Syam
jatuh ke tangan kekuasaan Islam pada 636 M ketika Khalid bin Walid memimpin
pasukan Islam untuk menaklukkan wilayah itu. Pada masa selanjutnya Usman bin
Affan mengutus Muawiyah bin Abi Sufyan untuk menjadi gubernur di sana. Tidak
lama setelah penaklukan Yerusalem, Khalifah Umar bin Khattab datang di Syam
untuk menyempurnakan penaklukan itu. Setelah perang saudara antara Ali dan
Muawiyah, Damaskus menjadi ibukota Daulah Umayah di bawah kepemimpinan Muawiyah
sampai wafatnya pada 680 di Damaskus. Dengan berakhirnya Khilafah Umayah, Syam
kehilangan posisi istimewanya sebagai pusat kekuasaan Islam. Bani Abbas dan
kemudian Fatimiyyah secara berurutan berkuasa di wilayah Syam. Dengan demikian,
Syam kemudian hanya menjadi suatu provinsi dari Khilafah Bani Abbas yang luas
yang berpusat di Baghdad dan kemudian dari Khilafah Fatimiyyah yang berpusat di
Kairo.
Dalam
bidang intelektual, di Syria banyak kegiatan yang dilakukan oleh sarjana Muslim
di bawah patronase kerajaan Islam. Beberapa sastrawan berkumpul di istana
Hamdaniyah dan Mirdasiyah di Aleppo. Patronase Sayf alDawlah mendorong
penulisan Kitab al-Aghani. Kegiatan intelektual juga terlihat dari karya
seorang geografer al-Maqdisi. Bahasa Arab mulai menggantikan Bahasa Suryani
sebagai bahasa lisan dan tulisan di kalangan penduduk asli. Ilmu pengetahuan,
khususnya Kedokteran, dikembangkan di sana. Demikian juga madrasah mulai
berkembang dibawah pemerintahan Saljuk, khususnya di Aleppo dan Damaskus.
Kelompok-kelompok sektarian bermunculan, misalnya Syiah dengan varian-variannya
Druz, Ismaili, Nusairi dan Mutawali. Syam setelah itu mengalami masa dibawah
kekuasaan Frank. Pada 1098 pasukan Salib menguasai Antioch dan pada 1099
menguasai Yerusalem. Setelah itu, Yerusalem dikuasai kembali oleh pasukan Islam
di bawah kepemimpinan Salah al-Din al-Ayyubi pada 1187. Pada zaman ini
berkembang aktivitas intelektual Al-Qalanisi menyelesaikan bukunya Tarikh
Dimasyq. Amir Usamah bin Munqidh menulis otobiografinya yang menjelaskan
hubungan antara penguasa-penguasa Islam dan Frank. Sarjana-sarjana Muslim,
Kristen dan Yahudi bersama-sama mengembangkan ilmu kedokteran. Setelah itu Syam
jatuh di bawah kekuasaan Sultan Mamluk, Mongol dan Usmani/Ottoman secara
berurutan. Kekuasaan Mamluk mulai surut
pada saat berjayanya Usmani pada abad XVI. Kekuasaan Usmani di Syria berakhir
ketika bangsa-bangsa Barat, khususnya Inggris dan Prancis, menapakkan kakinya
di wilayah tersebut.
Sejalan
dengan apa yang disebutkan di atas, secara umum wilayah Timur Tengah merupakan
tempat lahir dan berkembangnya kebudayaan kuno, dan di sana pula lahir
kebudayaan Islam yang mulai dibangun oleh nabi Muhammad saw pada abad VII. Pada
puncak kemajuannya, peradaban Islam menunjukkan vitalitas yang tinggi yang
tidak mungkin disejajarkan dengan peradaban lain kontemporer. Superioritas
peradaban Islam telah berhasil menyerap unsur-unsur peradaban lainnya dan
mengintegrasikannya ke dalam peradaban baru yang membuat bangsa-bangsa lain
memandangnya dengan penuh respek. Namun demikian, telah terjadi banyak
perubahan keseimbangan pada abad-abad modern, di mana keunggulan militer,
ekonomi dan intelektual Barat menyebabkan bangsa-bangsa di Timur Tengah menjadi
pengikut peradaban baru itu. Berbaliknya arus pengaruh itu tampaknya tak
terelakkan, lebih-lebih ketika kekuatan politik Barat melakukan intervensi
dalam kebijakan yang diambil oleh para penguasa negara-negara Timur Tengah.
Selama
abad XIX dan awal abad XX kekuasaan Eropa memberikan pengaruh kepada tiga pusat
kekuasaan di Timur Tengah, yakni Mesir, Usmaniyah dan Iran. Dalam perkembangan
selanjutnya, wilayah itu dibagi-bagi dalam bentuk negara mandat, sebuah sistem
negara regional yang baru muncul. Wilayah Timur Tengah yang merupakan bagian
dari Kerajaan Usmaniyah dipecah menjadi enam negara: Turki sendiri, Syria,
Lebanon, Palestina, Iraq dan Trans-Yordania. Saudi Arabia dan Yaman juga muncul
sebagai entitas politik tersendiri. Dengan demikian, wilayah yang dikuasai oleh
tiga pusat kekuasaan (Mesir, Turki dan Iran) telah dipecah menjadi sepuluh,
masing-masing dengan kebijakan domestik dan luar negerinya sendiri. Tetapi
kebijakan sebagian besar negara-negara baru itu ditentukan oleh penjajah Eropa.
Dari sepuluh negara penting di Timur Tengah, hanya Turki, Iran, Saudi Arabia
dan Yaman yang berdaulat penuh selama masa di antara dua perang dunia, dan dua
lainnya diberikan kemerdekaan karena letaknya yang terpencil dan dipandang
tidak memiliki posisi yang penting dan strategis bagi Inggris dan Prancis.
Bahkan kedaulatan Iran pada masa di antara dua perang dunia hanya bersifat
sementara. Kekuasaan Reza Khan, komandan militer yang memproklamasikan dirinya
sebagai syah, menjadi tidak berkutik pada saat mulai Perang Dunia II. Inggris
dan Uni Soviet menyerang Iran dan menghancurkan harapan bagi tegaknya
kedaulatan Iran. Di antara negara-negara baru yang berpenduduk padat dan secara
strategis penting, hanya Turki yang secara jelas berhasil menegakkan kedaulatan
negerinya, menentukan sendiri kebijakan dalam dan luar negerinya dari awal
tahun 1920an sampai akhir Perang Dunia II.
Dikutip
dari Prof. Dr. H. Syafiq Mughni, M.A dalam Buku “Dari Mekah, Yerussalem, Sampai
Cordova”.
Agar
pembaca dapat mengulas lebih jauh pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi
luring (offline) pdf Dari Mekah, Yerussalem, Sampai Cordova di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar