Pages

Sabtu, 23 Mei 2020

Eko-teologi Bencana, Aktivisme Sosial dan Politik Kemaslahatan (Perspektif Islam)


Sumber gambar: merdeka.com

Akhir-akhir ini Indonesia seringkali dilanda bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, puting beliung, dan tsunami. Beberapa di antaranya menelan korban yang sangat besar, seperti gempa bumi dan tsunami Aceh (2004) dan gempa bumi Yogyakarta (2006). Sementara itu, pengetahuan masyarakat tentang bencana masih sangat terbatas, meskipun harus diakui juga bahwa masyarakat di berbagai daerah mempunyai “pengetahuan” tersendiri tentang bencana, baik yang didasarkan atas pengalaman bersama alam, kearifan lokal, mitos, agama, ataupun ilmu pengetahuan. Semua itu, dalam kapasitasnya masing-masing, mempunyai penjelasan mengenai bencana alam. Orang-orang terpelajar mungkin lebih percaya pada ilmu pengetahuan, namun masyarakat kebanyakan mungkin lebih percaya pada penga laman bersama alam, kearifan lokal, mitos, atau agama. Orang yang dekat dengan alam akan sangat peka terhadap perubahan alam di seki tarnya, seperti keluar nya hewanhewan tertentu dari habitatnya. Orang yang dekat dengan kearifan lokal—yang terkadang berbasis mitos juga—akan berpegang pada ajaran, norma, atau nilai yang dikembangkan secara turun-temurun.

Sementara itu, orang yang sangat percaya pada mitos mungkin saja abai terhadap tanda-tanda alam atau kearifan lokal non-mitos, dan lebih percaya pada cerita-cerita tertentu yang dianggap mengandung kebenaran empirik. Kelemahan mitos yang biasanya bermanfaat bagi perlindungan alam adalah kurang memadai dalam menjelaskan dan memprediksi gejala alam. Orang beragama biasanya lebih percaya pada doktrin tertentu agama, misalnya tentang hukuman atau takdir, dan pada agamawan yang dianggap mempunyai otoritas penafsiran teks keagamaan. Pengalaman-bersama-alam dan kearifan lokal, dalam hal tertentu, dapat memberitahukan apa yang sedang dan akan terjadi. Sementara mitos dan agama bergantung pada tafsir individu-individu; padahal, kejadian bencana alam sama sekali tidak tergantung pada tafsir manusia. Kendatipun mungkin tidak selalu tepat, pendekatan ilmu pengetahuan dianggap paling mendekati kebenaran. Sejumlah kearifan lokal, mitos, konsep keagamaan pun dapat dikonfirmasi dengan ilmu pengetahuan. Namun, ilmu pengetahuan yang sering kali canggih itu dapat dibahasa rakyatkan melalui kearifan lokal, mitos, dan agama.

Artikel ini membahas tentang bagaimana masyarakat beragama, terutama muslim, dapat memahami bencana yang bukan hanya relevan secara doktrinal, namun juga tidak mengabaikan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, artikel ini bukan hanya hendak memahami dan memaknai bencana an sich, namun juga melakukan sesuatu yang terkait dengan keselamatan bersama dalam situasi bencana. Ini berguna untuk menggerakkan aktivisme sosial humanitarian dari bawah. Sedangkan pada sisi pemerintah, di samping harus mempunyai kebijakan yang jelas tentang bencana, ia juga dituntut untuk memahami dengan baik pengetahuan dan aktivisme masyarakat beragama dan merespons dengan baik. Pemerintah harus mendasarkan diri pada politik kemaslahatan. dengan demikian, artikel ini berupaya memadukan antara pendekatan teologis dan ilmu sosial (terutama yang terkait dengan aktivisme sosial dan politik kebijakan). Dengan ini, penulis ingin menunjukkan adanya keterbatasan pada masing-masing pendekatan dan perlunya pendekatan-pendekatan itu berintegrasi dalam bukan hanya menjelaskan namun juga melakukan sesuatu terkait dengan masalah bencana.

Dari Keyakinan dan Struktur Nilai ke Aktivisme dan Politik Kebijakan

Peran persepsi dalam menghadapi bencana, proses mitigasi, aktivisme sosial dan pengambilan kebijakan telah diakui oleh sejumlah ilmuwan. Dalam kajiannya tentang persepsi terhadap risiko gempa bumi di Maroko, Paradise (2005) mengatakan bahwa mengaitkan bencana alam dengan “kemarahan Tuhan” dapat secara dramatis mempengaruhi bagaimana komunitas mempersepsi, mengelola dan/atau memodifikasi keterlibatan yang diperlukan dalam proses mitigasi bencana atau partisipasi dalam pembuatan keputusan. Lee (1981) dan Rosa (2003), sebagaimana dikutip Paradise (2005), berpendapat bahwa komunitas-komunitas yang menerima dengan lapang dada terhadap suatu bencana alam atau efek-efeknya biasanya lebih aktif dalam pengambilan keputusan komunitas. Pengakuan bahwa individu atau komunitas dapat mengakibatkan risiko bencana dapat menjadi kunci bagi persiapan dan mitigasi bencana. Jika persepsi saja mempunyai dampak yang begitu signifikan terhadap masalah yang terkait dengan bencana, apalagi keyakinan yang berakar pada pemahaman teologis keagamaan. Apa yang digambarkan Paradise sebagai “mengaitkan bencana alam dengan ‘kemarahan Tuhan’” tentu bukan sekadar persepsi, namun merupakan keyakinan teologis. Sikap lapang menerima tuduhan-kesalahan tentu dapat muncul di luar keyakinan agama, namun hal itu dapat pula muncul karena keyakinan teologis.

Selain masalah keyakinan teologis, ada hal lain yang juga berpengaruh pada sikap masyarakat terhadap bencana, yakni struktur nilai. Oleh karena itu, sangatlah tepat apa yang dikatakan oleh Ziauddin Sardar (2006) bahwa akar dari krisis ekologis yang melanda dunia bersarang pada “keyakinan dan struktur nilai kita, yang membentuk hubungan kita dengan alam, dengan sesama manusia dan gaya hidup yang kita jalani.” Struktur nilai biasanya dikaitkan dengan masalah budaya. Tentu saja ini tidak sepenuhnya salah, jika dalam budaya itu diletakkan pula agama. namun, pandangan semacam ini merupakan bias dari paradigma sekularisme dalam ilmu sosial. Pada kenyataannya, agama tidak selalu sejalan dengan budaya, bahkan dalam beberapa hal menentang budaya. Oleh karena itu, struktur nilai komunitas beragama (muslim) diasumsikan dipengaruhi oleh pemahaman teologisnya, di samping tetap membuka peluang kemungkinan pengaruh budaya.

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa keyakinan dan struktur nilai berpengaruh pada partisipasi dalam pengambilan keputusan komunitas. Hal ini bermakna bahwa ia berpengaruh pada munculnya aktivisme sosial pada level masyarakat. Namun, pada saat yang bersamaan, keduanya juga berpengaruh pada masyarakat politik, baik yang ada di parlemen maupun di pemerintahan, dalam merumuskan kebijakan-kebijakan terkait dengan masalah kebencanaan. Tentu saja ini terkait dengan persepsi, keyakinan dan struktur nilai secara umum. namun, sejalan dengan maksud tulisan ini, akan dilihat pula bagaimana agama (Islam) memberikan kontribusi pada terciptanya aktivisme sosial dan kebijakan politik yang lebih berorientasi kemaslahatan dalam kaitannya dengan bencana.

Jadi, karena tulisan ini lebih merupakan upaya membangun keterkaitan antara Teologi Bencana, aktivisme sosial dan politik kebijakan berkemaslahatan, ketimbang kajian empiris, maka penulis akan lebih memberikan tawaran-tawaran normatif progresif agar dapat menyemai “keyakinan” dan “struktur nilai” yang lebih kondusif tentang bencana. Di sinilah sintesis kreatif teologi dan ilmu sosial penting untuk dilakukan.

Paham Teologis dan Preferensi Etis

Teologi Bencana atau pemahaman keagamaan terkait dengan masalah bencana, terutama bencana alam, dalam berbagai tahapannya, memang masih kurang dikembangkan dalam keilmuan Islam. Ada beberapa intelektual muslim yang akhir-akhir ini mulai mengembangkan Fiqih Lingkungan, seperti Ali Yafie, dan Teologi Lingkungan, seperti Moelyono Abdillah. Sejumlah pesantren juga telah lama menjadi agen penyelamatan lingkungan. Pesantren Guluk-guluk, Madura, misalnya, pernah mendapatkan penghargaan Kalpataru. Sejalan dengan munculnya isu pemanasan global, sejumlah pesantren kini mulai me ngem bangkan diri menjadi “eko-pesantren”. Pernah juga diselenggarakan pertemuan ulama pesantren untuk “menggagas” fiqih lingkungan (fiqih al-bi’ah) di Sukabumi pada 9-12 mei 2004. namun, tindak lanjut dari kegiatan tersebut tidak terdengar lagi, kecuali penerbitan laporan pertemuan itu. Semuanya belum banyak ditindaklanjuti dengan perumusan secara lebih spesifik tentang teologi bencana dan secara umum dalam pembentukan gerakan ekologis dan aktivisme sosial humanitarian muslim yang sistematis.

Namun, hal ini bukan berarti bahwa belum pernah ada ulama yang mencoba mengembangkan teologi bencana. Pada abad klasik Islam, Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911/1505) berupaya mengembangkan teologi bencana, khususnya gempa bumi. dia menulis kitab Kasyf al-Salsalah ‘an Wasf al-Zalzalah (mengungkap Keterkaitan tentang Karakter gempa Bumi). Mungkin ini meru pakan buku teologi gempa bumi pertama yang ditulis dalam Islam. Ini bukan buku geologi tentang gempa bumi, namun lebih merupakan buku teologi tentang gempa bumi. Namun, layaknya buku teologi yang lahir pada saat itu, buku ini lebih mengedepankan pendekatan tekstual yang kental, dengan mendeduksi pemikiran teologis dari Al-Qur’an, Sunnah, atsar (ketetapan hukum) sahabat, dan pendapat-pendapat ulama sebelumnya tentang gempa bumi. dengan demikian, dapat dipahami jika sebagian besarnya merupakan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tentang gempa bumi dan kiamat, yakni bahwa gempa bumi merupakan nasihat bagi orang-orang yang bertakwa, rahmat bagi orang-orang beriman, dan hukuman bagi orang-orang yang ingkar. Orang tak beriman yang mati dalam gempa bumi itu dianggap memang ajalnya sudah tiba, sementara orang beriman yang mati dianggap mati syahid. Mungkin juga karena pada abad itu sains tentang gempa bumi belum berkembang sehingga belum dimanfaatkan dalam menulis kitabnya. Namun bagaimana pun juga, ini merupakan upaya rintisan yang luar biasa, untuk kemudian perlu dikembangkan lebih jauh.

Secara garis besar kita dapat melihat bagaimana persepsi temporal komunitas beragama (dalam hal ini muslim) terhadap bencana terkait dengan tiga tahapannya: sebelum, ketika dan setelah terjadi bencana. Selain itu, respons me reka dapat dilihat secara spasial menjadi dua, yakni: pertama, muslim yang ada dalam wilayah bencana (menjadi korban bencana); dan kedua, muslim yang berada di luar wilayah bencana. Adapun secara etikal (etis), respons kedua nya dapat di masuk kan dalam dua sikap: pertama, fatalisme pasivistik (passivistic fatalism); dan kedua, vitalisme aktivistik (activistic vitalism).

Sikap etis ini, dalam konteks masyarakat beriman, juga merefleksikan pemahaman teologis mereka, yakni teologi fatalis-pasivistik dan vitalis-aktivistik. Fatalisme dalam hal ini merujuk kepada pengertian sebuah keyakinan bahwa tidak ada yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya suatu peristiwa, karena semuanya sudah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan. Sedangkan vitalisme merujuk pada pengertian sebuah keyakinan bahwa fungsi dari sebuah organisme yang hidup adalah karena adanya sebuah prinsip vital yang berbeda dari kekuatan-kekuatan fisika-kimia; atau keyakinan bahwa proses-proses kehidupan tidak dapat dipahami oleh hukum-hukum fisika dan kimia semata dan bahwa hidup itu, dalam beberapa bagian, dapat menentukan dirinya sendiri. Dari kedua corak etiko-teologis ini, kita akan melihat bagaimana muslim di wilayah bencana dan di luar wilayah bencana merespons, baik sebelum, ketika dan setelah terjadi bencana.

Teologi Fatalis Pasivistik

Dalam teologi Islam klasik, dikenal sebuah aliran teologis yang disebut jabbariyah. dari kata “jabbara-yujabbiru” yang berarti memaksa, kata ‘jabbariyah’ mempunyai konotasi bahwa tindakan atau perbuatan manusia itu sebenarnya adalah salah satu bentuk paksaan dari luar dirinya, yakni dari Allah Sang Khaliq (Maha Pencipta). Sebagai Khaliq, Allah menciptakan semua makhluk, termasuk perbuatan manusia. Dalam paham ini, semua perilaku makhluk, termasuk manusia, sudah ditetapkan oleh Allah sejak zaman azali. manusia telah memiliki takdirnya, dan sekadar melaksanakannya. Oleh karena itu, pandangan teologis ini disebut juga “predestination’, bahwa semuanya sudah ditentukan sebelumnya. Dalam bentuk ekstremnya, pandangan ini melahirkan fatalisme, yakni bu kan hanya meyakini bahwa takdir seseorang telah ditetapkan sebelumnya, namun juga bahwa tidak ada yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya suatu hal, perbuatan atau peristiwa, yang (diasumsikan) sudah ditentukan sebelumnya itu.

Sikap fatalistik semacam ini dapat terjadi sebelum, ketika, dan setelah terjadinya bencana. Apabila derajat fatalistiknya kuat ‘sebelum dan ketika’ terjadi bencana, hal itu dapat melahirkan sikap yang negatif, bahkan berbahaya. Dikatakan negatif dan bahkan berbahaya karena biasanya akan melahirkan sikap pasif, yang dalam makna generiknya berarti “cenderung menerima situasi atau sesuatu yang dilakukan oleh orang atau pihak lain terhadapnya tanpa berusaha mengubah atau menolaknya” (CF Longman 1995: 1034). Ini harus dibedakan dari “resistensi pasif” terhadap kekerasan, seperti yang dila ku kan oleh  gandhi. Oleh karena itu, pemahaman etis dan teologis—etiko-teologis—fatalis pasivistik itu adalah sikap tidak mau berusaha mengubah atau menolak sesuatu atau peristiwa tertentu karena adanya keyakinan bahwa sesuatu atau peristiwa itu sudah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan akan terjadi pada dirinya atau komunitasnya. Namun, apabila muncul ‘setelah’ terjadinya bencana—dalam derajat dan waktu yang tidak berlebihan—sikap ini dapat menjadi salah satu bentuk terapi psiko-spiritual. Akan tetapi jika berlebihan, hal ini justru akan menyulitkan seseorang bangkit dari keterpurukan akibat bencana.

Sikap fatalis mengabaikan sebuah kenyataan penting, bahwa manusia sebenarnya tidak mengetahui apa yang “ditentukan oleh Tuhan” (takdir) atas dirinya atau komunitasnya. yang ada adalah bahwa manusia hanya mempersepsikan bahwa mereka mengetahui apa yang telah ditentukan Tuhan. Ini sebuah persepsi yang belum tentu benar. Mereka hanya terpaku pada satu kemungkinan dan pada saat yang bersamaan mengabaikan banyak kemungkinan lainnya. dalam kondisi normal, ketika tidak ada bencana, mereka berpendapat bah  wa bencana itu dapat terjadi kapan saja dan tidak dapat diprediksikan oleh manusia, dan oleh karenanya manusia tidak dapat melakukan apa pun apabila bencana itu datang. Keyakinan semacam ini biasanya juga mengabaikan kemampuan ilmu pengetahuan dalam melakukan prediksi dan antisipasi bencana, atau dalam bahasa mereka “mengetahui ketentuan Tuhan”.

Muslim di luar daerah bencana yang mempunyai pemahaman teologis yang fatalis semacam ini akan cenderung menganggap bahwa bencana itu adalah takdir, laknat, atau hukuman terhadap masyarakat korban. Oleh karenanya, mereka cenderung mengambil sikap pasivistik, yakni tidak melakukan apa-apa, atau mengambil sikap minimalis, seperti mendoakan korban dan mengambil hikmah dari bencana itu secara personal. Sikap etiko-teologis semacam ini tidak tepat untuk mengembangkan Teologi Bencana yang lebih memberdayakan dan membebaskan.

Dikutip dari Pendahuluan Buku Agama, Budaya dan Bencana.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer