Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905)
adalah seorang ulama pembaru Mesir yang mempunyai pengaruh luas dalam dunia
Islam pada abad ke-20 dan bahkan sampai sekarang, termasuk di Indonesia.
Dia banyak
dipengaruhi oleh Syaikh Jamaluddin al-Afghani, terutama dalam pemikiran
rasional, politik dan sosialnya. Saat al-Afghani ke mesir pada 1871, Abduh
dalam usianya yang ke-22 termasuk salah satu muridnya yang bersemangat. Saat
Abduh dihukum pengasingan dia ke Paris dan bergabung dengan al-Afghani yang
saat itu ada di sana untuk menerbitkan sebuah jurnal yang sangat terkenal itu,
“al-`Urwah al-Wutsqa”.
Setelah
media al-‘Urwa al-Wutsqa berhenti terbit, dan setelah ke Tunisia dan
Mesir, dia selama tiga tahun menetap di Beirut dan mengajar di rumahnya.
Rumahnya menjadi pusat bagi para intelektual dan penulis muda dengan berbagai
latar belakang, Kristen, muslim Druz, dan muslim Sunni. Beirut membuatnya
berpikiran terbuka. Bahan-bahan kuliahnya menjadi sebuah buku berjudul Risalatut
Tawhid.
Walau
gagasan-gagasan pembaruannya dikenal sebelum penerbitan al-Manar, tetapi
baru dikenal lebih luas lagi setelah jurnal al-Manar yang dieditori oleh
Syaikh Muhammad Rasyid Rida, murid Abduh, ini terbit dan tersebar ke berbagai
belahan dunia Islam dan Barat. Lewat jurnal inilah gagasan-gagasan pembaruannya
tersebar seluas dan bahkan lebih luas daripada jangkauan distrubusi jurnal itu
sendiri. Belum lagi muncul pula jurnal-jurnal lokal yang menjadikan al-Manar,
seperti al-Imam di Singapura dan al-Munir di Padang, sebagai
rujukan.
Muhammad
Abduh, menurut H.A.R. Gibb, adalah “seorang modernis dalam pengertian bahwa ia
menekankan pencapaian pemikiran modern, percaya bahwa pemikiran moderm hanya
akan mengkonfirmasi pemikiran Islam. Dalam kaitannya dengan struktur keyakinan
ortodoks tradisional, dia bukankan inovator [tapi] dengan menekankan kembali
hak-hak nalar dalam pemikiran keagamaan…dia memungkinkan pereformulasian doktrin
agama dalam term-term modern daripada term-term abad pertengahan.”
Vatikiotis
(1957:85) menyebut Abduh menggunakan pendekatan “humanis” terhadap Islam dan
“perasaan persatuan” Islam, dengan memahami Islam sebagai “agama sosial”, yang
memadukan dalam risalahnya kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat.
Dalam bagian
ini saya akan membahas pemikiran Muhammad Abduh tentang peradaban dan peran
ilmu dan agama (Islam) di dalamnya. Di samping menggunakan beberapa karya Abduh
yang tersedia, terutama al-Islam baina al-’Ilm wa al-Madaniyyah, saya
juga mendasarkan tulisan ini, terutama, pada Hourani (1962/2013) dan Vatikiotis
(1957).
Mengapa Umat
Islam mundur?
Sebagaimana
gurunya, Syaikh Jamaluddin al-Afghani, titik-tolak pemikiran teologi politik
dan sosial Muhammad Abduh adalah problem kemunduran internal umat Islam dan
kebutuhan untuk melakukan pembaruan dari dalam. Pengadopsian
institusi-institusi Barat tidak serta merta dapat melahirkan pembaruan.
Tanzimat di Turki tidak diinstitusikan oleh dan melalui agama, bahkan
menurutnya menyimpang dari agama. Dia yakin bahwa perubahan-perubahan yang
diupayakan gagal karena mengandung di dalamnya hal-hal yang kontradiktif dengan
Islam. Gerakan Wahabi menurutnya dekat pada pembaruan yang benar, karena ia
menyerang problem pada akarnya, kebutuhan untuk mereformasi moralitas dan
doktrin, kembali kepada fundamen-fundamen Islam. Hanya saja hal fundamental
yang ada pada gerakan Wahabi adalah sedikit doktrin yang bersesuaian dengan
tuntutan nalar manusia. Oleh karena itu ada yang mengklasifikasikan Muhammad
Abduh dalam “Salafisme Progresif”.
Menurut
Abduh, Nabi Muhammad diutus bukan hanya untuk mengajarkan tentang keselamatan
individual, namun juga untuk mendirikan masyarakat yang baik. Menurutnya
masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang berserah kepada perintah-perintah
Allah, menafsirkannya secara rasional dan dalam sinaran kemakmuran umum,
menatinya secara aktif, dan bersatu dengan menghormati perintah-perintan itu.
Ini adalah masyarakat utama, yang juga merupakan masyarakat yang bahagia,
makmur, dan kuat, karena perintah-perintah Allah adalah juga prinsip-prinsip
kehidupan masyarakat. Perilaku yang diajarkan Alquran adalah juga yang
diajarkan oleh pemikiran sosal modern sebagai kunci bagi stabilitas dan progres
(TF:63). Jika tidak demikian, maka masyarakat ideal itu tidak terjadi atau jika
telah terjadi akan mengalami kejatuhan.
Menurut
Abduh kemunduran umat Islam terjadi karena empat alasan. Pertama, adanya
elemen-elemen asing dalam Islam. Di sini Abduh dalam Risalatut Tauhid
menunjuk pada masa lalu para filosof dan Syiah ekstrem yang membawa “spirit
berlebihan” dan bentuk sufisme tertentu yang dianggapnya mengaburkan hakekat
esensial Islam (RT: 7, 19). Namun dalam Al-Islam bayna al-‘Ilm wa
al-madaniyyah dia menyebut hal-hal yang asing itu adalah kemalasan
menggunakan akal, taqlid, kejumudan, kelemahan dan keputusasaan. (IIM 99-103)
Risalah
Tauhid membahas tentang teologi, sehingga
wajar jika dia menunjuk folosof dan Syiah ekstrem sebagai biang keladi
kemunduran. Tetapi dalam buku kedua hal itu lebih dikaitkan dengan situasi
kontemporer. Hal ini penting karena Abduh sendiri mempelajari filsafat Ibnu
Sina bersama al-Afghani, memberi catatan dan komentar terhadap kitab logika Al-Bashair
al-Nashiriyyah karya Zainuddin ‘Umar bin Sahlan al-Sawi, dan dia juga
mengedit dan memberikan Syarah terhadap kitab Nahj al-Balaghah yang
merupakan kumpulan perkataan Ali bin Abi Thalib, yang banyak menjadi sumber
rujukan orang-orang Syiah. Juga, Abduh mensyarah kitab Muqtabis al-Siyasah
wa Siyaj al-Riyasah, kitab/surat Ali bin Abi Thalib kepada al-Asytar
al-Nakha’i saat dia menjadi gubernur Mesir, kitab yang menjadi rujukan Syiah
dalam filsafat politik.
Abduh sangat
menghargai sufisme yang benar, yakni yang menginteriorkan ketaatan mereka kepada
syariah, tapi tidak tasawuf yang mengagungkan wali, karamah, perantara antara
manusia dan tuhan dan semacamnya, karena dianggapnya melemahkan akal dan moral.
Abduh
sendiri saat muda menulis kitab tentang falsafah ilahiah, “Risalah al-Waridat
fi Nazariyyat al-Mutakallimin wa al-Shufiyah fi al-Falsafah al-ilahiyah”. Ini
bisa menjelaskan penolakannya terhadap pengadopsian institusi dan hukum Barat
di Turki dan Mesir saat itu, tetapi dia tetap sangat terbuka terhadap ilmu
pengetahuan Eropa. Bahkan dia mendorong umat Islam untuk mempelajarinya.
Kedua, umat kehilangan kesadaran akan proporsi dan melupakan
perbedaan antara apa yang esensial dan apa yang tidak esensial. Mereka
menganggap aturan-aturan sosial yang detail pada masa awal Islam sebagai
mempunyai status yang sama dengan prinsip iman yang dengan demikian tidak dapat
diubah dan harus ditaati. Ini juga merupakan sikap berlebih, yakni “berlebihan
dalam berpegang pada zahir syariah”, yang darinya muncul kebiasaan taqlid,
mengikuti pendapat secara membuta tanpa tahu dasarnya. Kebiasaan taqlid ini
didukung oleh penguasa Imperium Usmani saat itu yang menurutnya gagal memahami
pesan Nabi Muhammad.
Imperium
Usmani menurutnya menunjuk para pendukungnya menjadi ulama untuk membodohi umat
agar tidak tahu kebobrokan penguasanya. Ketika ulama rusak, maka semua hal
dalam Islam ikut rusak: bahasa Arab hilang kemurniannya, kesatuan dirusak oleh
pembagian yang ketat dalam hal madzhab, pendidikan meneysatkan, dan bahkan
doktrin keagamaan rusak karena keseimbangan antara akal dan wahyu disungsangkan
dan ilmu-ilmu rasional diabaikan.” Rusaknya ulama ini adalah penyebab
kemunduran ketiga.
Keempat, sejalan dengan yang di atas, kemunduran umat justru
disebabkan karena penguasanya. Dalam hal ini Abduh mengkritik Imperium Usmani yang
saat itu mendukung konservatisme keagamaan dan tasawuf yang menurutnya
menyimpang. Dia menyebut “anarki intelektual berkembang di kalangan Muslim, di
bawah perlindungan penguasa yang jahil” (RT: 25). Di bawah Imperium
Usmani–tentu pada masa Abduh hidup–itu ilmu pengetahuan dan peradaban Islam
berada di titik nadir, dibandingkan dengan Barat yang justru dalam perkembangan
yang menaik.
Islam dan
Modernitas
Abduh
berupaya menjembatani kesenjangan dalam masyarakat Islam antara yang menolak
modernitas sepenuhnya dan yang menerima modernitas sama sekali, dan kemudian
menguatkan akar-akar moralitas mereka. Hal ini menurutnya hanya dapat dilakukan
dengan satu cara: bukan kembali ke masa lalu dan dengan menghentikan proses
modernitas yang tengah terjadi, tetapi dengan menerima keniscayaan menerima
proses perubahan dan mengaitkan perubahan itu dengan prinsip-prinsip Islam
(Hourani 139). Dengan menunjukkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi bukan
hanya diperbolehkan oleh Islam, tetapi perubahan-perubahan itu merupakan
implikasi dari Islam, jika ia dipahami dengan baik, dan bahwa Islam dapat
menjadi prinsip perubahan dan sekaligus kontrol yang menghargainya.
Dia tidak
menanyakan apakah muslim yang salih dapat menerima institusi-institusi dan
gagasan-gagasan dunia modern. Institusi-institusi dan gagasan-gagasan itu telah
ada dan justru lebih buruk jika orang menolaknya. Dia menanyakan pertanyaan
yang beda, apakah muslim yang hidup di dunia modern masih dapat menjadi muslim
yang baik. Tulisan-tulisannya tidak untuk meyakinkan muslim untuk meragukan
apakah peradaban modern dapat diterima, sebagaimana bagi manusia yang berbudaya
dan berpengalaman modern yang ragu apakah Islam, ataupun agama wahyu yang lain,
adalah petunjuk yang valid untuk kehidupan. Kelas ini yang dianggapnya
berbahaya bagi umat, jika mereka mengarah kepada sekularisme metafisik; namun
kelas ini pula yang bisa diharapkan kepemimpinannya untuk membangkitkan kembali
umat.
Tujuan Abduh
adalah untuk menunjukkan bahwa Islam mengandung dalam dirinya
potensialitas-potensialitas agama rasional ini, ilmu sosial dan aturan moral
yang dapat menjadi dasar bagi kehidupan modern, dan untuk menciptakan elit yang
harus melindungi dan menafsirkannya, yakni tipe baru ulama yang dapat
mengartikulasikan dan mengajarkan Islam dan dengan demikian menyediakan dasar
untuk masyarakat yang stabil dan progresif, kelompok tengah yang ada di antara
kekuatan tradisional dan revolusioner, dan dapat dengan mudah terlihat dalam
masyarakat modern Islam.
Terkait
dengan klaim bahwa Islam dapan menjadi dasar moral bagi masyarakat modern dan
progresif, Abduh tentu tidak beranggapan bahwa Islam menyetujui apa saja yang
telah dilakukan atas nama kemajuan, dan bahwa tujuan dari ulama baru adalah
hanya untuk melegitimasi kemajuan itu.
Sebaliknya,
Islam adalah prinsip pembatasan: ia memungkinkan Muslim untuk membedakan yang
baik dari yang buruk dari semua arah perubahan yang ada. Tugas yang diberikan
kepada dirinya sendiri ada dua: pertama, mengungkapkan apa “Islam yang
sebenarnya”; dan kedua, mempertimbangkan implikasi-implikasi Islam bagi
masyarakat modern. Bagi Abduh yang pertama jauh lebih penting daripada yang
kedua. Dan dia mengabdikan hidupnya untuk itu. Dalam fragmen otobiografinya (Ta’rikh
al-ustadz al-Imam al-shaykh Muhammad ‘Abduh), dia mendefinisikan
tujuan-tujuannya, yang dalam konteks tulisan ini hal yang penting adalah tujuan
pertama, yakni: “untuk membebaskan pemikiran dari kungkungan taklid, dan
memahami agama sebagaimana ia dipahami oleh salaf sebelum perpecahan umat Islam
terjadi; untuk kembali, dalam penguasaan pengetahuan keagamaan, kepada
sumber-sumber pertamanya, dan untuk menimbangnya dalam skala-skala penalaran
manusia, yang telah diciptakan oleh Allah untuk menjaga dari pemalsuan dalam
agama, sehingga hikmah Allah dapat dipenuhi dan keteraturan dunia dapat dijaga;
dan untuk membuktikan bahwa, dilihat dari sudut ini, agama haruslah dianggap
sebagai sahabat bagi ilmu pengetahuan, mendorong manusia untuk menginvestigasi
rahasia keberadaan, menyerunya untuk menghormati kebenaran yang pasti, dan
untuk mendasarkan padanya kehidupan dan perilaku moralnya.” (TMA I: 11).
Untuk menunjukkan
bahwa Islam dapat direkonsiliasikan dengan pemikiran modern, dan bagaimana ini
dilakukan. Untuk ini dia berpolemik dengan sejarawan Perancis Manotaux dan
jurnalis Lebanon-Mesir, Farah Antun. Kontroversinya tidak terkait dengan benar
atau salahnya Islam, tapi dengan apakah Islam sejalan (compatible)
dengan prasyarat-prasyarat pemikiran modern. Dalam proses ini dia
mengidentifikasi sejumlah konsep tradisional Islam dengan konsep-konsep yang
dominan di Eropa. Konsep maslahah, misalnya, dikaitkan dengan kegunaan (utility),
syura dengan demokrasi parlementer, ijma` dengan opini publik, dan Islam
sendiri identik dengan peradaban, norma-norma pemikiran sosial abad ke-19.
Abduh
membedakan dalam agama antara “apa yang esensial dan tak berubah” dan “apa yang
tak esensial dan dapat berubah” tanpa kerusakan. Islam mempunyai struktur
doktrin yang simpel: ia mengandung sejumlah keyakinan tentang
pertanyaan-pertanyaan besar manusia dan prinsip-prinsip besar perilaku manusia.
Untuk mencapai dan menubuhkan keyakinan-keyakinan ini dalam kehidupan kita maka
akal dan wahyu mutlak diperlukan. Keduanya tidaklah terpisah dalam ruang yang
berbeda dan tidak pula bertentangan satu sama lain dalam ruang yang sama (RT:
42).
Syariah atau
hukum Islam menurutnya adalah aplikasi rasional dari prinsip-prinsip Islam pada
dunia yang berubah. Yang diperlukan adalah menafsirkan ulang hukum sehingga
dapat mengasimilasikan apa yang baik dalam moralitas Eropa, yakni menerima,
misalnya, penghapusan perbudakan dan kesetaraan hukum bagi orang-orang Kristen
yang hidup di negeri-negeri muslim. Namun, bagi Abduh tanda bagi masyarakat
muslim yang ideal bukan hanya syariah saja, tetapi juga akal. Muslim
sesungguhnya adalah yang menggunakan akal dalam hal-hal keduniaan dan agama;
orang kafir sesungguhnya adalah orang yang menutup matanya terhadap cahaya
kebenaran dan menolak untuk menguji bukti-bukti rasional (TJA: 169). Islam
menurutnya tidak pernah mengajarkan bahwa akal manusia haruslah dicek, ia
adalah kawan bagi semua penelitian rasional dan semua ilmu pengetahuan.
Ilmu dan
Peradaban
Untuk
mengetahui posisi Muhammad Abduh dalam ilmu pengetahuan maka niscaya mengetahui
persepsinya tentang akal dan wahyu. Dia meyakini bahwa “penalaran rasional” (al-nazr
al-`aqli) adalah prinsip pertama (awwalu asas) yang ditetapkan oleh
Islam. Ia adalah perantara iman yang sahih. Ia menegakkan iman dengan
menggunakan hujjah (argumen), yang jika ada pertentangan antara akal dan
naql (wahyu) diambil yang ditunjukkan oleh akal, dan dalam naql
(wahyu) tinggal ada dua jalan: jalan penyerahan kepada sehatnya manqul dan
menyerahkan persoalan kepada Allah dalam ilmu-Nya. Dan jalan kedua adalah
penakwilan (interpretasi) naql (wahyu) dengan memelihara kaidah-kaidah bahasa,
sehingga maknanya bersesuaian dengan apa yang dimunculkan akal.” (AK 3:279) Bahkan
untuk mengetahui Allah, Abduh meniscayakan penggunaan akal manusiawi dengan
melihat alam, menggunakan qiyas (analogi) yang benar, hukum sebab akibat, dan
sebagainya, yang memungkinkannya mengenal adanya Tuhan yang mengendalikan
semuanya. Keimanan kepada Allah terlebih dahulu daripada keimanan kepada para
Nabi, dan tidaklah mungkin iman kepada rasul sebelum iman kepada Allah.
Kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah penalaran dan pemikiran untuk
sampai kepasa keyakinan kepada Allah agar beranjak dari situ kepada iman kepada
rasul dan apa yang diturunkan kepada mereka dari kitab dan hikmah. (IIM,
115-6).
Selain itu,
Abduh juga sangat empiris dan percaya pada hukum sebat-akibat. Dia mengatakan,
“dari hukum-hukum kemungkinan karena dirinya tidak mengada kecuali dengan sebab
dan tidak menghilang kecuali dengan sebab.” (AK 3: 367). Bahkan dalam
memikirkan tentang keberadaan Allah pun memerlukan hukum sebab akibat.
Pemikirannya
tentang peradaban tak dapat dilepaskan dari beberapa buku yang dia ajarkan di rumahnya
dan Dar al-Ulum, yakni karya tentang etika karya Miskawayh, Muqaddima karya Ibn
Khaldun, dan terjemah Arab dari Histoire de la civilisation en Europe karya F.
Guizot. Dari Ibn Miskawayh dia belajar bagaimana seorang intelektual Muslim
klasik mengapropriasi filsafat etika Barat pada masanya, yakni Yunani, dan dari
Guizot dan Ibn Khaldun dia belajar tentang problem muncul, berkembang, dan
jatuhnya peradaban-peradaban dunia.
Perpustakaan
pribadinya juga menunjukkan perhatiannya pada peradaban Eropa, selain karya
Guizot, terdapat juga Emile karya Rousseau, Education karya Spencer,
karya-karya sastra dan didaktik “Tolstoy; Life of Jesus” karya Strauss dan
karya-karya Renan. Dia mempunyai kontak dengan beberapa pemikir Eropa, menulis
surat kepada Tolstoy dan pergi ke Brighton untuk bertemu Spencer.
Ketika
bangsa-bangsa Islam kehilangan kebaikan mereka dan kerenanya juga kekuatan
mereka, bangsa-bangsa Eropa menjadi lebih kuat dan beradab, mengembangkan
kebaikan-kebaikan sosial esensial dari penalaran dan aktivitas dengan cara
mereka sendiri dan menuai hasil, Abduh percaya bahwa bangsa-bangsa muslim tidak
dapat menjadi kuat dan makmur kembali kecuali jika mereka mendapatkan dari
Eropa ilmu-ilmu yang merupakan produk aktivitas nalarnya, dan mereka dapat
melakukan itu dengan tanpa membuang Islam, karena Islam mengajarkan penerimaan
semua produk akal.
Abduh tampak
mengambil dan memilih ide-ide Islam yang dapat mendukung dua tujuan: pertama,
untuk menjaga persatuan dan perdamaian sosial dari umat, perhatian yang
membuatnya mengaburkan perbedaan-perbedaan intelektual dan menolak membuka
kembali kontroversi-kontroversi (ikhtilaf) lama; dan kedua, menjawab sejumlah
pertanyaan yang diajukan oleh debat-debat keagamaan di Eropa pada masanya,
khususnya debat tentang ilmu pengetahuan/sains dan agama (Hourani 143).
Islam
baginya adalah jalan tengah dari dua ekstrem: agama yang sepenuhnya konsisten
dengan klaim-klaim nalar manusia, dan temuan-temuan sains modern. Namun menjaga
transendensi ilahiah yang adalah satu objek peribadatan yang valid dan dasar
kokoh bagi moralitas manusia. Islam adalah agama yang sesuai dengan hakekat
manusia dan jawaban bagi problem-problem manusia modern.
Baginya
Barat maju bukan karena Kristen, karena pemikir dan saintis Eropa telah
menolaknya dan menggantinya dengan materialisme. Sedangkan, karena Islam adalah
agama rasional, sehingga Muslim dapat mencapai ilmu pengetahuan modern tanpa
menerima materialisme atau menolak agamanya sendiri (IIM, 69-72).
Abduh
mengatakan bahwa ilmu-ilmu baru dan bermanfaat ini penting untuk kehidupan kita
pada abad ini dan merupakan pertahanan kita melawan agresi dan upaya
mempermalukan umat, serta lebih lanjut menjadi dasar kebahagiaan, kesejahteran
dan kekuatan kita. Dia mengatakan, “Ilmu-ilmu ini harus kita raih dan kita
harus menguasainya.”
Peradaban
itu tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan yang itu nanti akan
mengarah kepada kuatnya umat dan dengan demikian juga agama:
“Tidak ada
agama tanpa negara, dan tidak ada negara tanpa otoritas, dan tidak ada otoritas
tanpa kekuatan, dan tidak ada kekuatan tanpa kemakmuran. Negara tidak memiliki
perdagangan atau industri. Kemakmurannya adalah kemakmuran rakyat dan
kemakmuran rakyat tidak mungkin tanpa perkembangan ilmu-ilmu [modern] ini di
kalangan mereka sehingga mereka mengetahui cara-cara mendapatkan kemakmuran.”
(TMA ii:37)
Pemikiran-pemikiran
Abduh khas pemikiran modernis akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang
berupaya menjelaskan kemunduran umat Islam baik secara teologis maupun
sosio-politik, dan menawarkan “obat”-nya. Karakter apologetiknya tampak karena
dia berupaya menjawab kritik dari orang luar, terutama Eropa dan non-muslim
Mesir, terhadap Islam. Pada sisi lain, secara internal, dia berupaya meyakinkan
umat Islam tentang begitu akutnya penyakit yang dialami umat Islam, dan
menawarkan solusi yang pada satu sisi mempertahankan hal-hal esensial dalam
Islam dan pada sisi lain mendinamisasi peran akal dalam memahami doktrin agama
dan mengembangan pemikiran sosial pada masanya, serta menyerap ilmu pengetahuan
yang berkembang di Eropa pada masa itu. Pada akhirnya dia tidak terlalu percaya
pada politik untuk jalur pembaruan, dan lebih menekankan pendidikan dan budaya,
termasuk media, untuk membangun kesadaran umat untuk beranjak dari keterpurukan
menuju kepada peradaban maju yang pernah dicapainya.
Abduh
percaya bahwa pencapaian ilmu pengetahuan dan peradaban yang tinggi adalah
semangat Islam sejak awal kemunculannya, sehingga siapapun yang mampu mencapai
itu mereka Islami, walau bukan muslim. Dan sebaliknya, karena muslim tidak
mampu mencapai ilmu pengetahuan dan peradaban tinggi, maka mereka kehilangan
semangat keislaman.
Oleh karena itu, ada pernyataan Muhammad Abduh yang sangat
terkenal, dan sangat baik untuk menutup artikel ini:
“Aku ke
Barat dan kulihat Islam
tapi tak
kulihat Muslim;
Aku pulang
ke Timur dan kulihat Muslim
tapi tak kulihat Islam.”
Dikutip
dari Alif.id.
Agar
pembaca dapat mengulas lebih jauh pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi
luring (offline) pdf Islam Reform and Conservatism karya Indira Falk Gesink di
bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar