Pages

Senin, 18 Mei 2020

Agama Dalam Pendekatan Sosial Budaya: Dari Positivisme ke Konstruktivisme


Sumber gambar: sosiologis.com

Pembicaraan tentang agama dari perspektif sosial budaya tetap hangat dari dahulu hingga sekarang. Meski ada dugaan bahwa relevansi membicarakan agama semakin berkurang pada masa kini, dugaan itu tampaknya kurang terbukti. Tesis yang dahulu pernah dipercaya orang bahwa agama yang dahulu dikatakan menjadi inti (core) dan sentral dalam kehidupan manusia, kini tergeser ke periferi sistem sosial, tampaknya goyah. Mungkin agama tidak lagi sebagai sentral dalam konteks kolektif, tetapi agama tetap menjadi basis atau inti kehidupan individual. Pergeseran yang ditengarai sebagian ahli barangkali hanya berlaku pada rentang kolektif—individu. Dalam rangka menyambut terbitnya buku yang ditulis Prof. Dr. M. Ridwan Lubis dan disunting Imam Syaukani, berjudul Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama dalam Interaksi Sosial, saya ingin memusatkan perhatian pada isu pergeseran agama dalam konteks paradigma yang menjadi jiwa suatu pendekatan sosial budaya.

Agama Sebagai Kebudayaan

Khususnya dalam antropologi, agama secara tradisional dipandang sebagai kebudayaan. Pendekatan ini terkait dengan tujuan antropologi untuk melakukan eksplanasi dan analisis mengenai agama, sehingga memandang agama sebagai perangkat doktrin yang datang dari Tuhan tentulah tidak produktif bagi kepentingan analisis kehidupan masyarakat dan kebudayaan. Kita dapat menelusuri cara pandang ini mulai dari konsepsi analogi organik Herbert Spencer (1820-1903) yang membawa analogi biologi ke dalam dunia sosial dan kebudayaan. Kita dapat menyaksikan konstruksi empat komponen dasar sosial budaya adaptif—yakni kekerabatan, ekonomi, agama, dan politik—yang hadir secara eksplisit dalam paradigma struktural-fungsionalisme sebagai analogi biologi dari reproduksi, pencernaan, darah, dan saraf. Jadi, sebagai salah satu dari empat komponen dasar, agama tak dapat tidak harus dimasukkan ke dalam suatu sistem analisis ketika kita mempelajari suatu masyarakat atau kebudayaan. Yaitu Clifford Geertz salah satu tokoh antropologi yang secara ekspilisit menyatakan, bahwa agama adalah inti kebudayaan yang menjadi acuan bagi kehidupan manusia, yang menjadi panduan penjelasan mengenai dari mana manusia berasal, untuk apa ia hidup di dunia, dan akan ke mana ia pergi setelah meninggal. Tampaknya hanya agama yang dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan misteri tersebut, bukan kekerabatan atau organisasi sosial, ekonomi, atau politik.

Oleh karena itu, khususnya dalam paradigma strukturalfungsional, kedudukan agama menjadi sangat penting dalam masyarakat. Dalam berbagai etnograi masa lalu kita menyaksikan bagaimana agama berperan sebagai pemelihara keteraturan, pengendali moralitas, wahana pembenaran, dan pemberi sanksi bagi masyarakat. Dalam hal ini ritual menjadi manifestasi keyakinan agama ke dalam kelakuan dan tindakan, sehingga pengetahuan, keyakinan, dan nilai-nilai agama yang bersangkutan menjadi nyata dan operasional. Dengan kata lain, agama dipan dang juga sebagai kekuatan integratif yang menyatukan secara struktural-kultural unsur-unsur penyusun masyarakat yang beraneka ragam itu. Secara fungsional agama menyatukan aneka ragam penganut ke dalam suatu kesatuan sosial untuk menghadapi lingkungan, sehingga agama juga berfungsi politis. Karya Geertz (1960), Religion of Java, merupakan salah satu kajian antropologi yang paling sering digunakan sebagai contoh untuk menjelaskan pendekatan ini.

Empiris

Salah satu karakter dasar pendekatan sosial budaya mengenai agama yaitu empiris sebagai basis ontologinya. Agama dilihat “sebagaimana adanya” yang nyata terwujud dalam kelakuan, praktik-praktik, dan tindakan melalui simbol-simbol, bukan “sebagaimana seharusnya” yang merupakan perangkat doktrin-doktrin yang terkandung dalam agama sebagai agama. Peneliti diharuskan terlibat penuh dalam pengamatan yang intensif, dan pengungkapan secara mendalam pengetahuan dan pikiran para penganut agama yang bersangkutan, sehingga diperoleh pemahaman mengenai agama (sebagai kebudayaan) sebagaimana yang mereka ketahui dan tafsirkan dalam rangka menghadapi kehidupan sehari-hari.

Sebagai konsekuensi dari karakter empiris ini, pendekatan sosial budaya memandang keberadaan aneka ragam agama di dunia sebagai analogi dari aneka ragam kebudayaan. Khususnya dalam pendekatan struktural-fungsionalisme kebudayaan dipandang berfungsi untuk menghadapi lingkungan, maka realitas keanekaragaman lingkungan niscaya berdampak terhadap aneka ragam kebudayaan yang merupakan akibat adaptasi dengan lingkungan yang berbeda-beda itu. Selain itu, secara internal suatu kebudayaan juga berisikan unsur-unsur lain yang saling berkaitan dan berfungsi satu sama lain, sehingga agama niscaya selalu berkaitan dan berfungsi terhadap politik, ekonomi, organisasi sosial, hukum, seni, dan sebagainya.

Dari Positivisme ke Konstruktivisme Perubahan

Dunia mengalami perubahan. Ini merupakan pernyataan umum tak terelakkan menjadi kunci untuk membicarakan perubahan paradigma dalam memandang kebudayaan dan masyarakat, termasuk cara kita memandang agama sebagai kebudayaan. Banyak orang mengajukan pertanyaan tersebut, apakah agama masih menjadi inti kebudayaan atau sudah bergeser ke periferi sehingga agama tidak lagi menjadi penentu kunci dalam kebudayaan? Banyak orang mengaburkan pengertian perubahan itu sebagai merosotnya agama, bukan sebagai bergesernya posisi agama dari kedudukannya yang sentral dalam kolektif ke individu. Dengan kata lain, pergeseran itu terjadi dari fungsi legitimasi tunggal bagi keseluruhan sistem sosial ke fungsi legitimasi individual yang variatif. Akan tetapi bagaimana menjelaskan hal ini?

Sebagai bagian dari kebudayaan—dari lokal hingga global— agama terlibat pula dalam dinamika kebudayaan tersebut. Posisi manusia sebagai objek dalam sistem sosial sebagaimana kita pahami dalam paradigma struktural-fungsionalisme menjadikan posisi peneliti atau ahli dominan dan otoriter. Tokoh dan teorinya menjadi pedoman utama untuk menjelaskan fonomena sosial yang terjadi di ranah empirik. Teorilah yang mengontrol realitas. Logika berpikir inilah yang kerap kali juga disebut positivisme. Paradigma positivisme yang paling menonjol yaitu kuantitatif yang selain menjadi jiwa metodologi dalam ilmu-ilmu alamiah, juga dalam ilmu-ilmu sosial tertentu termasuk antropologi, khususnya pada masa lalu ketika paradigma struktural-fungsionalisme dominan dalam disiplin ini.

Seperti sudah dikemukakan, pendekatan sosial budaya mengenai agama bergeser pula sesuai dengan kondisi dunia yang dilanda perubahan yang kian cepat dan intensif. Berbagai isu berkembang secara mendunia seperti demokrasi, hak asasi manusia, masyarakat sipil, dan kesetaraan gender yang mendorong maraknya dukungan bagi perjuangan menyetarakan harkat dan hak-hak orang miskin, kolompok marjinal, kaum minoritas inferior, dan lain-lain. Cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung, isu dan gerakan itu menggeser posisi manusia semakin menjadi subjek. Disiplin ilmu sosial yang secara tradisional berbasis empiris mengalami dampak langsung yang signiikan. Sebagai implikasi, manusia tidak lagi dipandang sebagai sekadar komponen objektif yang berfungsi mendukung dan melestarikan sistem sosial dari generasi ke generasi tetapi semakin dipandang sebagai makhluk yang mampu berpikir dan bertindak relatif bebas demi menentukan arah dan bentuk kehidupannya. Manusia dilihat sebagai makhluk yang aktif, produktif, kreatif, dan manipulatif.

Tampaknya kehidupan manusia masa kini banyak bertumpu dan tergantung pada hasil-hasil inovasi teknologi yang semakin meningkat dan beragam dalam jumlah maupun kualitasnya. Untuk sebagian orang hasil-hasil inovasi kebudayaan itu menghasilkan kemajuan, kenyamanan, dan kualitas kehidupan yang meningkat. Namun bagi sebagian (besar) orang, kemajuan kebudayaan itu menimbulkan perangkap kemiskinan yang baru karena terpuruk ke dalam ketergantungan luar biasa pada teknologi, padahal tidak mampu menghasilkannya sendiri. Jadi, dapat kita katakan bahwa di balik dimensi demokrasi yang marak tersebut terjadi proses arus balik ketergantungan baru mulai dari tatanan lokal, nasional, hingga global. Dengan kata lain, proses perubahan global masa kini dan mendatang semakin berkarakter materi, dan isu-isu praktis yang digotong oleh gerakan-gerakan penyetaraan harkat dan hak-hak manusia pada dasarnya juga berkarakter materialistik, karena tujuan akhirnya yaitu meningkatnya kesejahteraan ekonomi-sosial yang berjiwa material. Cara pandang yang memosisikan manusia sebagai subjek yang aktif itulah yang disebut konstruktivisme dalam ilmu sosial.

Agama sebagai kebudayaan tak terkecuali. Manusia tidak lagi semata-mata dilihat sebagai bagian dari kolektif penganut suatu agama yang mengikuti dan memelihara kelestarian sistem agama, tetapi juga sebagai subjek yang memiliki hak dan kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri. Sebagai bagian dari kebudayaan yang juga berada dalam kehidupan dunia masa kini yang semakin berkarakter materialistik, interaksi agama dan politik pun semakin meningkat, agama menjadi instrumen bagi mencapai tujuan-tujuan politik. Agama dikonstruksi untuk melegitimasi tindakan-tindakan politik tertentu dalam masyarakat. Konstruksi agama dapat berubah apabila konteks tujuannya berubah. Agama sebagai bagian dari sistem budaya bergeser menjadi agama secara kontekstual. Manusia pun beragama dan menggunakan agama secara kontekstual pula yang sarat dengan kepentingan-kepentingan duniawi.

Sebagaimana saya kemukakan di atas, dalam antropologi dan sosiologi pergeseran paradigma dalam memandang agama selalu berbasis empirik. Banyak orang berpendapat, bahwa karya C. Geertz (1973) The Interpretation of Cultures merupakan salah satu titik berangkat yang terpenting pergeseran pemikiran menuju konstruktuvisme itu dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya antropologi. Prinsip emik dalam penelitian kualitatif antropologi merupakan isu metodologi yang menandai pergeseran yang menjauhi positivisme. Emik yang berarti “memahami pikiranpikiran warga masyarakat yang kita kaji lebih dahulu” tak lain yaitu posisi subjek warga masyarakat dalam paradigma kita.

Saya memandang penting dan menyambut hangat tulisan Prof. Dr. M. Ridwan Lubis yang disunting Imam Syaukani, yang hadir di hadapan Anda. Sejalan dengan meningkatnya pemikiran konstruktivisme pada masa kini, banyak pemikiran sosial budaya yang pada mulanya tersimpan, tersembunyi di balik dominasi teori-teori Barat seyogianya diungkapkan. Penulis berupaya mengangkat sebagian dari pemikiran-pemikiran teori sosial budaya yang non-Barat itu, misalnya pemikiran-pemikiran Ibn Khaldun dari dunia Muslim yang sesungguhnya sekurangkurangnya setara nilai dan kualitasnya dengan teori-teori besar yang berasal dari dunia Barat yang selama ini menguasai teksteks sosial budaya di seluruh dunia. Selain itu, pendapat para sarjana kita juga ditampilkan. Hal ini membuat buku ini tampil cukup berbeda dari buku-buku lain yang sejenis.

Membedah Agama

Barangkali tidak ada satu kata yang begitu menyita perhatian banyak kalangan, baik masyarakat pada umumnya maupun para ilmuwan, kecuali kata “agama”. Kata ini begitu menggugah rasa ingin tahu banyak kalangan, sebab agama merupakan suatu fenomena yang sangat kaya sekaligus sangat kompleks. Ia memiliki kandungan dimensi: ritual, doktrinal, etikal, sosial, dan eksperiensial sekaligus. Sehingga wacana dimensi normatif dalam agama dan dimensi empirisnya. Untuk menghindari reduksi semacam itu, agama hendaknya tampil dengan segala kemajemukannya dan wajahnya yang asli. Dengan kata lain, terlepas bagaimana agama dideinisikan dan perspektif apa yang digunakan, perbincangan agama dapat dipastikan selalu merujuk pada dua realitas agama yang tidak dapat dipisahkan, kecuali untuk kepentingan kategorisasi konseptual. Pertama, realitas yang bercorak teologis; dan kedua, realitas yang bercorak historis-sosiologis, atau sebagai suatu fenomena kebudayaan besar (grand culture) tentang agama dan kehidupan beragama selalu akan muncul baik dalam forum ilmiah maupun percakapan populer.

Francisco Budi Hardiman seorang Doktor der Philosophie pada Hochschule fuer Philosophie, melogikakan agama mempunyai dimensi yang beraneka ragam. Misalnya, ada dimensi moral, dimensi metaisika, dimensi nilai-nilai, psikologi sosial, dan politik. Nah, agama dari segi dimensi moralnya tentu memberikan sumbangan yang besar untuk publik dalam kehidupan bernegara. Tetapi dimensi politiknya, dengan menjadikan agama sebagai legitimasi untuk menduduki jabatan tertentu, tidakkah itu mempermiskin agama itu sendiri. Jadi, pemiskinan agama muncul pada saat agama direduksi pada ideologi. Ini dapat terjadi ketika sebagian masyarakat gagal mempersandingkan antara dimensi normatif dalam agama dan dimensi empirisnya. Untuk menghindari reduksi semacam itu, agama hendaknya tampil dengan segala kemajemukannya dan wajahnya yang asli. Dengan kata lain, terlepas bagaimana agama dideinisikan dan perspektif apa yang digunakan, perbincangan agama dapat dipastikan selalu merujuk pada dua realitas agama yang tidak dapat dipisahkan, kecuali untuk kepentingan kategorisasi konseptual. Pertama, realitas yang bercorak teologis; dan kedua, realitas yang bercorak historis-sosiologis, atau sebagai suatu fenomena kebudayaan besar (grand culture).

Simbiotik-Mutualistik Agama: Antara Normativisme dan Historisisme

Kedua realitas agama tersebut meniscayakan adanya hubungan timbal balik (simbiotik-mutualistik), mengingat kebermaknaan agama selalu diukur dengan kedua realitas itu. Mircea Eliade dalam hal ini menyatakan, bahwa inti agama adalah adanya dialektika antara yang sakral dan yang profan. Karena agama secara fitri dimaksudkan sebagai pegangan (guidance) bagi manusia, maka agama dengan sendirinya harus memiliki nilai kebenaran absolut. Nilai kebenaran relatif tidak mungkin dijadikan pegangan, karena hanya akan membawa manusia pada absurditas. Contoh aktual dapat tercermin pada kurang mampunya ideologi-ideologi besar (grand ideology) menyangga eksistensi dan dinamika sejarah kemanusiaan, seperti runtuhnya ideologi komunisme pada beberapa dasawarsa belakangan ini.

Penjelasan mendasar runtuhnya ideologi di atas disebabkan ideologi, sebagian atau seluruhnya, kehilangan dimensi spiritualitas yang secara primordial tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sejak mula perumusan ideologi-ideologi (besar) dunia, seperti Sosialisme, Komunisme, dan Kapitalisme, berangkat dari paradigma sekularistik Cartesian. Karakteristik paling menonjol dari paradigma Cartesian ini yaitu dikotomisasi realitas jiwa dan raga, material, dan spiritual. Akibatnya, ideologi tidak memberikan tempat yang layak terhadap agama sebagai sumber inspirasi dalam mencandra sejarah dan masa depan umat manusia.

Di sisi lain manusia sesungguhnya sangat membutuhkan pegangan ontologis yang kukuh, yang dapat memberikan keamanan bagi perjalanan sejarahnya. Ini dapat dicapai dengan merujuk pada agama, dalam pengertian dan cakupannya yang universal dan bersumber dari realitas yang mutlak (ultimate reality). Karena bersumber dari realitas yang mutlak, maka agama itu sendiri adalah “problem of ultimate concern,” suatu problem yang mengenai kepentingan mutlak.

Signifikansi agama sesungguhnya tidak hanya dapat dipandang semata-mata dari dimensi teologisnya. Betapapun agama bersumber dari Tuhan—karenanya transenden dan absolutistik—agama lebih banyak difungsikan guna memberikan kesemestaan makna (meaning universe) kehidupan manusia. Karena itu agama juga bercorak antropologis, dikarenakan eksistensi primordialistik manusia yang terikat sepenuhnya dengan agama, sebagai bagian dari dimensi historis-sosiologisnya. Singkat kata, agama akan selau terlibat dalam dialektika-historis dengan peradaban manusia.

Dalam kerangka seperti ini, maka tidaklah terlalu berlebihan bila A. Mun`im Muhammad Khallaf dalam bukunya Agama dalam Perspektif Rasional menyatakan bahwa di antara masalah besar kehidupan manusia yaitu masalah yang berkaitan dengan agama. Agama mempunyai posisi yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena akan memengaruhi proses perkembangan kehidupan manusia terutama dalam masalah humanistik, moral, etika, dan estetika. Secara makro masalah keagamaan akan memengaruhi pembentukan pandangan dunia (world views), khususnya yang berkaitan dengan dimensi ontologis dan ia mempunyai signiikansi sosial dalam kehidupan manusia.

Dikutip dari pengantar buku Sosiologi Agama dan sambutan Prof. Achmad Fedyani Saifuddin, Ph.D (Guru Besar Departemen Antropologi Universitas Indonesia).

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer