Pages

Jumat, 22 Mei 2020

Diaspora Melanesia di Nusantara


Sumber gambar: kebudayaan.kemdikbud.go.id

“Ibarat bulan matahari istana Majapahit indah tiada taranya perumahan-perumahan  bersinar indah tertata mengelompok amat rapi bagai cahayanya bintang kerajaan  bagi yang lain terutama Daha, negeri-ngeri di Nusantara semua tunduk dan berlindung  pada Majapahit”

Maka dalam naskah yang ditinggalkannya, Nagarakertagama, sang pujangga, Mpu Prapanca pun menyebutkan nama-nama wilayah yang berada di bawah kekuasaan atau—lebih tepat—dominasi Majapahit, kerajaan besar yang berpusat di Trowulan (sekarang). Pujangga besar abad 14 ini pun menyebutkan nama-nama wilayah  taklukan Majapahit itu. Ia memulai daftar taklukan itu dari belahan Barat kepulauan Nusantara, dilanjutkan ke bagian tengah dan akhirnya ke wilayah sebelah Timur. 

“Tersebutlah pulau –pulau seperti Makasar, Buton, Banggawi Kunir, Galiyan, serta Selayar, Sumba, Solot, Muar Lagi pula  Wandan, Ambon atau Maluku, Waini, Seram, Timor dan pulau-pulau lainnya berdekatan”

Dengan penyebutan nama–nama daerah--dari Barat sampai ke bagian Timur dari kepulauan Nusantara ini--naskah yang ditulis dalam bahasa Kawi ini sebenarnya menjelaskan  pernyataan yang telah lebih dulu disampaikannya, betapa kesemuanya membayangkan, “Ibarat bulan matahri Majapahit indah tiada taranya Perumahan-perumahan  bersinar indah tertata  mengelompok amat rapi, Bagai cahayanya bintang kerajaan bagi yang lain terutama Daha Negeri-negeri di Nusantara semua tunduk dan berlindung pada Majapahit”

Dengan adanya berbagai peristiwa kesejarahan yang sempat terekam dalam sekian banyak prasasti serta naskah-naskah yang ditulis di zaman yang sama atau satu dua abad sesudahnya– jangankan dalam tradisi lisan bahkan juga dan tidak pula kurang  pentingnya kesaksian dari sekian banyak sumber asing, maka bisalah dipahami juga kalau zaman Majapahit tetap hidup dalam ingatan penduduk di kepulauan, yang secara  ilmiah sejak lebih dari seratus tahun yang lalu telah dinamakan, “Indonesia” – serangkaian kepulauan di lautan Hindia. Dengan berbagai uraian tentang peristiwa yang pernah  terjadi dalam wilayah yang  dikatakan merangkul keseluruhan kepulauan ini maka mestikah diherankan kalau batas antara sejarah—peristiwa yang otentik terjadi di masa lalu--dan legenda— yang “konon pernah terjadi” —telah mengabur dan bahkan dengan begitu saja bisa bercampur baur? Jadi bisalah dipahami kalau kepastian historis tentang wilayah kerajaan Majapahit bisa terasa kabur juga  Dalam suasana ini bisalah dipahami juga kalau  di beberapa daerah, bahkan di belahan Timur kepulauan Indonesia, berbagai corak tradisi lisan dan ingatan kolektif tentang Majapahit  biasa juga dikisahkan. Berbagai cerita tentang Gajah Mada sampai kini pun masih diulang-ulang. Dalam tradisi dari sebuah desa di Bima, Sumbawa, ada kisah yang mengatakan bahwa perdana menteri Majapahit yang terkenal ini sesungguhnya kelahiran  desa itu. Di waktu remaja ia pergi merantau ke Majapahit. Setelah tua ia pulang kampung. Setelah meninggal dan dikuburkan di desa kelahirannya.

Apakah sesuatu yang aneh kalau romantisisme masa lalu dijadikan sebagai salah satu landasan ketika hak dan tatanan serta landasan ideologis dari masyarakat yang diinginkan sedang diperjuangkan? Apakah romantisisme kesejarahan, yang mengimpikan kembalinya kelampauan yang dibayangkan sebagai masa gemilang yang telah hilang, adalah suatu kejanggalan di saat harga diri sebagai bangsa sedang menaik?  Apapun mungkin jawabnya, suatu kepastian dalam pengalaman sejarah tidak mungkin terlupakan—romantisisme sejarah bukan saja landasan legitimasi perjuangan untuk mendapatkan masa depan yang diinginkan tetapi adalah pula gambaran dan bahkan idealisme dari suasana sosial politik bangsa yang diinginkan. Romantisisme sejarah memang biasa mendampingi hasrat nasionalisme, karena dalam suasana perasaan seperti inilah  salah satu landasan dan sekaligus pendorong semangat perjuangan biasa dipelihara. Bukankah nasionalisme adalah landasan ideologis yang mencita-citakan terbentuknya sebuah tatanan sosial-politik yang ideal bagi kesatuan sosial-politik yang telah disebut “bangsa”? Maka begitulah sejak kesadaran nasionalisme modern telah mulai tumbuh sikap romantik dalam melihat masa lalu pun menaik pula.

Nasionalisme modern bertolak dari hasrat politik dan keinginan sosial-kultural untuk  menciptakan masyarakat dan negara modern—suatu situasi yang melampaui tingkat kemakmuran serta ketinggian peradaban dan nilai corak ikatan kemasyarakatan yang konon pernah dinikmati nenek moyang. Ketika hasrat politik yang modern ini telah mulai bersemi di hati masyarakat sebangsa maka visi romantis tentang sejarah bangsa pun semakin dipupuk dan disebarluaskan. Dalam suasana perasaan dan cita-cita inilah  bayangan kebesaran masa lalu menjadi sumber inspirasi bahkan landasan aspirasi masa depan yang diimpikan dan diperjuangkan. Nasionalisme memang suatu idealisme yang mencita-citakan terbentuknya masyarakat-bangsa yang modern yang mempunyai kecenderungan mempunyai visi yang romantis tentang masa lalu—masa lalu yang belum dinodai oleh kolonialisme. Bukankah dalam pidato-pembelaannya yang terkenal, Indonesia Menggugat (1930) Bung Karno membagi sejarah Indonesia  atas tiga zaman? Dengan semangat berapi-api dalam pidato pembelaannya di hadapan  pengadilan kolonial Hindia Belanda di kota Bandung, tokoh PNI yang terkemuka itu mengatakan “rahasia” kampanyenya.

Dan caranya menyuburkan nasionalisme itu? Jalannya menghidupkannya? Jalannya adalah tiga : Pertama :  kami menunjukkan kepada rakyat, bahwa ia punya hari dulu, hari dulu yang indah;

Kedua :  kami menambah keinsyafan rakyat, bahwa ia punya hari sekarang, adalah hari sekarang yang gelap;

Ketiga : kami memperlihatkan kepada rakyat sinarnya hari kemudian yang berseri-seri dan terang cuaca, beserta cara-caranya mendatamgkan hari kemudian yang penuh dengan janji-janji itu.

Masa lalu yang gemilang, masa kini yang gelap gulita, dan masa depan yang penuh harapan? Maka begitulah perjuangan nasional yang dilancarkannya bukanlah untuk merampas sesuatu yang tidak pernah dimiliki. Perjuangan nasional adalah pula pergumulan yang penuh idealisme untuk mendapatkan kembali kejayaan masa lalu yang dibayangkan pernah dimiliki, betapapun kini kejayaan itu kini telah ditempa oleh hasrat nasionalisme yang telah diwarnai oleh cita-cita untuk mendapatkan masa depan yang penuh harapan. Nasionalisme tidak pernah  terpisah dari idealisme—baik yang bertolak dari hari harapan untuk mendapatkan corak dan tatanan masa depan yang dicita-citakan, maupun yang telah  dipoles oleh romantisisme akan kegemilangan masa lalu yang konon pernah dimiliki.

Dalam konteks inilah pula Mr (Meester in de rechten) Mohammad Yamin (1903-1962)— seorang penyair dan aktivis organisasi kepemudaan di masa remaja, ahli hukum yang aktif dalam pergerakan kebangsaan setelah dewasa dan sejarawan dengan visi nasionalisme yang romantis sampai akhir hayat — tanpa ragu-ragu mengatakan bahwa dalam tinjauan kesejarahan maka Republik Indonesia adalah negara yang ketiga yang mempersatukan Nusantara. Setelah zaman kebesaran Sriwijaya (abad ke-7-13) telah mendekati masa akhirnya maka ketika itulah pula kekuatan pemersatu yang baru menampilkan dirinya. Di saat zaman kebesarannya telah datang, Majapahit kerajaan yang berpusat di pantai Utara bagian Timur pulau Jawa ini pun pun menampilkan dirinya bukan saja sebagai kekuasaan  politik yang paling dominan di bumi Nusantara tetapi juga kekuatan pemersatu seluruh wilayah. Bukankah hal-hal ini dikisahkan sang pujangga kraton Mpu Prapanca dalam  Nagarakertagama sebagai suatu realitas kekinian?

Tetapi dalam gejolak perjalanan waktu, Majapahit akhirnya mengalami krisis juga. Ketika hal ini telah terjadi, maka Jawa pun telah memasuki periode  baru dalam arus sejarahnya—sebuah kerajaan Islam telah berdiri di bumi Jawa. Seketika hal itu terjadi maka  sejak itu pula hasrat kembali ke zaman Majapahit  menjadi suatu kemustahilan, betapapun kenangan bahkan bayangan akan kemegahannya masih didendangkan kisah-kisah tentang kehebatannya diulang-ulang dalam suasana nostalgia.  Begitulah—jika romantisme sejarah yang dihasilkan Yamin diikuti terus–maka dengan kejatuhan Majapahit berarti zaman kesatuan Nusantara yang kedua pun telah pula berakhir. Tetapi dalam gejolak sejarah yang tiada akhir ini kekuatan sejarah yang telah ditempa oleh dorongan semangat nasionalisme akhirnya berhasil mendirikan sebuah negara modern-Republik Indonesia, suatu kesatuan politik nasional telah berdayung ke pantai harapan yang dicita-citakan.

Jika saja ada atau tidak adanya catatan yang dipakai sebagai ukuran untuk menentukan tingkat keberuntungan suatu pusat kekuasaan maka memang harus dikatakan juga bahwa kerajaan Sriwijaya—sistem kekuasaan yang dikatakan Yamin sebagai kekuatan pemersatu yang pertama dalam sejarah bangsa-- tidaklah seberuntung Majapahit. Bukankah kebesaran Majapahit tercatat dan teringat dan bahkan masa akhirnya pun dinukilkan dalam sebuah ungkapan-- “sirna ilang krta ning bhumi”? Ungkapan  ini bukan saja menyatakan tentang telah datangnya  “masa akhir”, tetapi juga  berfungsi sebagai angka tahun (1470 Caka atau 1478 Masehi). Tetapi tidak demikian halnya dengan Sriwijaya – dinamika perjalanan sejarahnya diketahui, tetapi masa awalnya barulah bisa diketahui setelah didapatkan pemahaman atas simbol historis yang dipancarkan prasastiprasasti yang ditinggalkannya, sedangkan masa akhirnya lebih didasarkan pada hipotesa yang bertolak dari pemahaman atas berbagai rangkaian peristiwa yang dialaminya– serangan dari kerajaan Chola dan pamalayu  yang dilancarkan Kertanagara dari kerajaan Singasari di akhir abad ke-13. Apalagi menjelang akhir abad ke-14 Sriwijaya, yang memantulkan kesan enggan mengakui dominasi Majapahit, diserang dan dihancurkan oleh pusat kekuasaan yang sedang menaik di ujung Timur pulau Jawa ini. Maka konon setelah mengalami kehancuran yang nyaris total itu, bekas pusat kerajaan Sriwijaya itupun menjadi tempat berhenti dan bermukim para bajak laut Cina. Sejak perstiwa itu pula nama Sriwijaya semakin lama semakin terlupakan dan akhirnya hilang saja dalam ingatan, tetapi kehadiran historisnya enggan untuk lenyap begitu saja. Maka janganlah heran sampai tahun 1970-an masih saja ada perdebatan tentang lokasi dari pusat kerajaan Sriwijaya.

Jika lembaran sejarah hendak dibalik-balik lagi maka tampaklah  betapa di suatu masa kerajaan Sriwijaya tidaklah sekadar sebuah pusat kekuasaan politik dengan aktivitas perdagangan dan kemaritiman yang tanpa bandingan di perairan Nusantara. Menurut laporan asing, terutama yang berasal dari Cina dan India, ibukota Sriwijaya adalah pula salah satu pusat ilmu pengetahuan tempat para ilmuwan mempelajari secara mendalam ajaran dan filsafat Budhisme. Peranan Sriwijaya sebagai pusat ilmu pengetahuan inilah yang dikisahkan I Tsing, seorang pendeta Budha, yang sengaja datang bermukim di Sriwijaya untuk memperdalam Budhisme sebelum meneruskan studinya ke Nalanda (di India), pusat pemikiran dan ajaran Budhisme yang terpenting. Tetapi tidak seperti Majapahit, yang meninggalkan sekian banyak kenangan yang tercatat, Sriwijaya nyaris tidak meninggalkan naskah yang bisa berkisah tentang dinamika dari kehidupan politiknya – apalagi tentang romantisme suasana kraton, seperti yang bisa diceritakan tentang raja-raja Majapahit-- dan juga tidak pula tentang keluasan wilayah pengaruhnya. Betapapun laporan asing biasa juga mengatakan  Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan yang pernah menguasai perairan maritim Nusantara. Mungkin kelangkaan berita ini disebabkan karena konon, di suatu saat  ketika abad ke-11 telah dimasuki, sumber-sumber Cina memberi kesan bahwa  kerajaan maritim yang mula-mula berpusat di Palembang ini,  pindah ke Melayu atau Jambi. Sejak itu Sriwijaya bercamour aduk dengan nama Melayu atau malah  sempat seakan-akan terlupakan. Tetapi kekaburan historisitas dari dinamika internal yang pernah dialaminya ternyata semakin memperkuat nilai mitos yang terlekat pada dirinya. Maka bisalah dipahami juga kalau kemudian  sebuah kerajaan maritim yang berhasil menjadikan dirinya sebagai salah satu pusat.

Trajektori Melanesia di Indonesia

Jika gambaran geografis kepulauan Indonesia telah teringat maka apakah yang terbayang lebih dulu kalau bukan pulau-pulau besar yang saling berdekatan, sedangkan pulau kecil-kecil tidak jarang terasa seakan-akan saling berjauhan dan bahkan saling terpencil. Hanya rangkaian apa yang dulu disebut kepulauan Sunda Kecil, tetapi sekarang telah dinamakan--sesuai dengan anjuran Mohammad Yamin-- Nusa Tenggara, yang tampak hampir-hampir teratur berjejeran. Ketika gambaran geografis ini telah dijadikan sebagai wadah dari para penghuninya  maka yang segera terbayang ialah terhamparnya sekian banyak  bahasa yang berbeda-beda—kadang-kadang agak saling berdekatan, tetapi tidak pula jarang saling mempunyai tingkat keasingan yang tinggi, terutama dalam soal perbendaharaan kata-kata. Kalau telah begini halnya dalam situasi kebahasaan maka tentu bisa dibayangkan perbedaan tradisi dan kebiasaan masyarakat lokal, andaikan  berbagai landasan fundamental kebudayaan tidak terlalu berbeda. Akhirnya mestikah harus diherankan kalau sebuah pertanyaan sederhana tetapi fundamental tertanyakan juga—hal-hal apakah yang memungkinkan terjalinnya hubungan dari sekian ratus kesatuan etnis, yang berdiam di sekian ratus pulau dan mempunyai bahasa sekian ratus pula—sehingga merasa terikat juga dengan semboyan Bhinneka tunggal ika-- yang berasal sebuah bahasa tua yang kini jarang atau bahkan tidak dipakai lagi? Pertanyaan ini bertambah  penting  karena lebih dari sepertiga penduduk di kepulauan Indonesia  ini termasuk ras lain. Jika mayoritas suku-bangsa dikatakan  termasuk ras Austronesia, maka  yang lain dan  yang lebih kecil, ialah ras  Melanesia—jadi  sesungguhnya bahasa dan ciri-ciri biologis mereka lebih akrab dengan penduduk asli berbagai kepulauan, seperti Solomon dan  Vanuatu dan tentu saja Papua New Guinea, yang terletak di lautan Pasifik?

Setika pertanyaan ini telah tertanyakah maka mestikah diherankan kalau tradisi pelayaran dan perdagangan yang telah berjalan sejak zaman purbakala— setidaknya  sejak zaman kerajaan-kerajaan besar telah mulai meluaskan wilayah penjelajahannya–seperti teringat dengan begitu saja? Hanya saja jika di zaman purbakala, ketika perpindahan dan penjelajahan tanpa henti masih seakan-akan mengisi wilayah yang belumpunya penduduk yang tetap, kini pelayaran semakin memperlihatkan kecenderungan perluasan wilayah yang dikenal atau pencarian benda dan makanan yang diperlukan. Penjelajahan pelayaran ini tidak saja memberi pengaruh pada pendatang tetapi juga meninggalkan kesan bagi yang dikunjungi. Salah satu dampak dari penjelajahan dan pelayaran ini ialah terjalinya komunikasi. Jika seandainya daerah didatangi itu memberi kemungkinan untuk memberikan sesuatu yang diinginkan maka bisalah dibayangkan bahwa ketika arah angin telah sesuai  tempat itu akan dikunjungi lagi. Dalam proses selanjutnya beberapa daerah  akan semakin dikenal sebagai tempat  pemberhentian kapal layar yang populer. Jika prospek perdagangan baik dan arah angin teratur pula, apalagi jika sang penguasa dan pendukungnya bisa meladeni para pendatang dengan baik maka bisalah dibayangkan bahwa  dalam perkembangan selanjutnya a tempat kapal berlabuh itu mungkin juga bisa menjadi pelabuhan dagang yang populer. Apakah akibatnya seandainya kecenderungan  ini  berlangsung terus menerus? Memang jika setiap peristiwa dibanding-bandingkan tampaklah bahwa tidak ada yang sama, tetapi sebuah pola umum mungkin juga bisa ditemukan.

Bisalah dibayangkan pelabuhan yang sering dikunjungi itu akan semakin berkembang dan—jika perbandingan boleh dilakukan—pelabuhan itupun bukan saja akan menjadi salah satu pusat perdagangan tetapi juga sebuah wilayah tempat terjadinya  pertemuan kebudayaan. Salah satu contoh klasik dalam hal ini—dikatakan klasik karena sudah sangat terkenal – ialah Malaka, sebuah pusat perdagangan yang sangat terkemuka di abad ke-15 dan awal abad ke-16. Maka beberapa laporan asing pun sempat juga mengatakan Malaka sebagai sebuah kota tempat orang berbicara dalam “seribu bahasa”. Dengan kata lain pelabuhan dagang adalah salah satu pintu utama bagi terjadinya komunikasi kebudayaan. Ketika sebuah pelabuhan telah bisa bertahan maka sebuah kota pun telah pula dilahirkan. Masyarakat yang bersifat “campuran” pun mulai pula mewujudkan dirinya. Seketika hal ini telah terjadi sebuah pintu ke arah semakin terbukanya komunikasi antar-kebudayaan pun bermula pula. Maka mestikah diherankan kalau di kota-kota pelabuhan  bahasa Melayu campuran bisa juga menjadi bahasa pergaulan? Apakah suatu hal yang aneh kalau dalam situasi ini pengaruh agama baru bisa juga memasuki kesadaran penduduk setempat? Hal inilah yang terjadi ketika Ternate, Tidore dan lain-lain berkenalan dengan Islam dan dalam suasana ini pula bahasa Melayu mulai memasuki kehidupan penduduk setempat. Ketika kedua kerajaan ini meluaskan pengaruh  dagang dan politiknya  maka bisalah dibayangkan mereka asyik juga menyebarkan apa yang telah mereka dapatkan dalam proses interaksi kebudayaan.

Kasus Ambon dan Ternate unik juga. Sultan Zainal Abiddin pergi ke Giri untuk memperdalam pengetahuan agama. Di sinilah ia bertemu dengan seorang besar dari Tanah Hitu (Ambon). Ketika Sultan Zainal Abdin kembali ke Ternate iapun menjadikan kerajaannya sebagai sebuah kekuatan Islam dan berhasil menarik raja-raja kecil di sekitar Ternate, antara  lain Gorontalo-Limbotto. Persekutuan ini menjadi saluran bagi penyebaran Islam di Sulawesi Utara. Sementara itu dikatakanlah (sebagaimana dikisahkan dalam Hikayat Tanah Hitu) “tatkala perdana Pati Tuban datang dari tanah Jawa itu, lalu negeri Hitu pun masuk iman kepada Allah dan Mohammad serta agama Rasulullah saw. 

Kasus ini adalah contoh betapa perdagangan dan pelayaran serta tumbuh kota-kota pantai membawa dampak datangnya hasrat untuk mengunjungi daerah lain. Dalam suasana ini maka dua hal bisa terjadi sekaligus –yaitu penyebaran Islam dan pemakaian bahasa Melayu. Pasangan agama Islam dan bahasa Melayu sejak terjadinya kemunduran dua kekuasan besar—Majapahit dan Malaka— menjadi yang sangat biasa di wilayah Timur kepulauan Indonesia. Maka bisalah dikatakan bahwa hubungan dagang-ikatan keagamaan Islam dan bahasa Melayu Tetapi apakah hal ini sesuatu yang unik.

Ternyata di masa terjadinya apa yang dikatakan Schrieke  “race with Christianity” hal yang sama bisa dikatakan juga dengan agama Kristen—bahasa Melayu menjadi saluran dalam penyebaran dan pendalaman agama. Ketika Fransiscus Xaverius menyebarkan  agama Kristen di pulau  Ambon—jadi di wilayah di sebelah Tanah Hitu – ia telah memakai kitab Injil dalam bahasa Melayu, hasil terjemahan yang dilakukan di Malaka, yang setelah dikuasai Portugis sejak tahn 1511 akhirnya jatuh ketangan Belanda pada tahun 1640, tetapi senantiasa berada di bawah ancaman kekuatan –kekuatan dagang dan militer pribumi  di perairan Selat Malaka dan Laut Jawa. Konon karena  kemampuan orang Ambon Kristen memakai bahasa Melayu inilah kemudian pemerintah Belanda memakai mereka dalam pemerintahan dan—tentu saja—militer.

Tetapi sementara itu dinamika sejarah berjalan terus. Abad ke-17 sampai dengan akhir abad ke-19 adalah zaman yang kritis bagi kepulauan yang kini disebut Indonesia. Ketika inilah kekuatan –kekuatan kerajaan yang telah menampilkan dirinya sejak kejatuhan Malaka dan Majapahit —Aceh-Darussalam, Banten, GoaTallo dan bahkan juga Ternate dan Tidore— harus berhadapan dengan kekuatan Barat, yang semakin berhasil didominasi Belanda. Masa tiga abad ini boleh juga dikatakan sebagai periode yang penuh pergolakan. Maka ketika abad ke-19 telah dimasuki hanya tinggal beberapa kesultanan yang masih tegar menghadapi Belanda, yang telah meresmikan kehadirannya sebagai sebuah “negara kolonial”. Dalam masa ini pula  Belanda  bukan saja berhasil  mendirikan kota-kota baru di beberapa wilayah yang telah dikuasainya, tetapi juga telah mulai menjalankan roda pemerintahan. Bahkan sejak pertengahan abad ke-19 pemerintah Belanda mendirikan sekolah untuk keperluan calon-calon pegawai yang akan bisa membantunya dalam pengaturan anak negeri. Usaha dijalankan Belanda sampai masa akhir kekuasaannya. Tetapi bisalah dibayangkan bahwa daerah yang terbanyak  mendapat kesempatan belajar—kecuali  dua-tiga  kasus-- adalah pula daerah yang terlama berada di bawah kekuasaan Belanda. Ketika abad ke-20 telah dimasuki maka seluruh wilayah Nusantara telah bisa dikatakan berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Ketika itu di beberapa wilayah masyarakat setempat telah mulai mengenal kehidupan kota, yang bersifat heterogen dan diskriminatif yang rasialis.

Bisalah dibayangkan bahwa betapapun sifat kolonial tak terhindarkan, tetapi kehidupan kota bisa juga semakin membuka kesempatan untuk berbagai golongan, terlepas dari perbedaan etnis, agama, dan bahkan tingkat ekonomis, untuk saling berkenalan bahkan juga saling memahami. Di saat pendidikan keagamaan, yang selalu dipelihara, telah ditemani oleh pendidikan umum, bisa pulalah dibayangkan bahwa sekat-sekat yang menghalangi hubungan antar etnis semakin terbuka pula. Kalau sejak akhir abad 19 beberapa kota di pulau Jawa dan satu dua di Sumatra telah mengenal surat kabar, maka sejak awal abad 20 beberapa kota lain di luar Jawa dan Sumatera juga telah mulai mengenal surat kabar dan menyadari apa arti pertukaran berita dalam kehidupan bermasyarakat. Jika kebudayaan cetak telah mulai menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat maka bukan saja apa yang terjadi ditempat lain telah mungkin bisa diketahui tetapi juga apa yang dipikirkan dan direnungkan orang di daerah lain telah mungkin pula diresapi.

Begitulah kehidupan kota, yang bersifat heterogen dan diskriminatif, bisa memberi kesadaran rasa persamaan dengan sebagian pendatang dan masyarakat yang berdiam di tempat lain tetapi juga rasa perbedaan dengan golongan lain, yang berkuasa. Dengan mulai menyebarna pendidikan—meskipun sebagian besar hanya pada tingkat endah saja – tetapi telah mulai mengetahui kejadian dan corak pemikiran di tempat lain maka mestikan diherankan kalau rasa senasib bisa juga berkembang. Kalau hal ini telah bermula maka proses ke arah berseminya nasionalisme yang melampaui kesetiaan antara orang sekampung atau bahkan sedaerah dengan warisan kebudayaan yang sama  telah pula mulai bersemi.

Maka ketika kisah harus ditutup, siapakah yang akan heran jika di saat waktunya telah datang  dan matang, rasa kebangsaan Indonesia, yang konon mulai bersemi di wilayah ras Austronesia, telah pula menjadi milik yang tak bisa terlepas dari Indonesia bagian Timur, yang termasuk ras Melanesia?

Dikutip dari buku Diaspora Melanesia di Nusantara.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer