Pages

Selasa, 19 Mei 2020

Ulama dan Negara Bangsa: Membaca Masa Depan Islam Politik di Indonesia


Sumber gambar: nu.or.id

Tumbangnya pemerintahan otoritarian Orde Baru pada Mei 1998 telah membuka keran kebebasan dan partisipasi politik serta transformasi sosial yang barangkali tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Demokratisasi yang menjadi tuntutan utama gerakan reformasi telah membuka ruang-ruang publik dan menyediakan panggung terbuka bagi aktor-aktor politik, sosial dan keagamaan untuk turut membincangkan kembali formulasi kemaslahatan bangsa yang sedang menghadapi krisis ekonomi dan politik hebat dalam sejarahnya. Salah satu aktor penting dalam kontestasi ini adalah ulama dan tokoh agama. Mereka turut aktif mengonseptualisasikan kemaslahatan bangsa Indonesia dalam kerangka berpikir agama dalam spektrum yang beragam. Wacana keislaman dan keulamaan yang sebelumnya menghiasi wilayah periferal dalam isu-isu kebangsaan dan kenegaraan mulai bergerak ke tengah dan menjadi idiom penting dalam perdebatan sosial politik, terutama ketika politik identitas mulai banyak menghiasi kontestasi dan perebutan otoritas politik dan keagamaan, baik pada level nasional maupun regional.

Buku ini mengulas isu-isu sentral terkait persepsi ulama Indonesia terhadap gagasan negara-bangsa dan konsepkonsep turunannya. Menguatnya peran dan wacana ulama dalam perdebatan politik mendorong para peneliti kami untuk melakukan telaah serius guna membaca masa depan bangsa dan politik Islam di Indonesia. Survei tentang persepsi ulama terhadap negara-nangsa menjadi langkah awal untuk melihat level keberterimaan ulama akan konsep tersebut serta dimensi dan karakternya. Memang terdapat sebagian (kecil) ulama yang terindikasi menolak gagasan negara-bangsa, namun penolakan ini perlu dibaca dengan seksama. Tidak semua penolakan tersebut didasari oleh penolakan total terhadap gagasan negarabangsa. Pendalaman hasil survei menemukan apa yang disebut “reservasi” ulama terhadap negara-bangsa yang dilatari tidak hanya oleh aspek ideologis namun juga pemahaman tradisi yang ketat dan dimensi lokalitas yang berbalut etnisitas.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi entri penting dalam membaca pergeseran orientasi ulama yang terafiliasi dengan negara dari paradigma “pelayan pemerintah” menjadi “pelayan umat”. Di luar MUI, demokratisasi menyediakan panggung terbuka bagi ulama dari beragam latar belakang pendidikan dan afiliasi sosial-politik untuk memperluas pengaruhnya dengan melakukan politik ortodoksi. Demokratisasi dan revolusi media komunikasi akhir-akhir ini meniscayakan fragmentasi otoritas politik dan keagamaan. Salah satu konsekuensinya, muncul otoritas baru yang bergerak dalam logika populisme dan kapitalisme yang banyak digandrungi oleh masyarakat Muslim kelas menengah kota. Aktor-aktor ini memperkenalkan wacana keislaman yang ber-style populis dan tidak hirarkis, namun kontennya rigid dan dogmatik. Wacana keislaman moderat-konservatif yang cukup dominan di ruang publik menarik untuk ditelaah lebih mendalam. Ulama tidak lagi hanya terlibat dalam produksi wacana namun juga mendorong aksi-aksi yang menegaskan ‘ortodoksi’ di ruang publik. Fenomena ini membawa dampak kurang menyenangkan bagi kelompok minoritas sosial dan keagamaan, dan kelompok pengusung emansipasi perempuan. Hal ini tidak hanya dirasakan dalam kontestasi di wilayah sosial politik saja, namun juga wilayah hukum, terutama ketika hukum syariah menjadi bagian negosiasi politik di tingkat nasional dan lokal.

Buku ini adalah buku kedua yang diolah dan dikembangkan dari survei dan penelitian tentang persepsi ulama tentang negara-bangsa yang dilakukan oleh para peneliti dari Pusat Pengkajian Islam Demokrasi dan Perdamaian (PusPIDeP) dan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penelitian ini merupakan bagian dari Program CONVEY Indonesia tahun 2018 yang digagas oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja sama dengan United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia.

Ulama dan Negara Bangsa

Buku ini berasal dari penelitian yang dilakukan di lima belas kota Indonesia dan bertujuan memberikan gambaran tentang persepsi dan pandangan ulama Indonesia masa kini terhadap format dan sistem negara-bangsa. Signifikansi penelitian ini bukan saja untuk memahami bagaimana posisi ulama Indonesia masa kini berhadapan dengan negara-bangsa, tetapi juga membaca arah dan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam konteks menguatnya pengaruh Islam politik di negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini. Perlu diketahui bahwa ulama merupakan aktor penting yang mewarnai dinamika keagamaan, sosial, politik, dan kebangsaan Indonesia dari masa ke masa. Sejak zaman kolonial, mereka sudah berperan aktif dalam memperkenalkan wacana keagamaan, modernitas dan gagasan-gagasan kebangsaan (Azra 2004; Laffan 2004). Menjelang kemerdekaan mereka bahkan tampil sebagai soko guru dan peletak dasar ideologi kebangsaan Indonesia. 

Tokoh-tokoh penting seperti K.H. Wahid Hasyim (NU), Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah) dan Kasman Singodimejo (Masyumi), untuk menyebut beberapa, terlibat dalam sidangsidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang mendorong terjadinya negosiasi yang akhirnya mengantarkan Pancasila dikukuhkan sebagai dasar negara Indonesia. Ulama sekaligus mempunyai pengaruh penting dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Mereka mendirikan ribuan pesantren tradisional dengan kurikulum, tradisi keagamaan serta relasi guru dan murid yang khas sejak abad ke17 (Dhofier 1999). Ulama beraliran modernis ikut memberikan warna penting sejak penghujung abad ke-19. Mereka menjadi tokoh sentral dalam pengelolaan lembaga pendidikan Islam bercorak modern yang juga tersebar luas di berbagai kota di Indonesia. Belakangan terutama sejak 1980-an, ulama Salafi yang mempopulerkan pendekatan skripturalis terhadap teksteks keagamaan Islam juga mulai aktif membangun jaringan pendidikan. Mereka mendirikan pesantren-pesantren Salafi yang berupaya menghidupkan tradisi pengajaran Islam bercorak Wahabi  (Hasan 2010, 2018; Wahid 2014). Di era Reformasi, muncul ulama-ulama Tarbawi yang menawarkan pendidikan Islam Terpadu (IT) yang sangat populer di kalangan kelas menengah Muslim perkotaan yang berhasrat mengekspresikan identitas keagamaan sambil memperlihatkan status, kelas, dan selera sosial mereka sebagai Muslim yang salih, modern dan globalized. Diilhami ideologi Ikhwanul Muslimin, mereka mendirikan sekolah-sekolah Islam terpadu dari jenjang TK sampai SMA yang juga tersebar luas di seluruh Indonesia (Hasan 2012).

Memang tidak semua ulama terlibat langsung dalam penyelenggaraan pendidikan. Di antara mereka ada yang menanamkan pemikiran dan pengaruh ke lembaga pendidikan melalui beragam media, terutama penulisan dan penerbitan literatur keagamaan Islam yang dikonsumsi secara luas oleh guru, dosen, siswa, mahasiswa dan masyarakat luas (Hasan 20018, Ikhwan 2018). Ulama lain mempopulerkan gagasan-gagasan dan pemikiran mereka dengan kemasan yang lebih trendy dan popular, melalui media TV, Internet, smartphone dan beragam jenis media sosial. Terbentuk antara lain oleh persentuhan mereka dengan gagasan-gagasan dan pemikiran ulama yang hadir pervasive, corak pemikiran, gagasan dan aspirasi generasi muda masa kini, yang kerap disebut sebagai generasi milenial, karenanya tidak bisa dipisahkan lagi dari persepsi dan pandangan ulama dalam memahami berbagai persoalan, termasuk isu-isu seputar negara-bangsa.

Dalam skala yang lebih luas penelitian ini ingin melihat arah dan masa depan negara-bangsa Indonesia. Sebagaimana disinggung di atas, ulama telah lama membuktikan diri sebagai aktor penting yang berpengaruh secara politis, sosiologis dan kultural terhadap dinamika historis masyarakat Indonesia. Mereka memelopori perjuangan mendirikan negara-bangsa dan mengawal eksistensinya hingga hari ini. Namun dari kalangan ulama jugalah, yang berbeda persepsi, pandangan dan pemahaman mengenai negara-bangsa, ancaman kerap menghadang perjalanan bangsa Indonesia yang berkomitmen menjalankan Pancasila dan UUD 1945. Mereka menjadi pelopor gerakan-gerakan Islamis yang menyemai ide tentang keterpaduan agama dan kekuasaan (dīn wa daulah), ḥākimiyyah, dan bahkan revitalisasi khalifah. Sebagian mereka tampil sebagai ideolog-ideolog gerakan Islamis yang memberikan warna menonjol dalam dinamika politik Indonesia, yang pengaruhnya tampak menguat pasca-kejatuhan rezim Orde Baru. Mereka aktif menggelar aksi-aksi menuntut penerapan syariah, melakukan razia atas café-café dan diskotik yang dianggap sebagai sarang maksiat, dan juga menggelar aksi-aksi jihad di berbagai kawasan konflik di Indonesia.

Trajektori Islam Politik

Sebagai fenomena recurrent yang menghadirkan tantangan bagi negara-bangsa, Islam politik perlu terlebih dahulu dipahami dalam hal trajektori dan konteks perkembangannya yang lebih luas. Islam politik, atau Islamisme, bukanlah gerakan kembali kepada tradisi yang berkembang di masa lalu, terutama terkait hubungan Islam dan politik yang diformulasikan para fuqaha klasik. Islam politik merupakan gagasan baru yang mengubah hubungan formalistik dan simbolik antara Islam dan politik menjadi tak terpisahkan dan nyata. Dengan membalik ciri hubungan tradisional antara agama dan politik, kaum Islamis berupaya menjadikan politik tunduk pada agama, bukan sebaliknya sebagaimana terjadi dalam sejarah. Lalu bagaimanakah sebenarnya hubungan agama dan politik itu dalam tradisi Islam?.

Kesan umum yang berkembang dalam lingkaran akademik Barat menganggap Islam memang merupakan agama politik, didasari pemahaman bahwa Islam memantapkan eksistensinya melalui penaklukan militer. Namun, anggapan ini tidak memiliki landasan yang kuat. Sebagaimana disinggung di atas, sumber doktrinal Islam menyinggung sedikit sekali tentang persoalan politik, menyangkut bagaimana membentuk negara, menjalankan pemerintahan ataupun mengatur organisasi. Jika para penguasa negara Islam historis juga merupakan pemimpin spiritual komunitas mereka, ini bukan karena Islam menuntut pemimpin agama (imām) harus menjadi penguasa politik. Sebaliknya, Islam tersebar di wilayah yang mode produksinya cenderung berdasar kontrol yang ketat dari negara di mana negara selalu memainkan peran yang penting dalam kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat. Kontrol atas agama selalu menjadi instrumen negara untuk menancapkan hegemoni ideologisnya. Negara-negara Islam historis mewarisi tradisi ini.

Bisa dimengerti jika perlawanan terhadap kekuasaan juga selalu diawali dengan upaya merebut kontrol menyeluruh atas agama. Meski dibangun di atas argumen keagaman, ideologi Ikhwanul Muslimin sebagai pelopor gerakan Islam politik, misalnya, jelas sarat premis-premis politis. Dalam konteks menghadapi kekuatan imprealisme Barat, Ikhwanul Muslimin menggelindingkan gagasan tentang pembangunan kembali kekhalifahan Islam. Namun demikian, tauhid diletakkan sebagai fakta dasar dan komponen utama kredo Islam. Penyerahan total kepada Allah ditekankan sebagai makna sesungguhnya dari komitmen kebersyahadatan seseorang. Sayyid Qutb, salah satu ideolog utama Ikhwanul Muslimin, meneruskan prinsip ini dengan mengembangkan ḥākimiyyah sebagai doktrin kunci yang mengajarkan tentang kedaulatan mutlak Tuhan. Baginya, satu-satunya penguasa, legislator dan pengatur kehidupan yang berhak ditaati dan disembah hanyalah Allah (Haddad 1983). Karena dominasi sistem sekular yang tidak bersumber dari Allah, ia secara retoris menegaskan bahwa dunia saat ini adalah dunia yang terpasung oleh budaya jahiliyyah. Komitmen Muslim dianggap mutlak untuk membebaskan dunia dari pasungan ’jahiliyahisme’. Pemikirannya hitam-putih. Ia mengenakan label kafir kepada semua yang tidak menyetujui jalan pikiran yang dikembangkannya (Moussalli 1993).

Tiga dekade kemudian, Abdullah Azzam berhasil mengontekstualisasikan gagasan radikalisme Qutb —yakni meruntuhkan rezim ‘infidel’ yang berkuasa di negara masingmasing (‘musuh dekat atay near enemy’)— dalam usahanya mendorong jihad ofensif di seluruh dunia. Hal ini diyakini merupakan bagian integral dari jihad melawan jahiliyahisme sebagai kewajiban yang melekat bagi setiap Muslim (fardhu ‘ain) demi mengukuhkan keutuhan wilayah Islam. Berasas gagasangagasan Azzam, Ayman al-Zawahiri mengembangkan sebuah visi alternatif gerakan jihad: perang melawan jahiliyyahisme harus langsung ke sumbernya, yakni kaum ‘Salabis’ yang identik dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Baratnya dan Zionis Israel. Gagasan al-Zawahiri yang secara jelas menggeser fokus gerakan jihad dengan sasaran utama ‘musuh jauh’ (far enemy) diadopsi oleh Al-Qaeda bentukan Osama Bin Laden yang mendirikan Front Jihad Dunia Islam pada 1998 (Mandaville 2007).

Banyak pengamat dan analis gagal melihat dengan baik kompleksitas Islam politik yang berkembang sebagai hasil pertautan yang rumit antara agama, politik, dan ekonomi. Sebagian kalangan melihat agama —atau lebih tepatnya teksteks agama— sebagai faktor paling utama, kalau bukan satusatunya, di balik fenomena ini. Lingkaran kekerasan yang terjadi diyakini bersumber dari pikiran radikal mereka yang memahami teks-teks agama secara hitam-putih dan kaku. Dengan kata lain, teks-teks agama ditekankan sebagai doxa paling menentukan di belakang aksi-aksi kekerasan. Mengamini lingkaran intelektual dan media massa di Barat, mereka memandang Islam sebagai akar permasalahan di dunia Muslim. Menurut mereka, Islam adalah agama yang tidak memiliki konsep kewarganegaraan dan kebebasan sipil. Hal ini terjadi karena adanya keyakinan tentang kedaulatan Tuhan yang menghilangkan kekuatan rakyat. Diyakini secara esensial sebagai agama politis, Islam muncul sebagai sebuah pandangan-dunia (worldview) di mana kehidupan manusia tidak memiliki kesamaan nilai seperti yang terjadi di Barat; sementara kebebasan, demokrasi, keterbukaan, dan kreativitas menjadi sesuatu yang asing. Pandangan demikian dikuatkan oleh semakin banyaknya kelompok Islamis yang muncul, dengan mengatasnamakan agama. Mereka mencurigai demokrasi sebagai “konstruksi asing” dan menyingkirkan kehendak rakyat demi mengikuti kedaulatan Tuhan.

Pandangan semacam ini telah lama dibantah oleh mereka yang membela tesis tentang “kesesuaian antara Islam dan demokrasi,” dengan menyajikan sebuah spirit Islam yang secara inheren demokratis dan mengklaimnya sebagai sebuah agama yang toleran, pluralis, adil, dan sejalan dengan Hakhak Asasi Manusia (HAM). John Esposito dan James Piscatori (1991) menunjukkan fakta bahwa di dalam Alquran terdapat konsep syūrā (musyawarah) yang menjadi landasan bagi umat Islam untuk membangun praktik demokrasi mereka dalam berpolitik. Inheren di dalam konsep syūrā adalah kebutuhan bagi penguasa untuk bermusyawarah dan meminta pendapat khalayak ramai sebagai basis membangun konsensus dan membuat keputusan (decision-making). Bagi Filaly-Ansary (1999), sekalipun tidak bisa diingkari bahwa mayoritas umat Islam menerima kehendak Tuhan sebagai sesuatu yang paling utama dan hukum Tuhan sebagai sesuatu yang tidak bisa diubah dan dibelokkan oleh kehendak dan kepentingan manusia, kepentingan publik (mashlaḥah mursalah) yang meniscayakan partisipasi masyarakat dalam pengambilan konsensus dan keputusan merupakan sebuah prinsip dasar dalam praktik politik umat Islam.

Apakah Islam lantas  sejalan dengan demokrasi, ketika demokrasi diasumsikan bebas dari ambiguitas? Jelas tidak ada satupun yang bersifat intrinsik di dalam Islam —atau agama lainnya— yang membuatnya secara inheren selaras ataukah tidak dengan demokrasi. Agen-agen sosial menentukan kebenaran inklusif atau otoriter suatu agama, sebab agama bukanlah apa-apa, melainkan pengertian kita tentang apa yang kita perbuat dan kita pahami dari agama. Religion is a matter of interpretation. Penjelasan antropologis tentang hubungan antara otoritas teks dan relasi-relasi kuasa dalam sebuah proses literer kompleks yang membentuk formasi wacana (discursive formation) menjelaskan signifikansi kritik sejumlah sarjana terhadap kecenderungan nalar yang menghadapkan Islam dan demokrasi (Messick 1993).

Memahami permasalahan di atas, Asef Bayat (2007) menganggap salah menghadapkan Islam dan demokrasi. Baginya, pertanyaan yang lebih tepat adalah, dalam kondisi apakah Muslim dapat membuat diri mereka beradaptasi dengan prinsip-prinsip utama yang melekat dalam demokrasi: powersharing, partisipasi dalam decision-making, egalitarianisme dan pembebasan. Lima puluh tahun yang lalu, para ilmuwan sosial percaya bahwa Kristen dan demokrasi tidak berkesesuaian. Tetapi hari ini, demokrasi mekar di daerah-daerah Kristen, bahkan juga di daerah di mana fasisme muncul dan terkait dengan gereja. Memang, ideologi otoriter dan eksklusif sebelumnya selalu disandingkan dengan Kristen. Sekte-sekte Kristen awal mempromosikan kesetiaan kepada para penguasa otoriter, asalkan mereka tidak ateis dan tidak membahayakan para penganutnya. Kepatuhan menjadi pokok pemikiran politik Kristen yang didasarkan pada keyakinan bahwa kekuasaan yang lebih tinggi diberikan oleh Tuhan.

Bayat selanjutnya menyarankan lebih baik kita menguji kondisi-kondisi yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial mengubah teks-teks kitab suci menjadi kekuatan hegemonik. Hal ini berkaitan erat dengan kapasitas kelompok untuk memobilisasi konsensus di sekeliling “kebenaran” yang mereka bangun. Karena itu merujuk semata pada kitab suci mungkin tidak akan berperan sebagai alat analitis yang efektif, tetapi harus diarahkan pada inti pertarungan politik dalam membangun wacana hegemonik. Pernyataan bahwa “pemerintahan Islam memiliki karakter demokratis” mungkin naif secara analisis, tetapi ini merupakan sebuah ekspresi dari perjuangan untuk membuat pemerintahan Islam yang demokratis.

Tidak dapat diingkari, masih banyak masalah struktural yang menggelayuti perkembangan dunia Islam. Masalahmasalah ini terentang dari isu kemiskinan, illiterasi, akses pendidikan dan kesehatan yang tidak merata, kesenjangan sosial dan ekonomi yang masih lebar, korupsi, nepotisme, otoritarianisme, radikalisme, dan terorisme, yang kesemuanya berkontribusi terhadap rendahnya HDI (Human Development Index) masyarakat Muslim. Dalam konteks inilah Islam politik datang menawarkan alternatif. Dengan dukungan inti dari lapisan tengah yang miskin, Islam politik telah sukses selama tiga dekade dalam menggerakkan sejumlah besar masyarakat yang kecewa melalui ‘Islamisasi yang murah’: dengan slogan bahasa kemurnian moral dan budaya, menuntut politik identitas, dan melakukan kerja amal yang produktif. Namun demikian, menjelang pertengahan 1990-an Islam politik tidak bisa bergerak jauh ketika sampai pada Islamisasi yang lebih menantang: mendirikan pemerintahan Islam. Akibatnya, kekuasaan Islam politik menghadapi krisis yang besar di manapun ia dipraktikkan (seperti di Iran, Sudan, dan Pakistan, misalnya). Pada saat bersamaan, strategi kekerasan dan perjuangan bersenjata yang diadopsi oleh Islam politik yang mengambil garis radikal (di Mesir dan Aljazair, misalnya) gagal mencapai targetnya. Berhadapan dengan rezim otoritarian para aktornya banyak yang terpaksa meninggalkan wacana-wacana yang menghancurkan atau metode-metode kekerasan. Mereka mulai membangun sebuah visi yang lebih demokratis untuk proyek-proyek Islam politik yang lebih kompromistis.

Bagi Bayat, Islam politik kerap muncul sebagai bahasa penegasan diri untuk memobilisasi masyarakat (kebanyakan kelas menengah) yang merasa termarginalkan oleh proses-proses ekonomi, politik, atau budaya dominan dalam masyarakatnya; masyarakat yang merasakan kegagalan modernitas kapitalistis maupun utopis-sosialis yang kemudian membuat bahasa moralitas melalui agama sembari menginginkan pergantian sistem politik. Bahkan menurutnya, Islam politik kadangkadang bisa dibaca sebagai cara kelas menengah Muslim yang baru tumbuh untuk berkata tidak terhadap apa yang mereka anggap sebagai pengaruh asing —elite-elite nasional, pemerintah sekuler, dan sekutu-sekutu Barat pemerintah. Mereka menolak keras “dominasi budaya Barat”, rasionalitas politik, sensibilitas moral, dan simbol-simbol normatifnya, walaupun mereka sendiri berbagi banyak fitur dengan yang serba asing itu —dasi, makanan, pendidikan, dan teknologi.

Patut dicatat, momentum perkembangan Islam politik berlangsung menyusul kekalahan dunia Arab dari Israel pada Perang 1967. Kekalahan dalam perang ini menyadarkan banyak kalangan akan kerapuhan rezim-rezim yang berkuasa di negaranegara mereka. Sejak saat itulah slogan Islam is the solution mulai bergema kencang di berbagai belahan dunia Islam (Ajami 1992; Esposito 1992). Pilihan penggunaan kekerasan yang melekati radikalisme Islam berhubungan dengan struktur kesempatan politik dan mobilisasi yang menopangnya (political opportunity and mobilizing structures). Berkait erat dengan upaya individu-individu yang termarginalisasi untuk meluapkan rasa kecewa yang diakibatkan faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik yang terjadi pada level makro maupun frustrasi yang dipicu pengalaman-pengalaman mikro individual, format aksi yang menyertai gelombang radikalisme Islam biasanya berkembang juga seturut respon yang diberikan negara terhadap persoalan-persoalan yang mereka dengungkan. Bila respon tidak memadai dan negara menjawab tantangan dengan tindakan-tindakan represif —sebagai usaha menutupi kegagalannya melakukan reformasi politik, hukum dan ekonomi, misalnya— gerakan Islam politik biasanya terdorong menggunakan strategi kekerasan dan teror. Potensi ancaman semacam ini akan semakin serius kala pemerintah dan aparat keamanan menerapkan taktik-taktik represi tanpa pandang bulu (indiscriminate repression) yang hanya akan menambah keabsahan kerangka anti sistem (anti-system frame) yang dikembangkan kelompok-kelompok radikal (Hafez 2004).

Dikutip Pengantar Prof. Noorhaidi Hasan, M.A., M.Phil., Ph.D (Guru Besar dan Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) dalam Ulama dan Negara Bangsa: Membaca Masa Depan Islam Politik di Indonesia.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer