Pages

Rabu, 19 Februari 2020

Al-Qur'an: A Strong Heritage for Guidance of Human Life


Sumber gambar: fajrifm.com


Secara umum, produk ulama serta cendekiawan lainnya di bidang al-Quran sementara ini terkonsentrasi pada tafsir dan ilmu-ilmu al-Quran. Dalam perkembangannya, karya di bidang tafsir melahirkan bentuk serta gaya baru penulisan. Ada yang menulis tafsir secara konvensional yang dikenal dengan metode tahlîlî. Ada juga yang menulis tafsir berdasarkan tema-tema besar dalam al-Quran yang lebih populer dengan sebutan metode mawdlû‘î. Bahkan belakangan ini, muncul sebuah karya tafsir yang mengkaji al-Quran berdasarkan kronologi turunnya ayat, seperti al-Tafsîr alHadîts karya ‘Izzat Darwazah.

Di bidang ‘Ulûm al-Qur’ãn pun demikian. Produk-produk tersebut diawali dengan kodifikasi hadits-hadits di seputar al-Quran dan kemudian secara khusus ditandai dengan munculnya karya khusus dalam bagian-bagian tertentu dari ‘Ulûm al-Qur’ãn seperti al-Nãsikh wa al-Mansûkh (Abu Ubaid al-Qasim bin Salam/w. 224 H.), Asbãb al-Nuzûl  (Ali bin al-Madini/w. 234 H.), Masykal alQur’ãn (Ibn Qutaibah/w. 276 H.), dan sebagainya.

Materi Tãrîkh al-Qur’ãn atau Sejarah al-Qur’ãn sebagaimana yang menjadi fokus dalam buku ini, merupakan bagian dari ‘Ulûm al-Qur’ãn. Secara konvensional, sejarah al-Quran biasanya dikaji di bawah judul Jam‘ al-Qur’ãn, atau Rasm al-Qur’ãn, atau Kitãbah al-Qur’ãn, atau Tashhîf al-Qur’ãn dan berbagai istilah lainnya. Namun demikian beberapa ulama telah menulis materi sejarah al-Quran secara khusus dalam buku tersendiri, seperti al-Anbari (al-Mashãhif ), al-Sijistani (Kitãb al-Mashãhif ), al-Abyari (Tãrîkh al-Qur’ãn), al-Zanjani (Tãrîkh al-Qur’ãn) dan sebagainya yang juga banyak menjadi rujukan dalam buku ini. Bahkan, kita juga tidak bisa melupakan karya-karya para orientalis/islami di bidang ini yang dirintis oleh Noeldeke, Jeffery dan Bell.

Di Indonesia sendiri, kajian-kajian tentang al-Quran dipelopori oleh Abdul Rauf Singkel-Aceh ketika menulis tafsir al-Quran pada pertengahan abad XVII, meskipun ada yang berkata bahwa karya Abdur Rauf Singkel ini lebih mirip sebagai terjemahan Tafsîr alBaidlãwî. Upaya rintisan ini kemudian diikuti oleh Munawar Chalil (Tafsir al-Qur’ãn Hidayatur Rahman), A. Hassan Bandung (alFurqãn, 1928), Mahmud Yunus (Tafsir Qur’ãn Indonesia, 1935), Hamka (Tafsir al-Azhar ), Zainuddin Hamid (Tafsir al-Qur’ãn, 1959), Iskandar Idris (Hibarna), dan Kasim Bakry (Tafsir al-Qur’ãnul Hakim, 1960). Dalam bahasa-bahasa daerah, upaya-upaya ini dilanjutkan oleh Kemajuan Islam Yogyakarta (Qur’ãn Kejawen dan Qur’ãn Sundawiyah), Bisyri Musthafa Rembang (al-’Ibrîz, 1960), R. Muhammad Adnan (Al-Qur’ãn Suci Basa Jawi, 1969) dan Bakri Syahid (al-Hudã, 1972). Upaya-upaya ini bahkan ditindaklanjuti secara resmi oleh Pemerintah Republik Indonesia. Proyek penerjemahan al-Quran dikukuhkan oleh MPR dan dimasukkan dalam Pola I Pembangunan Semesta Berencana. Menteri Agama yang ditunjuk sebagai pelaksana bahkan telah membentuk lembaga yang pertama kali diketuai oleh Soenarjo. Terjemahan-terjemahan tersebut yang dicetak dalam jutaan eksemplar, telah mengalami perkembangan yang akhirnya, atas usul Musyawarah Kerja Ulama al-Quran ke XV (23-25 Maret 1989), disempurnakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama bersama Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran. Sebentar lagi, tepatnya pada Ramadhan 1422 H ini, kita akan menyaksikan hasil kreativitas beberapa alumni al-Azhar Cairo yang menerjemahkan Tafsîr al-Muntakhab, sebuah tafsir pilihan di Mesir dewasa ini.

Upaya-upaya tersebut di atas, serta tuntutan masyarakat pencinta al-Quran, mengundang para cendekia untuk menulis dan menerjemahkan berbagai karya di seputar al-Quran. Kepustakaankepustakaan tersebut telah terisi dengan karya-karya Hasbi AshShiddiqi (Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‘ãn, 1980), beberapa text book perguruan tinggi, terjemahan karya Manna’ al-Qaththan, serta beberapa karya penulis sendiri. Khusus dalam wacana sejarah al-Quran, beberapa karya dan terjemahan telah muncul seperti Adnan Lubis (Tãrîkh al-Qur’ãn, 1941), Abu Bakar Aceh (Sejarah al-Qur’ãn, 1986), Mustofa (Sejarah Al-Qur’ãn, 1994) dan sebagainya. Bahkan, Tãrîkh al-Qur’ãn karya al-Zanjani (Wawasan Baru Tãrîkh al-Qur’ãn, 1986) dan Al-Abyari (Sejarah Al-Qur’ãn, 1993) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Tanpa argumentasi-argumentasi teologis, siapa pun harus mengalah dan mengakui bahwa al-Quran telah membuktikan diri sebagai sesuatu yang mampu menciptakan peradaban dan tradisi menulis yang sangat tinggi. Dari al-Quran, berbagai produk dan karya telah memenuhi jutaan rak di berbagai perpustakaan. Semua ini muncul karena adanya kebenaran dan keyakinan bahwa alQuran adalah kalam Allah serta menjadi kitab suci umat Islam.

Harus diakui, sampai saat ini masih ada yang gigih dan terus mengkaji berbagai hal tentang sejarah al-Quran. Ada yang dimotivasi oleh keinginan untuk membuktikan kebenaran alQuran, ada juga yang berangkat dari persepsi tentang misteri yang masih menghantui sejarah al-Quran. Betapa tidak, al-Quran yang diyakini sebagai kalam Allah yang ahistoris dan sangat transenden, akhirnya harus “terintervensi” oleh upaya-upaya manusia yang tidak bisa lepas dari persoalan-persoalan teologi, politik, sosial dan budaya. Mayoritas umat Islam misalnya meyakini bahwa susunan ayat dan surat seperti sekarang ini bersifat tawqîfî. Namun, hampir tidak bisa ditemukan berbagai riwayat yang mengatakan bahwa ayat sekian ditempatkan setelah ayat ini dan sebagainya. Sekiranya ada, maka al-Quran membutuhkan sekian ribu riwayat Nabi atau sahabat tentang susunan al-Quran, mengingat ayat-ayat tersebut diturunkan secara terpisah dalam 23 tahun. Karya-karya sedetail al-Burhãn (al-Zarkasyi) dan al-Itqãn/al-Tahbîr (al-Suyuthi) juga tidak menukil riwayat-riwayat tersebut. Kita hanya bisa menemukan sebuah riwayat yang isinya secara tekstual mengatakan,: “letakkan ayat ini pada tempat ini” dan sebagainya. Karya-karya tentang asbãb al-nuzûl juga tidak mampu menukil berbagai riwayat semua ayat al-Quran. Kasarnya, ada sejarah yang hilang untuk menjelaskan beberapa ayat atau susunan ayat al-Quran dari surat al-Fãtihah sampai surat al-Nãs. Hal ini lebih diperkuat dengan adanya susunan yang berbeda pada mushaf-mushaf sahabat besar. Artinya, masih diperlukan upaya-upaya serius untuk “mengakhiri” berbagai hal yang menyelimuti sejarah al-Quran.

Dikutip Pengantar Prof. Dr. Quraish Shihab dalam Buku Rekonstruksi Sejarah Alquran

Agar pembaca dapat mengulas lebih jauh tema pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi luring (offline) Rekonstruksi Sejarah Alquran pdf di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer