Pages

Rabu, 05 Februari 2020

Gadis Cantik itu bernama Ekstremisme


Sumber gambar: islamindonesia.id


Masih terngiang di telinga kita fakta ekstremisme keberagamaan telah melahirkan sejumlah gerakan garis keras bahkan memobilisasi massa untuk menggolkan agenda politik mereka. Ekstremisme bagaikan gadis cantik yang dipupuk lalu disirami dan dirawat eksistensinya oleh kalangan sebelah. Dan saat ini mereka tengah mencoba menunggu moment yang pas (suitable moment) setelah sekian usaha dan daya upaya mereka selama ini boleh dikatakan gagal, namun berhasil membuat efek kejut. Dan ini merupakan ancaman bagi keutuhan NKRI sebagai rumah kita bersama.

Selama ini, tindakan kontra terhadap ekstremisme kekerasan (violent extremism) yang telah dilakukan pemerintah dianggap tidak cukup, bahkan banyak kajian yang menunjukkan adanya peningkatan kegiatan atau sikap menuju ekstremisme kekerasan. Karenanya banyak kalangan mengusulkan perlunya prioritas penanganan aksi dan ekspresi ekstremisme kekerasan melalui pendekatan yang lunak sehingga tidak merupakan fire with fire. Pencegahan ini perlu dilakukan agar tidak terjadi distorsi dalam menafsirkan ajaran agama menjadi kebencian, kekerasan maupun teror terhadap kemanusiaan karena perbedaan. Mereka yang berpotensi terpapar secara langsung adalah kelompok atau individu yang memiliki kecenderungan terhadap ekstremisme dengan berbagai latar belakang.

Pada dasarnya umat manusia terlahir tidak cenderung menjadi ekstrimis dan pro-kekerasan. Proses sosial, budaya dan politik tertentulah yang membentuk karakter ekstremisme kekerasan. Oleh karena itu, pencegahan terhadap ekstremisme perlu menekankan pentingnya “pelucutan senjata, penghentian kekerasan atau teror, dan mengutamakan dialog lintas batas, dan sekaligus memberdayakan kelompok tersebut untuk dapat memiliki akses yang berkeadilan terhadap sumber ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik secara inklusif.” Perang melawan ekstremisme harus dipahami sebagai upaya untuk memulihkan kemanusiaan, mengajak manusia kembali pada jatidiri manusiawi yang non-ekstrem dan menolak segala bentuk kekerasan.

Pengertian ekstremisme-kekerasan (violent-extremism) yang berkembang merujuk pada keyakinan dan tindakan dari seseorang atau beberapa orang yang mendukung atau menggunakan ideologi yang memotivasi kekerasan untuk menegakkan kuasa politik, religius, dan ideologi secara radikal. Kata-kata ekstremisme dan radikalisasi (dalam konteks ekstremisme) sejauh ini tidak terdefinisikan dengan baik dalam wacana publik, bahkan dalam komunitas profesional dan akademis yang mempelajarinya. Ada banyak definisi berbeda yang ditawarkan, namun tidak ada yang diterima sebagai definisi tunggal untuk diadopsi secara universal. Dalam beberapa tahun terakhir, definisi ekstremisme bercampur dengan ekstremisme yang disertai kekerasan. Jauh lebih sulit dan bermasalah untuk mendefinisikan ekstremisme di luar konteks kekerasan, terutama karena “ekstremis” adalah istilah politik yang sering digunakan dalam konteks mainstream untuk mendefinisikan pandangan lawan politik. Faktanya, ekstremisme memang tidak selalu berwujud aksi kekerasan dan tidak selalu dikaitkan dengan aktor non-negara.

Data yang dipublikasikan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) menunjukkan adanya 814.594 situs online penyebar ekstremisme yang membawa identitas keagamaan. Terkait dengan hal itu, Kemenkominfo telah melakukan pemblokiran semenjak tahun 2010. Meskipun demikian, jumlah situs yang mengenalkan ajaran yang bersifat ekstrem, dalam arti bertentangan dengan konstitusi dan dasar negara Republik Indonesia terus bertambah. Artinya pemblokiran suatu situs online kelompok ekstrem bukanlah cara efektif untuk mencegah ajaran ekstrem mereka. Hal itu tampak paska bom Thamrin 14 Januari 2016, di mana Kemenkominfo kembali merilis temuan 27 situs online penyebar paham radikal dan kembali menutup akses terhadap situs-situs tersebut. Namun adanya teknologi VPN memungkinkan bagi siapapun untuk membuka situs-situs online yang telah diblokir di dalam negeri karena teknologi tersebut membuka jalur akses dari luar negeri, yang dapat dapat dijangkai dari dalam negeri.

Pada tahun 2016 LIPI melaporkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa 76,2% guru menyatakan setuju penerapan syariat Islam dan mengganti Pancasila dengan syariat Islam. Temuan ini mengejutkan, karena para guru ini berada di lembaga pendidikan sehingga berpotensi untuk menyebarkan ajaran yang mengarah kepada ekstremisme keagamaan di sekolah-sekolah. Sementara itu riset Wahid Institute yang bekerja sama dengan LSI pada tahun 2016 terhadap 1.520 siswa di 34 Propinsi menunjukkan bahwa 7,7% siswa SMA bersedia melakukan aksi-aksi radikal. Penelitian Setara Institute menunjukkan hasil 7,2% responden mereka setuju dengan dan tahu tentang paham Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Hasilhasil kajian di atas menunjukkan adanya fakta lapisan masyarakat yang terpapar informasi dan pandangan aktivitas ekstremisme agama, termasuk dalam urusan kepentingan sosial dan politik.

Di Indonesia, terdapat 2 macam bentuk ekstremisme, yaitu ekstremisme non-kekerasan (non-violent extremism) seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atau Khilafatul Muslimin (KM) dan ekstremisme dengan kekerasan (violent-extremism) seperti Front Pembela Islam (FPI) dan kelompok-kelompok pro-ISIS (misalnya Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharut Daulah dan Jamaah Ansharut Tauhid). Organisasi-organisasi tersebut merupakan aktor non-negara (non-state actor) yang membawa ‘bendera’ agama dalam aksi-aksi ekstremisme mereka. Fenomena ini menjadi semacam waralaba ekstremisme dengan kekerasan yang dilakukan oleh aktor non-negara di era demokrasi yang seharusnya dapat merayakan pluralisme.

Jika ditelusuri lebih jauh, kecenderungan sikap, aksi dan ekspresi ekstremisme yang terjadi di negara demokrasi seperti Indonesia memiliki banyak sebab, antara lain:

1. Ketimpangan sosial ekonomi di tingkat nasional dan global yang panjang telah menyebabkan ketidakpuasan sebagian masyarakat, lalu memilih menanggapi berdasarkan ‘pandangan ajaran agama’. Ajaran ini meyakini bahwa sistem dunia yang selama ini dijalankan oleh banyak negara tidaklah mampu menciptakan kesejahteraan sosial, dan justru menghasilkan ketimpangan sosial ekonomi yang dalam. Sehubungan dengan hal tersebut mereka berkeyakinan bahwa dengan ajaran agamalah persoalan tesebut dapat diselesaikan. Dalam konteks ini muncul tafsir tunggal ‘negara agama’ yang mengubah tafsir yang selama ini telah menjadi gramatika berfikir keagamaan yang ada, sehingga tafsir tunggal tersebut menjadi bersifat ekstrem terhadap tafsir yang ada maupun tatanan yang berlaku.

2. Terfasilitasinya kelompok ekstrem untuk menyebarkan pengaruh. Ada Berbagai metode yang digunakan oleh kelompok ekstrem dalam menyebarkan ide dan gagasannya. Salah satunya adalah penggunaan ruang-ruang publik untuk melakukan kampanye. Riset International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dengan P3M (2018) menunjukkan bahwa 27 dari 30 masjid di Jakarta dan sekitarnya merupakan masjid intoleran. Sementara 15 dari 30 masjid merupakan masjid radikal. Artinya di samping masjid tersebut menyebarkan narasi yang berisi kebencian dan politik identitas, ia juga terafiliasi dengan kelompok-kelompok ekstrem. Yang menjadi perhatian khusus adalah, 8 dari 15 masjid yang dianggap radikal merupakan masjid BUMN.

3. Adanya infiltrasi ekstremisme di dunia Pendidikan. Riset “Api dalam Sekam” yang dilakukan oleh PPIM UIN Jakarta pada tahun 2017 dan menyasar pada pengajar dan murid di sekolah dan universitas di Indonesia menemukan bahwa 91.23% responden setuju bahwa syariat Islam perlu diterapkan dalam bernegara. Pada Juni 2018 Tempo mengeluarkan liputan khusus mengenai “Paham Radikal di Kampus Kita”, mengangkat munculnya “Duo Siska”, mahasiswi yang ditangkap oleh Detasemen Khusus Antiteror karena ingin melakukan jihad di markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimbob) Polri. Ini merupakan tamparan tersendiri bagi dunia pendidikan. Kedua Siska ditangkap karena diduga hendak melakukan penyerangan terhadap polisi. Mereka juga mengaku bersimpati kepada teroris dan mendukung ISIS serta juga peperangan terhadap thogut.1

4. Maraknya kampanye ekstremisme di internet dan media sosial. Di dalam wawancaranya, duo Siska mengaku mempelajari ekstremisme melalui internet dan media sosial. Fenomena ini menunjukkan bahwa anak muda sebagai kelompok pengguna terbesar memang memiliki posisi yang sangat rentan. Kampanye jaringan radikal yang dilakukan di internet dan media sosial bersifat massif dan menarik banyak massa. Kampanye itu dilakukan melalui berbagai bentuk, dari artikel, video maupun 2-way conversation melalui grup-grup di chat platform seperti WhatsApp dan Telegram. Munculnya Saracen dan Moslem Cyber Army (MCA) juga merupakan fakta tersendiri bahwa strategi ini dilakukan dengan matang dan menjadi komoditas ekonomi dan politik.

Empat faktor di atas sesungguhnya merupakan faktor-faktor yang terkait dengan salah satu akar permasalahan utama ekstremisme, yaitu ketimpangan sosial dan ekonomi sebagai akibat perkembangan nasional, yang tidak terlepas dari konteks global. Kelompok ekstrem menggunakan ‘ajaran agama’ untuk menanggapi ketimpangan sosial ekonomi, melalui cara yang mereka pahami, kemudian disebarkan melalui media seperti ruang publik keagamaan yang telah mereka kuasai; ruang pendidikan yang juga telah mereka dapatkan; serta ruang publik internet dan sosial media yang dengan mudah di akses semua kalangan. Semua itu terjadi dalam konteks masyarakat Indonesia yang sedang berproses dalam dinamika demokratisasi, yang memungkinkan kelompok-kelompok ekstrem ikut memanfaatkan ruang kebebasan dalam demokrasi. Ekstremisme yang telah tersebar luas tersebut kemudian berpotensi untuk menghasilkan kekerasan, sehingga menjadi ancaman serius bagi kehidupan bernegara dan berbangsa, berdemokrasi, menjalankan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kestabilan sosial dan ekonomi. Lebih dari itu juga berakibat kepada kondisi politik dan keamanan masyarakat. kebebasan dan hak warga negara terkait agama dan perbedaan (rights to differ) dijamin oleh konstitusi sebagaimana yang termaktub di dalam, (i) Pasal 18 ayat (1) ICCPR 1966, (ii) Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, (iii) Pasal 175 KUHP, (iv) Pasal 156 KUHP, dan (v) Pasal 157 ayat (1) KUHP.

International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) sebagai organisasi masyarakat sipil yang turut memberi sumbangan dalam upaya untuk pemenuhan HAM dan demokrasi di Indonesia semenjak 1985 merasa penting mendorong  pemerintah segera merumukan kebijakan dan program pada aspek pencegahan ekstremisme kekerasan dengan pendekatan yang yang tepat sasaran, sesuai kebutuhan dan selaras dengan prinsip-prinsip HAM dan demokrasi serta prinsip negara hukum.

Kajian ini memfokuskan pada fenomena ekstremisme dalam konteks demokrasi dan kemajemukan di dalam masyarakat Indonesia. Ranah reproduksi nilai-nilai ekstremisme terdapat di berbagai ruang masyarakat. Terkait dengan ruang sosial tersebut kajian ini memfokuskan kajian pada lokus utama seperti ruang religius (seperti komunitas yang juga berbasis di kampung-kampung dan perkotaan), dunia pendidikan, dan media sosial.

Dikutip dari pendahuluan Buku Urgensi dan Strategi Efektif Pencegahan Ekstremisme di Indonesia karangan International NGO Forum on Indonesia Developmentt (INFID)

Agar pembaca dapat mengulas lebih jauh tema pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi luring (offline) pdf Urgensi dan Strategi Efektif Pencegahan Ekstremisme di Indonesia di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer