Pages

Jumat, 22 Mei 2020

Memajukan Suku Anak Dalam merupakan Tanggung Jawab Kita Bersama


Sumber gambar: omnduut.com

Sejarah tentang leluhur atau nenek moyang Suku Anak Dalam antar rombong tidak selalu sama dengan rombong lainnya. Bukan hanya dalam hal sejarah dan adat-istiadat belaka, melainkan permasalahan hidup yang dihadapi tiap rombong pun berbeda-beda. (Hauri dan Reverawati 2019) - mengutip buku Bececakop. Pada rombong Tumenggung Hari dan Tumenggung Badai misalnya. Mereka yang hidup berdampingan ternyata memiliki kesamaan mitos tentang asal-usul. Namun, kisah leluhur dua rombong ini sangatlah berbeda dengan yang dituturkan Tumenggung Ganta di Desa Sialang, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. 

Bila versi Suku Anak Dalam Desa Dwikarya mengisahkan leluhurnya yang berasal dari prajurit perang, Suku Anak Dalam dari Desa Sialang memercayai bahwa mereka adalah keturunan Bujang Perantau dan Dewi Kelumpang. 

Perbedaan riwayat leluhur antar rombong Suku Anak Dalam menimbulkan pertanyaan versi siapa yang paling benar. Variasi inilah yang kemudian menjadi eksistensi serta upaya pelestarian untuk memertahankan kekayaan budaya lokal di tengah ancaman kepunahan. Keragaman sastra lisan yang dimiliki secara kolektif tiap rombong Suku Anak Dalam akan terus berkembang dinamis dan diturunkan secara turun-temurun. 

Sementara dalam versi sejarah, Soetomo (1995) mengatakan bahwa leluhur orang rimba dimasukkan ke dalam golongan Melayu tua (Proto Melayu) yang merupakan eksodus gelombang pertama dari Yunan (Dekat lembah Sungai Yang Tze di Cina Selatan). Golongan ini kemudian terdesak masuk ke hutan ketika rombongan Melayu muda (Deutro Melayu) datang dengan mengusung peradaban yang lebih tinggi.

Mitos 1: Perang Melawan Belanda

Ketika sinar matahari mulai membakar kulit, para prajurit perang telah berdiri di depan istana pagaruyung. Sang raja pun baru saja tiba dan naik ke podium. Raja mengumumkan bahwa semua prajurit harus siap terjun ke medan perang melawan Belanda yang telah mengepung wilayah Sumatra.

Sang raja kemudian langsung membagi prajurit menjadi dua kelompok. Kelompok pertama ditempatkan di area kerajaan hingga ke seluruh Sumatra Barat. Sementara kelompok kedua ditempatkan di area Sumatra Tengah, yang sekarang merupakan Provinsi Jambi, Riau, dan Sumatra Selatan. 

Karena kebanyakan anak dan istri para prajurit berada di Sumatera Barat, mereka pun dalam hati menginginkan bertugas yang tak jauh dari keluarga. Di tangan sang raja telah ada umbi-umbian gadung dan ubi kayu. Dua perwakilan kelompok dipersilakan maju. Yang bisa mengambil ubi kayu akan ditempatkan di kelompok pertama dan gadung untuk kelompok kedua. Setelah kelompok terbagi, bergegaslah mereka pergi ke wilayah tujuan. Sebagian prajurit kelompok kedua yang tak siap berperang mengajak istrinya melarikan diri ke dalam rimba. Sebab dalam asumsi mereka, Belanda yang berjaga di Sumatra Tengah lebih ganas dan jumlahnya lebih banyak. Prajurit perang yang melarikan diri inilah yang diyakini sebagai nenek moyang Suku Anak Dalam rombong Tumenggung Hari dan Tumenggung Badai.

Mitos 2: Misteri Buah Kelumpang

Suatu ketika seorang prajurit asal Minangkabau – Bujang Perantau –  mangkir dari perang dan lari ke hutan. Dalam perjalanannya, ia membawa sebilah pedang dan seekor anjing. Pada saat Bujang Perantau menelusuri hutan, ia dikagetkan dengan buah kelumpang hitam raksasa yang berada di tepi sungai. Karena penasaran, ia pun menuju buah tersebut. Anjing Bujang Perantau tiba-tiba mengendus-endus buah kelumpang itu sembari menggonggong. Akhirnya, Bujang perantau memecahkan buah kelumpang itu dengan pedangnya.

Tiba-tiba muncullah seorang perempuan cantik dari buah kelumpang yang telah  pecah. Bujang Perantau yang heran kemudian mengajak perempuan itu berkenalan. Ia pun memanggilnya dengan Dewi Kelumpang. Dewi Kelumpang menanyakan maksud kedatangan Bujang perantau yang telah membangunkan tidurnya selama ratusan tahun. Dewi Kelumpang pun minta dinikahi Bujang Perantau saat itu juga.

Melihat pesona dan kecantikan Dewi Kelumpang, Bujang Perantau langsung menyetujui permintaannya. Karena tidak ada manusia di hutan kecuali mereka berdua, Bujang Perantau pun bingung bagaimana cara melangsungkan pernikahan. Lalu Dewi Kelumpang mengatakan bahwa para dewa bisa menikahkan mereka melalui batang bayur yang diletakkan di atas sungai.  Kemudian Bujang Perantau dan Dewi Kelumpang mencari batang bayur dan meletakkannya di atas sebrangan sungai. Batang bayur yang telah diletakkan itu menjadi jembatan yang akan mereka lalui. Bujang Perantau kemudian berdiri dari arah utara dan Dewi Kelumpang berdiri di arah selatan. Pernikahan akan sah jika mereka berhasil meniti batang bayur dan kening mereka beradu. Namun, jika salah satu mereka terjerambab ke dalam sungai sehingga kening mereka tidak dapat menyatu, berrati mereka tidak berjodoh dan Dewi Klumpang akan pulang ke kayangan. 

Mereka pun meniti batang bayur itu dan kening mereka bertemu sehingga pernikahan di antara keduanya dinyatakan sah. Dari pernikahannya itu, mereka memiliki empat orang anak: anak pertama dan kedua berjenis kelamin laki-laki, masing-masing bernama Bujang Malapangi  dan Dewo Tunggal. Sementara anak ketiga dan keempat berjenis kelamin perempuan bernama Putri Selaro Pinang Masak dan Putri Sanggoh Bayo.

Setelah anak-anak Dewi Kelumpang dan Bujang Perantau tumbuh dewasa, anak pertama menikah dengan anak ketiga (Bujang Malapangi dan Putri Selaro Pinang Masak). Sementara anak kedua menikah dengan anak keempat (Dewo tunggal dan Putri Sanggoh). Namun sayang, Bujang Perantau terlibat cekcok dengan Dewi Kelumpang. Bujang Perantau merindukan kampung halamannya di Minangkabau. Ia pun mengajak turut serta seluruh keluarga, tetapi permintaan itu ditolak mentahmentah oleh Dewi Kelumpang. Dewi Kelumpang percaya ketika para dewa menurunkannya di rimba belantara, itulah rumah dan kampung halaman yang harus dijaga. 

Akhirnya mereka pun bercerai dengan kesepakatan anak kedua dan keempat ikut serta Bujang Perantau ke kampung halaman. Anak pertama dan ketiga menetap di rimba bersama Dewi Kelumpang. Perceraian antara Bujang Perantau dan Dewi Kelumpang terikat dengan sumpah dalam seloko adat: “Yang ingin bedusun behalaman, bejemban betepian, betanam pinang betanam kelapo, bertenak kambing, ayam, itik, kerbau, melancung dengan darah sapi, ayam, itik, kerbau, kambing. Kalau ke ayik dak dapat minum, kalau ke darat dak biso makan, kepucuk idak bepucuk, ke bawoh idak bejangkar, dikejar keboh henyang, dikubor tubo, mati berok mati melayang kuning.

Bahwa sumpah perceraian ini bermakna bahwa setiap cikal bakal mereka nantinya diperbolehkan menganut agama apa pun asalkan tidak boleh memiliki dua kampung halaman. Setelah Bujang Perantau dan kedua anaknya pulang ke Minangkabau, Dewi Kelumpang pun kembali ke kayangan. Maka, yang tertinggal di rimba adalah Bujang Malapangi dan Putri Selaro pinang Masak. Mereka beranak-pinak dan hidup bahagia di rimba. Kisah inilah yang diyakini rombong Tumenggung Ganta sebagai nenek moyang mereka. 

Hingga kini, Suku Anak Dalam di Sialang masih memegang teguh sumpah perceraian yang diucapkan Bujang Perantau dan Dewi Kelumpang bahwa setiap anggota rombongnya dibebaskan menganut agama apa saja, asalkan tidak memiliki dua kampung halaman. Dalam artian, pada ikatan suci pernikahan, seorang suami wajib mengikuti istrinya. 

Secara mitologi pada rombong Suku Anak Dalam yang lain berbeda pula, mereka (Suku Anak Dalam) masih menganggap satu keturunan dengan Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim. Menurut pengingatan mereka, yang didapat dari penuturan kakek-neneknya, bahwa sebelum mereka bertempat tinggal di wilayah Sako Suban, mereka tinggal di Dusun Belani, wilayah Muara Rupit. Mereka hijrah karena terdesak waktu perang ketika zaman kesultanan Palembang dan ketika masa penjajahan kolonial Belanda. Secara tepat waktu kapan mereka hijrah tidak diketahui lagi, yang mereka (Suku Anak Dalam) ingat berdasarkan penuturan, hanya masa kesultanan Palembang dan masa penjajahan Belanda. Dari Dusun Belani, Suku Anak Dalam mundur lebih masuk ke hutan dan sampai di wilayah Sako Suban. Di wilayah Sako Suban ini, mereka bermukim di wilayah daratan di antara Sungai Sako Suban dan Sungai Sialang, keduanya sebagai anak dari Sungai Batanghari Leko. Wilayah pemukiman yang mereka tempati disebut dengan Tunggul Mangris. (Dirjen Bina Masyarakat Terasing Depsos RI, 1998 :55-56).

Versi Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal usul Suku Anak Dalam, yakni sejak Tasun 1624 Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi, yang sebenarnya masih satu rumpun, memang terus menerus bersitegang dan pertempuran di Air Hitam akhirnya pecah pada tahun 1629. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada dua kelompok masyarakat anak-dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal, dan adat istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan postur tubuh ras Mongoloid seperti orang Palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan palembang. Kelompok lainnya tinggal di kawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan negrito). Konon mereka tentara bayaran Kerajaan Jambi dari negeri lain.

Dikutip dari buku Tumbuh Bermanfaat Kolaborasi Satu Tahun Lembaga Beasiswa BAZNAS – SSS Pundi Sumatera oleh BAZNAS RI.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer