Pages

Sabtu, 16 Mei 2020

Meneguhkan Jati Diri Melalui Berpuasa


Sumber gambar: ussfeed.com
Ramadhan 1441 H ini dijalani umat Islam di seluruh dunia dengan suasana yang hening. Pandemi COVID-19 benar-benar meruntuhkan di segala lini kehidupan.. Bahkan masjid paling agung dan paling suci bagi umat Islam, yaitu Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, pun sempat ditutup untuk umum guna mencegah persebaran Corona.

Maka sesungguhnya puasa merupakan ibadah untuk menahan diri. Ia diwajibkan bagi setiap muslim yang telah mencapai akil baligh, berakal, mampu (sehat) dan sedang tidak berpergian. Adapun dalil yang menerangkan tentang kewajiban berpuasa ialah firman Allah pada surat al-Baqoroh ayat 183, “Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan (puasa) atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. 

Imam Thabari (838-923 M) dalam tafsirnya yang masyhur dengan nama Tafsir at-Thabary menukil perkataan Abu Ja’far bahwa perintah berpuasa diserukan kepada orang-orang yang beriman. Menurut Abu Ja’far orang-orang yang beriman adalah orang yang meyakini Allah sebagai Tuhannya, Nabi Muhammad sebagai utusannya, membenarkan keduanya dan mengikrarkannya baik di lisan (syahadat) maupun di dalam hati. Artinya, bagi siapapun dari seorang muslim yang telah meyakini ketuhanan Allah dan kenabian Nabi Muhammad, maka ia diwajibkan untuk berpuasa. Kata puasa di sini merujuk pada puasa di bulan Ramadan24. Masih di ayat yang sama, berpuasa diwajibkan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman agar mereka bertakwa. Bagaimana bisa ibadah puasa mengantarkan seseorang kepada takwa? Apa pengertian takwa?

Al-Baghawi dalam tafsir karyanya mendifinisikan kata muttaqin yang disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 2. Ia menukil perkataan Ibnu Abbas, “orang yang bertakwa adalah seseorang yang takut melakukan syirik, dosa besar dan perbuatan keji. Lafaz al-muttaqin merupakan bentuk fa’il (subjek) dari kata al-ittiqa, yang juga memiliki arti pembatas antara dua hal”. Begitu juga dalam sebuah hadis yang diriwiyatkan oleh Muslim dalam kitab al-Jihad wa as-Sair pada bab “Perang Hunain”:

كنا إذا احمر البأس اتفينا برسول الله

Artinya: “Apabila kami telah berada dalam keadaan perang yang berkecamuk, maka kami menjadikan Rasulullah sebagai pembatas (antara kami dan musuh)”.

Dalam hal ini al-Baghawi menganalogikan bahwa ketakwaan dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya adalah pembatas antara diri seorang hamba dengan azab. 

Pengertian takwa yang telah dikemukakan oleh para ahli tafsir memberi penjelasan kepada kita bahwa takwa menjadi hal yang paling puncak untuk dicapai oleh seorang mukmin. Maka pencapaian tersebut akan berhasil bila seorang mukmin mampu melalui prosesnya. Takwa adalah tujuan, sedangkan puasa adalah salah satu perantara menuju takwa.

Puasa yang menjadi kewajiban seorang mukmin dan sudah dijelaskan sebelumnya menurut pengertian terminologi ialah menahan. Sedangkan menurut syariat, puasa ialah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa disertai dengan niat dan syarat-syarat tertentu. Setelah melihat definisi dari puasa, maka kita sudah bisa mengaitkannya dengan proses menuju takwa. Puasa ialah menahan, sebuah perintah dari Allah untuk menahan hal-hal yang telah ditentukan selama berpuasa. Jika ia berhasil, maka ia masuk dalam kategori bertakwa. Bagaiamana puasa bisa mengantarkan seseorang menjadi hamba yang bertakwa?.

Fakhruddin ar-Razi (1149-1209 M) seorang ulama yang ahli di bidang teologi dan filsafat Islam juga mengarang kitab tafsir yang terkenal dengan nama Tafsir ar-Razi menyebutkan beberapa hal mengapa puasa mampu mengantarkan seorang hamba menuju takwa:

Pertama, puasa mampu mengantarkan seorang hamba kepada takwa karena ia mampu mengendalikan hawa nafsu dan meredamkan kesombongan, perbuatan keji dan keinginan-keinginan duniawi. Puasa juga mampu mengendalikan nafsu perut dan kelamin. Karena nafsu terbesar manusia berasal dari dua hal ini.

Kedua, puasa menjadi tameng bagi seorang muslim dari hawa nafsu. Dengan memiliki tameng, seorang muslim mampu bertahan untuk menuju ketakwaan.

Ketiga, hal yang paling disenangi manusia biasanya paling berat untuk ditinggalkan. Makan dan menikah adalah sesuatu yang paling disenangi. Apabila manusia mampu meninggalkan hal yang paling dicintainya tersebut untuk menuju ketakwaan, maka ia akan lebih mudah untuk meninggalkan selain keduanya dalam rangka ketakwaan.

Keempat, mengabaikan dan tidak menuruti hawa nafsu adalah hal yang begitu besar derajatnya di sisi Allah.

Kelima, karena puasa adalah simbolnya orang-orang yang bertakwa. Ia menjadi ibadah yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang bertakwa.

Begitulah hubungan antara puasa dengan takwa yang telah dikemukakan oleh para ulama dengan berlandaskan dalil Alquran dan Hadis. Sudah jelaslah bahwa dengan berpuasa, seorang hamba mampu mencapai predikat orang yang bertakwa. Puasa yang tidak sekadar menahan makan dan minum, melainkan juga perbuatan-perbuatan keji yang dilarang seperti berbohong, ghibah dan sebagainya. Semoga kita semua dimudahkan dalam proses menuju takwa. Aamiin.

Dikutip dari Buku 30 hari Menuju Takwa.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer