Waktu
kuliah di University of Chicago Cak Nur suka merenung di tepi danau Michigan,
satu dari 4 danau yang ada di kawasan itu—tempat 90% air tawar dunia. Kata Cak
Nur, sungai Nil yang telah menghasilkan peradaban Mesir, tidak sebanding jumlah
airnya dengan danau-danau tersebut. Cak Nur merenung mengenai danau-danau ini.
Mengapa Tuhan memberikan air yang begitu penting dalam hidup kepada orang
Amerika dan Kanada, dan tidak kepada orang Saudi Arabia yang Muslim—misalnya,
yang tentu sangat membutuhkan air untuk kehidupan sehari-hari? Cak lalu ingat
sebuah firman dalam alQuran, bahwa Tuhan itu akan mewariskan bumi ini kepada
orang saleh. Dan Dr. Imaduddin Abdurrahim, sahabat Cak Nur, pernah meloncat
kepada kesimpulan, kalau begitu orang Amerika itu lebih saleh daripada orang
Arab, buktinya sumber kehidupan bumi malah dikasih kepada orang Amerika dan
tidak kepada orang Arab. Renungan di pinggir Danau Michigan ini sangat
menggelisahkan Cak Nur beberapa lama, dan memberinya inspirasi bahwa umat Islam
tidak bisa begitu saja, taken for granted, menganggap keislaman formal sebagai
jaminan. Umat Islam harus bekerja keras mewujudkan nilai-nilai keislaman dalam
kehidupan nyata. Semua janji Tuhan dalam al-Qur’an, yang sering dikutip para
ulama dan mubalig, pemenuhan-Nya tidak tergantung pada formalitas, tapi kepada
esensi—sesuatu yang lebih bersifat maknawi. Renungan itu telah membawa Cak Nur
bisa melihat dengan jelas prioritas pentingnya nilai-nilai daripada formalitas
keislaman—sebagai organized religion. Dan ketika kembali ke Indonesia
pada 1986, Cak Nur pun bersama temanteman seperjuangannya mendirikan Yayasan
Paramadina sebagai lembaga yang mengembangkan pemikiran Islam berperspektif
pluralis, yang menekankan esensi atau substansi Islam, dimana konstituen
pertamanya adalah kelas menengah Muslim.
Tentang
Paramadina ini Cak Nur pernah juga merenung,
“Bila konstituen Paramadina adalah
kelas menengah, sebenarnya merupakan hal yang natural saja. Karena dalam
menguraikan gagasan-gagasan itu kita menggunakan pola-pola ekspresi tertentu,
yang disebut ilmiah, akademik, dan lain sebagainya, maka mau tidak mau yang
bisa paham adalah kelas menengah. Jadi, kekelasmenengahan Paramadina itu
bukanlah tujuan, melainkan efek dari pendekatan yang kita gunakan. Kebetulan
juga didu kung oleh teori-teori bahwa perubahan sosial itu berasal dari kelas
menengah, yang antara lain muncul dalam teori-teori tentang strategic elites,
opinion makers, trend makers, dan lain sebagainya. Istilah-istilah trend makers
tersebut berasal dari Emil Salim ketika dia memberikan pidato kehormatan saat
pendirian dan pembukaan Paramadina. Sebab kalau tidak begitu, kita tidak akan
efisien lagi. Kalau kita ke bawah juga, kita harus siap-siap membagi bahasa.
Padahal kita tidak bisa menjadi setiap orang, We cannot be everybody. Kita
harus menjadi somebody secara efektif dan committed. Jadi, secara sadar ide-ide
Paramadina tidak dimaksudkan untuk bisa dikonsumsi oleh seluruh lapisan
masyarakat. Namun, saya kira memang perlu ada semacam lapisan yang berperan
menyampaikan ide-ide Paramadina kepada masyarakat yang lebih luas. Setidaknya
agar kontroversi akibat kesalahpahaman yang terjadi selama ini dapat dikurangi.”
Buku
ini diterbitkan dalam rangka peringatan Milad ke-20 Paramadina, yang jatuh pada
Nopember 2006 ini. Sepanjang 1986-2006, Paramadina telah mengembangkan
pemikiran pluralisme dengan spektrum yang sangat luas, dan di dalamnya sangat
jelas peranan Nurcholish Madjid, salah seorang pendiri Paramadina, yang
sepanjang hayatnya, sampai beliau wafat, 29 Agustus 2005, Cak Nur—begitu
panggilan akrabnya—sangat perhatian mengenai perkembangan paham pluralisme ini,
baik secara teologis, maupun secara aktual. Sementara buku ini ditulis oleh
Mohamed Fathi Osman, seorang profesor, yang seperti juga Cak Nur, adalah
seorang aktivis internasional yang terus mengadvokasikan pentingnya pluralisme,
bukan hanya di dunia Muslim, tapi juga global. Fathi Osman, seperti kita baca
dalam buku ini, menyadarkan kita bahwa apa yang sedang terjadi dalam dunia
Islam sekarang ini, akan menentukan wajah Islam di masa mendatang—tergantung
berhasil atau tidak kita menyemai benih-benih “Islam Peradaban” (sebuah istilah
yang dipakai juga oleh Cak Nur).
Pengantar—dan
penerbitan buku ini yang dibuat dalam rangka peringatan Milad ke-20
Paramadina—akan mencoba membuat perbandingan antara pikiran Cak Nur dan Fathi
Osman, untuk menunjukkan dua hal sekaligus. Pertama, bahwa pikiran-pikiran
Cak Nur, jika kita bandingkan dengan Fathi Osman, akan memperlihatkan bahwa
pemikiran pluralisme yang dikembangkan Cak Nur selama 20 tahun belakangan ini
benar-benar mempunyai signifikansi internasional, dimana pluralisme telah
merupakan bagian dari wacana global untuk membangun masyarakat yang lebih baik.
Kedua, dengan perbandingan pikiran-pikiran Cak Nur dan Fathi Osman, kita akan
melihat segi apa yang perlu dikembangkan paska pemikiran Nurcholish Madjid.
Dalam pengantar ini kita akan mengelaborasi dasar-dasar teologis tentang
pluralisme yang telah dikembangkan baik oleh Cak Nur maupun Fathi Osman.
Agama itu Sama dan Berbeda Sekaligus
Berdasarkan
sebuah Hadis Bukhari, Rasulullah bersabda, “Aku lebih berhak atas Isa putra
Maryam di dunia dan akhirat. Para nabi adalah satu ayah dari ibu yang
berbeda-beda dan agama mereka adalah satu. Dari Hadis ini, dan lebih lagi
beberapa ayat al-Qur’an berikut, meneguhkan hakikat pandangan pluralisme Cak
Nur bahwa, esensi agama (Arab: dîn) dari seluruh rasul adalah sama (Q. 42:13),
dan umat serta agama mereka itu seluruhnya adalah umat serta agama yang tunggal
(Q. 21:92; 23:52). Kesamaan dan kesatuan semua agama para nabi ditegaskan dalam
hadis di atas yang membenarkan bahwa para nabi itu adalah satu saudara lain
ibu, namun agama mereka satu dan sama.
Dari
sejarah peradaban Islam kita tahu, bahwa rasa keagamaan yang satu ini memanifes
dalam pergaulan sosial antara kaum Muslim, Kristen, dan Yahudi; sementara
ketiga umat beragama ini menganut agama masing-masing, dan mereka membentuk
masyarakat yang satu, di mana perkawanan pribadi, kerja sama bisnis, hubungan
guru-murid dalam ilmu, dan bentuk-bentuk aktivitas bersama lainnya berjalan
normal dan, sungguh, umum di mana-mana. Kerja sama budaya dan peradaban ini
telah terjadi dalam banyak cara. Misalnya, kita dapatkan kamus-kamus biografi
pada dokter yang terkenal. Karya-karya ini, meskipun ditulis oleh orang-orang
Muslim, mencakup para dokter Muslim, Kristen, dan Yahudi tanpa perbedaan. Dari
kumpulan besar biografi itu bahkan dimungkinkan menyusun semacam proposograft
dari profesi kedokteran—untuk melacak garis hidup beberapa ratus dokter praktik
di Dunia Islam. Dari sumber-sumber ini kita mendapatkan gambaran yang jelas
tentang adanya usaha bersama antar agama. Di rumah sakit-rumah sakit dan di
tempat-tempat praktik pribadi, para dokter dari tiga agama itu bekerja sama sebagai
rekan atau asisten, saling membaca buku mereka, dan saling menerima yang lain
sebagai murid.
Para
ahli sejarah Islam, di antaranya Bernard Lewis yang pernah menulis sejarah
kerja sama yang beradab antara kaum Muslim dan orang orang Yahudi dan Kristen
di Spanyol (Andalusia), menyimpulkan bahwa tidak ada kerja sama yang harmonis,
di Dunia Barat pada waktu itu, juga di Dunia Islam pada masa kemudian—ketika
nilai-nilai pluralisme mulai memudar dalam pandangan Muslim paska peradaban
Islam klasik. Karena itu belajar dari sejarah, mengkaji ulang “apa itu
pluralisme Islam” sangatlah mendesak. Inilah pesan dasar buku Fathi Osman ini— yang
juga merupakan pemikiran plura1isme Cak Nur, yang pernah menjadi isu nasional
sepanjang 20 tahun usia Paramadina.
Masalah
dasar pluralisme yang dikembangkan Cak Nur, yang sering disebut oleh kalangan
penganut filsafat perenial sebagai “Kesatuan Transenden Agama-agama” telah
memicu fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk “mengharamkan” pemikiran
pluralisme. Pengharaman ini tentu saja mengherankan, karena sebenarnya dasar
teologis pandangan kesatuan dan kesamaan agama-agama itu ada pada tingkat transenden
(esoterik, hakikat), bukan imanen (syari’at).
Debat
Fatwa MUI ini telah menjadi kontraproduktif, dan membuat pendalaman pemikiran
pluralisme sebagai filsafat maupun teologi—yang memang bisa mempunyai banyak
interpretasi menjadi terhalang. Akibat Fatwa MUI itu, timbullah kesan
seolah-olah pluralisme menjadi pemikiran yang merusak agama, padahal pluralisme
adalah fondasi dalam membangun masyarakat demokratis, seperti sering dikatakan
Cak Nur, bahwa paham pluralisme adalah bagian amat penting dari tatanan
masyarakat maju. Dalam paham inilah dipertaruhkan, antara lain, sehatnya
demokrasi, keterbukaan, dan keadilan. Pluralisme tidak saja mengisyaratkan
adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok lain untuk ada, tetapi juga
mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar
perdamaian dan saling menghormati (sejalan dengan Q., 60: 8). Dalam buku ini
Fathi Osman juga menegaskan makna pluralisme (h. 2-3),
Pluralisme adalah bentuk kelembagaan
di mana pene rimaan ter hadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau
dunia secara keseluruhan. Maknanya lebih dari sekadar toleransi moral atau
koeksistensi pasif. Toleransi adalah persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi,
sementara koeksistensi adalah semata-mata penerimaan terhadap pihak lain, yang
tidak melampaui ketiada an konflik. Pluralisme, di satu sisi, mensyaratkan
ukuran-ukuran kelembagaan dan legal yang melindungi dan mengesahkan kesetaraan
dan mengembangkan rasa persaudaraan di antara manu sia sebagai pribadi atau
kelompok, baik ukuran-ukuran itu bersifat bawaan ataupun perolehan. Begitu
pula, pluralisme menuntut suatu pendekatan yang serius terhadap memahami pihak
lain dan kerja sama yang membangun untuk kebaikan semua. Semua manusia seharusnya
menikmati hak-hak dan kesempatan-kesempatan yang sama, dan seharusnya memenuhi
kewajiban-kewajiban yang sama sebagai warga negara dan warga dunia. Setiap
kelompok semestinya memiliki hak untuk berhimpun dan berkembang, memelihara
identitas dan kepentingannya, dan menikmati kesetaraan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dalam negara dan dunia internasional.
Cak
Nur, dalam debat pluralisme di Indonesia selalu menegaskan bahwa bangsa
Indonesia akan memperoleh manfaat besar dalam usaha transformasi sosialnya
menuju demokrasi, keterbukaan, dan keadilan itu, jika pluralisme itu dapat
ditanamkan dalam kesadaran kaum Muslim yang merupakan golongan terbesar warga
negara. Artinya bagi Cak Nur, dengan menyadari kenyataan bahwa bagian terbesar
bangsa kita adalah orang-orang Muslim, maka maju atau mundurnya bangsa
Indonesia, tentu akan mempunyai dampak positif atau negatif kepada agama Islam
dan orang-orang Muslim, termasuk dampak kredit dan diskredit. Kredit kepada
Islam dan kaum Muslim di Indonesia jika negeri ini maju, atau diskredit jika ia
tetap terbelakang. Oleh karena itu, suatu kesimpulan truistik dan sederhana
pernah dilakukan Cak Nur, bahwa tidak ada jalan lain bagi bangsa Indonesia,
khususnya kaum Muslim, untuk membuat negeri ini maju, makmur, kuat, dan modern,
demi kehormatannya sebagai “Bangsa Muslim terbesar di muka bumi”, para ahli
sejarah mengembangkan pluralisme dan demokrasi secara sungguh-sungguh.
Maka
kembali kepada gagasan pluralisme. Pluralisme adalah suatu keharusan, apalagi
dalam pluralisme itu ada ruang untuk dialog, dan komitmen yang tulus kepada
nilai-nilai bersama kewarganegaraan (civic values). Seperti pernah
ditegaskan oleh Cak Nur,
... Pluralisme tidak dapat hanya
dipahami dengan mengatakan bahwa masyarakat kita adalah majemuk, beraneka
ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggam barkan
kesan fragmentasi. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai.
“kebaikan negatif” (negative good), hanya di tilik dari kegunaannya
untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme
harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatanikatan
keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility).
Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia,
antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya.
Dalam Kitab Suci bahkan disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan
dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan
merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia
“...Sekiranya Allah tidak menahan suatu golongan atas golongan yang lain,
niscaya binasalah bumi ini. Tetapi, Allah penuh karunia atas semesta alam,” (Q,
2:251).
Jelaslah,
baik Cak Nur maupun Fathi Osman dalam buku ini menegaskan bahwa pluralisme adalah
bagian dari peradaban, yang secara teologis, didasarkan pada konsep kesamaan
dasar (common platform, kalimat-unsawd) agama-agama. Sementara dîn
atau esensi agama itu sama; kepada setiap golongan dari kalangan umat
manusia Allah menetapkan syir’ah (atau syarî’ah, yakni, jalan) dan manhâj
(cara) yang berbeda-beda. Perbedaan agama-agama ini secara teologis memang
disebabkan karena Allah tidak menghendaki umat manusia itu satu dan sama semua
dalam segala hal. Allah malah menghendaki agar manusia dalam perbedaan yang
bisa membawa rahmat ini, saling berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan.
Al-Qur’an menurut Cak Nur dan Fathi Osman menegaskan bahwa nanti seluruh umat
manusia akan kembali kepada Allah dan kelak Dialah yang akan membeberkan
hakikat perbedaan antara manusia itu (Q. 5:48). Sehingga, bukan hanya kesatuan
yang merupakan esensi agamaagama, tetapi perbedaan juga merupakan kenyataan
yang harus dihormati, bahkan dikembangkan untuk kemaslahatan bersama.
Perbedaan
itu terutama ada pada ritus dan simbolisme keagamaan, atau dalam istilah
al-Qur’an disebutkan bahwa untuk setiap umat telah ditetapkan Allah
upacara-upacara keagamaan atau mansak (jamak: manâsik), yang
harus mereka laksanakan (Q. 22:34 dan 68). Dan setiap umat mempunyai wijhah
(titik “orientasi”, tempat mengarahkan diri), yang disimbolkan dalam konsep
tentang tempat suci, waktu suci, hari suci, dan seterusnya. Pikiran seperti ini
sekarang dalam fenomenologi agama dikembangkan sebagai “Gagasan tentang Yang
Suci” (Mircea Eliade). Yang menarik, dan seringkali kaum Muslim melupakannya,
bahwa al-Qur’an begitu menegaskan, agar manusia tidak perlu mempersoalkan
adanya wijhah untuk masing-masing golongan itu, karena yang penting ialah
manusia berlomba-lomba menuju berbagai kebaikan (fastabiq-û‘l-khayr-ât). Di
manapun manusia berada, Allah nanti akan mengumpulkan semua mereka menjadi satu
(jamî‘an). Jadi, di sini ada argumen untuk “kesatuan” dan “keberbedaan”
agamaagama sekaligus. Dan keduanya mempunyai makna yang pentig dalam memecahkan
masalah hubungan antaragama. Pengertian dan pengelolaan sosial persamaan dan
perbedaan agama-agama ini sangat diperlukan, terutama dalam membangun suasana
kemasyarakatan yang terbuka dan bebas, yang memungkinkan para warganya untuk
mengingatkan satu sama lain tentang kebenaran dan ketabahan dalam hidup, yaitu
ketabahan perjuangan bersama mewujudkan kebenaran dan keadilan (misalnya cita-cita
sosial kebangsaan).
Dalam
sejarah etika politik kita tahu, bahwa untuk memberi ruang bebas bagi adanya
pengawasan sosial itu, negara-bangsa ditegakkan atas dasar keseimbangan
kekuatan-kekuatan yang saling mengendalikan dan mengawasi, dan mencegah
dominasi suatu kekuatan mana pun. Di sini baik Cak Nur maupun Fathi Osman
sepakat bahwa hukum keseimbangan antara manusia adalah anugerah Allah yang amat
besar sehingga bumi terhindar dari kehancuran. Kalaulah Allah tidak menolak
(mengimbangi) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, maka pastilah bumi
hancur. Tetapi, Allah memiliki kemurahan kepada seluruh alam (Q. 2: 251). Bumi
manusia ini bisa bertahan karena berjalan nya hukum keseimbangan. Karena itu,
mengusahakan terciptanya kekuatan-kekuatan yang seimbang antara masyarakat
manusia, baik secara nasional ataupun global merupakan keharusan. Itu sebabnya
seni mengelola perbedaan itu sangat penting.
Oleh
karena itulah, tentang “perbedaan agama-agama” seperti ditegaskan Fathi Osman
(h. 27), “Manusia... harus menangani perbedaan-perbedaan dalam dunia ini dengan
cara terbaik semampu mereka, sembari menyerahkan penilaian akhir mengenai apa
yang secara mutlak benar atau salah kepada Tuhan, karena tidak ada satu pun
cara mencapai kesepakatan atas kebenaran yang mutlak, sebagaimana telah
ditekankan berulang-ulang dalam alQur’an” (lihat misalnya, Q. 2:113; 3:55;
5:48; 6:164; 10:93; 16:92, 124: 22:69; 32:25; 39:3, 46; 45:17). Namun demikian,
menurut Fathi Osman, walaupun terdapat penekanan yang berulang-ulang ini,
selalu saja ada orang-orang yang memainkan peranan Tuhan sebagai pemilik
satu-satunya kebenaran.
Penegasan
untuk menangani perbedaan-perbedaan dengan cara terbaik, itu berarti manusia
harus mendiskusikan perbedaanperbedaan mereka dengan cara yang masuk di akal,
sementara tetap menyadari akan kemajemukan mereka. Dalam perkaraperkara
keduniawian, mereka dapat mengatasi perbedaanperbedaan mereka dengan mencapai
mayoritas untuk suatu pandangan tertentu, tetapi dalam perkara agama, kebebasan
beragama harus dijamin untuk setiap manusia. Dialog antara keyakinan dapat
diarahkan untuk mencapai pengertian yang lebih baik mengenai “yang lain”
sembari menampik pemaksaan menyakitkan dan tidak adil terhadap keyakinan. Fathi
Osman menegaskan, bahwa al-Qur’an mengajarkan bahwa dialog semacam ini harus
diselenggarakan dalam cara yang paling konstruktif baik dari segi metode maupun
moral (Q. 16:125; 29:46). Tidak boleh ada kelompok yang mengarahkan argumennya
atas dasar premis bahwa argumennya adalah satu-satunya yang mewakili seluruh
kebenaran!
Tidak
boleh adanya klaim kebenaran mutlak dalam masyarakat inilah yang membuat
masyarakat menjadi terbuka. Keterbukaan dengan sendirinya mengandung pengertian
kebebasan. Dan logika dari kebebasan ialah tanggung jawab. Seseorang disebut
bebas apabila ia dapat meyakini dan melakukan sesuatu seperti dikehendakinya
sendiri atas pilihan serta pertimbangannya sendiri, sehingga orang itu secara
logis dapat dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Seseorang
yang melakukan sesuatu karena terpaksa dengan sendirinya tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya itu. Dalam filsafat dikatakan,
bahwa tanggung jawab dalam kaitannya dengan kebebasan melibatkan beberapa
persyaratan— dan ini juga merupakan persyaratan bagi mungkinnya kebebasan dalam
beragama.
Agama Peradaban
Dalam
banyak kesempatan dalam perkuliahan Cak Nur di Paramadina, maupun Fathi Osman
dalam buku ini menegaskan bahwa agama alam semesta ialah al-islâm, sikap pasrah
yang total kepada Sang Maha Pencipta. Kitab Suci memberikan ilustrasi tentang
ketundukan, ketaatan, dan kepasrahan alam semesta kepada Tuhan (misalnya Q. 41:
11; 55:5-6; 17:44). Dari segi tashrîf, perkataan “islâm” adalah mashdar
atau “kata benda kerja” (verbal noun) dari kata kerja
“aslam-a—yuslim-u”, sama halnya dengan perkataan “imân” yang merupakan mashdar
dari kata kerja “âman-a—yu’min-u” yang artinya “memercayai” atau “memasrahkan”
atau “bersikap pasrah” dan “memercayai” atau “sikap percaya”. Oleh karena itu,
kata “iman” dalam bahasa Indonesia dapat dinyatakan sebagai “ber-imân”
(beriman) dan “ber-islâm” (berislam), yang akan mewujudkan bimbingan Ilahi.
Pada
setiap pribadi manusia, wujud bimbingan Ilahi itu dimulai dengan adanya—seperti
sudah dikemukakan di atas— perjanjian primordial yang terjadi sebelum lahir ke
bumi dalam suatu kesaksian dan pengakuan oleh manusia bahwa Allah, Tuhan Yang
Maha Esa, adalah Tuan (Rabb) manusia. Kesaksian dan pengakuan itu
mengandung makna kesediaan untuk tunduk, patuh, taat dan pasrah, atau ber-islâm
kepada-Nya. Seluruh tindakan manusia di dunia akan dipertanggungjawabkan kelak
di Hari Kiamat (Q. 7:172). Adanya perjanjian itu juga digambarkan dalam
ayat-ayat yang lain, baik langsung maupun tidak langsung, seperti dalam Q.
36:60 yang artinya, “Bukankah telah Aku ikat janji kepada kamu sekalian, wahai
anak cucu Adam, bahwa kamu janganlah mengabdi kepada setan, sesungguhnya setan
itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.”
Maka
menurut Cak Nur maupun Fathi Osman, berdasarkan perjanjian ini, tidak ada sifat
kemanusiaan yang lebih asasi daripada naluri untuk mengabdi, atau hasrat alami
untuk menyembah. Jika naluri alamiah itu tidak tersalurkan dengan baik dan
benar, manusia cenderung akan menempuh jalan keburukan dan kesesatan. Ia
berpotensi untuk lupa akan perjanjian primordialnya dengan Tuhan, yang berarti
lupa akan hati nurani, atau dasar bersama kemanusiaan. “Lupa akan hati nurani”
inilah yang menjadi sumber malapetaka kemanusiaan, yang sudah kita lihat dalam
sejarah manusia.
Jadi,
merupakan sebuah kehormatan bahwa kita manusia, dengan ketajaman nurani,
dipercaya Tuhan untuk dapat mengetahui mana yang baik dan yang buruk. Seseorang
tidak harus dipaksa asalkan memiliki ketajaman seperlunya untuk mengetahui mana
yang baik dan buruk, sehingga ia akan tahu cara hidup yang baik. Inilah awal
proses pembebasan diri.
Proses
pembebasan diri dalam Islam dimulai dengan penegasan kepada diri sendiri bahwa
memang “tidak ada suatu tuhan apa pun, selain Tuhan Yang Maha Esa”. Tuhan yang
Maha Esa adalah Wujud Mutlak yang benar-benar Mutlak; sehingga mutlak pula
untuk tidak ada bandingan atau padanan, tidak dapat digambar, apalagi dilukis,
karena “Dia menangkap pandangan manusia namun pandangan manusia tidak dapat
menangkapNya,” (Q. 6:33). Itulah makna kalimat persaksian atau syahâdah pertama
ketika seseorang ber-Islâm. Cak Nur pernah mengutip Ibn Taymiyah yang
menegaskan bahwa, syahadat pertama itu merupakan pembebasan diri dari segala
sesuatu selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang terdiri dari tuhan-tuhan palsu,
baik berupa kecenderungan diri sendiri (hawâ al-nafs), atau ketaatan
kepada sesama makhluk atau lain-lainnya.
Akibat
adanya perjanjian primordial di atas, yang meneguhkan nurani kemanusiaan, dalam
penafsiran pluralis Cak Nur, diyakini bahwa dalam diri manusia terdapat bibit
kesucian dan kebaikan yang muncul sejak dari penciptaan asal yang suci (fithrah)
dan yang berkecenderungan suci (hanîf). Fithrah tidak akan berubah sepanjang
masa, karena sifat tersebut merupakan lokus bagi kearifan abadi (al-hikmah
al-khâlidah, sophia perenis). Akan tetapi, sekalipun setiap pribadi manusia
dilahirkan dalam fitrah yang suci, tidak selamanya manusia memiliki
sensitivitas fitrah yang diperlukan untuk menangkap kebenaran. Hal ini
dikarenakan oleh timbunan dan tumpukan tebal puing-puing pengalaman hidup
sosial dan budaya lingkungannya. Dalam sebuah hadis terkenal, Rasulullah saw.
bersabda bahwa setiap anak dilahirkan dalam fitrah (kesucian), namun kedua
orangtuanyalah yang dapat membuat anak itu menyimpang dari fitrah. Dalam
konteks ini orangtua adalah wakil lingkungan sosial budaya sekitar, yang
melalui mereka seorang anak dapat bersinggungan, berkenalan dan kemudian
menyertai pola-pola kehidupan yang belum tentu sesuai dengan fitrah. Oleh
karena itu, mengapa paham pluralisme betul-betul diperlukan, adalah untuk
menghindari kecenderungan menjauhnya manusia dari fitrah kemanusiaan ini.
Dengan pluralisme ada check and balances.
Kita
tahu, dalam sistem demokrasi itu mutlak diperlukan pengawasan (check),
karena demokrasi merupakan sistem yang terbuka untuk semua pemeran-serta
(partisipan), dan tidak dibenarkan sama sekali diserahkan kepada keinginan
pribadi atau kebijaksanaannya—betapapun arifnya orang itu. Di samping itu juga
diperlukan pengimbangan (balance), karena sistem masyarakat dapat
dikatakan demokratis hanya jika terbuka kesempatan bagi setiap kelompok dalam
masyarakat untuk berpartisipasi, apa pun dan bagaimanapun caranya, dan tidak
boleh dibiarkan adanya unsur sebagian yang mendominasi keseluruhan. Mekanisme check
and balance inilah yang membuat demokrasi, tidak menjadi “tirani
mayoritas.” Sebab dengan mekanisme ini terciptalah sebuah sistem yang dalam
dirinya terkandung kemampuan mengoreksi dan meluruskan dirinya sendiri, serta
mendorong pertumbuhan dan perkembangannya ke arah yang lebih baik, dan terus
lebih baik.
Seperti
pernah dikemukakan Cak Nur, demokrasi memang berpangkal pada pribadi-pribadi
yang berkemauan “baik”. Tetapi, karena sifatnya yang pribadi itu, kemauan atau
itikad baik dapat dipandang sebagai “rahasia”’ yang menjadi urusan pribadi orang
bersangkutan. Artinya, suatu maksud baik pribadi hanya akan mempunyai fungsi
sosial jika diwujudkan dalam tindakan bermasyarakat yang berdimensi sosial
juga, yang tidak dapat dipertaruhkan hanya kepada keinginan baik atau aspirasi
pribadi. Sehingga perlunya mekanisme sosial check and balance ini tidak
boleh diremehkan, karena selalu ada kemungkinan seorang pribadi dikuasai oleh
kepentingan dirinya sendiri atau didikte oleh vested interest-nya,
menuju kepada tirani. Check and balance adalah mekanisme yang efektif
untuk terjadinya proses saling mengingatkan tentang apa yang benar demi
kebaikan bersama. Dan pada urutannya, proses serupa itu memerlukan kebebasan
menyatakan pendapat, berkumpul, dan berserikat.
Meskipun
manusia dapat menggunakan akal untuk bertahan pada fitrah, tidak semua
kebenaran dan kebaikan hakiki dapat ditangkapnya. Akal merupakan perlengkapan
hidup manusia sebagai anugerah yang amat penting dari Tuhan. Manusia
diperintahkan untuk menggunakan akalnya (fides quaeren intellectum, iman
membutuhkan rasionalitas), karena dengan itu ia dapat menempuh jalan ke arah
kebenaran dan kebaikan. Akan tetapi, akal melulu tidak akan cukup untuk
menangkap dan memahami kebenaran hakiki, lebih-lebih lagi tentang Tuhan Yang
Maha Esa, karena tidak semua kebenaran berwujud empirik dan rasional. Di sini
lah manusia memerlukan uluran tangan Tuhan, dengan petunjuk dan hidayah-Nya
berupa pengajaran atau berita (Arab: naba’), melalui seseorang yang dipilih-Nya
sebagai penerima berita (Arab: nabî) seperti sudah dikemukakan di atas.
Sebagian
nabi diberi tugas selaku utusan Tuhan untuk menyampaikan berita Ilahi kepada
manusia. Kemudian manusia diseru untuk sepenuhnya ajaran kepatuhan (Arab: dîn)
kepada Tuhan (al-is1âm) dengan hasrat menangkap kebenaran dan kesucian (hanîf)
sesuai dengan fitrahnya. Oleh karena manusia sering terbelenggu oleh
kepercayaan-kepercayaan palsu, Tuhan mengutus utusan kepada setiap umat tanpa
kecuali, dengan tugas suci yang sama, yaitu menyeru manusia untuk hanya
berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat yang sama, seruan tersebut juga
untuk menolak kekuatan-kekuatan jahat yang membelenggu manusia dan merampas
kebebasannya, yang disebut al-Quran, thâghût, khususnya yang berbentuk
sasaran kebaktian palsu dalam sistem kepercayaan-kepercayaan palsu (Q. 16:36).
Seperti telah dikatakan di muka, tidak ada satu umat pun melainkan padanya
pernah tampil pembawa peringatan (Q. 35:24). Jadi, tugas para Nabi dan Rasul
adalah mengajak manusia hidup tunduk, patuh, taat, dan pasrah kepada Tuhan.
Atas dasar itu, al-islâm, atau ajaran pasrah kepada Allah secara sukarela dan
damai, adalah ajaran dan agama semua Nabi yang diterima dari Tuhan.
Di
sini Cak Nur dengan pikiran-pikiran pluralismenya, sebenarnya telah
meliberalkan pikiran yang sering dikutipnya dari Ibnu Taymiyah dalam al-Jawâb
al-Shahîh li-man Baddal-a Dîn al-Masîh, yang mengemukakan bahwa “Pangkal
al-islâm ialah persaksian bahwa `Tidak ada suatu tuhan apa pun selain Allah,
Tuhan yang sebenarnya; dan persaksian itu mengandung makna penyembahan hanya
kepada Allah semata dan meninggalkan penyembahan kepada selain Dia. Inilah al-islâm
al-‘âmm (Islam umum, universal) yang Allah tidak menerima ajaran ketundukan
selain daripadanya… Maka semua nabi itu dan para pengikut mereka, seluruhnya
disebut oleh Allah bahwa mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan
bahwa firman Allah, ‘Barangsiapa menganut suatu dîn selain al-islâm
maka tidak akan diterima daripadanya al-dîn dan di akhirat dia termasuk yang
merugi,’ (Q. 3: 85) dan firmanNya, ‘Sesungguhnya al-dîn di sisi Allah ialah
al-islâm,’ (Q. 3:19) tidaklah khusus tentang orang-orang (masyarakat) yang
kepada mereka Nabi Muhammad saw. diutus, melainkan hal itu merupakan suatu
hukum umum (hukm ‘âmm, ketentuan universal) tentang manusia masa lalu
dan manusia kemudian hari.” Penafsiran universalisme Islam ini memberi fondasi
yang kokoh untuk kosmopolitanisme Islam, yang wujud dalam bentuk peradaban.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan, kalau Cak Nur maupun Fathi Osman
menyebut Islam sebagai “Agama Peradaban”.
Di
sini perlu digarisbawahi bahwa sekalipun para nabi dan rasul mengajarkan
pandangan hidup yang disebut al-islâm, tidaklah berarti bahwa mereka dan
kaumnya menyebut secara harfiah ajaran (agama) mereka sebagai al-islâm dan
mereka sebagai orang-orang muslim. Sebab semua itu adalah peristilahan dalam
bahasa Arab, sementara para nabi dan rasul, sebagaimana disebutkan dalam
al-Qur’an, dibangkitkan Allah dengan menggunakan bahasa kaumnya masing-masing
(Q.14:4). Oleh karena itu, penyebutan para nabi dan rasul beserta para pengikut
mereka sebagai orang-orang muslim dan ajaran atau agama mereka sebagai al-islâm
dalam arti generik, tetap benar dan dibenarkan, hanya saja sedikit melibatkan
masalah kebahasaan. Dalam kenyataannya, yang ada adalah mereka yang beragama
Yahudi, Kristiani, Hindu, Buddha, Taoisme, dan sebagainya.
“Apalah
artinya sebuah nama” Kata William Shakespeare. Ibn Taymiyah−sering dikutip Cak
Nur—memberi penjelasan yang menarik tentang hal ini dengan membedakan antara
“Islam Khusus” (al-islâm al-khâshsh) dan “Islam Umum” (al-islâm
al‘âmm) sebagai berikut,
Manusia berselisih tentang orang
terdahulu dari kalangan umat Nabi Musa dan Nabi Isa, apakah mereka itu
orangorang muslim? Ini adalah perselisihan kebahasaan. Sebab “Islam khusus” (al-islâm
al-khâshsh) yang dengan ajaran itu Allah mengutus Nabi Muhammad saw. yang
mencakup syari’at al-Qur’an tidak ada yang termasuk ke dalamnya selain umat Muhammad
saw. Dan al-islâm sekarang secara keseluruhan bersangkutan dengan hal ini.
Adapun “Islam umum” (al-islâm al-‘âmm) yang bersangkutan dengan setiap
syari’at itu Allah membangkitkan seorang nabi maka bersangkutan dengan setiap
umat yang mengikuti seorang nabi dari para Nabi itu.
Dari
penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa agama semua nabi dan rasul adalah satu
dan sama. Sehingga dalam al-Qur’an seperti sudah disebutkan di atas, ada titik
temu agama-agama (Q. 3: 64). Juga dijelaskan bahwa kepada masing-masing umat
telah ditetapkan sebuah syir`ah (jalan menuju kebenaran) dan minhâj (cara
atau metode perjalanan menuju kebenaran). Allah tidak menghendaki adanya
kesamaan manusia dalam segala hal (monolitisisme); itu berarti dengan adanya
perbedaan diharapkan manusia berlomba menuju berbagai kebaikan; dan Allah akan
menilai dan menjelaskan berbagai perbedaan yang ada itu (Q. 5: 48). Prinsip ini
menjadikan Cak Nur maupun Fathi Osman yakin bahwa nilai-nilai Islam bisa
menjadi sumbangan untuk pluralisme global. Fathi Osman dalam akhir buku
berharap agar (h. 109-110),
“Kaum Muslim...membuktikan melalui
pemikiran dan tindakan mereka bahwa mereka dapat melanjutkan dan memajukan
dalam jarak dan kualitas tradisi pluralisme dan globalisme mereka. Mereka dapat
membuktikan kesalahan dan setidaknya pandangan-pandangan yang kelewat
pesimistis dari Bernard Lewis yang tercermin dalam Pelajaran ke-19 Jefferson
dalam ilmu-ilmu humaniora atau “Peradaban Barat: Pandangan dari Timur,” dan
dari Samuel P. Huntington dalam artikelnya “Benturan Peradaban” dalam Urusan
Luar Negeri (musim panas 1993). Keduanya mengeluarkan sejumlah besar energi
dalam menganalisis kompleksitas kontradiksi-kontradiksi yang terakumulasi
antara Islam dan Barat.
Sambil
mengutip Jurnal The Economics secara Fathi Osman menyatakan mengenai
benturan yang dibayangkan Huntington, tidaklah harus dengan konflik baru
Islam-Barat. Justru sebaliknya, energi baru untuk membangun peradaban global
semakin terbuka. Kedua peradaban ini, menurut Fathi Osman, memiliki lebih
banyak kesamaan, daripada perbedaan. Tidak ada alasan yang dapat dikemukakan
bahwa kaum Muslim dan Barat tidak sanggup hidup secara damai satu sama
lain—hanya karena alasan perbedaan pandangan dunia. Secara khusus, kaum Muslim
akan membutuhkan penemuan suatu cara menilai kebiasaan mereka dalam tiga
tuntutan spesifik kehidupan modern (seperti meniru ekonomi modern, menerima ide
kesetaraan jender, belajar menyerap prinsip demokrasi). Fathi Osman juga
menegaskan, tidak ada kerikil penghambat yang fatal pada hal ini; tidak ada
sesuatupun dalam prinsip-prinsip masing-masing peradaban yang menjadikan
harmoni sebagai mustahil. Fathi Osman juga berharap, Barat pun ikut berperan
serta membuat harmoni. Satu sisi, adalah perkara memandang secara jernih
tentang apa yang Eropa dan Amerika ingin capai dalam hubungannya dengan Islam.
Sisi lain, adalah perubahan dalam pandangan hidup orang Barat sendiri, suatu
perubahan yang akan memperluas platform ide-ide bersama di atas apa kedua
peradaban ini berdiri. Yang dimaksud di sini terutama pemahaman Barat tentang
pentingnya segi-segi spiritual dalam peradaban.
Dikutip
dari Budhy Munawar Rachman, selama 12 tahun menjadi asisten Cak Nur untuk pengembangan
pemikiran Islam dalam buku Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan karangan
Mohamed Fathi Usman.
Agar
pembaca dapat mengulas lebih jauh pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi
luring (offline) pdf Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan karangan
Mohamed Fathi Usman di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar