Sumber gambar: id.wikipedia.org |
Studi
ini menganalisis sejarah intelektual dan politik Laskar Jihad, kelompok
paramiliter Muslim paling spektakuler yang muncul di Indonesia setelah jatuhnya
rezim Orde Baru pada Mei 1998. Menggunakan kerangka kerja interpretatif yang
berasal dari teori gerakan sosial dan politik identitas, studi ini memaparkan
akar-akar kelompok dan transformasinya menjadi gerakan jihadis yang militan. Berdasarkan
penelitian lapangan yang luas, berbagai wawancara dan studi literatur gerakan,
studi ini menunjukkan bahwa keberadaan Laskar Jihad tidak dapat dipisahkan dari
kampanye global Arab Saudi yang sangat ambisius untuk Wahhabisasi umat Islam.
Beroperasi di bawah panji gerakan dakwah Salafi transnasional, kampanye ini
telah berhasil menyebarkan pesan Wahhabi di seluruh dunia. Dampak dari kampanye
ini telah dirasakan di Indonesia sejak pertengahan tahun 1980-an, yang
mencerminkan keberhasilan para pendukung gerakan ini untuk menarik sejumlah
besar pengikut dan membangun arus aktivisme Islam eksklusif.
Studi
ini membahas bagaimana perkembangan cepat gerakan Salafi bertepatan dengan
meningkatnya ketegangan di antara para protagonisnya yang disebabkan oleh meningkatnya
persaingan mereka untuk menjadi perwakilan sah gerakan tersebut. Fragmentasi
dan konflik di kalangan Salafi menjadi tak terhindarkan. Aktor utama gerakan
ini adalah Ja'far Umar Thalib, seorang kader khas Islamisme yang tumbuh dalam
suasana puritan al-Irsyad dan Persis, dua organisasi Muslim reformis di
Indonesia. Militansinya matang di Pakistan, dan dia pergi ke Afghanistan untuk
bertarung dengan mujahid Afghanistan. Sekembalinya, ia segera membenamkan
dirinya dalam aktivisme Salafi, memberikan ceramah dan khotbah di pusat-pusat
pengajaran Salafi yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Didukung oleh
penelitian lebih lanjut dengan Muqbil ibn Hādī al-Wādi‘ī dari Yaman, ia dengan
cepat muncul sebagai otoritas gerakan yang paling terlihat dan terkemuka.
Memanfaatkan
jaringan yang sudah ada sebelumnya dan ikatan antarpribadi yang dibentuk
melalui aktivisme dalam gerakan Salafi, Ja'far Umar Thalib memobilisasi ribuan
Salafi dan calon mujahid lainnya untuk bergabung dengan Laskar Jihad. Melalui
retorika konspirasi menyalahkan kekuatan Zionis dan Kristen internasional untuk
eskalasi konflik Maluku, ia menciptakan dalih untuk tindakan kolektif yang
mendorong perubahan analitis dari individu ke kelompok. Berdasarkan dalih ini,
yang diperkuat dan dilegitimasi oleh fatwa-fatwa dari otoritas keagamaan
terkemuka di Timur Tengah, kaum Salafi membenarkan tindakan mereka dan
menciptakan identitas kolektif baru sebagai pahlawan bagi agama mereka dan
sesama umat beriman dan sebagai patriot bagi negara tercinta mereka. Jadi,
tidak mengherankan bahwa mereka bersaing satu sama lain untuk menjadi kapten
kapal yang akan membawa mereka ke garis depan Maluku dalam upaya keras untuk
menyerap diri dalam konflik komunal berlarut-larut yang berlarut-larut di
pulau-pulau. Bagi para pemuda ini, jihad tampaknya tidak hanya menunjukkan
komitmen mereka terhadap Islam tetapi juga cara untuk mengekspresikan kebencian
dan frustrasi mereka dalam menghadapi modernisasi dan globalisasi yang cepat.
Dari
April 2000 hingga bubar pada Oktober 2002, Laskar Jihad mengirim lebih dari
7.000 pejuang ke Maluku untuk menghadapi orang-orang Kristen. Episode singkat
aktivisme jihad ini berutang banyak pada dukungan dari elit militer yang
melihatnya sebagai kesempatan untuk menggunakan kelompok-kelompok Muslim
militan untuk membalas terhadap Abdurrahman Wahid karena telah memecat mereka
dari posisi-posisi penting militer. Namun ironisnya, sebagian besar pejuang
Laskar Jihad adalah pejuang yang tidak memiliki keterampilan. Mereka pergi ke
Maluku dengan pengalaman terbatas dan kemampuan bertarung yang belum teruji.
Prestasi terbesar mereka mungkin terletak pada penciptaan propaganda yang
berhasil memengaruhi opini publik melalui media. Mengingat fakta ini,
penelitian ini berpendapat bahwa jihad yang dilakukan oleh Laskar Jihad dapat
lebih akurat digambarkan sebagai drama: upaya oleh Salafi untuk menopang selfi-image
(gambar diri) mereka sebagai pembela Islam yang paling berkomitmen, dan dengan
demikian menempatkan identitas mereka pada peta Islam Indonesia.
Pendahuluan
Pada
21 Mei 1998 Indonesia menyaksikan runtuhnya rezim otoriter Orde Baru pimpinan
Soeharto yang telah berkuasa selama lebih dari tiga puluh dua tahun. Peristiwa
dramatis ini dipicu oleh krisis ekonomi Asia pada pertengahan 1997, yang
menyebabkan kehancuran dramatis mata uang Indonesia, inflasi, pemecatan massal
dan pengangguran. Ketika krisis semakin dalam, suara-suara perbedaan pendapat
dan oposisi terhadap rezim meningkat. Kekecewaan dan frustrasi yang meluas
memicu gelombang protes populer yang dipimpin oleh mahasiswa yang juga
melibatkan para intelektual, profesional, aktivis dari organisasi
non-pemerintah dan elemen-elemen lain dari masyarakat sipil Indonesia.
Demonstrasi besar-besaran ini menyuarakan reformasi dan menuntut Soeharto
dicopot. Menyusul kerusuhan berdarah yang menghantam Jakarta pada 14 dan 15 Mei
1998, ketika ratusan orang terbunuh dan banyak perempuan Cina diperkosa,
Soeharto merilis pengunduran dirinya, dan kemudian wakil presiden BJ Habibie
segera dilantik sebagai penggantinya.
Jatuhnya
Soeharto terbukti menjadi terobosan demokratis yang menentukan. Di bawah
presiden transisi Habibie (dan ternyata) dan penggantinya Abdurrahman Wahid,
sebuah proses liberalisasi dan demokratisasi yang berjangkauan luas, ditambah
dengan melemahnya kekuasaan negara, benar-benar mengubah lanskap politik.
Berbagai ideologi, identitas, dan minat yang sebelumnya ditekan naik ke
permukaan dan mengekspresikan diri. Mereka berkompetisi untuk ruang publik yang
baru dibebaskan dan berjuang untuk mendapatkan dukungan rakyat. Paradoksnya, di
beberapa provinsi di Indonesia, khususnya Kalimantan Barat dan Tengah, Nusa
Tenggara Timur, Maluku dan Sulawesi Tengah, kerusuhan dan konflik komunal
berkobar di sepanjang perpecahan agama, ras dan etnis. Dalam kurun waktu yang
sangat singkat, konflik-konflik ini menelan ongkos ribuan nyawa dan membawa
negara ini ke jurang perang saudara.
Selama
masa transisi yang kacau dan kacau ini, sejumlah kelompok paramiliter Muslim
dengan nama-nama seperti Laskar Pembela Islam (Pembela Islam) Pasukan), Laskar
Jihad (Pasukan Perang Suci) dan Laskar Mujahidin Indonesia (Pasukan Pejuang
Suci Indonesia) mencapai ketenaran dengan turun ke jalan untuk menuntut
implementasi komprehensif syariah (hukum Islam), perampokan kafe, diskotik,
kasino, rumah bordil dan sarang kejahatan terkenal lainnya, dan yang paling
penting, menyerukan jihad di Maluku dan tempat-tempat masalah lainnya. Melalui
tindakan ini, mereka mengkritik sistem politik, sosial dan ekonomi yang berlaku
karena gagal menyelamatkan umat Islam Indonesia (komunitas umat beragama) dari
krisis yang sedang berlangsung, sambil menunjukkan tekad mereka untuk
memposisikan diri sebagai pembela Islam yang paling berkomitmen.
Kemekaran
organisasi-organisasi ini telah melengkapi dan memfasilitasi pengembangan kelompok-kelompok
pemuda main hakim sendiri yang serupa yang diorganisir oleh partai-partai
politik, organisasi massa, dan rezim yang berkuasa. Di antara kelompok-kelompok
ini adalah Barisan Pemuda Ka'bah (Pasukan Pemuda Ka'ba), Pam Swakarsa (Pasukan
Keamanan Swalayan), Pendekar Banten (Pejuang Banten), Gerakan Pemuda Islam
(Gerakan Pemuda Muslim, GPI) dan Front Hizbullah Bulan Bintang (Bagian Depan
Tentara Dewa Bulan Sabit). Dalam mengekspresikan diri dan kepentingan mereka
dalam ruang publik Indonesia, kelompok-kelompok ini berorganisasi dengan
organisasi Muslim konservatif lainnya, seperti Komite Indonesia untuk
Solidaritas Dunia Islam (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Muslim,
KISDI), Jama’ah Ikhwanul Muslimin Indonesia (Community of Indonesian Muslim
Brotherhood, JIM), Hizbut Tahrir Indonesia (Indonesian Islamic Party of
Liberation, HT), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (the United
Action of Indonesian Muslim Students, Kammi) and Himpunan Aksi Mahasiswa
Muslim antar-Kampus (Collaborative Action of University Muslim Students,
Hammas).
Laskar Pembela Islam (LPI)
Laskar
Pembela Islam adalah divisi paramiliter dari Front Pembela Islam (Front Pembela
Islam, FPI), yang didirikan oleh Muhammad Rizieq Syihab (lahir 1965), seorang
pemuda keturunan Hadrami yang lahir dalam keluarga sayyid yang mengklaim mereka
adalah keturunan Nabi. Dia berkolaborasi dengan tokoh-tokoh terkemuka lainnya
dalam jaringan sayyid, termasuk Idrus Jamilullail, Ali Sahil, Saleh al-Habsyi,
Segaf Mahdi, Muhsin Ahmad Alatas dan Ali bin Alwi Ba'agil. Sebelum mendirikan
organisasi ini, ia telah membuat nama sebagai seorang pengkhotbah agama
terkenal di samping tugas sehari-harinya sebagai guru agama di sekolah Islam
dari organisasi Jamiatul Khair Hadrami di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Daerah
ini dikenal sebagai salah satu pusat pengaruh sayyid terpenting di ibukota
Indonesia. Masjid Kwitang di dekatnya berfungsi sebagai 'pusat politik' sayyid,
tempat tokoh-tokoh kuat yang terkait dengan Orde Baru berafiliasi dengan diri
mereka sendiri. Setelah lulus dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa
Arab (Lembaga Studi Islam dan Arab, LIPIA), sebuah lembaga pendidikan tinggi
yang berbasis di Jakarta yang disponsori langsung oleh Arab Saudi, Muhammad
Rizieq Syihab berkesempatan untuk melanjutkan studinya di Fakultas Tarbiyah di
Universitas Imam Muammad ibn Sa'ūd di Riyad di bawah sponsor Organisasi
Konferensi Islam (OKI).
Laskar
Pembela Islam, sebagian besar, tidak didirikan atas dasar kelembagaan yang
kuat. Grup ini diorganisasi secara longgar dengan keanggotaan terbuka. Sebagian
besar anggota masjid berasal dari asosiasi pemuda yang tersebar di seluruh
Jakarta dan sejumlah sekolah Islam (madrasah) di wilayah tersebut. Yang lain,
terutama dalam pangkat dan arsip, adalah pemuda yang benar-benar tidak memiliki
pekerjaan, termasuk mereka yang berasal dari kelompok preman (preman), yang
bergabung untuk janji pembayaran untuk setiap tindakan. Pimpinan organisasi
mendorong para anggota untuk mendengarkan ceramah keagamaan reguler yang
diberikan oleh Muhammad Rizieq Syihab, yang secara konsisten menekankan
pentingnya jihad dan semangat moto 'untuk hidup dengan mulia atau lebih baik
mati dalam perang suci sebagai martir'. Dalam perjalanan kali, Laskar Pembela
Islam berhasil memperluas jaringannya ke kota-kota di luar Jakarta, mengklaim
telah mendirikan delapan belas provinsi dan lebih dari lima puluh cabang
kabupaten dengan puluhan ribu simpatisan di seluruh Indonesia.
Namun,
sebagai organisasi paramiliter, Laskar Pembela Islam memiliki sistem
stratifikasi yang berbeda. Itu dibagi menjadi jundis (dari jundah Arab,
secara harfiah berarti 'prajurit'), yang mirip dengan peleton, yang
masing-masing terdiri dari dua puluh satu anggota. Setiap jundi dipimpin
oleh ra'is (Ar-Rā'is, secara harfiah berarti 'pemimpin'), lebih rendah
dari amir (Al- 'Amīr, secara harfiah berarti' penguasa '). Amir
praktis adalah pemimpin Laskar Pembela Islam di tingkat kecamatan. Mereka berada
di bawah qa‘id (Al-Qā‘id, secara harfiah berarti 'komandan'),
yang melayani sebagai pemimpin di tingkat kabupaten, dan wali (Al-Wālī,
secara harfiah berarti 'wali'), para pemimpin di tingkat provinsi. Semua wali
berada di bawah imam (Al-Imām, kepala staf), yang kedua dari panglima,
yang dikenal di antara para anggota sebagai imam besar, 'pemimpin besar'.
Laskar
Pembela Islam pertama kali membuat kehadirannya terasa dalam sebuah demonstrasi
massa pada 17 Agustus 1998, di mana ia dengan keras menantang elemen-elemen
yang telah menolak Habibie sebagai penerus Soeharto. Itu menjadi kelompok yang
paling aktif dalam melakukan apa yang disebut razia maksiat, penggerebekan pada
wakil. Bersenjatakan tongkat, para anggota berulang kali menyerang kafe,
diskotik, kasino, dan rumah bordil, meneriakkan slogan al-'amr bi al-ma'rūf
wa al-nahy ‘an al-munkar, ungkapan Alquran yang berarti melakukan perbuatan
baik dan sebaliknya. Dalam melakukan tindakan ini, mereka biasanya bergerak
lambat, mendekati target mereka menggunakan truk terbuka. Mereka dengan cepat
menghentikan kegiatan apa pun yang terjadi dan menghancurkan apa pun yang
mereka temukan di sana. Tindakan ini tidak menimbulkan tantangan berarti dari
agen keamanan.
Untuk
menyuarakan tuntutan politiknya lebih keras, Laskar Pembela Islam mengorganisir
lebih banyak demonstrasi massa. Merayakan ulang tahun pertamanya pada bulan
Agustus 1999, ribuan anggota berbaris ke markas Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR). Mereka melambaikan spanduk dan poster yang mendukung upaya pemilihan
Habibie, sementara dengan keras dan tegas mengutuk pencalonan presiden Megawati
Soekarnoputri. Pada saat yang sama, mereka menuntut pemerintah membatalkan
kebijakan asas tunggal, atau 'satu-satunya yayasan', yang mengharuskan semua
organisasi politik dan sosial untuk menerima Pancasila, ideologi negara,
sebagai satu-satunya dasar keberadaan mereka. Mereka bahkan menuntut MPR
menegakkan Piagam Jakarta, yang dulunya dimaksudkan sebagai mukadimah
konstitusi. Dalam dokumen ini pernyataan 'dengan kewajiban untuk melaksanakan
syariah bagi penganutnya' ditambahkan pada prinsip pertama (Percaya pada Allah
swt) Pancasila, yang akan memberikan status konstitusi hukum Islam.
Pada
satu kesempatan, anggota Laskar Pembela Islam tanpa rasa takut menyerang Komisi
Nasional Hak Azazi Manusia (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia / Komnasham),
yang dikutuk karena bertindak tidak adil terhadap Muslim dan mendukung orang
Kristen. Pada saat itu, komisi sedang menyelidiki tindakan masa lalu dari
jenderal-jenderal militer tertentu, terutama Menteri Pertahanan Wiranto, yang
diduga melakukan pelanggaran HAM selama operasi militer di Timor Timur. Laskar
Pembela Islam bahkan berani mengambil alih Kantor Gubernur Jakarta dan memaksa
Gubernur Sutiyoso untuk mempertimbangkan kembali kebijakannya mengenai
tempat-tempat hiburan. Mereka mengeluarkan ultimatum bahwa gubernur segera
menutup sejumlah diskotek dan membatasi jam operasinya.
Laskar Jihad
Karakter
longgar keanggotaan Laskar Pembela Islam membuatnya dapat dibedakan secara
signifikan dari Laskar Jihad. Yang terakhir adalah kelompok paramiliter yang
menyatukan para pemuda yang menyebut diri mereka Salafi, pengikut Salaf al6āli,
leluhur yang saleh. Kelompok ini aktif di bawah organisasi payung Forum
Komunikasi Ahlus Sunnah wal-Jama'ah (Forum untuk Pengikut Sunnah dan
Komunitas Nabi), untuk selanjutnya disebut FKAWJ, yang pembentukannya secara
resmi diresmikan dalam pertemuan massa agama yang gamblang, tabligh akbar,
diadakan di Yogyakarta pada Januari 2000. Bahkan sebelum yayasan resmi, FKAWJ
sudah ada. Ini berawal di Jama'ah Ihyaus Sunnah, yang pada dasarnya merupakan
gerakan dakwah (penyebaran Islam) eksklusif yang berfokus pada kemurnian iman,
tauhid, dan integritas moral individu selanjutnya.
Laskar
Jihad didirikan oleh Ja'far Umar Thalib (lahir 1961) dan tokoh-tokoh terkemuka
di kalangan Salafi termasuk Muhammad Umar As-Sewed, Ayip Syafruddin dan Ma'ruf
Bahrun. Ja'far lahir dalam keluarga Hadrami yang aktif di al-Irsyad, sebuah
organisasi Muslim modern yang didominasi oleh orang-orang Hadrama Indonesia.
Sebelum belajar di LIPIA, ia telah terdaftar di sebuah pesantren, sebuah pondok
pesantren, di bawah naungan organisasi modernis Muslim lainnya, Persatuan Islam
(Persatuan Islam, Persis), di Bangil, Jawa Timur. Dia kemudian memperluas
wawasannya ke dalam Islam dengan belajar di Islamic Mawdudi Institute di
Lahore, Pakistan. Selama studinya di sana, ia memiliki kesempatan untuk pergi
ke Afghanistan, yang pada saat itu sedang dalam perang yang panjang dan
melelahkan melawan Uni Soviet. Dia mengklaim memiliki pengalaman yang luar
biasa dari medan perang Afghanistan dengan berbagai faksi mujahid Afghanistan
(pejuang suci). Pengalaman heroik ini kemudian diperkuat oleh 'perjalanan
akademisnya' ke Timur Tengah untuk belajar dengan otoritas keagamaan terkemuka,
khususnya Muqbil ibn Hādī al-Wadi di Yaman.
Laskar
Jihad didirikan sebagai perpanjangan dari Divisi Khusus FKAWJ, yang kantor
pusatnya berlokasi di Yogyakarta, dengan cabang-cabang provinsi dan kabupaten
tersebar di hampir setiap provinsi di Indonesia. Divisi ini pada awalnya
dibentuk sebagai unit keamanan untuk FKAWJ, khususnya, untuk menjaga aktivitas
publiknya. Menjadi model organisasi militer, Laskar Jihad terdiri dari satu
brigade yang dibagi menjadi batalion, kompi, peleton, tim, dan satu bagian
intelijen. Empat batalionnya termasuk yang dimiliki Abu Bakar al-Siddīq, ‘Umar
bin Khaab,‘ Uthmān bin ‘Affān, dan‘ Alī bin Abi Tālib. Setiap batalion memiliki
empat kompi, masing-masing kompi empat peleton dan masing-masing peleton
masing-masing tiga tim dengan sebelas anggota. Ja'far Umar Thalib sendiri
diangkat sebagai panglima dan dibantu oleh sejumlah komandan lapangan. Simbol
dari kelompok ini adalah dua pedang bersilang di bawah tulisan ‘Lā ilāha illa
Allāh, Muammad Rasūl Allāh’ (‘Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan-Nya).
Laskar
Jihad menarik perhatian publik ketika mengadakan Tabligh Akbar di Stadion Utama
Senayan di Jakarta pada awal April 2000. Dihadiri oleh sekitar sepuluh ribu
peserta, tabligh akbar ini mengecam 'bencana' yang menimpa umat Islam Maluku,
yang dianggap terancam oleh genosida. Untuk menangkal ancaman itu, Ja'far Umar
Thalib, sebagai panglima tertinggi, menyatakan perlunya jihad bersenjata. Dia
secara terbuka menyatakan tekadnya untuk berdiri bahu membahu dengan Muslim
Maluku yang berperang melawan musuh-musuh Kristen. Selanjutnya, ia mendirikan
kamp pelatihan paramiliter di Bogor, selatan Jakarta. Apa yang disebut
pelatihan paramiliter bersatu diselenggarakan di bawah pengawasan mantan
anggota resimen mahasiswa (resimen mahasiswa) dan veteran Perang Afghanistan,
Moro dan Kashmir. Dilaporkan bahwa pelatihan juga melibatkan beberapa personil
militer.
Faktanya,
Laskar Jihad muncul sebagai kelompok terbesar dan terorganisir yang mengirim
pejuang jihad sukarela ke Maluku. Mereka mengklaim telah mengirim lebih dari
tujuh ribu pejuang selama periode dua tahun. Dikerahkan di berbagai tempat
untuk menghadapi orang-orang Kristen, kehadiran mereka tidak diragukan lagi
mengubah peta konflik komunal yang sedang berlangsung di pulau-pulau. Didorong
oleh semangat jihad yang dibawa oleh para pejuang ini, Muslim Maluku tampaknya
menjadi lebih agresif dalam serangan mereka terhadap orang-orang Kristen,
percaya bahwa saatnya telah tiba untuk membalas dendam mereka. Laskar Jihad
memperkuat keberadaannya di pulau-pulau dengan mengatasi masalah sosial dan
menyebarkan pesan agama. Tidak hanya mendirikan taman kanak-kanak Islam,
sekolah dasar dan kursus-kursus pembacaan Al-Quran, tetapi juga pergi dari
rumah ke rumah untuk mengabar kepada orang-orang secara langsung. Kemudian, ia
berusaha memperluas zona jihadnya dengan mengirim ratusan pejuang ke Poso,
Sulawesi Tengah. Meskipun upaya ini gagal, para pejuangnya bahkan mencoba untuk
mendarat di Papua Barat dan Aceh.
Seperti
Laskar Pembela Islam, Laskar Jihad berulang kali memicu kerusuhan jalanan. Atas
nama penerapan sharī membersa, para anggotanya menyerang kafe, rumah bordil dan
sarang perjudian di beberapa kota. Karena seruan untuk penerapan syariah telah
menjadi lebih lancar diartikulasikan di seluruh negeri, mereka bahkan memungut hukuman
rajm pada seorang pejuang yang melakukan pemerkosaan dan melempari dia dengan
batu sampai mati. Mereka turun ke jalan untuk memprotes sejumlah kebijakan
Abdurrahman Wahid, seperti usulannya untuk mencabut keputusan MPR yang melarang
Partai Komunis Indonesia (Partai Komunis Indonesia, PKI). Laskar Jihad
menganggap dia gagal menjalankan tugasnya sebagai pemimpin Muslim dan
membiarkan negaranya terjebak dalam konspirasi yang diyakini sebagai karya
Barat dan Zionisme Israel.
Dikutip
dari Disertasi berjudul Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian
Identitas di Era Post-Orde Baru Indonesia oleh Prof. Noorhaidi Hasan, S.Ag., MA., M.Phil., Ph.D
(Guru Besar dan Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar