi seperti alam itu sendiri — tenang, subur, bijak, tak terduga. Mereka biasanya menulis sajak-sajak secara spontan, nyaris tanpa berpikir, dan tak memedulikan konsekwensi-konsekwensi etis atau intelektual dari kata-katanya dan tak memedulikan apa yang akan dikatakan orang-orang tentangnya. Mereka merasa dirinya bagian dari alam, dan puisi-puisinya datang dari situ, dari universum alam itu. Mereka percaya bahwa puisi bukanlah ciptaan pikiran yang disengaja oleh para penyair, namun alih-alih merupakan kreasi yang ditulis begitu saja secara alamiah, seolah-olah diwahyukan oleh Alam dan Tuhan sendiri. Keyakinan semacam ini mendapat pendukungnya yang paling kuat dikalangan para penyair romantik, seperti Coleridge dan Keats. Mereka, para penyair Naïve ini tak pernah ragu-ragu dengan kata-katanya, dengan gemerlap makna yang dipancarkan oleh sajak-sajaknya. Mereka percaya pada kepolosan, pada keriangan dan keagungan jiwa kekanakan yang tak pernah hilang dalam dirinya.

Kedua, tipe penyair sentimental (atau reflektif). Kata Sentimental di sini agak berbeda artinya dengan kata sentimental yang kita kenal selama ini. Kata sentimental yang dimaksud Schiller berasal dari kata sentimentalisch yang digunakannya untuk menggambarkan tipe penyair yang menyebal dari kesederhanaan dan kekuasaan alam, dan telah menjadi terlampau terkurung dalam universum emosi-emosi dan pikiran-pikirannya sendiri. Mereka telah kehilangan jiwa kekanakannya yang polos bersih, dan oleh karena itu mereka sangat berhati-hati dan awas dalam menggunakan kata-katanya, menimbang dan mengasah betul-betul setiap sajaknya agar sesuai dengan yang diinginkannya. Dengan demikian para penyair reflektif menyadari betul — kadang terlampau sadar— atas sajak-sajak yang ditulisnya, metode-metode dan teknik-teknik yang digunakannya, perkakas-perkakas persajakan yang dikerahkannya. Mereka sangat menimbang –meneroka dimensi etis, edukatif dan intelektual saat mereka menaruh kata dan makna ke dalam sajak-sajaknya.

Dengan plastis dan sederhana, novelis besar Turki Orhan Pamuk, mengilustrasikan kedua tipe penyair yang didedahkan Schiller itu bak seorang pengendara mobil. Kalau seorang mengendarai mobil dengan tanpa terlalu menyadari bahwa dia menekan tombol-tombol, menginjak pedal, membelokkan setir secara hati-hati dan menyelaraskannya dengan pelbagai aturan, mem-baca dan menerjemahkan tanda-tanda jalan dan memerhatikan lalu lintas, maka dia seperti seorang penyair naïve. Dan sebaliknya, apabila seorang mengendarai mobil seraya memperhitungkan betul cara menyetir, dengan kalkulasi-kalkulasi yang terukur atas setiap manuver-manuvernya, seraya sadar benar bahwa dia sedang menggunakan rem, tombol-tombol, atau tanda jalan, maka ia termasuk tipe reflektif.

Jadi tipe penyair manakah dari keduanya yang cocok bagi penyair puisi esai? Meskipun agak lebih dekat dengan tipe penyair reflektif, akan tetapi menurut hemat saya, seni puisi esai akan memungkinkan mencapai karya-karya pun-cak apabila menggabungkan dua tipe penyair itu: yakni bergerak di antara penyair naïve dan penyair reflektif, berosilasi di antara kepolosan dan kesadaran, keriangan lepas jiwa anak-anak dan kerumitan seorang pemikir. Setiap tipe penyair itu ada bahayanya bila diimani dengan terlalu ekstrim: penyair naïve bisa terjerumus menjadi penyair yang tercerabut dari akar-akar masyarakat, teralienasi dari konteks sosial dan persoalan-persoalan zamannya, sementara itu penyair reflektif dapat saja menjadi terlalu mekanis, terlalu kering dan kehilangan pesona alam serta kejutan-kejutannya yang sering tak terduga. Kembali lagi, di sini, di persimpangan puisi esai ini, arus itu bersilangan: antara yang naïve dan yang reflektif , keselarasan alam dan kepelikan manusia, jagat alit dan jagat besar, yang interior dan yang eksterior.

Mencari Puncak Puisi Esai

Puncak-puncak puisi esai agaknya masih belum tergapai. Tentu saja, kemungkinan bahwa puisi esai sebagai sebuah genre sastra  tenggelam begitu saja dalam lalunya waktu bisa saja terjadi. Meski demikian, tetaplah penting untuk melihat fakta bahwa puisi esai ini, dengan segala kontroversi dan polemik yang me-nyertainya, terus berkembang ke pelbagai arah dan manifestasi baru. Dan dalam rentang waktu beberapa tahun setelah kelahirannya, sudah melahirkan cukup banyak puisi esai yang ditulis oleh pelbagai kalangan dengan variasi tema, gaya, aksentuasi, nada, serta tendensi-tendensi yang puspa ragam dan puspa warna. Buku ini hendak meneroka sejauh mana pencapaian-pencapaian pelbagai puisi esai yang sudah diterbitkan itu dan apa saja yang sudah dan belum diraihnya, de-ngan mengujinya melalui pelbagai kriteria yang sedikit banyak saya kuasai. Tentu saja batu uji yang paling sa-hih atas karya-karya sastra adalah waktu. Namun, tak ada yang tahu apa kata waktu, selain waktu itu sendiri.

Tentu, saya tak mungkin membeberbentangkan seluruh puisi esai yang sudah terbit itu —semuanya lebih dari tiga puluh buku. Apa yang saya lakukan terka-dang bak seorang yang memanjat ke sebuah puncak bukit dan memandang lanskap di bawahnya dengan jeli atau terpukau, sembari merenung-renungkannya, atau membanding-bandingkannya dengan aneka lanskap lainnya yang terhampar di tempat lain, menakik persamaan dan perbedaannya, keluasan dan kesempitannya, dan sebagainya. Terkadang, saya berlaku laksana seorang yang memandang dari sebuah jendela mobil; hanya mengilaskan ini sedikit atau itu sedikit, melukiskan bagian sana sedikit dan bagian sini sedikit dalam bingkai dan sudut dari mana saya melihat. Tapi terkadang di beberapa puisi esai saya harus berhenti cukup lama, terpaku beberapa jenak, bagai seorang yang — untuk memandang seluruh pohon dan menghayati keindahannya— tak cukup dengan melihat pohon itu dari kejauhan, melainkan mencermati wujud pohon itu secara penuh seluruh: menyingkap lembaran daun demi daunnya, menghayati dahan demi dahannya, dan bah-kan memetik serta memakan buah-buahnya. Puisi esai-puisi esai tertentu saya kutip dan kutip lagi di pelbagai tempat, seperti seorang yang kembali ke sebuah terminal berulang kali karena tahu bahwa dari terminal itu bis akan membawanya ke pelbagai arah lain yang dia inginkan.

Mesti saya utarakan di sini bahwa, dalam menerangjelaskan tiap-tiap bab di buku ini, adakalanya terjadi saling melimpahi dan melampiasi antar bab yang satu dengan bab-bab yang lainnya. Adakalanya satu puisi esai saya kutip lebih dari sekali untuk ditakik. Adakala-nya saat saya membahas satu pokok, misalnya tentang tema epifani gelap, muncul juga sepintas kilas peneroka-an ihwal karakter atau bahasa. Saya berpendapat bah-wa hal demikian sah dan seringkali tak terhindarkan, lantaran tiap-tiap bab yang dicandra dalam buku ini sebetulnya berjalinan dan berpagutan satu sama lain. Tiap-tiap bab dalam buku ini tak ubahnya seutas dawai dalam sebuah harpa yang, apabila satu dawai dipetik maka dawai-dawai yang lainnya juga akan ikut bergetar.

Mencari Sumber Inspirasi Puisi Esai

Darimanakah datangnya seluruh inspirasi? Jawaban untuk soal ini banyak dan beraneka, dan salah satunya adalah: dari Catoblepas, binatang mistis yang datang kepada Saint Anthony dalam karya Flaubert The Temptation of Saint Anthony dan yang nantinya direvisi Borges dalam buku fantastis bertajuk The Books Imaginary Beings.

Catoblepas adalah makhluk ajaib yang memakan dirinya sendiri, yang dimulai dengan kakinya. Demikian juga seorang penulis, dia memakan pengalamannya sendiri sebagai bahan mentah untuk karya-karyanya. Si penulis melakukan hal ini tak semata-mata untuk menciptakan kembali karakter-karakter, adegan atau anekdot dan cukilan lanskap atau panorama alam benda dari ingatannya itu, melainkan juga sebagai bahan bakar baginya yang memungkinkannya bertahan dalam proyek panjang kehidupannya sebagai seorang kreator.

Dan seperti saya katakan di muka, bahwa dalam hal puisi esai, pengalaman personal itu, biografi kehidupan diri sendiri itu, tidaklah cukup; seorang penulis puisi esai mesti membentangkan dan meluaskan dirinya mencakup orang-orang di sekitarannya, masyarakatnya, negaranya, kosmosnya, beragam manusia dengan problem-problem dan paradoks-paradoksnya, universalitas dan partikularitasnya, keriangan dan kedukaannya, hasrat-hasrat kolektif sekaumnya yang luhur atau hina dina, yang bersipongang dan berpantulan dengan lanskap-lanskap alamnya, bentuk-bentuk meganya yang biasa atau yang ajaib, kebiruan atau kehijauan langit-nya, keheningan atau kepastian pepohonannya, bintang-bintangnya.

Seluruhnya itu dibiarkan hadir dan mengalir dalam puisi esai, menggeraikan momen konvergensi antara pelbagai suara yang berbeda-beda dan beraneka, membentuk arus-arus bersilangan.

Dikutip dari Tia Setiadi, Penulis Buku Arus Bersilangan Yang Mungkin dan Yang Mustahil Dalam Puisi Esai

Agar pembaca dapat mengulas lebih jauh pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi luring (offline) pdf buku Arus Bersilangan Yang Mungkin dan Yang Mustahil Dalam Puisi Esai di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer