Pages

Senin, 30 Maret 2020

Arab Spring dan Peta Geopolitik Islam

Sumber gambar: en.qantara.de


Gelombang revolusi atau yang lebih dikenal dengan Arab Spring yang melanda Timur Tengah dewasa ini telah mengubah peta politik di kawasan tersebut dengan munculnya kekuatan politik Islam, dalam arti aktivitas politik yang didasari oleh prinsip-prinsip Islam baik dari titik tolak, program, agenda maupun tujuannya. Kendati demikian, di sejumlah negara masih saja ada sikap phobia terhadap Islam. Hal ini mengindikasikan adanya upaya pembalikan kembali ke rezim otoritarianisme atau “backward bending prosses” seperti yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan Libya, dimana rezim militer dapat berkuasa kembali. Demikian juga di Yaman, rezim Ali Abdullah Saleh digantikan oleh wakilnya yang berhaluan militer, Abd Rabbuh Manshur Hadi, sampai akhirnya harus terusir oleh gerakan separatis Al-Houti. Sedangkan di Suriah kekuatan politik Islam kerap mendapat serangan dari rezim Bashar Al-Assad yang sampai saat ini masih berkuasa. Adapun di Aljazair –meskipun tidak melebihi gejolak politik seperti yang terjadi di Yaman dan Suriah- gerakan Islam yang terdiri dari Ikhwanul Muslimin dan kelompok Salafiyyah membentuk aliansi dan meraih suara signifikan dalam pemilu parlemen 2012 meskipun pada akhirnya rezim militer dapat mendominasi kehidupan politik negara. Fenomena kekuatan politik Islam di Yaman, Suriah, dan Aljazair akan menjadi fokus kajian ini.

Pendahuluan

Demokratisasi dan kebangkitan politik Islam merupakan dua fenomena yang layak untuk dikaji secara lebih mendalam dalam lingkup kajian Timur Tengah saat ini. Politik Islam dimaknai sebagai aktivitas politik kaum muslimin yang hendak menjadikan Islam sebagai sumber hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, Islam dijadikan acuan dalam setiap aktivitas sosial-politik yang mempunyai implikasi langsung terhadap kehidupan mayoritas penganutnya.

Dalam konteks pasca Arab Spring, keinginan untuk membangun sebuah tatanan yang lebih demokratis dan Islamis tampaknya sulit untuk dielakkan. Di Yaman, gerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Salafiyyah, Anshar Syariah yang merupakan representasi dari partai Islah dan Al-Qaeda in Arabian Peninsula (AQAP), serta Anshar Allah dari kalangan Syi’ah Al-Houti menjadi pemain kunci dalam pertarungan politik yang berkepanjangan. Disamping itu, terbentuk kekuatan politik sebagai wadah aspirasi umat Islam melalui Joint Meeting Parties (JMP) yang merupakan koalisi antara partai Islam dengan partai Sosialis. Gerakan politik Islam di Suriah yang diwakili Ikhwanul Muslimin, Salafiyyah, dan Jabhat An-Nushrah (Al-Qaeda) dan Islamic State in Iraq and Syiria (ISIS) menjadi motor dalam perlawanan terhadap rezim despotikmiliter yang didukung oleh kelompok Syi’ah Alawiyyah. Sementara di Aljazair, Al-Qiyam Al-Islamiyyah berperan  cukup  signifikan dalam membangun kultur Islamis dalam pemerintahan. Disamping itu, sikap represif rezim militer telah mendorong munculnya kekuatan politik Islam lainnya, seperti Tentara Islam Aljazair (MAIA) dan Front Penyelamat Islam (FIS) yang didirikan oleh sejumlah tokoh Ikhwanul Muslimin. Pengalaman politik Islam di beberapa negara kasus menunjukkan bahwa kelompok Islam dapat berperan dalam setiap proses politik yang terjadi, sebagai upaya untuk membentuk pemerintahan yang demokratis pasca otoritarianisme.

Meskipun demikian, gejolak politik yang diwarnai dengan kekerasan politik masih terus berlangsung dalam skala luas dan upaya mengembalikan kejayaan rezim despotik masih terus berlangsung sebagaimana halnya rezim Assad yang tidak kunjung terguling. Bahkan, di Aljazair, upaya “pendongkelan” rezim despotik oleh kekuatan demokrasi yang bergejolak sejak 1991, sampai kini masih belum memperlihatkan hasilnya. Lebih tragis lagi, pemimpin baru di Yaman, Abd Rabbuh Manshur Al-Hadi justru terusir oleh kekuatan pendukung rezim lama, sehingga upaya menuju Yaman yang demokratis masih sulit untuk terwujud. Realitas yang terjadi di tiga negara kasus ini mengindikasikan adanya upaya yang disebut “backward bending process” (proses pembalikan kembali) ke rezim otoritarian.

Tulisan ini mengkaji secara lebih mendalam seputar politik Islam di tiga negara kasus, yaitu Yaman, Suriah, dan Aljazair dengan berbagai dinamika dan problematikanya ditengah proses demokratisasi yang sedang berlangsung. Tulisan ini dibagi dalam lima bagian. Pertama, membahas dinamika kultural dan politik di tiga negara kasus. Kedua, mengkaji problematika kekuatan politik Islam di Yaman. Ketiga, mengkaji problematika kekuatan politik Islam di Suriah. Keempat, mengkaji problematika kekuatan politik Islam di Aljazair. Terakhir, penutup dengan menyimpulkan dinamika demokrasi dan politik Islam di tiga negara kasus.

Dikutip dari Muhammad Fakhry Ghafur dari Problematika Kekuatan Politik Islam di Yaman, Suriah, dan Aljazair Dalam Jurnal Penelitian Politik, Vol. 12, No. 2 (Desember 2015).

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf jurnal tersebut pada link di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer