3 Kamar, 3
Kepala, 3 Ideologi
Mungkin
kalimat itulah yang tepat menggambarkan bagaimana perjalanan tiga sahabat
karib, Soekarno, Muso dan Kartosoewiryo hasil didikan Tjokroaminoto. Sebagai
sebuah sejarah tentu menyimpan banyak kenangan dan romansa masa lalu, begitu
pula kisah tiga sahabat yang mewarnai lika-liku perjalanan Indonesia.
Bung
Karno ibarat samudra, laksana hutan belantara. Semakin dalam menyelami, semakin
banyak saja ragam cerita di dalamnya. Begitu banyak sisi kehidupan, perjuangan,
dan kepribadian Putra Sang Fajar yang barangkali belum banyak diketahui
masyarakat, apalagi generasi muda.
Padahal,
sisi pribadi presiden pertama RI ini terlalu menarik untuk dilewatkan. Mulai
dari surat-surat cintanya yang menyihir, kepingan-kepingan diplomasi yang
tersembunyi, orator ulung yang menghipnotis Bangsa Indonesia, pemimpin lokal
yang mengglobal diseganai di seluruh dunia, bahkan beberapa rencana pembunuhan
presiden, kontroversi surat wasiat politik Bung Karno, dan masih banyak lagi.
Oke, mari kita mulai pembahasan tiga sahabat di atas.
Imam
Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo, yang lebih populer dengan panggilan
Kartosoewiryo adalah sahabat karib Soekarno. Kawan mereka yang lain adalah
Muso. Dahulu tiga, sekawan ini pernah sama-sama indekos di rumah Tjokroaminoto
di Surabaya. Tjokro menjadi guru ketiganya. Soekarno cocok berdiskusi dengan
Kartosoewiryo dan juga Muso.
Mereka bertiga
bertetangga kamar. Saat Soekarno berlatih orasi hingga larut malam, Semaun lah
yang jadi 'juri' penilai nya. Semaun seringkali meniru-niru gaya pidato
Soekarno sambil tertawa ngakak. Sekarmadji ikut nimbrung setelah selesai
mengaji Alquran di kamarnya.
Semaun
adalah pemuda yang luar biasa ia sudah mengenal politik saat masih usia 14
tahun. Semaun yg beraliran sosialis dan pengagum Karl Marx pernah bergabung
dengan Sarekat Islam yang dipimpin Tjokroaminoto dan menjadi ketua cabang di
Semarang di usia belum genap 20 tahun. Semaun kemudian keluar karena berbeda
pandangan dan menjadi salah satu pendiri Partai Komunis Indonesia. Sementara
Sekarmadji yang alim dan cenderung pendiam, bercita-cita mendirikan negara
Indonesia berlandaskan Islam.
Siapa sangka,
tiga sekawan itu kemudian pun menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan negeri ini.
Mereka menjadi pemimpin partai dan organisasi yang diikutinya. Soekarno menjadi
tokoh nasionalis, Semaun menjadi pentolan komunis dan Sekarmadji teguh dengan
islamis. Jalan hidup dan ideologi yang berbeda menjadikan mereka seteru pasca
kemerdekaan. Tiga sekawan itupun berada di persimpangan jalan. Saat usia
republik masih sangat belia, tahun 1948 di Madiun, Semaun bersama Muso
mendeklarasikan Republik Sosialis Sovyet Indonesia. Semaun menantang Soekarno
yang diproklamirkan menjadi presiden pertama RI. Soekarno pun tidak tinggal
diam. Batalyon Siliwangi yang terkenal dengan kemampuan mumpuni saat perang
kemerdekaan dikerahkan ke Madiun untuk memadamkan pemberontakan PKI yang dicetuskan
sahabat yang dulu rajin mendengar orasinya itu bersama penghuni kost yg
lainnya, Muso.
Kartosoewiryo
dan Soekarno di Persimpangan Jalan
Konflik
antara Kartosoewiryo dan Soekarno makin meruncing. Dalam buku Holk H. Dengel, Darul
Islam NII dan Kartosoewiryo (1995), dikisahkan sang imam bahkan tega
memberikan instruksi untuk membunuh Soekarno.
Begini isi perintah Kartosoewiryo kepada anak buahnya,
“Di Indonesia ada RI dan NII. Dengan begitu ada dua presiden. Maka dari itu, Soekarno harus dibunuh.”
“Di Indonesia ada RI dan NII. Dengan begitu ada dua presiden. Maka dari itu, Soekarno harus dibunuh.”
Persahabatan
keduanya berubah menjadi permusuhan. Sebagaimana tertuang dalam surat tuntutan
sidang Kartosoewiryo, upaya pembunuhan terhadap Bung Karno salah satunya
terjadi pada Juni 1961 di daerah Galunggung. Saat itu, Kartosoewiryo
memerintahkan kepada Mardjuk, seorang bawahannya, untuk membunuh Bung Karno.
Mardjuk
melaporkan perintah pembunuhan Soekarno kepada Taruna dan Budi, dua sekretaris
pribadi Kartosoewiryo. Kepada Mardjuk diberikan gigi Kartosoewiryo sebagai
sejenis surat kuasa. April 1962, Mardjuk memerintahkan kepada Sanusi, Abudin,
Djaja, Napdi, dan Kamil untuk membunuh Presiden Soekarno.
Kemudian,
pada 14 Mei 1962, saat Idul Adha, Sanusi menembakkan pistolnya ke arah Bung
Karno saat sang Presiden shalat di halaman istana. Pembunuhan gagal, Soekarno
selamat. Beberapa jamaah shalat Idul Adha terluka, ada yang tertembak di bahu
dan punggung.
Penembakan
yang dilakukan dari jarak sekitar 7 meter (penembak berada di saf ketujuh),
meleset. Padahal penembak ini adalah penembak jitu andalan DI/NII. Jalan
kematian memang bukan kuasa manusia. Tidak heran jika dalam pengakuan, penembak
menjadi samar. Yang dilihatnya adalah bayang-bayang sosok Soekarno yang
bergeser-geser, dari satu posisi ke posisi lain. Karena itulah, tembakannya pun
menjadi ngawur.
Dalam
sidang, Sanusi Firkat alias Usfik, Kamil alias Harun, Djajapermana alias
Hidajat, Napdi alias Hamdan, Abudin alias Hambali, dan Mardjuk bin Ahmad
dijatuhi hukuman mati. Percobaan pembunuhan ini bukan yang pertama. Perintah
yang sama diberikan kepada Agus Abdullah disertai sebelas peluru. Namun,
Abdullah tidak melaksanakan perintah itu. Soekarno juga digranat di Cikini dan
coba dihadang di beberapa tempat, tetapi selalu gagal.
Akhirnya,
Kartosoewiryo ditangkap tentara Siliwangi saat bersembunyi dalam gubuk di
Gunung Rakutak, Jawa Barat, 4 Juni 1962. Pengadilan memvonis mati
Kartosoewiryo. Soekarno menolak grasi mantan sahabat yang sudah mencoba
berkali-kali membunuhnya itu. Imam besar ini akhirnya meninggal di depan regu
tembak pada September di tahun yang sama.
Canda Masa
Lalu Begitu Terasa
Bayangan
canda dan saling ledek antara mereka, benar-benar menjadi unsur pemberat ketika
ia harus memutuskan eksekusi mati bagi sahabat lamanya.
Penolakan grasi bukannya dengan mudah keluar dari
sanubari Soekarno. Bayangan masa lalu, Bayangan Persahabatan di Gang Peneleh
Surabaya, masih begitu lekat.
Syahdan, pasca eksekusi mati, Bung
Karno secara khusus memanggil regu tembak pelaksana tugas hukuman mati.
Berulang Kali Bung Karno melempar tanya,
“Bagaimana sorot matanya!”... “Bagaimana sorot matanya!”... Bagaimana sorot matanya!”
“Bagaimana sorot matanya!”... “Bagaimana sorot matanya!”... Bagaimana sorot matanya!”
Bingung mereka menjawab pertanyaan
Presiden yang bertubi-tubi itu. Ajudan spontan meredakan ketegangan, “sorot
mata Kartosoewiryo tajam. Setajam tatapan harimau, Pak.” Barulah Bung Karno
menarik napas lega dan melempar tubuh ke sandaran kursi.
Sikap Bung
Karno tadi dimaknai, bahwa ia lega, sahabat lamanya tidak berubah. Keukeuh pada
pendirian. Sebuah sikap yang sama seperti yang ia anut. Ia pun mendoakan
keselamatan arwah Kartosoewiryo.
Soekarno
Merenung
Soekarno
menangis menyaksikan teman mondoknya di Surabaya itu di eksekusi. Usai kematian
kedua sahabatnya itu. Sang proklamator banyak merenung. Ia berusaha menyatukan
pemikirannya dengan pemikiran Semaun dan Sekarmadji. Soekarno kemudian
mencetuskan Nasional, Agama dan Komunis (Nasakom) untuk menjadi landasan hidup
bernegara. Namun, nasib Soekarno sendiri kemudian juga harus berakhir
mengenaskan terkena gelombang intrik politik pasca peristiwa G30S PKI.
Meski
berbeda pandangan, ketiga tokoh itu bisa menjadi menonjol dan menjadi pemimpin
besar tak lepas dari peran "sang guru" pemilik kost-kostan yakni
Tjokroaminoto.
Pesan yang
selalu diingat oleh murid-murid nya termasuk tiga sekawan ini adalah kata-kata
:
Jika kalian ingin jadi Pemimpin Besar, menulislah
seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.
Tiga sekawan
ini menjalankan benar-benar pesan itu. Mereka sama-sama piawai menulis dan
menjadi 'singa' diatas podium. Sayang, ketiganya harus berpisah jalan karena
ideologi yang berbeda
Dikutip dari
Buku Soekarno Poenja Tjerita
0 komentar:
Posting Komentar