Pages

Rabu, 26 Februari 2020

Sastra Sebagai Ekspresi Berpendapat


 
Sumber gambar: pelayananpublik.id
“Jika saja sejarah disampaikan dan diajarkan dalam bentuk kisah dan cerita, maka sejarah itu akan selalu diingat.” Demikianlah seorang penerima Nobel Sastra di tahun 1907, Ruyard Kupling, berpandangan.

Sejarah akan lebih mudah dikenang, diambil hikmah, jika ia sampai pada kita dalam bentuk drama, dengan plot, karakter, dan kuat sisi human interest-nya. Sejarah, bahkan aneka peristiwa apa saja, memang lebih mudah menyentuh hati jika ia datang dalam bentuk film, teater, sastra, baik puisi ataupun novel.

Ilmu sejarah acapkali menyampaikan sejarah lewat kronologi peristiwa, nama tempat, nama tokoh, riwayat pelaku, dan konteks sosialnya. Sisi batin dan psikologis masyarakat, dan kesadaran kolektif kurang tergambarkan melalui pendekatan keilmuan yang kering. Sisi batin dan pergolakan kesadaran lebih bisa didapatkan inti sarinya lewat kisah dan cerita.

Kutipan ini yang saya ingat ketika selama tiga bulan terakhir saya menghabiskan waktu membaca sejarah melalui serial docu-drama Netflix. Mulai dari drama politik Inggris melalui film The Crown (sudah ditayangkan 30 episode dengan masing-masing episode berdurasi 50 menit). Saya terkesan pula dengan tragedi politik Rusia melalui kisah punahnya kerajaan terakhir dengan datangnya komunisme lewat Vladimir Lenin (The Last Czars, 6 season).

Kerajaan Roma begitu perkasa dan megah. Begitu banyak asal muasal perkara politik terjadi di sana, di awal masehi. Lima belas episode docu-drama Roman Empire membawa saya seolah-olah hidup di masa itu. Seolah saya menyaksikan dari dekat sekali kegilaan kekuasaan, dan kearifan para raja. Saya lama pula terpana merenungkan lahirnya peradaban dari kacamata pertarungan dan inovasi para jenius. Itu mulai dari lahirnya jurnalisme koran, televisi, senjata, listrik, pesawat udara, hingga komputer. Bill Gates, Steve Jobs, Thomas Alfa Edison, Nikola Tesla, Pulitzer, hingga The Wright Brothers, hadir di sana sebagai sosok yang hidup. Tak hanya tergambar sisi jenius sang tokoh, determinasi dan kehendak diri yang kuat. Namun tergambar juga suasana ketika mereka sedih, putus asa, dan marah.

Saya membaca buku sejarah dan biografi tentang sebagian peristiwa dan tokoh di atas. Namun ketika kisah sejarah itu disampaikan melalui cerita, drama, dan kadang disertai bumbu fiksi untuk menegaskan peristiwa, hikmah dan learning to learn lebih mudah sampai dan tertinggal lebih lama.

Lima tahun saya menghabiskan waktu mempelajari ilmu politik hingga tingkat Ph.D di Amerika Serikat. Namun hikmah dari peristiwa politik lebih saya dapat bukan dari sekolah itu, tapi dari dramatisasi sejarah dalam serial film dan buku sastra.

Sejarah memang lebih cepat sampai pada kita jika dikatakan lewat sastra. Bahkan lebih jauh lagi, opini tentang gagasan besar, bisa lebih masuk hingga ke tulang sumsum kita jika disampaikan lewat sastra.

Berkisah lewat film, bercerita lewat sastra, beropini lewat puisi, itu pula yang menjadi awal langkah saya. Di tahun 2012, saya sudah menulis lebih dari seribu kolom di aneka media massa. Saya sudah pula menuliskan puluhan makalah riset melalui Lingkaran Survei Indonesia.

Selaku aktivis, saya disentuh oleh banyak problem diskriminasi yang masih hadir. Padahal reformasi politik tahun 1998 sudah mengubah wajah politik Indonesia. Namun reformasi, sebagaimana semua perubahan politik, memang lebih mudah mengubah wacana. Kultur politik yang sudah mengakar tetap di sana. Perubahan kultur politik selalu sangat lambat.

Diskriminasi terhadap etnis, paham agama, wanita, juga orientasi seksual terjadi di sana dan di sini. Begitu banyak etnis Tionghoa yang berlari ke luar negeri. Mereka menjadi korban amuk massa. Fang Yin (bukan nama sebenarnya), menjadi korban perkosaan massal hanya karena ia Tionghoa.

Saya angkat kisah itu dalam puisi panjang, Sapu Tangan Fang Yin. Diselipkan kisah cinta di dalamnya.

Sebagian penduduk Indonesia berpaham Ahmadiyah. Sejak zaman pergerakan, paham Ahmadiyah itu sudah tumbuh. Selama ini mereka nyaman saja karena dilindungi konstitusi.

Namun setelah reformasi suasana berbeda. Terjadi huru hara di Cikeusik, Jawa Barat. Mesjid mereka dirusak. Pemukiman mereka dihancurkan. Korban jatuh. Mati. Itu semata hanya karena mereka berpaham Ahmadiyah. Saya ekspresikan kisah itu di balik drama cinta, dalam puisi panjang: Romi dan Yuli dari Cikeusik.

Juga di era setelah reformasi. Begitu banyak tenaga kerja yang tak terserap. Sebagian wanita mengadu nasib menjadi TKW. Di antara mereka, dengan senang hati bekerja di Arab Saudi, negeri Nabi besar Muhammad. Di sana umat Islam melabuhkan batin, untuk haji dan umroh.

Namun kultur di Arab Saudi agak berbeda. Tradisi budak masih kuat tertanam pada sebagian keluarga. Tak jarang terjadi kasus. TKW indonesia diperkosa berkali-kali oleh majikan pria. Sang majikan merasa itu dibolehkan.

Tapi banyak TKW melawan. Itu yang terjadi pada diri Minah (bukan nama sebenarnya). Minah diperkosa berkali-kali. Hingga akhirnya, ia membela diri dan membunuh majikan pria.
Hukum di sana tak memihak sang korban. TKW itu pun dihukum mati, dipancung. Saya lukiskan pula itu dalam puisi panjang: Minah Tetap Dipancung.

Juga setelah reformasi, masih banyak keluarga yang hilang. Diduga mereka korban penghilangan paksa rezim Orde Baru. Di tahun 2019 ini, sudah lebih dari sepuluh tahun keluarga dari aktivis yang hilang, berdemo.

Setiap hari Kamis, di seberang istana, dalam diam mereka berdiri di bawah payung hitam. Mereka menunggu pemerintah menuntaskan kasus keluarga mereka yang hilang paksa.

Saya angkat kisah itu dalam puisi panjang: Kutunggu Di Setiap Kamisan. Saya selipkan pula drama asmara.

Di atas adalah contoh beberapa puisi esai yang beropini. Berbeda dengan umumnya puisi lain, puisi esai sangat panjang dan berbabak. Ia mencantumkan banyak catatan kaki di dalam puisi. Saya memilih satu jenis puisi yang berbasis pada kisah yang sebenarnya. Ini semacam historical fiction. Atau lebih tepat lagi fictionalized true story. Yaitu dramatisasi dari kisah sebenarnya. Ada fakta keras yang tercantum pada catatan kaki. Ada pula fiksi yang muncul pada teks puisi.

Awalnya puisi esai panjang dan berbabak. Namun kemudian muncul pula puisi esai versi pendek yang disebut puisi esai mini. Keduanya tetap dengan catatan kaki.

Pada mulanya, puisi esai murni dramatisasi dari true story. Namun muncul pula varian lain: isinya prinsip hidup, renungan, yang dituangkan dalam bentuk puisi esai.

Empat buku puisi esai saya sudah diterbitkan: Atas Nama Cinta, Roti untuk Hati, Kutunggu Di Setiap Kamisan, dan Jiwa yang Berzikir. Keempat buku itu menggambarkan puisi esai awal dan variannya kemudian.

Munculnya puisi esai menimbulkan kontroversi yang lumayan heboh dalam jagad sastra Indonesia di tahun 2014-2018. Kehebohan itu sebagian besar dipicu oleh klaim puisi esai sebagai genre baru. Juga karena terbitnya buku “33 Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sastra Indonesia.”

Buku itu diterbitkan Gramedia untuk PDS HB Jassin, di tahun 2014. Tebal buku itu lebih dari 700 halaman. Ia disusun oleh 8 sastrawan dan kritikus sastra, antara lain: Jamal D. Rahman, Agus R. Sarjono, Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, Acep Zamzam Noor, Ahmad Gaus, Maman S. Mahayana dan Nenden Lilis Aisyah.

Buku itu memasukkan Denny JA sebagai satu dari 33 tokoh sastra paling berpengaruh. Denny JA dianggap masuk dalam kategori tokoh berpengaruh karena ia membawa tradisi baru, dan ikut membuat gelombang lahirnya puluhan buku puisi esai.

Lahirlah aneka demonstrasi di aneka kota, malam seni, bahkan komunitas facebook, termasuk acara bakar buku, menentang puisi esai dan Denny JA, dan buku itu.

Kini di tahun 2018, banyak sudah ulasan yang dibuat mengenai puisi esai. Atas Nama Cinta dianggap buku pertama yang membawa tradisi puisi esai itu.

Aneka pakar dalam dan luar negeri mengulas soal puisi esai, terutama yang tertulis dalam buku Atas Nama Cinta dan Roti untuk Hati. Bahkan pernah diselenggarakan seminar sehari di Malaysia, pada tahun 2016, dengan pembicara pakar sastra dari negara-negara Asean.

Di tahun 2019, AGBSI (Asosiasi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia) berinisiatif menyelenggarakan lomba kritik sastra untuk para guru, murid, dan umum. Empat buku puisi esai saya dijadikan bahan untuk dikritik dan di-review.

Yang unik dari lomba itu, para siswa SMA menampilkan review-nya dalam bentuk vlog, video blog. Menurut panitia, ini lomba kritik sastra pertama di mana perserta diberi ruang pula menyampaikan review-nya dalam bentuk oral yang direkam video.

Buku ini mewadahi aneka review dan kritik tentang puisi esai yang tercantum dalam empat buku puisi esai saya di atas. Tak hanya sastrawan dan kritikus Indonesia seperti Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Ignas Kleden, Jakob Sumardjo, Leon Agusta, Ashadi Siregar, Jamal D. Rahman, Agus R. Sarjono. Tapi juga kritikus negara lain seperti Jasni Matlani dari Malaysia dan Berthold Damshauser dari Jerman.

Dikutip dari Pengantar Buku Beropini Melalui Sastra yang ditulis oleh Denny JA.

Agar pembaca dapat mengulas lebih jauh tema pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi luring (offline) Beropini Melalui Sastra pdf di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer