Jika
Suriah tidak bisa diselamatkan, minimalnya jadikan apa yang dialami bangsa itu
sebagai peringatan dan contoh bagi bangsa lainnya di dunia, yang juga akan
menghadapi penaklukan Barat, perubahan rezim, dan eksploitasi atas dasar
kepentingan para pemodal-pengusaha terbesar di muka bumi, yang memanfaatkan
institusi mereka yang sangat banyak, baik itu LSM, media, maupun kontraktor.
—Tony Cartalucci, penulis buku War
on Syria
Perang Suriah ini perang politik atau perang
antarmazhab?
Mengapa Assad yang selama ini anti-Israel kini diperangi
oleh mereka yang juga anti-Israel dan menginginkan kemerdekaan Palestina?
Siapa sebenarnya musuh umat Islam, Assad atau Israel,
ataukah keduanya?
Benarkah ada jihad di Suriah?
Dan
masih banyak lagi pertanyaan yang muncul seputar konflik di Suriah. Ibarat
menyusun puzzle, inilah puzzle yang sekilas terlihat rumit, posisi
masing-masing kepingannya sulit diidentifi kasi. Namun bila diuraikan satu per
satu, semua itu bisa terjelaskan.
Bila
kita menggunakan teori Resolusi Konflik, dalam menganalisis setiap konflik,
kita perlu melihat petanya secara luas. Bayangkan jika Anda hendak meneliti
konflik di Sampang, Madura (rumah-rumah penduduk di sebuah desa dibakar massa
dan hartanya dijarah pada Desember 2012). Anda bisa membuka peta dan hanya
memusatkan mata Anda pada wilayah Sampang (dan semata-mata memusatkan perhatian
pada informasi bahwa konflik kekerasan muncul akibat adanya dua kelompok warga
yang berbeda mazhab). Tetapi, Anda juga memperlebar fokus. Anda bisa memandang
peta Indonesia dan dunia secara keseluruhan, dan mempertimbangkan faktor
kekayaan minyak di Madura dan banyaknya perusahaan asing yang terlibat di sana.
Atau, Anda mempertimbangkan faktor Jakarta dan kepentingan partai-partai
politik. Atau, Anda mempertimbangkan sejarah panjang tentang sektarianisme dan
keterlibatan negara-negara di kawasan Teluk. Dan seterusnya.
Minimalnya
ada empat faktor yang terlibat dalam sebuah konflik, yaitu triggers (pemicu),
pivotal (akar), mobilizing (peran pemimpin), dan aggravating (faktor
yang memperburuk atau memperuncing situasi konflik). Keempat faktor ini umumnya
berjalin berkelindan dalam sebuah konflik, sehingga sering menimbulkan
kesalahan persepsi. Untuk menyelesaikan konflik, para mediator harus
mempertimbangkan keempat faktor ini, tidak bisa hanya mencoba menyelesaikan di
salah satunya saja. Artinya, jika kita semata-mata memandang melihat konflik
Suriah hanya pada fakta bahwa Assad itu berasal sekte Alawy dan ‘musuh’-nya
berasal dari mazhab Sunni; sama halnya dengan memfokuskan pandangan pada satu
titik kecil di peta dan melupakan wilayah-wilayah lain di peta yang mungkin
lebih berpengaruh.
Dalam
pengamatan penulis, faktor mazhab di Suriah adalah triggers atau pemicu.
Pemicu konflik adalah ibarat pistol yang tidak akan meletus jika tidak ada yang
menarik pelatuknya. Berusaha menyelesaikan konflik dengan mencari jawaban
pertanyaan ‘siapa yang menarik pelatuknya’ tidak akan mencapai hasil. Misalnya,
dengan mempertanyakan, siapa yang salah: rezim Assad yang diktator atau
kelompok oposisi yang angkat senjata sehingga pemerintah pun harus
menghadapinya dengan senjata? Atau, apakah karena sekte Alawy itu dipandang
sesat maka wajib diperangi? Lalu, bagaimana dengan kaum muslimin yang hidup di
negara non-muslim, apakah wajib juga memerangi pemimpin yang kafir? Bisa
dibayangkan, pertanyaan teologis seperti ini hanya akan menimbulkan perdebatan
teologis yang tidak ada ujungnya dan bahkan mungkin akan memperuncing konflik.
Jadi,
dalam menganalisisnya, para mediator konflik dan para pengamat biasa seperti
kita—rakyat Indonesia yang sedang mengamatinya dari jauh—perlu mencari akar
konflik yang sebenarnya. Untuk mendapatkannya, fokus dalam menatap konflik ini
harus diperluas. Kita perlu melihat lagi, siapa pihak-pihak yang memperuncing konflik
(misalnya, para penjual senjata atau para makelar perang), siapa tokoh-tokoh
yang terlibat dalam konflik (misalnya, mengapa pemimpin AS, Prancis, Inggris,
Turki, Arab Saudi, Qatar sedemikian mendukung pemberontakan bersenjata dan
menolak cara-cara negosiasi? Mengapa pemimpin Rusia, China, dan Iran mengambil
posisi sebaliknya?), siapa yang mendapatkan keuntungan terbesar bila Assad
tumbang? Dan seterusnya. Dalam buku ini, penulis berusaha memaparkan satu per
satu faktor konflik tersebut, meski tidak dalam struktur tulisan akademis.
Semoga, dengan pemaparan yang bergaya feature, membaca buku ini bisa terasa
lebih ringan. Dan yang terpenting, penulis berharap melalui buku ini kita semua
dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari konflik Suriah. Indonesia adalah
negeri yang sangat kaya sumber alam dan pada saat yang sama, memiliki penduduk
yang sangat beragam etnis, agama, dan mazhab. Potensi konflik di Indonesia
sangat besar, terutama karena banyaknya pihak yang akan mengambil keuntungan
ketika bangsa ini disibukkan oleh konflik internal. Insya Allah, kejelian dan
kecerdasan kita dalam mencermati konflik akan menghindarkan bangsa Indonesia
dari perang saudara atau konfik yang tak perlu. Amin ya Rabbal Alamiin.
Dikutip
dari Dina Y. Sulaeman, Penulis Buku Prahara Suriah Membongkar Persekongkolan
Multinasional
Agar
pembaca dapat mengulas lebih jauh pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi
luring (offline) pdf Prahara Suriah Membongkar Persekongkolan Multinasional di
bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar