Pages

Sabtu, 16 Mei 2020

Ramadhan: Dari Kesalihan Pribadi Menuju Kesalihan Sosial

Sumber gambar: islami.co

“Menjumpai Ramadan tanpa menyentuh puasa dan Alquran bagaikan keindahan malam tanpa kehadiran sinar rembulan. Mengejar Ramadan tanpa menyentuh puasa dan Alquran bagaikan sepasang kekasih menikah tanpa berbulan madu. Keindahan khayali (khayalan) akan menyilaukan keindahan hakiki (sebenarnya) bagi mereka yang sekedar beribadah secara formalitas saja tanpa memaknainya, menghayatiya, dan mengamalkannya”


Tema puasa dan ramadan―dalam kajian-kajian Islam―tidak pernah habis, walau tahun terus silih berganti. Sebagai bagian dari rukun Islam, puasa memancarkan pesona siapa saja. Ia sebuah hidangan yang diberikan-Nya kepada orang-orang beriman. Disematkan kata beriman, sebab banyak Muslim yang tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Hadiah dari orang yang beriman itu, manakala dia berpuasa, dia akan naik pangkat menjadi muttaqîn (orang-orang bertakwa). Takwa ini dambaan setiap Muslim, dan menjadi orang muttaqîn sungguh sulit, namun bukan berarti tidak bisa.

Orang muttaqîn haruslah orang-orang yang mampu menfaktakan keimanan dalam segala ruang dan kondisi. Sindiran Qur’an―sebagai salah satu makna dan tafsirannya―bahwa turunnya surah Al-Mâ’un dikarenakan ada seorang yang baik dan mengerjakan hal positif, tetapi kebaikannya hanya untuk pribadinya. Kesalihan pribadi tidak tembus menjadi kesalihan sosial. Allah menyebut orang yang tidak sampai itu dengan orang yang berdusta (terhadap agamanya dan ajaran-Nya).

Dalam khazanah Islam, ritual yang diiringi dengan berpuasa akan memiliki kegunaan yang luar biasa. Tidak mengherankan, jika tradisi puasa, tidak saja dikenal dalam kehidupan Muslim. Semua agama mengajarkan puasa―sesuai peraturan masing-masing. Sejak Nabi Adam sampai saat ini, puasa tetap lestari. Pelarangan mendekati buah Khuldi oleh Allah kepada Adam adalah salah satu wujud puasa kala itu. Menahan untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang adalah satu dari sekian esensi puasa.

Dalam Qur’an, ayat berpuasa didahului dengan panggilan untuk orang-orang yang beriman dan ditutup dengan kata takwa. Ini menunjukkan bahwa puasa memiliki makna syariat sekaligus hakikat; fisik sekaligus non-fisik. Gabungan keduanya merupakan gerak jauh ke atas menuju keridhaan Ilahi Rabbi. Puasa jenis ini telah dicontohkan dalam Al-Qur’an melalui shiyam-nya Siti Maryam.

Perpaduan orientasi teosentris dan antroposentris ini akan menghidupkan hati dan membuka tabir-tabir makrifat. Tradisi sufi kuat dalam beribadah sebagai wadah menghidupkan hati, salah satunya mengamalkan hadis Nabi, “Tidak ada bejana yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya. Maka, cukup baginya memakan beberapa suapan sekadar untuk menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga). Jika tidak sanggup, maka dia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman, dan sepertiga untuk nafasnya.” Sepertiga dalam hadis itu sebagai kontrol dalam menekan syahwat kebinatangan dan mempersempit jalan setan dalam darah manusia. Seperti ungkapan hadis Nabi Saw, “Sesungguhnya setan itu menyusup dalam aliran darah manusia, karena itu persempitlah jalan masuknya dengan lapar (puasa).

Bulan Ramadhan seakan mengajak kita kembali bercengkrama untuk memahami pesan terindah dalam berpuasa, yang ujungnya adalah memfaktakan iman ke dalam prilaku sehari-hari. Puasa bukan semata-mata ritual formalitas dalam Islam untuk menggugurkan kewajiban, tapi tangga untuk menggapai ketakwaan, yang membedakan satu dengan lainnya. Bekal takwa inilah yang kita bawa kelak hari akhir.

Sepotong Taman Surga

Dalam sepotong surga, ditampakkan pula sepotong kolam yang berair tenang, sehingga semua manusia melihat dirinya secara jelas tanpa sekat dan tirai. Di situ, semua dosa-dosa kita tampak jelas. Baik perbuatan dosa yang melahirkan kegelisahan; perbuatan dosa yang melahirkan malu tapi tidak gelisah; perbuatan dosa yang tanpa rasa malu, baik kepada Allah maupun manusia; dan perbuatan dosa yang bangga dengan dosanya. Semuanya tak kuasa menghapus kecuali atas izin-Nya. Kekurangan dan kealpaan tampak jelas pula, layaknya kita sedang berada di depan cermin yang bersih. Tempat itu, tempat paling jernih dan suci.

Dia adalah Ramadan yang kehadirannya dinanti-nantikan penduduk bumi. Satu-satunya bulan yang namanya tertulis dalam Qur’an. Memang, Alquran menginformasikan bahwa setahun terdapat 12 bulan (inna ‘iddata al-syuhur ‘indallahi istna ‘asyara syahran) yang empat bulannya dimuliakan (minha arba’atun hurum) tapi tidak disebutkan kecuali Ramadan (Qs. Al-Baqarah [2]: 185). Di sinilah, siapa saja yang menjumpai, maka sapalah ia dengan wajah penuh kegembiraan; Siapa saja yang merengkuhnya, maka akan direngkuh olehnya; siapa saja yang bercinta dengannya, maka kucuran pahala tiada henti akan menghampirinya.

Sepotong tamang surga yang diteteskan Allah ke muka bumi ini, mensyaratkan tiga hal: Ramadan, puasa dan (membaca) Alquran. Menjumpai Ramadan tanpa menyentuh puasa dan al-Qur’an bagaikan keindahan malam tanpa kehadiran sinar rembulan. Mengejar Ramadhan tanpa menyentuh puasa dan Alquran bagaikan sepasang kekasih menikah tanpa berbulan madu. Keindahan khayali (khayalan) akan menyilaukan keindahan hakiki (sebenarnya) bagi mereka yang sekedar beribadah secara formalitas saja tanpa memaknainya, menghayatiya, dan mengamalkannya.

Pada bulan ini, Allah tak mengizinkan malaikatnya untuk mencatat layaknya aktivitas ibadah di luar Ramadhan. Sebab, “puasa itu untuk Allah (al-shaum li )”. Di sinilah penghambaan sejati terasa. Menanggalkan segala macam individualisme yang mengakar pada egoisme (keakuan) menuju kebersamaan. Tak ada kekuatan dan daya untuk melawan ke-Mahakuasaan-Nya. Ketersingkapan tabir ini pulalah membuat manusia berkesempatan menyucikan jiwanya sebersih-bersihnya dan keluar dari Ramadan penuh sukacita. Semua bekal yang didapatkan pada bulan Ramadan membuat seseorang salih secara spiritual, tapi kesalihan spiritual itu harus tembus menjadi kesalihan sosial.

Menembus sampai menjadi kesalihan sosial itu, harus melewati pemaknaan mendalam akan sebuah ayat dalam Alquran (Qs. Al-Ahzâb [33]: 35), sebagai bentuk penggemblengan sejati selama Ramadan dan keluar menjadi manusia pemenang.

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim ” dalam berpuasa—di bulan Ramadan—harus menunjukkan ibadah yang maksimal (kâffah). Pelatihan otentik seorang manusia yang langsung dipantau Allah dan Allah sendiri yang menilainya. Dalam hal ibadah muamalah, seseorang harus menjadi pribadi yang berbuat baik tanpa memperlihatkan kebaikan itu pada orang lain. Dalam hal ibadah wajib, (misalnya) beribadah wajib sehari lima tanpa memangkasnya menjadi lima hari sekali.

Tidak ada agama dan kepercayaan, tanpa adanya sebuah kewajiban kepada pemeluknya untuk beribadah. Baik ibadah yang sudah ditetapkan langsung oleh Allah melalui lisan Nabi Muhammad, maupun ibadah tambahan yang dibuat oleh manusia—yang tidak bertentangan dengan syari’at Nabi Muhammad SAW tersebut. Sesuai dengan perjanjian antara Nabi Adam dengan keturunannya, bahwa manusia mampu mengemban amanah sebagai pemakmur bumi, dan mengendalikan pelbagai kekacauan yang akan terjadinya, meretas kebobrokan akhlak dan meningkatkan spitualitas kepada Allah SWT.

Segala perbuatan amal telah ditetapkan oleh-Nya dan tertulis dalam buku tebal (Qs. Al-Isra’ [17]: 13), termasuk perjanjian antara Allah dengan manusia, salah satunya yakni ibadah. Dia memberikan syarat kepada hambanya, yaitu: ibadah kepada-Nya (Qs. Al-Dzariyȃt [51]: 56). Tidak ada yang dapat membela dirinya kecuali amal sebagai bekal kehidupan kelaknya. Setiap prilaku dan perbuatan manusia selama di dunia sudah dicatat oleh malaikat-malaikat.

Di sini hakikat “seakan-akan Aku (Allah) melihatmu” nyata terasa. Tak ada yang melihat dan mengetahui seseorang berpuasa ataukah tidak; beribadah ataukah tidak, kecuali Allah. Maka seyogyanya “ laki-laki dan perempuan yang mukmin ” mendasari dirinya dengan ideologi yang “sehat”. Sebuah ideologi yang dengannya seorang Mukmin tumbuh kembang dengan perdamaian, kelemah-lembutan dan menebar pesanpesan sejuk. Sebab, banyak Muslim yang ibadahnya bagus, tetapi hubungan sosialnya rusak ataupun sebaliknya.

Kesehatan itu akan membuat seseorang taat kepada Allah walaupun berada di kesunyian dan kegelapan malam. Menjadikan laki-laki dan perempuan baik hubungan sosialnya, tentu mudah, tetapi menjadikan “laki - laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya dan dan perempuan yang memelihara kerhomatannya”, yang walaupun seorang perempuan ditinggalkan suaminya sendiri di rumah, ia tetap bisa menjaga kemaluan dan tangannya dari menahan segala macam godaan yang menerpanya. Begitu pula laki-laki, yang keluar kota dan daerah tanpa seorang istri, ia bisa menahan godaan nafsu yang telah memuncak sampai ia kembali ke hadapan istrinya. Maka Allah mendidik bahwa menjadi manusia taat tidak mengenal waktu dan tempat.

Ketaatan itu akan menghantarkan seseorang pula menjadi “ laki - laki dan perem puan yang benar (jujur)”. Tugas manusia, ketika sudah jujur dalam merealisasikan cita-cita dan jujur dalam bertindak, dituntut untuk mengerti maqam - maqam dan tingakatan ruhaniyah, tangga-tangga makrifat. Kesemuannya, untuk pendidikan yang sempurna. Sayyid Ahmad Al-Badawi, ketika ditanya perjalanan menuju Allah, maka urutan pertama yang harus dilakukan adalah benar dan jujur, bersih hati, menepati janji (tidak munafik), menanggung tugas dan derita, dan menjaga kewajiban yang telah dan seharusnya dilakukan oleh manusia ketika di dunia. Kejujuran yang sudah tumbuh menjadi karakter, maka akan menjadikan “laki - laki dan perempuan yang sabar”.

Sabar saja tidak cukup, sabar harus ditopang oleh keimanan dan ketakwaan. Seseorang yang beriman, belum tentu bertakwa. Tapi, seseorang yang bertakwa, sudah pasti beriman. Sabar yang ditopang oleh keimanan akan menghasilkan tindakan yang memuaskan, sekaligus jadi wadah mendapatkan pahala. Sabar dalam ketaatan lebih berat dalam praktek, daripada sabar dalam berbuat maksiat. Kemaksiatan selalu menampilkan wajah-wajah yang selalu mempesona, terlebih manusia memiliki kecenderungan untuk mencintai isi alam semesta (Qs. Ali Imran [3]: 146). Sedangkan orang-orang yang sabar dalam ketaatan, selalu digoda oleh Allah SWT. Misalnya, ketaatan untuk berinfak. Maka setan pun menggoda manusia dengan berbagai cara, salah satu caranya dengan membuat manusia takut (Qs. Al-Baqarah [2]: 268). Maka sabar yang tidak ditopang oleh keimanan yang kuat, maka akan sangat mudah tergoda oleh rayuan setan.

Aspek-aspek penting itu sebagai tahapan menjadi pribadi yang salih secara spiritual dan salih secara sosial. Dan memanfaatkan puasa Ramadhan dengan maksimal bukan ikut-ikutan semata yang tanpa meninggalkan bekas sama sekali.

Dikutip dari Buku Ramadhan (Dari Kesalihan Pribadi Menuju Kesalihan Sosial) oleh Muhammad Makmun Rasyid.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer