Pages

Selasa, 18 Februari 2020

Tiga Sahabat di Persimpangan Jalan

 
Sumber gambar: kompasiana.com
3 Kamar, 3 Kepala, 3 Ideologi

Mungkin kalimat itulah yang tepat menggambarkan bagaimana perjalanan tiga sahabat karib, Soekarno, Muso dan Kartosoewiryo hasil didikan Tjokroaminoto. Sebagai sebuah sejarah tentu menyimpan banyak kenangan dan romansa masa lalu, begitu pula kisah tiga sahabat yang mewarnai lika-liku perjalanan Indonesia.

Bung Karno ibarat samudra, laksana hutan belantara. Semakin dalam menyelami, semakin banyak saja ragam cerita di dalamnya. Begitu banyak sisi kehidupan, perjuangan, dan kepribadian Putra Sang Fajar yang barangkali belum banyak diketahui masyarakat, apalagi generasi muda.

Padahal, sisi pribadi presiden pertama RI ini terlalu menarik untuk dilewatkan. Mulai dari surat-surat cintanya yang menyihir, kepingan-kepingan diplomasi yang tersembunyi, orator ulung yang menghipnotis Bangsa Indonesia, pemimpin lokal yang mengglobal diseganai di seluruh dunia, bahkan beberapa rencana pembunuhan presiden, kontroversi surat wasiat politik Bung Karno, dan masih banyak lagi. Oke, mari kita mulai pembahasan tiga sahabat di atas.

Imam Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo, yang lebih populer dengan panggilan Kartosoewiryo adalah sahabat karib Soekarno. Kawan mereka yang lain adalah Muso. Dahulu tiga, sekawan ini pernah sama-sama indekos di rumah Tjokroaminoto di Surabaya. Tjokro menjadi guru ketiganya. Soekarno cocok berdiskusi dengan Kartosoewiryo dan juga Muso.

Mereka bertiga bertetangga kamar. Saat Soekarno berlatih orasi hingga larut malam, Semaun lah yang jadi 'juri' penilai nya. Semaun seringkali meniru-niru gaya pidato Soekarno sambil tertawa ngakak. Sekarmadji ikut nimbrung setelah selesai mengaji Alquran di kamarnya.

Semaun adalah pemuda yang luar biasa ia sudah mengenal politik saat masih usia 14 tahun. Semaun yg beraliran sosialis dan pengagum Karl Marx pernah bergabung dengan Sarekat Islam yang dipimpin Tjokroaminoto dan menjadi ketua cabang di Semarang di usia belum genap 20 tahun. Semaun kemudian keluar karena berbeda pandangan dan menjadi salah satu pendiri Partai Komunis Indonesia. Sementara Sekarmadji yang alim dan cenderung pendiam, bercita-cita mendirikan negara Indonesia berlandaskan Islam.

Siapa sangka, tiga sekawan itu kemudian pun menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan negeri ini. Mereka menjadi pemimpin partai dan organisasi yang diikutinya. Soekarno menjadi tokoh nasionalis, Semaun menjadi pentolan komunis dan Sekarmadji teguh dengan islamis. Jalan hidup dan ideologi yang berbeda menjadikan mereka seteru pasca kemerdekaan. Tiga sekawan itupun berada di persimpangan jalan. Saat usia republik masih sangat belia, tahun 1948 di Madiun, Semaun bersama Muso mendeklarasikan Republik Sosialis Sovyet Indonesia. Semaun menantang Soekarno yang diproklamirkan menjadi presiden pertama RI. Soekarno pun tidak tinggal diam. Batalyon Siliwangi yang terkenal dengan kemampuan mumpuni saat perang kemerdekaan dikerahkan ke Madiun untuk memadamkan pemberontakan PKI yang dicetuskan sahabat yang dulu rajin mendengar orasinya itu bersama penghuni kost yg lainnya, Muso.

Kartosoewiryo dan Soekarno di Persimpangan Jalan

Konflik antara Kartosoewiryo dan Soekarno makin meruncing. Dalam buku Holk H. Dengel, Darul Islam NII dan Kartosoewiryo (1995), dikisahkan sang imam bahkan tega memberikan instruksi untuk membunuh Soekarno.
Begini isi perintah Kartosoewiryo kepada anak buahnya, 
“Di Indonesia ada RI dan NII. Dengan begitu ada dua presiden. Maka dari itu, Soekarno harus dibunuh.”
Persahabatan keduanya berubah menjadi permusuhan. Sebagaimana tertuang dalam surat tuntutan sidang Kartosoewiryo, upaya pembunuhan terhadap Bung Karno salah satunya terjadi pada Juni 1961 di daerah Galunggung. Saat itu, Kartosoewiryo memerintahkan kepada Mardjuk, seorang bawahannya, untuk membunuh Bung Karno.

Mardjuk melaporkan perintah pembunuhan Soekarno kepada Taruna dan Budi, dua sekretaris pribadi Kartosoewiryo. Kepada Mardjuk diberikan gigi Kartosoewiryo sebagai sejenis surat kuasa. April 1962, Mardjuk memerintahkan kepada Sanusi, Abudin, Djaja, Napdi, dan Kamil untuk membunuh Presiden Soekarno.

Kemudian, pada 14 Mei 1962, saat Idul Adha, Sanusi menembakkan pistolnya ke arah Bung Karno saat sang Presiden shalat di halaman istana. Pembunuhan gagal, Soekarno selamat. Beberapa jamaah shalat Idul Adha terluka, ada yang tertembak di bahu dan punggung.

Penembakan yang dilakukan dari jarak sekitar 7 meter (penembak berada di saf ketujuh), meleset. Padahal penembak ini adalah penembak jitu andalan DI/NII. Jalan kematian memang bukan kuasa manusia. Tidak heran jika dalam pengakuan, penembak menjadi samar. Yang dilihatnya adalah bayang-bayang sosok Soekarno yang bergeser-geser, dari satu posisi ke posisi lain. Karena itulah, tembakannya pun menjadi ngawur.

Dalam sidang, Sanusi Firkat alias Usfik, Kamil alias Harun, Djajapermana alias Hidajat, Napdi alias Hamdan, Abudin alias Hambali, dan Mardjuk bin Ahmad dijatuhi hukuman mati. Percobaan pembunuhan ini bukan yang pertama. Perintah yang sama diberikan kepada Agus Abdullah disertai sebelas peluru. Namun, Abdullah tidak melaksanakan perintah itu. Soekarno juga digranat di Cikini dan coba dihadang di beberapa tempat, tetapi selalu gagal.

Akhirnya, Kartosoewiryo ditangkap tentara Siliwangi saat bersembunyi dalam gubuk di Gunung Rakutak, Jawa Barat, 4 Juni 1962. Pengadilan memvonis mati Kartosoewiryo. Soekarno menolak grasi mantan sahabat yang sudah mencoba berkali-kali membunuhnya itu. Imam besar ini akhirnya meninggal di depan regu tembak pada September di tahun yang sama.

Canda Masa Lalu Begitu Terasa

Bayangan canda dan saling ledek antara mereka, benar-benar menjadi unsur pemberat ketika ia harus memutuskan eksekusi mati bagi sahabat lamanya.
Penolakan grasi bukannya dengan mudah keluar dari sanubari Soekarno. Bayangan masa lalu, Bayangan Persahabatan di Gang Peneleh Surabaya, masih begitu lekat.
Syahdan, pasca eksekusi mati, Bung Karno secara khusus memanggil regu tembak pelaksana tugas hukuman mati.
Berulang Kali Bung Karno melempar tanya, 
“Bagaimana sorot matanya!”... “Bagaimana sorot matanya!”... Bagaimana sorot matanya!”
Bingung mereka menjawab pertanyaan Presiden yang bertubi-tubi itu. Ajudan spontan meredakan ketegangan, “sorot mata Kartosoewiryo tajam. Setajam tatapan harimau, Pak.” Barulah Bung Karno menarik napas lega dan melempar tubuh ke sandaran kursi.

Sikap Bung Karno tadi dimaknai, bahwa ia lega, sahabat lamanya tidak berubah. Keukeuh pada pendirian. Sebuah sikap yang sama seperti yang ia anut. Ia pun mendoakan keselamatan arwah Kartosoewiryo.

Soekarno Merenung 

Soekarno menangis menyaksikan teman mondoknya di Surabaya itu di eksekusi. Usai kematian kedua sahabatnya itu. Sang proklamator banyak merenung. Ia berusaha menyatukan pemikirannya dengan pemikiran Semaun dan Sekarmadji. Soekarno kemudian mencetuskan Nasional, Agama dan Komunis (Nasakom) untuk menjadi landasan hidup bernegara. Namun, nasib Soekarno sendiri kemudian juga harus berakhir mengenaskan terkena gelombang intrik politik pasca peristiwa G30S PKI.

Meski berbeda pandangan, ketiga tokoh itu bisa menjadi menonjol dan menjadi pemimpin besar tak lepas dari peran "sang guru" pemilik kost-kostan yakni Tjokroaminoto.

Pesan yang selalu diingat oleh murid-murid nya termasuk tiga sekawan ini adalah kata-kata :
Jika kalian ingin jadi Pemimpin Besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.
Tiga sekawan ini menjalankan benar-benar pesan itu. Mereka sama-sama piawai menulis dan menjadi 'singa' diatas podium. Sayang, ketiganya harus berpisah jalan karena ideologi yang berbeda

Dikutip dari Buku Soekarno Poenja Tjerita

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer