Pages

Jumat, 22 Mei 2020

Gerakan Islam Kampus: Sejarah dan Dinamika Gerakan Mahasiswa Muslim


Sumber gambar: muslimahnews.com

Dalam sejarah Indonesia, tercatat ada tiga periode penting menyangkut gerakan Islam oleh kalangan pemuda dan mahasiswa. Pertama, masa pergerakan, gerakan tersebut dicirikan dengan berdirinya kelompok kajian Islam di kalangan kaum muda terpelajar, yakni Jong Islamieten Bond (JIB) dan Studenten Islamic Studiesclub (SIS). Kedua, masa kemerdekaan, di mana muncul gerakan mahasiswa dengan semangat nasionalisme dan keislaman,  yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)—dua terakhir ini adalah organisasi mahasiswa di bawah masing-masing ormas NU dan Muhammadiyah. Terakhir, perode 1980-an hingga kini, di mana muncul gerakan mahasiswa dengan semangat Islamisme yang tinggi, seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Munculnya gerakan Islam di kampus ini dipicu oleh faktor yang berbeda di setiap periode. Meskipun, gerakan-gerakan itu mempunyai beberapa kesamaan terutama dalam hal pola-pola pergerakannya. Tulisan ini berusaha untuk melihat sejarah munculnya masing-masing gerakan mahasiswa Islam tersebut, aktivitas gerakan di ranah politik dan dakwah, pola perjuangannya, serta tantangan dan hambatan masing-masing.

Dengan tulisan, gerakan-gerakan Islam kampus sejak Indonesia merdeka hingga dewasa ini bisa dipetakan. Walaupun rentang waktunya cukup panjang, tulisan ini berusaha melihat benang merah dari berbagai gerakan mahasiswa Islam tersebut, dan kemudian bisa diambil hikmahnya sebagai pelajaran bagi akademisi dan juga aktivis gerakan kemahasiswaan di masa-masa yang akan datang.

Gerakan Mahasiswa Muslim: Beberapa Perspektif Penjelasan

Secara umum bisa dikatakan bahwa gerakan Islam (termasuk gerakan Islam kampus) muncul sebagai respon terhadap sebuah realitas sosial. Sejarah mencatat bahwa gerakan-gerakan Islam kampus muncul sebagai respon pemuda dan mahasiswa Muslim atas kondisi sosial-keagamaan dan politik yang berlaku. Perubahan sosial-keagamaan dan politik, termasuk reformasi, menuntut keterlibatan sekelompok orang yang ingin terlibat dalam perubahan tersebut.

Herbert Blummer mendefinisikan gerakan sosial sebagai usaha-usaha kolektif untuk menciptakan sebuah aturan hidup baru dalam masyarakat. Sebagai sebuah gerakan sosial, gerakan Islam kampus bertujuan untuk membuat perubahan dalam tatanan sosial di masyarakat, khususnya di kalangan mahasiswa. Gerakan Islam kampus sebagai gerakan sosial bisa dilihat dari berbagai perspektif. Teori deprivasi relatif melihat kemunculan sebuah gerakan sosial berawal dari sekelompok orang yang tidak puas dengan perubahan sosial yang terjadi, atau termarginalisasi secara politik atau ekonomi. Secara singkat, teori deprivasi relatif menjelaskan bahwa jika ada perbedaan antara yang diharapkan dan kenyataan, maka deprivasi sosial terbentuk. Deprivasi relatif ini, bila terbentuk secara kolektif, berpotensi menimbulkan menjadi sebuah gerakan social.

Teori lain yang bisa membantu untuk mengupas dinamika gerakan Islam kampus adalah teori pilihan rasional (rational choice theory). Teori yang dikembangkan oleh James S. Coleman ini berprinsip bahwa keterlibatan orang-orang dalam suatu organisasi berdasarkan pilihan secara rasional, bukan emosional. Dengan kata lain, gagasan dasar teori ini adalah tindakan seseorang mengarah pada suatu tujuan tertentu dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi). Para pengikut sebuah organisasi secara rasional memahami tujuan gerakan sosial dan bagaimana mencapai tujuan mereka. Dengan teori ini, sebuah gerakan sosial dibedakan apakah mempunyai struktur primordial atau berdasarkan tujuan tertentu. Dengan teori ini dinamika sebuah gerakan sosial keagamaan bisa diungkap, tidak hanya bagaimana sebuah gerakan Islam kampus muncul tapi juga keberhasilannya menggerakkan massa dan mencapai tujuan.

Gerakan-gerakan Islam di berbagai perguruan tinggi di Indonesia berdiri dan berkembang karena disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, faktor ideologis. Ideologi merupakan faktor yang sangat signifikan dalam membentuk kepribadian dan menggerakkan massa. Di berbagai perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi umum, gerakan Islam menjadi sebuah alternatif untuk menunjukkan identitas mahasiswa Muslim. Tidak sedikit mahasiswa Muslim terpanggil aktif di gerakan Islam kampus untuk menyebarkan pemahaman ideologis mereka. Persaingan dengan gerakan/organisasi mahasiswa agama lain dan juga organisasi non-agama menjadi faktor ideologis yang mendorong munculnya gerakan Islam di kampus. Jong Islamieten Bond (JIB), seperti akan dijelaskan nanti, muncul sebagai antitesa terhadap Jong Java yang kurang mengakomodir aspirasi mahasiswa Muslim. Islam menjadi identitas yang harus ditampilkan seiring dengan munculnya identitas ideologis yang lain. Munculnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yang hanya beberapa tahunsetelah Indonesia merdeka, juga didorong oleh keinginan mahasiswa Muslim untuk terlibat dalam pembangunan karakter dan mental mahasiswa Muslim Indonesia. Di era kontemporer, faktor ideologis juga kental dalam mendorong munculnya gerakan Islam seperti LDK dan KAMMI. Maraknya gerakan-gerakan Islam kampus tersebut juga bisa disebut sebagai ”gerakan protes” terhadap gerakan Islam kampus yang sudah ada yang dipandang berbeda haluan dan ideologis.

Kedua, munculnya gerakan mahasiswa juga didorong oleh faktor politik. Hal ini terutama berlaku untuk kasus HMI dan PMII. Di tengah maraknya gerakan organisasi nasionalis, mahasiswa Muslim merasa terpanggil untuk terlibat dalam mewarnai sikap-sikap politik, walaupun gerakan-gerakan tersebut bukan merupakan onderbouw dari partai politik Islam. Walaupun demikian, secara politik Islam, gerakan mahasiswa Islam tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai gerakan Islamisme karena tidak satupun dari gerakan-gerakan tersebut mendukung perjuangan Piagam Jakarta atau membawa isu Syari’ah Islam atau bahkan Khilafah Islamiyah. LDK dan KAMMI yang terlihat paling konservatif diantara gerakan-gerakan yang lain juga tidak menyuarakan isu-isu Islamisme.

Ketiga, faktor globalisasi juga berpengaruh secara signifikan terhadap kemunculan dan perkembangan gerakan Islam kampus. Paham dan ideologi Wahhabi yang berkembang di Indonesia hingga kemudian berpengaruh terhadap munculnya gerakan mahasiswa LDK dan KAMMI tidak bisa dilepaskan dari pengaruh globalisasi. Kemajuan teknologi informasi telah memudahkan mobilitas seseorang dari dan ke suatu negara dan tersedianya informasi secara masif, sehingga sebuah paham dan ideologi bisa berkembang secara cepat dan luas. Mahasiswa sebagai generasi yang paling mungkin bergerak (mobile) dan juga melek terhadap teknologi sangat memungkinkan untuk dipengaruhi sebuah paham atau ideologi.

Keempat, faktor terakhir yang menjadi pemicu munculnya gerakan Islam kampus adalah yang disebut dengan political opportunity structure (POS) atau struktur kesempatan politik. Sidney Tarrow menegaskan bahwa menurut teori ini ada beberapa variable yang memungkinkan munculnya gerakan-gerakan sosial, (1) ketika akses ke institusi politik terbuka, (2) ketika politik tidak stabil dan stabilitas politik baru belum terbentuk, dan (3) ketika para elite politik sedang terlibat konflik. Situasi semacam ini memberi peluang masyarakat umum untuk terlibat aktif dalam membentuk ulang (rebuilding) identitas nasional dalam bentuk mendirikan gerakan-gerakan sosial baik yang bernuansa agama atau tidak, termasuk gerakan agama di kampus.

Terkecuali JIB, hampir semua gerakan Islam kampus di Indonesia— dari yang paling awal, HMI, hingga yang terakhir KAMMI—muncul karena struktur kesempatan politik. Negara-bangsa Indonesia yang baru terbentuk tahun 1945, ketegangan dan ketidaktabilan poltik, dan juga konflik di kalangan elit politik merupakan kondisi yang sangat kondusif akan munculnya gerakan mahasiswa Islam seperti HMI. Demikian pula kondisi Indonesia yang secara politik tidak stabil tahun 1950-an memberi kesempatan bagi mahasiswa Muslim yang kurang terakomodir dalam HMI untuk membentuk gerakan mahaswa lain yaitu PMII dan IMM. Terakhir adalah lengsernya Suharto pada tahun 1998. Kesempatan terbukanya akses poltik secara struktural memungkinkan munculnya berbagai gerakan sosial yang tidak hanya sebagai eforia politik tapi juga tuntutan ideologis.

Berbagai faktor di atas secara terpisah atau simultan telah mendorong munculnya gerakan Islam di kampus. Oleh karena itu, fenomena maraknya gerakan Islam kampus tidak bisa dilihat secara parsial karena kompleksitasitas problem sosial yang melingkupinya. Dengan kata lain, sebuah situasi politik misalnya tidak selalu bisa menyebabkan munculnya sebuah gerakan kalau tidak dibarengi dengan faktor pendorong yang lain.

Dikutip dari buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer