Pages

Kamis, 20 Februari 2020

Sosiologi: Sebuah Cara Pandang Terhadap Realitas Sosial

Sumber gambar: alihamdan.id


Agama memberikan pengajaran mengenai nilai-nilai baik dan buruk, salah dan benar, hitam dan putih yang tersurat jelas dalam aturan-aturannya. Sebagaimana sifat norma, agama juga mempunyai sifat hukum yang mengikat dan sanksi yang tegas. Bahkan dalam masa sebelum abad pencerahan, hukum-hukum di negara barat tidak lain adalah hasil perumusan dari gereja. Sedangkan, sosiologi tidak pernah memberikan justifikasi mengenai yang benar dan yang salah. Sosiologi mempelajari kausalitas, pola, interaksi, kronologi, sampai bagaimana dampak sebuah fenomena sebagai jalinan yang komprehensif.

Tidak semua yang kita alami dalam hidup dapat dibedakan dalam dikotomi hitam dan putih atau salah dan benar. Kadang ada yang samar dan perlu negosiasi dan kompromi. Perbedaan nilai antar agama atau antar aliran dalam agama dapat menjadi faktor yang menggoyangkan konsensus jika tidak disikapi secara bijaksana. Di sinilah perlunya kita mempelajari sosiologi agama. Sosiologi agama membantu kita menelaah suatu fenomena keagamaan sebagai bagian dari realitas sosial dengan lebih interpretatif. Jika kita terbiasa dengan cara pandang klasik yang hanya menggunakan sudut pandang satu agama, sosiologi menawarkan cara lain agar kita memahami cara pandang agama lain dengan nilainya yang berbeda.

Cita-cita semua agama pada dasarnya satu, yakni kebahagiaan dalam situasi dan damai. Wujud cita-cita ini kadang disimbolkan dengan sebuah tempat seperti “surga‟ dan “nirwana‟. Lalu, mengapa terjadi konflik hingga peperangan yang dikarenakan agama? Sosiologi agama akan mengatakan karena adanya nilai yang berbeda atau bahkan timpang. Bahkan, mungkin nilai-nilai dalam agama itu sendiri yang kemudian ditunggangi oleh kepentingan tertentu. Pelanggengan stratifikasi sosial tertutup, penundukan, pembodohan, semuanya pernah dilakukan atas nama agama. Kontestasi politik juga telah lama menggunakan metode pendekatan agama untuk memperoleh dukungan. Maka, tidak salah jika Marx melalui kritiknya mengatakan bahwa „agama adalah candu‟; menghilangkan kesadaran.

Cara manusia memahami makna agama berperan besar pada cara ia menempatkan diri dalam masyarakat, khususnya masyarakat multikultur dengan beragam agama. Setiap agama (atau mungkin penganut) tentu akan berlomba mengklaim bahwa ajarannyalah yang paling benar. Hal ini berkenaan dengan kekuatan legitimasinya dalam sebuah tatanan masyarakat. Kekuatan iniah yang nantinya sering dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan. Bahkan manuver politik bekerja untuk mendapat dukungan dengan memanipulasi skenario “mempertahankan tempat ibadah‟ oleh politikus Ariel Sharon (Kimball, 2003: 204).

Ajaran agama yang menuntun umatnya menuju kebahagiaan gagal dan justru digunakan untuk membuat orang lain menderita adalah menjadi paradoks atau mungkin ironi yang harus diakui. Charles Kimball mencontohkannya melalui kebijakan agama yang diskriminatif, terutama terhadap perempuan. Kepentingan melindungi status quo pada akhirnya mengorbankan ajaran mulia “mencintai tetanggamu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri‟. Pembodohan yang dilakukan dengan membatasi akses perempuan dan kalangan tertentu untuk memperoleh pendidikan, menjadi sebuah bentuk “permusuhan‟ terhadap perempuan. 

Kimball memberikan contoh realitas sosial dalam kasus-kasus pembunuhan (atau diantaranya menyebabkan kematian) terhadap perempuan atas nama kehormatan perempuan. Melindungi kehormatan perempuan, dalam ajaran Islam merupakan suatu kewajiban. Perempuan diletakkan dalam posisi yang tinggi dengan memberikan simbol surga berada di telapak kaki seorang ibu. Lalu anehnya, demi melindungi kehormatan perempuan dan keluarganya, 15 orang gadis harus rela mati dalam peristiwa kebakaran di hadapan pemadam kebakaran dan perempuanperempuan belia dihukum mati oleh keluarga tanpa melalui proses hukum yang adil. Kadang-kadang alasan melindungi perempuan dan keluarganya menjadi benar-benar absurd (Kimball, 2003: 216-219).

Ketika terdapat tindakan-tindakan melanggar kemanusiaan dan berpotensi merusak perdamaian dengan menggunakan alasan agama, apakah agama itu yang kita persalahkan? Seperti kata Durkheim, “tidak ada agama yang salah‟. Definisi-definisi parsial dan teksual, juga terbatasnya perspektif kita tentang agama dapat mengaburkan makna yang hadir dalam kehidupan kita. Lalu, siapa yang salah? Atau apa? Berbagai perspektif dan pendekatan sosiologi agama mempunyai jawabannya masing-masing.

Dikutip dari Buku Sosiologi Agama.

Agar pembaca dapat mengulas lebih jauh tema pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi luring (offline) Sosiologi Agama pdf di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer