Pages

Minggu, 02 Februari 2020

Hanifiyah, Pluralisme dan Benang Merah Agama




Waktu kuliah di University of Chicago Cak Nur suka merenung di tepi danau Michigan, satu dari 4 danau yang ada di kawasan itu—tempat 90% air tawar dunia. Kata Cak Nur, sungai Nil yang telah menghasilkan peradaban Mesir, tidak sebanding jumlah airnya dengan danau-danau tersebut. Cak Nur merenung mengenai danau-danau ini. Mengapa Tuhan memberikan air yang begitu penting dalam hidup kepada orang Amerika dan Kanada, dan tidak kepada orang Saudi Arabia yang Muslim—misalnya, yang tentu sangat membutuhkan air untuk kehidupan sehari-hari? Cak lalu ingat sebuah firman dalam alQuran, bahwa Tuhan itu akan mewariskan bumi ini kepada orang saleh. Dan Dr. Imaduddin Abdurrahim, sahabat Cak Nur, pernah meloncat kepada kesimpulan, kalau begitu orang Amerika itu lebih saleh daripada orang Arab, buktinya sumber kehidupan bumi malah dikasih kepada orang Amerika dan tidak kepada orang Arab. Renungan di pinggir Danau Michigan ini sangat menggelisahkan Cak Nur beberapa lama, dan memberinya inspirasi bahwa umat Islam tidak bisa begitu saja, taken for granted, menganggap keislaman formal sebagai jaminan. Umat Islam harus bekerja keras mewujudkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan nyata. Semua janji Tuhan dalam al-Qur’an, yang sering dikutip para ulama dan mubalig, pemenuhan-Nya tidak tergantung pada formalitas, tapi kepada esensi—sesuatu yang lebih bersifat maknawi. Renungan itu telah membawa Cak Nur bisa melihat dengan jelas prioritas pentingnya nilai-nilai daripada formalitas keislaman—sebagai organized religion. Dan ketika kembali ke Indonesia pada 1986, Cak Nur pun bersama temanteman seperjuangannya mendirikan Yayasan Paramadina sebagai lembaga yang mengembangkan pemikiran Islam berperspektif pluralis, yang menekankan esensi atau substansi Islam, dimana konstituen pertamanya adalah kelas menengah Muslim.

Tentang Paramadina ini Cak Nur pernah juga merenung,

“Bila konstituen Paramadina adalah kelas menengah, sebenarnya merupakan hal yang natural saja. Karena dalam menguraikan gagasan-gagasan itu kita menggunakan pola-pola ekspresi tertentu, yang disebut ilmiah, akademik, dan lain sebagainya, maka mau tidak mau yang bisa paham adalah kelas menengah. Jadi, kekelasmenengahan Paramadina itu bukanlah tujuan, melainkan efek dari pendekatan yang kita gunakan. Kebetulan juga didu kung oleh teori-teori bahwa perubahan sosial itu berasal dari kelas menengah, yang antara lain muncul dalam teori-teori tentang strategic elites, opinion makers, trend makers, dan lain sebagainya. Istilah-istilah trend makers tersebut berasal dari Emil Salim ketika dia memberikan pidato kehormatan saat pendirian dan pembukaan Paramadina. Sebab kalau tidak begitu, kita tidak akan efisien lagi. Kalau kita ke bawah juga, kita harus siap-siap membagi bahasa. Padahal kita tidak bisa menjadi setiap orang, We cannot be everybody. Kita harus menjadi somebody secara efektif dan committed. Jadi, secara sadar ide-ide Paramadina tidak dimaksudkan untuk bisa dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun, saya kira memang perlu ada semacam lapisan yang berperan menyampaikan ide-ide Paramadina kepada masyarakat yang lebih luas. Setidaknya agar kontroversi akibat kesalahpahaman yang terjadi selama ini dapat dikurangi.”

Buku ini diterbitkan dalam rangka peringatan Milad ke-20 Paramadina, yang jatuh pada Nopember 2006 ini. Sepanjang 1986-2006, Paramadina telah mengembangkan pemikiran pluralisme dengan spektrum yang sangat luas, dan di dalamnya sangat jelas peranan Nurcholish Madjid, salah seorang pendiri Paramadina, yang sepanjang hayatnya, sampai beliau wafat, 29 Agustus 2005, Cak Nur—begitu panggilan akrabnya—sangat perhatian mengenai perkembangan paham pluralisme ini, baik secara teologis, maupun secara aktual. Sementara buku ini ditulis oleh Mohamed Fathi Osman, seorang profesor, yang seperti juga Cak Nur, adalah seorang aktivis internasional yang terus mengadvokasikan pentingnya pluralisme, bukan hanya di dunia Muslim, tapi juga global. Fathi Osman, seperti kita baca dalam buku ini, menyadarkan kita bahwa apa yang sedang terjadi dalam dunia Islam sekarang ini, akan menentukan wajah Islam di masa mendatang—tergantung berhasil atau tidak kita menyemai benih-benih “Islam Peradaban” (sebuah istilah yang dipakai juga oleh Cak Nur).

Pengantar—dan penerbitan buku ini yang dibuat dalam rangka peringatan Milad ke-20 Paramadina—akan mencoba membuat perbandingan antara pikiran Cak Nur dan Fathi Osman, untuk menunjukkan dua hal sekaligus. Pertama, bahwa pikiran-pikiran Cak Nur, jika kita bandingkan dengan Fathi Osman, akan memperlihatkan bahwa pemikiran pluralisme yang dikembangkan Cak Nur selama 20 tahun belakangan ini benar-benar mempunyai signifikansi internasional, dimana pluralisme telah merupakan bagian dari wacana global untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Kedua, dengan perbandingan pikiran-pikiran Cak Nur dan Fathi Osman, kita akan melihat segi apa yang perlu dikembangkan paska pemikiran Nurcholish Madjid. Dalam pengantar ini kita akan mengelaborasi dasar-dasar teologis tentang pluralisme yang telah dikembangkan baik oleh Cak Nur maupun Fathi Osman.

Agama itu Sama dan Berbeda Sekaligus

Berdasarkan sebuah Hadis Bukhari, Rasulullah bersabda, “Aku lebih berhak atas Isa putra Maryam di dunia dan akhirat. Para nabi adalah satu ayah dari ibu yang berbeda-beda dan agama mereka adalah satu. Dari Hadis ini, dan lebih lagi beberapa ayat al-Qur’an berikut, meneguhkan hakikat pandangan pluralisme Cak Nur bahwa, esensi agama (Arab: dîn) dari seluruh rasul adalah sama (Q. 42:13), dan umat serta agama mereka itu seluruhnya adalah umat serta agama yang tunggal (Q. 21:92; 23:52). Kesamaan dan kesatuan semua agama para nabi ditegaskan dalam hadis di atas yang membenarkan bahwa para nabi itu adalah satu saudara lain ibu, namun agama mereka satu dan sama.

Dari sejarah peradaban Islam kita tahu, bahwa rasa keagamaan yang satu ini memanifes dalam pergaulan sosial antara kaum Muslim, Kristen, dan Yahudi; sementara ketiga umat beragama ini menganut agama masing-masing, dan mereka membentuk masyarakat yang satu, di mana perkawanan pribadi, kerja sama bisnis, hubungan guru-murid dalam ilmu, dan bentuk-bentuk aktivitas bersama lainnya berjalan normal dan, sungguh, umum di mana-mana. Kerja sama budaya dan peradaban ini telah terjadi dalam banyak cara. Misalnya, kita dapatkan kamus-kamus biografi pada dokter yang terkenal. Karya-karya ini, meskipun ditulis oleh orang-orang Muslim, mencakup para dokter Muslim, Kristen, dan Yahudi tanpa perbedaan. Dari kumpulan besar biografi itu bahkan dimungkinkan menyusun semacam proposograft dari profesi kedokteran—untuk melacak garis hidup beberapa ratus dokter praktik di Dunia Islam. Dari sumber-sumber ini kita mendapatkan gambaran yang jelas tentang adanya usaha bersama antar agama. Di rumah sakit-rumah sakit dan di tempat-tempat praktik pribadi, para dokter dari tiga agama itu bekerja sama sebagai rekan atau asisten, saling membaca buku mereka, dan saling menerima yang lain sebagai murid.

Para ahli sejarah Islam, di antaranya Bernard Lewis yang pernah menulis sejarah kerja sama yang beradab antara kaum Muslim dan orang orang Yahudi dan Kristen di Spanyol (Andalusia), menyimpulkan bahwa tidak ada kerja sama yang harmonis, di Dunia Barat pada waktu itu, juga di Dunia Islam pada masa kemudian—ketika nilai-nilai pluralisme mulai memudar dalam pandangan Muslim paska peradaban Islam klasik. Karena itu belajar dari sejarah, mengkaji ulang “apa itu pluralisme Islam” sangatlah mendesak. Inilah pesan dasar buku Fathi Osman ini— yang juga merupakan pemikiran plura1isme Cak Nur, yang pernah menjadi isu nasional sepanjang 20 tahun usia Paramadina.

Masalah dasar pluralisme yang dikembangkan Cak Nur, yang sering disebut oleh kalangan penganut filsafat perenial sebagai “Kesatuan Transenden Agama-agama” telah memicu fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk “mengharamkan” pemikiran pluralisme. Pengharaman ini tentu saja mengherankan, karena sebenarnya dasar teologis pandangan kesatuan dan kesamaan agama-agama itu ada pada tingkat transenden (esoterik, hakikat), bukan imanen (syari’at).

Debat Fatwa MUI ini telah menjadi kontraproduktif, dan membuat pendalaman pemikiran pluralisme sebagai filsafat maupun teologi—yang memang bisa mempunyai banyak interpretasi menjadi terhalang. Akibat Fatwa MUI itu, timbullah kesan seolah-olah pluralisme menjadi pemikiran yang merusak agama, padahal pluralisme adalah fondasi dalam membangun masyarakat demokratis, seperti sering dikatakan Cak Nur, bahwa paham pluralisme adalah bagian amat penting dari tatanan masyarakat maju. Dalam paham inilah dipertaruhkan, antara lain, sehatnya demokrasi, keterbukaan, dan keadilan. Pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok lain untuk ada, tetapi juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati (sejalan dengan Q., 60: 8). Dalam buku ini Fathi Osman juga menegaskan makna pluralisme (h. 2-3),

Pluralisme adalah bentuk kelembagaan di mana pene rimaan ter hadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan. Maknanya lebih dari sekadar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Toleransi adalah persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, sementara koeksistensi adalah semata-mata penerimaan terhadap pihak lain, yang tidak melampaui ketiada an konflik. Pluralisme, di satu sisi, mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan dan legal yang melindungi dan mengesahkan kesetaraan dan mengembangkan rasa persaudaraan di antara manu sia sebagai pribadi atau kelompok, baik ukuran-ukuran itu bersifat bawaan ataupun perolehan. Begitu pula, pluralisme menuntut suatu pendekatan yang serius terhadap memahami pihak lain dan kerja sama yang membangun untuk kebaikan semua. Semua manusia seharusnya menikmati hak-hak dan kesempatan-kesempatan yang sama, dan seharusnya memenuhi kewajiban-kewajiban yang sama sebagai warga negara dan warga dunia. Setiap kelompok semestinya memiliki hak untuk berhimpun dan berkembang, memelihara identitas dan kepentingannya, dan menikmati kesetaraan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam negara dan dunia internasional.

Cak Nur, dalam debat pluralisme di Indonesia selalu menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan memperoleh manfaat besar dalam usaha transformasi sosialnya menuju demokrasi, keterbukaan, dan keadilan itu, jika pluralisme itu dapat ditanamkan dalam kesadaran kaum Muslim yang merupakan golongan terbesar warga negara. Artinya bagi Cak Nur, dengan menyadari kenyataan bahwa bagian terbesar bangsa kita adalah orang-orang Muslim, maka maju atau mundurnya bangsa Indonesia, tentu akan mempunyai dampak positif atau negatif kepada agama Islam dan orang-orang Muslim, termasuk dampak kredit dan diskredit. Kredit kepada Islam dan kaum Muslim di Indonesia jika negeri ini maju, atau diskredit jika ia tetap terbelakang. Oleh karena itu, suatu kesimpulan truistik dan sederhana pernah dilakukan Cak Nur, bahwa tidak ada jalan lain bagi bangsa Indonesia, khususnya kaum Muslim, untuk membuat negeri ini maju, makmur, kuat, dan modern, demi kehormatannya sebagai “Bangsa Muslim terbesar di muka bumi”, para ahli sejarah mengembangkan pluralisme dan demokrasi secara sungguh-sungguh.

Maka kembali kepada gagasan pluralisme. Pluralisme adalah suatu keharusan, apalagi dalam pluralisme itu ada ruang untuk dialog, dan komitmen yang tulus kepada nilai-nilai bersama kewarganegaraan (civic values). Seperti pernah ditegaskan oleh Cak Nur,

... Pluralisme tidak dapat hanya dipahami dengan mengatakan bahwa masyarakat kita adalah majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggam barkan kesan fragmentasi. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai. “kebaikan negatif” (negative good), hanya di tilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatanikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam Kitab Suci bahkan disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia “...Sekiranya Allah tidak menahan suatu golongan atas golongan yang lain, niscaya binasalah bumi ini. Tetapi, Allah penuh karunia atas semesta alam,” (Q, 2:251).

Jelaslah, baik Cak Nur maupun Fathi Osman dalam buku ini menegaskan bahwa pluralisme adalah bagian dari peradaban, yang secara teologis, didasarkan pada konsep kesamaan dasar (common platform, kalimat-unsawd) agama-agama. Sementara dîn atau esensi agama itu sama; kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia Allah menetapkan syir’ah (atau syarî’ah, yakni, jalan) dan manhâj (cara) yang berbeda-beda. Perbedaan agama-agama ini secara teologis memang disebabkan karena Allah tidak menghendaki umat manusia itu satu dan sama semua dalam segala hal. Allah malah menghendaki agar manusia dalam perbedaan yang bisa membawa rahmat ini, saling berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan. Al-Qur’an menurut Cak Nur dan Fathi Osman menegaskan bahwa nanti seluruh umat manusia akan kembali kepada Allah dan kelak Dialah yang akan membeberkan hakikat perbedaan antara manusia itu (Q. 5:48). Sehingga, bukan hanya kesatuan yang merupakan esensi agamaagama, tetapi perbedaan juga merupakan kenyataan yang harus dihormati, bahkan dikembangkan untuk kemaslahatan bersama.

Perbedaan itu terutama ada pada ritus dan simbolisme keagamaan, atau dalam istilah al-Qur’an disebutkan bahwa untuk setiap umat telah ditetapkan Allah upacara-upacara keagamaan atau mansak (jamak: manâsik), yang harus mereka laksanakan (Q. 22:34 dan 68). Dan setiap umat mempunyai wijhah (titik “orientasi”, tempat mengarahkan diri), yang disimbolkan dalam konsep tentang tempat suci, waktu suci, hari suci, dan seterusnya. Pikiran seperti ini sekarang dalam fenomenologi agama dikembangkan sebagai “Gagasan tentang Yang Suci” (Mircea Eliade). Yang menarik, dan seringkali kaum Muslim melupakannya, bahwa al-Qur’an begitu menegaskan, agar manusia tidak perlu mempersoalkan adanya wijhah untuk masing-masing golongan itu, karena yang penting ialah manusia berlomba-lomba menuju berbagai kebaikan (fastabiq-û‘l-khayr-ât). Di manapun manusia berada, Allah nanti akan mengumpulkan semua mereka menjadi satu (jamî‘an). Jadi, di sini ada argumen untuk “kesatuan” dan “keberbedaan” agamaagama sekaligus. Dan keduanya mempunyai makna yang pentig dalam memecahkan masalah hubungan antaragama. Pengertian dan pengelolaan sosial persamaan dan perbedaan agama-agama ini sangat diperlukan, terutama dalam membangun suasana kemasyarakatan yang terbuka dan bebas, yang memungkinkan para warganya untuk mengingatkan satu sama lain tentang kebenaran dan ketabahan dalam hidup, yaitu ketabahan perjuangan bersama mewujudkan kebenaran dan keadilan (misalnya cita-cita sosial kebangsaan).

Dalam sejarah etika politik kita tahu, bahwa untuk memberi ruang bebas bagi adanya pengawasan sosial itu, negara-bangsa ditegakkan atas dasar keseimbangan kekuatan-kekuatan yang saling mengendalikan dan mengawasi, dan mencegah dominasi suatu kekuatan mana pun. Di sini baik Cak Nur maupun Fathi Osman sepakat bahwa hukum keseimbangan antara manusia adalah anugerah Allah yang amat besar sehingga bumi terhindar dari kehancuran. Kalaulah Allah tidak menolak (mengimbangi) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, maka pastilah bumi hancur. Tetapi, Allah memiliki kemurahan kepada seluruh alam (Q. 2: 251). Bumi manusia ini bisa bertahan karena berjalan nya hukum keseimbangan. Karena itu, mengusahakan terciptanya kekuatan-kekuatan yang seimbang antara masyarakat manusia, baik secara nasional ataupun global merupakan keharusan. Itu sebabnya seni mengelola perbedaan itu sangat penting.

Oleh karena itulah, tentang “perbedaan agama-agama” seperti ditegaskan Fathi Osman (h. 27), “Manusia... harus menangani perbedaan-perbedaan dalam dunia ini dengan cara terbaik semampu mereka, sembari menyerahkan penilaian akhir mengenai apa yang secara mutlak benar atau salah kepada Tuhan, karena tidak ada satu pun cara mencapai kesepakatan atas kebenaran yang mutlak, sebagaimana telah ditekankan berulang-ulang dalam alQur’an” (lihat misalnya, Q. 2:113; 3:55; 5:48; 6:164; 10:93; 16:92, 124: 22:69; 32:25; 39:3, 46; 45:17). Namun demikian, menurut Fathi Osman, walaupun terdapat penekanan yang berulang-ulang ini, selalu saja ada orang-orang yang memainkan peranan Tuhan sebagai pemilik satu-satunya kebenaran.

Penegasan untuk menangani perbedaan-perbedaan dengan cara terbaik, itu berarti manusia harus mendiskusikan perbedaanperbedaan mereka dengan cara yang masuk di akal, sementara tetap menyadari akan kemajemukan mereka. Dalam perkaraperkara keduniawian, mereka dapat mengatasi perbedaanperbedaan mereka dengan mencapai mayoritas untuk suatu pandangan tertentu, tetapi dalam perkara agama, kebebasan beragama harus dijamin untuk setiap manusia. Dialog antara keyakinan dapat diarahkan untuk mencapai pengertian yang lebih baik mengenai “yang lain” sembari menampik pemaksaan menyakitkan dan tidak adil terhadap keyakinan. Fathi Osman menegaskan, bahwa al-Qur’an mengajarkan bahwa dialog semacam ini harus diselenggarakan dalam cara yang paling konstruktif baik dari segi metode maupun moral (Q. 16:125; 29:46). Tidak boleh ada kelompok yang mengarahkan argumennya atas dasar premis bahwa argumennya adalah satu-satunya yang mewakili seluruh kebenaran!

Tidak boleh adanya klaim kebenaran mutlak dalam masyarakat inilah yang membuat masyarakat menjadi terbuka. Keterbukaan dengan sendirinya mengandung pengertian kebebasan. Dan logika dari kebebasan ialah tanggung jawab. Seseorang disebut bebas apabila ia dapat meyakini dan melakukan sesuatu seperti dikehendakinya sendiri atas pilihan serta pertimbangannya sendiri, sehingga orang itu secara logis dapat dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Seseorang yang melakukan sesuatu karena terpaksa dengan sendirinya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya itu. Dalam filsafat dikatakan, bahwa tanggung jawab dalam kaitannya dengan kebebasan melibatkan beberapa persyaratan— dan ini juga merupakan persyaratan bagi mungkinnya kebebasan dalam beragama.

Agama Peradaban

Dalam banyak kesempatan dalam perkuliahan Cak Nur di Paramadina, maupun Fathi Osman dalam buku ini menegaskan bahwa agama alam semesta ialah al-islâm, sikap pasrah yang total kepada Sang Maha Pencipta. Kitab Suci memberikan ilustrasi tentang ketundukan, ketaatan, dan kepasrahan alam semesta kepada Tuhan (misalnya Q. 41: 11; 55:5-6; 17:44). Dari segi tashrîf, perkataan “islâm” adalah mashdar atau “kata benda kerja” (verbal noun) dari kata kerja “aslam-a—yuslim-u”, sama halnya dengan perkataan “imân” yang merupakan mashdar dari kata kerja “âman-a—yu’min-u” yang artinya “memercayai” atau “memasrahkan” atau “bersikap pasrah” dan “memercayai” atau “sikap percaya”. Oleh karena itu, kata “iman” dalam bahasa Indonesia dapat dinyatakan sebagai “ber-imân” (beriman) dan “ber-islâm” (berislam), yang akan mewujudkan bimbingan Ilahi.

Pada setiap pribadi manusia, wujud bimbingan Ilahi itu dimulai dengan adanya—seperti sudah dikemukakan di atas— perjanjian primordial yang terjadi sebelum lahir ke bumi dalam suatu kesaksian dan pengakuan oleh manusia bahwa Allah, Tuhan Yang Maha Esa, adalah Tuan (Rabb) manusia. Kesaksian dan pengakuan itu mengandung makna kesediaan untuk tunduk, patuh, taat dan pasrah, atau ber-islâm kepada-Nya. Seluruh tindakan manusia di dunia akan dipertanggungjawabkan kelak di Hari Kiamat (Q. 7:172). Adanya perjanjian itu juga digambarkan dalam ayat-ayat yang lain, baik langsung maupun tidak langsung, seperti dalam Q. 36:60 yang artinya, “Bukankah telah Aku ikat janji kepada kamu sekalian, wahai anak cucu Adam, bahwa kamu janganlah mengabdi kepada setan, sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.”

Maka menurut Cak Nur maupun Fathi Osman, berdasarkan perjanjian ini, tidak ada sifat kemanusiaan yang lebih asasi daripada naluri untuk mengabdi, atau hasrat alami untuk menyembah. Jika naluri alamiah itu tidak tersalurkan dengan baik dan benar, manusia cenderung akan menempuh jalan keburukan dan kesesatan. Ia berpotensi untuk lupa akan perjanjian primordialnya dengan Tuhan, yang berarti lupa akan hati nurani, atau dasar bersama kemanusiaan. “Lupa akan hati nurani” inilah yang menjadi sumber malapetaka kemanusiaan, yang sudah kita lihat dalam sejarah manusia.

Jadi, merupakan sebuah kehormatan bahwa kita manusia, dengan ketajaman nurani, dipercaya Tuhan untuk dapat mengetahui mana yang baik dan yang buruk. Seseorang tidak harus dipaksa asalkan memiliki ketajaman seperlunya untuk mengetahui mana yang baik dan buruk, sehingga ia akan tahu cara hidup yang baik. Inilah awal proses pembebasan diri.

Proses pembebasan diri dalam Islam dimulai dengan penegasan kepada diri sendiri bahwa memang “tidak ada suatu tuhan apa pun, selain Tuhan Yang Maha Esa”. Tuhan yang Maha Esa adalah Wujud Mutlak yang benar-benar Mutlak; sehingga mutlak pula untuk tidak ada bandingan atau padanan, tidak dapat digambar, apalagi dilukis, karena “Dia menangkap pandangan manusia namun pandangan manusia tidak dapat menangkapNya,” (Q. 6:33). Itulah makna kalimat persaksian atau syahâdah pertama ketika seseorang ber-Islâm. Cak Nur pernah mengutip Ibn Taymiyah yang menegaskan bahwa, syahadat pertama itu merupakan pembebasan diri dari segala sesuatu selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang terdiri dari tuhan-tuhan palsu, baik berupa kecenderungan diri sendiri (hawâ al-nafs), atau ketaatan kepada sesama makhluk atau lain-lainnya.

Akibat adanya perjanjian primordial di atas, yang meneguhkan nurani kemanusiaan, dalam penafsiran pluralis Cak Nur, diyakini bahwa dalam diri manusia terdapat bibit kesucian dan kebaikan yang muncul sejak dari penciptaan asal yang suci (fithrah) dan yang berkecenderungan suci (hanîf). Fithrah tidak akan berubah sepanjang masa, karena sifat tersebut merupakan lokus bagi kearifan abadi (al-hikmah al-khâlidah, sophia perenis). Akan tetapi, sekalipun setiap pribadi manusia dilahirkan dalam fitrah yang suci, tidak selamanya manusia memiliki sensitivitas fitrah yang diperlukan untuk menangkap kebenaran. Hal ini dikarenakan oleh timbunan dan tumpukan tebal puing-puing pengalaman hidup sosial dan budaya lingkungannya. Dalam sebuah hadis terkenal, Rasulullah saw. bersabda bahwa setiap anak dilahirkan dalam fitrah (kesucian), namun kedua orangtuanyalah yang dapat membuat anak itu menyimpang dari fitrah. Dalam konteks ini orangtua adalah wakil lingkungan sosial budaya sekitar, yang melalui mereka seorang anak dapat bersinggungan, berkenalan dan kemudian menyertai pola-pola kehidupan yang belum tentu sesuai dengan fitrah. Oleh karena itu, mengapa paham pluralisme betul-betul diperlukan, adalah untuk menghindari kecenderungan menjauhnya manusia dari fitrah kemanusiaan ini. Dengan pluralisme ada check and balances.

Kita tahu, dalam sistem demokrasi itu mutlak diperlukan pengawasan (check), karena demokrasi merupakan sistem yang terbuka untuk semua pemeran-serta (partisipan), dan tidak dibenarkan sama sekali diserahkan kepada keinginan pribadi atau kebijaksanaannya—betapapun arifnya orang itu. Di samping itu juga diperlukan pengimbangan (balance), karena sistem masyarakat dapat dikatakan demokratis hanya jika terbuka kesempatan bagi setiap kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi, apa pun dan bagaimanapun caranya, dan tidak boleh dibiarkan adanya unsur sebagian yang mendominasi keseluruhan. Mekanisme check and balance inilah yang membuat demokrasi, tidak menjadi “tirani mayoritas.” Sebab dengan mekanisme ini terciptalah sebuah sistem yang dalam dirinya terkandung kemampuan mengoreksi dan meluruskan dirinya sendiri, serta mendorong pertumbuhan dan perkembangannya ke arah yang lebih baik, dan terus lebih baik.

Seperti pernah dikemukakan Cak Nur, demokrasi memang berpangkal pada pribadi-pribadi yang berkemauan “baik”. Tetapi, karena sifatnya yang pribadi itu, kemauan atau itikad baik dapat dipandang sebagai “rahasia”’ yang menjadi urusan pribadi orang bersangkutan. Artinya, suatu maksud baik pribadi hanya akan mempunyai fungsi sosial jika diwujudkan dalam tindakan bermasyarakat yang berdimensi sosial juga, yang tidak dapat dipertaruhkan hanya kepada keinginan baik atau aspirasi pribadi. Sehingga perlunya mekanisme sosial check and balance ini tidak boleh diremehkan, karena selalu ada kemungkinan seorang pribadi dikuasai oleh kepentingan dirinya sendiri atau didikte oleh vested interest-nya, menuju kepada tirani. Check and balance adalah mekanisme yang efektif untuk terjadinya proses saling mengingatkan tentang apa yang benar demi kebaikan bersama. Dan pada urutannya, proses serupa itu memerlukan kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul, dan berserikat.

Meskipun manusia dapat menggunakan akal untuk bertahan pada fitrah, tidak semua kebenaran dan kebaikan hakiki dapat ditangkapnya. Akal merupakan perlengkapan hidup manusia sebagai anugerah yang amat penting dari Tuhan. Manusia diperintahkan untuk menggunakan akalnya (fides quaeren intellectum, iman membutuhkan rasionalitas), karena dengan itu ia dapat menempuh jalan ke arah kebenaran dan kebaikan. Akan tetapi, akal melulu tidak akan cukup untuk menangkap dan memahami kebenaran hakiki, lebih-lebih lagi tentang Tuhan Yang Maha Esa, karena tidak semua kebenaran berwujud empirik dan rasional. Di sini lah manusia memerlukan uluran tangan Tuhan, dengan petunjuk dan hidayah-Nya berupa pengajaran atau berita (Arab: naba’), melalui seseorang yang dipilih-Nya sebagai penerima berita (Arab: nabî) seperti sudah dikemukakan di atas.

Sebagian nabi diberi tugas selaku utusan Tuhan untuk menyampaikan berita Ilahi kepada manusia. Kemudian manusia diseru untuk sepenuhnya ajaran kepatuhan (Arab: dîn) kepada Tuhan (al-is1âm) dengan hasrat menangkap kebenaran dan kesucian (hanîf) sesuai dengan fitrahnya. Oleh karena manusia sering terbelenggu oleh kepercayaan-kepercayaan palsu, Tuhan mengutus utusan kepada setiap umat tanpa kecuali, dengan tugas suci yang sama, yaitu menyeru manusia untuk hanya berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat yang sama, seruan tersebut juga untuk menolak kekuatan-kekuatan jahat yang membelenggu manusia dan merampas kebebasannya, yang disebut al-Quran, thâghût, khususnya yang berbentuk sasaran kebaktian palsu dalam sistem kepercayaan-kepercayaan palsu (Q. 16:36). Seperti telah dikatakan di muka, tidak ada satu umat pun melainkan padanya pernah tampil pembawa peringatan (Q. 35:24). Jadi, tugas para Nabi dan Rasul adalah mengajak manusia hidup tunduk, patuh, taat, dan pasrah kepada Tuhan. Atas dasar itu, al-islâm, atau ajaran pasrah kepada Allah secara sukarela dan damai, adalah ajaran dan agama semua Nabi yang diterima dari Tuhan.

Di sini Cak Nur dengan pikiran-pikiran pluralismenya, sebenarnya telah meliberalkan pikiran yang sering dikutipnya dari Ibnu Taymiyah dalam al-Jawâb al-Shahîh li-man Baddal-a Dîn al-Masîh, yang mengemukakan bahwa “Pangkal al-islâm ialah persaksian bahwa `Tidak ada suatu tuhan apa pun selain Allah, Tuhan yang sebenarnya; dan persaksian itu mengandung makna penyembahan hanya kepada Allah semata dan meninggalkan penyembahan kepada selain Dia. Inilah al-islâm al-‘âmm (Islam umum, universal) yang Allah tidak menerima ajaran ketundukan selain daripadanya… Maka semua nabi itu dan para pengikut mereka, seluruhnya disebut oleh Allah bahwa mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah, ‘Barangsiapa menganut suatu dîn selain al-islâm maka tidak akan diterima daripadanya al-dîn dan di akhirat dia termasuk yang merugi,’ (Q. 3: 85) dan firmanNya, ‘Sesungguhnya al-dîn di sisi Allah ialah al-islâm,’ (Q. 3:19) tidaklah khusus tentang orang-orang (masyarakat) yang kepada mereka Nabi Muhammad saw. diutus, melainkan hal itu merupakan suatu hukum umum (hukm ‘âmm, ketentuan universal) tentang manusia masa lalu dan manusia kemudian hari.” Penafsiran universalisme Islam ini memberi fondasi yang kokoh untuk kosmopolitanisme Islam, yang wujud dalam bentuk peradaban. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan, kalau Cak Nur maupun Fathi Osman menyebut Islam sebagai “Agama Peradaban”.

Di sini perlu digarisbawahi bahwa sekalipun para nabi dan rasul mengajarkan pandangan hidup yang disebut al-islâm, tidaklah berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara harfiah ajaran (agama) mereka sebagai al-islâm dan mereka sebagai orang-orang muslim. Sebab semua itu adalah peristilahan dalam bahasa Arab, sementara para nabi dan rasul, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, dibangkitkan Allah dengan menggunakan bahasa kaumnya masing-masing (Q.14:4). Oleh karena itu, penyebutan para nabi dan rasul beserta para pengikut mereka sebagai orang-orang muslim dan ajaran atau agama mereka sebagai al-islâm dalam arti generik, tetap benar dan dibenarkan, hanya saja sedikit melibatkan masalah kebahasaan. Dalam kenyataannya, yang ada adalah mereka yang beragama Yahudi, Kristiani, Hindu, Buddha, Taoisme, dan sebagainya.

“Apalah artinya sebuah nama” Kata William Shakespeare. Ibn Taymiyah−sering dikutip Cak Nur—memberi penjelasan yang menarik tentang hal ini dengan membedakan antara “Islam Khusus” (al-islâm al-khâshsh) dan “Islam Umum” (al-islâm al‘âmm) sebagai berikut,

Manusia berselisih tentang orang terdahulu dari kalangan umat Nabi Musa dan Nabi Isa, apakah mereka itu orangorang muslim? Ini adalah perselisihan kebahasaan. Sebab “Islam khusus” (al-islâm al-khâshsh) yang dengan ajaran itu Allah mengutus Nabi Muhammad saw. yang mencakup syari’at al-Qur’an tidak ada yang termasuk ke dalamnya selain umat Muhammad saw. Dan al-islâm sekarang secara keseluruhan bersangkutan dengan hal ini. Adapun “Islam umum” (al-islâm al-‘âmm) yang bersangkutan dengan setiap syari’at itu Allah membangkitkan seorang nabi maka bersangkutan dengan setiap umat yang mengikuti seorang nabi dari para Nabi itu.

Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa agama semua nabi dan rasul adalah satu dan sama. Sehingga dalam al-Qur’an seperti sudah disebutkan di atas, ada titik temu agama-agama (Q. 3: 64). Juga dijelaskan bahwa kepada masing-masing umat telah ditetapkan sebuah syir`ah (jalan menuju kebenaran) dan minhâj (cara atau metode perjalanan menuju kebenaran). Allah tidak menghendaki adanya kesamaan manusia dalam segala hal (monolitisisme); itu berarti dengan adanya perbedaan diharapkan manusia berlomba menuju berbagai kebaikan; dan Allah akan menilai dan menjelaskan berbagai perbedaan yang ada itu (Q. 5: 48). Prinsip ini menjadikan Cak Nur maupun Fathi Osman yakin bahwa nilai-nilai Islam bisa menjadi sumbangan untuk pluralisme global. Fathi Osman dalam akhir buku berharap agar (h. 109-110),

“Kaum Muslim...membuktikan melalui pemikiran dan tindakan mereka bahwa mereka dapat melanjutkan dan memajukan dalam jarak dan kualitas tradisi pluralisme dan globalisme mereka. Mereka dapat membuktikan kesalahan dan setidaknya pandangan-pandangan yang kelewat pesimistis dari Bernard Lewis yang tercermin dalam Pelajaran ke-19 Jefferson dalam ilmu-ilmu humaniora atau “Peradaban Barat: Pandangan dari Timur,” dan dari Samuel P. Huntington dalam artikelnya “Benturan Peradaban” dalam Urusan Luar Negeri (musim panas 1993). Keduanya mengeluarkan sejumlah besar energi dalam menganalisis kompleksitas kontradiksi-kontradiksi yang terakumulasi antara Islam dan Barat.

Sambil mengutip Jurnal The Economics secara Fathi Osman menyatakan mengenai benturan yang dibayangkan Huntington, tidaklah harus dengan konflik baru Islam-Barat. Justru sebaliknya, energi baru untuk membangun peradaban global semakin terbuka. Kedua peradaban ini, menurut Fathi Osman, memiliki lebih banyak kesamaan, daripada perbedaan. Tidak ada alasan yang dapat dikemukakan bahwa kaum Muslim dan Barat tidak sanggup hidup secara damai satu sama lain—hanya karena alasan perbedaan pandangan dunia. Secara khusus, kaum Muslim akan membutuhkan penemuan suatu cara menilai kebiasaan mereka dalam tiga tuntutan spesifik kehidupan modern (seperti meniru ekonomi modern, menerima ide kesetaraan jender, belajar menyerap prinsip demokrasi). Fathi Osman juga menegaskan, tidak ada kerikil penghambat yang fatal pada hal ini; tidak ada sesuatupun dalam prinsip-prinsip masing-masing peradaban yang menjadikan harmoni sebagai mustahil. Fathi Osman juga berharap, Barat pun ikut berperan serta membuat harmoni. Satu sisi, adalah perkara memandang secara jernih tentang apa yang Eropa dan Amerika ingin capai dalam hubungannya dengan Islam. Sisi lain, adalah perubahan dalam pandangan hidup orang Barat sendiri, suatu perubahan yang akan memperluas platform ide-ide bersama di atas apa kedua peradaban ini berdiri. Yang dimaksud di sini terutama pemahaman Barat tentang pentingnya segi-segi spiritual dalam peradaban.

Dikutip dari Budhy Munawar Rachman, selama 12 tahun menjadi asisten Cak Nur untuk pengembangan pemikiran Islam dalam buku Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan karangan Mohamed Fathi Usman.

Agar pembaca dapat mengulas lebih jauh pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi luring (offline) pdf Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan karangan Mohamed Fathi Usman di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer